“Bu Rena, apa Anda di dalam?” Tak ada suara sahutan selain bunyi derit pintu yang mulai terdengar. Rena mengulum senyumnya lalu mempersilakan sang pemilik panti masuk ke kamarnya. “Ibu kenapa?” tanya Rena saat melihat raut wajah sendu perempuan di hadapannya. Bu Risa menggeleng pelan. Dia membelai lembut surai hitam nan panjang milik Rena. “Ibu enggak usah khawatir, aku enggak pa-pa. Meskipun udah enggak kerja di sini lagi, aku masih boleh berkunjung ‘kan?” tanya Rena sembari mengerlingkan matanya. Bu Risa mengangguk pelan. “Pasti dong. Ibu minta maaf ya karena enggak bisa cegah kepergian kamu. Tuan William ngancam kalau kamu enggak keluar dari sini dia bakalan—“ “Udah, Bu. Anak-anak di panti lebih membutuhkan tempat tinggal. Aku enggak keberatan dengan cara mereka,” ucap Rena memotong pembicaraan keduanya. Pemilik panti itu melipat bibirnya ke dalam. Dia tak memiliki pilihan lain selain memecat Rena dari pantinya. “Kami bakalan
“Kenapa?” Rena menggeleng pelan. “Aku mau pulang ke rumah.” Mendengar jawaban gadis di belakangnya, Jason langsung tertawa. “Tentu saja. Ke perumahan mungil itu ‘kan?” “Kau mengejekku? Itu hasil dari kerja kerasku sendiri,” ketus Rena melayangkan protesnya saat Jason meledek rumahnya. “Okay. Memangnya kau kira aku akan mengajakmu ke mana? Kau takkan sudi tinggal di rumah papi kalau tidak dengan keinginanmu sendiri ‘kan?” ungkap Jason ada benarnya. Rena masih bungkam dan menanti ucapan selanjutnya dari pria itu. “Calm down. Aku hanya ingin mengantarmu. Jangan keras kepala, Serena Queen Adhisty,” tambah Jason lagi. Rena tak ada pilihan selain menurut pada asisten almarhum sang papi. Apalagi memang tak ada pengurus panti yang bisa mengantarkannya hingga ke tempat tujuan atau setidaknya ke terminal perbatasan. “Kau bisa lanjutkan perjalananmu. Aku akan di sini menunggu penumpang lain yang akan bergabung,” putus Rena saat melihat sebuah kendaraan ya
Jason mendesah pelan. Dia kembali fokus pada makanan yang ada di depannya. Pun begitu juga dengan Rena yang sesekali melirik pria itu yang sudah bermandikan peluh. Rena terkekeh pelan saat melihat Jason melepas jasnya. Tak pelak tangan pria itu mengendurkan dasi serta membuka dua kancing atas kemeja biru navy-nya. “Shit,” umpat Jason saat merasa lidahnya seolah terbakar. Bahkan dia tak sengaja menyeruput habis minuman Rena tanpa merasa bersalah. “Ih, apaan sih. Tinggal pesan lagi loh, kenapa harus punyaku yang dicuri?” protes Rena. Gadis itu mengangkat satu lengannya untuk membuat pesanan lagi. Masih dengan minuman yang sama untuk dua orang plus jus jeruk. “Pedas makanan Korea beda dengan lidahmu. Sudahlah, jangan pernah mencobanya lagi,” kikik Rena. Jason menyudahi makannya yang menyisakan separuh bagian saja. Lidah dan bibirnya berwarna merah merona sebagai respon atas makanan yang disarankan Rena tadi. “Thanks,” ucap Rena saat sang pelayan wan
Benar saja apa yang ditakutkan oleh Jason mulai terjadi. Rena yang baru saja selesai menyegarkan tubuhnya kedatangan tamu yang tak diundang. Bahkan sama sekali tak diharapkan. TOK!! TOK!! “Dek Rena! Kamu di dalam??” “Hei, ada orang di dalam??” Masih banyak lagi pekikan yang terdengar dari beberapa tetangga yang sudah berada di depan pintu pagar rumahnya. Masih dengan handuk yang bertengger di atas kepalanya, Rena menampakkan diri. Senyuman di wajah cantik gadis itu segera memudar saat melihat tatapan nyalang orang-orang yang melihatnya. Beberapa di antara mereka ada yang berdecih seolah jijik melihat rambutnya yang basah berbalut handuk. “Habis keramas ya karena tadi malam?” sindir salah satu dari beberapa orang itu. “Maaf, ini ada apa ya?” tanya Rena yang masih tak mengerti maksud dari pertanyaan barusan. “Halah, enggak usah munafik. Dasar pelakor. Udah berapa banyak pria yang tidur denganmu??” serang seorang wanita berambut keriting yang tak bi
