“Iya, Pa. Dia pernah menjadi asistennya Bara, namun sudah keluar,” ucap Tora berusaha meredam emosi sang papa. Bu Risa yang menyadari ada suasana lain di sekitarnya memilih untuk pamit sejenak. “Saya tinggal sebentar ya, Pak. Sepertinya ini tidak ada hubungannya dengan saya.” “Iya, Bu. Maaf ya,” kata Tora sambil mengangguk pelan. Sang pemilik panti itu segera bangun dari duduknya dan mengusap pundak Rena sesaat. Bahkan dirinya turut menyunggingkan senyuman meskipun belum mengerti apa yang hendak dibahas keluarga Erlangga nantinya. Suara deheman yang disengaja membuat Rena kembali menatap sang empu dari Rose Hotel dan Erlangga Hotel di hadapannya. Selang beberapa detik suara tepuk tangan dari pria itu menggema ke seisi ruangan. Bahkan kedua putra dan seorang menantunya pun tersentak kaget. “Penerus Raksana Group juga selicik ini,” gumam Tuan William sembari menyapu pelan dagunya. “Maksud Anda??” tanya Rena berusaha mengontrol nada
Bara berdesis pelan sembari membebaskan lengannya dari seorang Sandra. Meskipun sudah diperingatkan beberapa kali, gadis itu tak kehilangan akal untuk mencoba berbagai cara agar tetap berada di dekat sang GM tampan. “Lebih baik kita mendekatkan diri daripada terus kucing-kucingan seperti ini,” bujuk Sandra yang kini sudah berhasil duduk di samping Bara. Pria itu mendesah pelan sembari menggelengkan kepala. Tidakkah sang papa berpikir ulang bagaimana nasibnya jika menikahi wanita yang tak jauh berbeda dengan Tita yang begitu menyebalkan itu? Hah, mungkin memang keduanya adalah tipe idaman menantu Tuan William. Manja, posesif, manipulatif dan tentu saja money oriented layaknya kalangan pebisnis setaraf mereka. Begitulah yang ada di pikiran Bara sekarang. Padahal alamarhumah sang Mama sangat jauh dari ciri-ciri tadi. “Hai, Kak Tita,” sapa Sandra saat menyadari kakak ipar Bara yang mendekati mereka. Jangan katakan bagaimana pandangan san
“Bu Rena, apa Anda di dalam?” Tak ada suara sahutan selain bunyi derit pintu yang mulai terdengar. Rena mengulum senyumnya lalu mempersilakan sang pemilik panti masuk ke kamarnya. “Ibu kenapa?” tanya Rena saat melihat raut wajah sendu perempuan di hadapannya. Bu Risa menggeleng pelan. Dia membelai lembut surai hitam nan panjang milik Rena. “Ibu enggak usah khawatir, aku enggak pa-pa. Meskipun udah enggak kerja di sini lagi, aku masih boleh berkunjung ‘kan?” tanya Rena sembari mengerlingkan matanya. Bu Risa mengangguk pelan. “Pasti dong. Ibu minta maaf ya karena enggak bisa cegah kepergian kamu. Tuan William ngancam kalau kamu enggak keluar dari sini dia bakalan—“ “Udah, Bu. Anak-anak di panti lebih membutuhkan tempat tinggal. Aku enggak keberatan dengan cara mereka,” ucap Rena memotong pembicaraan keduanya. Pemilik panti itu melipat bibirnya ke dalam. Dia tak memiliki pilihan lain selain memecat Rena dari pantinya. “Kami bakalan
“Kenapa?” Rena menggeleng pelan. “Aku mau pulang ke rumah.” Mendengar jawaban gadis di belakangnya, Jason langsung tertawa. “Tentu saja. Ke perumahan mungil itu ‘kan?” “Kau mengejekku? Itu hasil dari kerja kerasku sendiri,” ketus Rena melayangkan protesnya saat Jason meledek rumahnya. “Okay. Memangnya kau kira aku akan mengajakmu ke mana? Kau takkan sudi tinggal di rumah papi kalau tidak dengan keinginanmu sendiri ‘kan?” ungkap Jason ada benarnya. Rena masih bungkam dan menanti ucapan selanjutnya dari pria itu. “Calm down. Aku hanya ingin mengantarmu. Jangan keras kepala, Serena Queen Adhisty,” tambah Jason lagi. Rena tak ada pilihan selain menurut pada asisten almarhum sang papi. Apalagi memang tak ada pengurus panti yang bisa mengantarkannya hingga ke tempat tujuan atau setidaknya ke terminal perbatasan. “Kau bisa lanjutkan perjalananmu. Aku akan di sini menunggu penumpang lain yang akan bergabung,” putus Rena saat melihat sebuah kendaraan ya