Suara barusan mengalihkan atensi Rena. Seorang perempuan tua tersenyum ramah padanya sembari membungkukkan badan. “Mbok Ira,” gumam Rena dengan pandangan yang tampak berkaca-kaca. Gadis itu langsung memeluk sang kepala asisten rumah tangga yang masih setia berada di rumah almarhum Papinya. Kedua perempuan beda usia tersebut saling melepas rindu satu sama lain. “Nona Rena makin cantik ya,” puji si Mbok. “Mbok kangen sama Non.” “Aku juga. Mbok sehat? Kenapa masih bekerja?” tanya Rena yang kini sibuk meneliti penampilan pelayan kepercayaan nomor satu di rumah itu. Tampak rambut yang hampir sepenuhnya memutih dengan kulit yang sudah keriput sana-sana. Belum lagi tubuhnya yang dibantu dengan tongkat untuk berdiri. Mbok Ira sungguh layak untuk mengambil jatah pensiunnya. Karena lama tak bersua, mereka memilih untuk duduk di sofa yang tak jauh dari sana. Masih saling bergenggaman tangan dengan senyum yang menghiasi wajah tentunya. “Kenap
Jason yang masih bisa mendengar suara mantan Rena itu hanya menolehkan kepalanya sejenak tanpa berniat menimpali apapun. Kakinya kembali melangkah menuju pintu keluar cafe. Tindakan tadi membuat Bara geram. Lantas dia pun bergegas menyusul Jason yang sudah tiba di area parkiran. “Mau apa lagi?” tanya Jason begitu menyadari bahwa ada yang membuntuti langkahnya. Bara yang sudah mengepalkan kedua tangannya bersiap hendak melayangkan pukulan ke Jason, namun niatnya terjeda begitu melihat tangan pria tersebut terangkat ke udara. “Perhatikan di mana kau berada sekarang. Ingin reputasi Erlangga Hotel buruk dengan menyerangku di ruangan terbuka begini?” cibir Jason straight to the point. Dia tersenyum miring sambil menggelengkan kepala. “Emosimu selalu tak terkendali. Memang benar ya. Rena cocok meninggalkanmu. Sangat kekanak-kanakan.” “Kau!!” “Lebih baik kau bersihkan namanya secepat mungkin. Setidaknya bisa mengurangi beban yang dideritanya.” Jason
Rena malah bergerak mundur begitu sosok tersebut melangkah maju ingin mendekat. Sorot matanya menyiratkan tatapan waspada. “Nak,” ucap wanita paruh baya yang kini sudah bersimpuh di depannya. “Nyonya.” Mbok Ira segera mendekat, namun langkahnya terhenti ketika melihat gelengan mantan majikannya itu. “Mbok, pie tadi buatan siapa?” Diam. Pertanda bahwa dugaannya benar. Pantas saja si Mbok tak menjawab pertanyaannya tadi. “Bisa kita bicara, Nak? Mami mohon.” Rena tak menggubris permintaan tersebut. Dia melirik sang Mami sejenak lalu membalikkan tubuhnya. Memilih kabur ke kamar untuk menumpahkan rasa marah yang telah menyesakkan dada. Setengah jam sudah berlalu. Hatinya sudah lebih baik. Bahkan dia mempersilakan si Mbok untuk masuk ke kamarnya. “Maaf, Non kalau Mbok lancang mengatakan ini,” kata Mbok Ira. Sang gadis kembali bungkam. Membiarkan kepala pelayan tersebut untuk melanjutkan kalimatnya. “Nyonya sangat merindukan Non. Dia
Pagi-pagi sekali di kamar Rena sudah terdengar bising. Gadis itu mengomel pada Jason karena dia masih tak percaya diri untuk tampil di depan publik nanti. “Bukankah kau menganggapku Abang?” decak Jason sembari menahan rasa kesalnya. Rena mengangguk pelan dengan bibir yang terus maju. “Maka dengarkan kata-kataku. Kau hanya perlu diam, tersenyum lalu melambaikan tangan. Tak usah memberikan komentar kalau memang dirasa tak membuatmu nyaman. Paham?” kata Jason memberikan intruksi. Bersamaan dengan itu Nyonya Adhisty muncul. Senyumnya merekah begitu melihat pemandangan akur di depan mata. “Apa ada kendala hemm?” tanyanya begitu lembut. “Hah. Untunglah Mami datang kemari tepat waktu. Lihatlah. Putri Mami nih. Keras kepalanya enggak ada lawan,” adu Jason yang langsung mendapatkan lirikan tajam dari si gadis. “Apa??” tantangnya lagi. “Kenapa, Nak? Apa perlu Mami bantu riasannya?” tawar sang Mami yang kini membelai pelan puncak kepala sang Putri yang sekarang sed