Jason mendesah pelan. Dia kembali fokus pada makanan yang ada di depannya. Pun begitu juga dengan Rena yang sesekali melirik pria itu yang sudah bermandikan peluh. Rena terkekeh pelan saat melihat Jason melepas jasnya. Tak pelak tangan pria itu mengendurkan dasi serta membuka dua kancing atas kemeja biru navy-nya. “Shit,” umpat Jason saat merasa lidahnya seolah terbakar. Bahkan dia tak sengaja menyeruput habis minuman Rena tanpa merasa bersalah. “Ih, apaan sih. Tinggal pesan lagi loh, kenapa harus punyaku yang dicuri?” protes Rena. Gadis itu mengangkat satu lengannya untuk membuat pesanan lagi. Masih dengan minuman yang sama untuk dua orang plus jus jeruk. “Pedas makanan Korea beda dengan lidahmu. Sudahlah, jangan pernah mencobanya lagi,” kikik Rena. Jason menyudahi makannya yang menyisakan separuh bagian saja. Lidah dan bibirnya berwarna merah merona sebagai respon atas makanan yang disarankan Rena tadi. “Thanks,” ucap Rena saat sang pelayan wan
Benar saja apa yang ditakutkan oleh Jason mulai terjadi. Rena yang baru saja selesai menyegarkan tubuhnya kedatangan tamu yang tak diundang. Bahkan sama sekali tak diharapkan. TOK!! TOK!! “Dek Rena! Kamu di dalam??” “Hei, ada orang di dalam??” Masih banyak lagi pekikan yang terdengar dari beberapa tetangga yang sudah berada di depan pintu pagar rumahnya. Masih dengan handuk yang bertengger di atas kepalanya, Rena menampakkan diri. Senyuman di wajah cantik gadis itu segera memudar saat melihat tatapan nyalang orang-orang yang melihatnya. Beberapa di antara mereka ada yang berdecih seolah jijik melihat rambutnya yang basah berbalut handuk. “Habis keramas ya karena tadi malam?” sindir salah satu dari beberapa orang itu. “Maaf, ini ada apa ya?” tanya Rena yang masih tak mengerti maksud dari pertanyaan barusan. “Halah, enggak usah munafik. Dasar pelakor. Udah berapa banyak pria yang tidur denganmu??” serang seorang wanita berambut keriting yang tak bi
Suara barusan mengalihkan atensi Rena. Seorang perempuan tua tersenyum ramah padanya sembari membungkukkan badan. “Mbok Ira,” gumam Rena dengan pandangan yang tampak berkaca-kaca. Gadis itu langsung memeluk sang kepala asisten rumah tangga yang masih setia berada di rumah almarhum Papinya. Kedua perempuan beda usia tersebut saling melepas rindu satu sama lain. “Nona Rena makin cantik ya,” puji si Mbok. “Mbok kangen sama Non.” “Aku juga. Mbok sehat? Kenapa masih bekerja?” tanya Rena yang kini sibuk meneliti penampilan pelayan kepercayaan nomor satu di rumah itu. Tampak rambut yang hampir sepenuhnya memutih dengan kulit yang sudah keriput sana-sana. Belum lagi tubuhnya yang dibantu dengan tongkat untuk berdiri. Mbok Ira sungguh layak untuk mengambil jatah pensiunnya. Karena lama tak bersua, mereka memilih untuk duduk di sofa yang tak jauh dari sana. Masih saling bergenggaman tangan dengan senyum yang menghiasi wajah tentunya. “Kenap
Jason yang masih bisa mendengar suara mantan Rena itu hanya menolehkan kepalanya sejenak tanpa berniat menimpali apapun. Kakinya kembali melangkah menuju pintu keluar cafe. Tindakan tadi membuat Bara geram. Lantas dia pun bergegas menyusul Jason yang sudah tiba di area parkiran. “Mau apa lagi?” tanya Jason begitu menyadari bahwa ada yang membuntuti langkahnya. Bara yang sudah mengepalkan kedua tangannya bersiap hendak melayangkan pukulan ke Jason, namun niatnya terjeda begitu melihat tangan pria tersebut terangkat ke udara. “Perhatikan di mana kau berada sekarang. Ingin reputasi Erlangga Hotel buruk dengan menyerangku di ruangan terbuka begini?” cibir Jason straight to the point. Dia tersenyum miring sambil menggelengkan kepala. “Emosimu selalu tak terkendali. Memang benar ya. Rena cocok meninggalkanmu. Sangat kekanak-kanakan.” “Kau!!” “Lebih baik kau bersihkan namanya secepat mungkin. Setidaknya bisa mengurangi beban yang dideritanya.” Jason