Aku masih tersenyum sembari menjabati tangan setiap orang yang datang ke rumahku. Di dalam pikiranku, aku merasa mereka sangat aneh. Mereka menatap aku dengan wajah iba, dan suara bisik-bisik pun masih mampu kudengar dari beberapa orang yang ke luar masuk dari rumahku.
"Kasihan ya istri dan anaknya," "Saya ga yakin Bu Helda dan anak-anaknya bisa bertahan setelah kepergian Pak Satyo," "Memang umur ga ada yang tahu ya, Mbak," "Kasihan, padahal Pak Satyo masih cukup muda," Kalimat-kalimat itulah yang sedari tadi tertangkapku di pendengaranku. "Delyna, kau tak perlu berpura-pura kuat. Menangis bukanlah satu hal yang menjijikkan," aku mendengar perkataan itu dari Dennis, pemuda yang menjadi tetanggaku sejak dua tahun belakangan ini. Aku mengerutkan keningku. Aneh sekali, pikirku. "Delyn, tante tahu kamu anak yang kuat, tapi kehilangan sosok yang paling kamu sayang itu tentu tidak akan mudah. Tetaplah tersenyum jika itu yang membuatmu merasa baik." Tante Rina yang adalah salah satu rekan kerja papaku tersenyum tulus sembari mengusap lembut lenganku sebelum ia berjalan memasuki rumahku. "Ini apa?" aku berucap di dalam hatiku. Ragaku memang berada di sini, namun aku masih tak mengerti dengan apa yang terjadi. Tatapan mereka, ucapan mereka, bahkan kehadiran mereka terasa sangat menyakitkan. "Ayo masuk, Dek," ucap Bang Raymoon, sembari mengelus pundakku. Aku melihat keramaian di dalam rumahku. Isak tangis jelas terdengar di telingaku. Dan hal yang sungguh membuatku menyadari bahwa aku tidak sedang berada di alam mimpi adalah ketika melihat papa, sosok pahlawan bagiku, pria yang paling kusayang dan kuhormati tampak berbaring di tengah-tengah tamu yang datang. Wajahnya terlihat tenang... dan pucat. "Kumohon, seseorang bangunkan aku. Aku tak mau lebih lama lagi berada di dalam mimpi buruk ini," rintihku dalam hati. Aku ingin berteriak, tapi rasanya terlalu sakit. Terlalu sakit hingga aku tak bisa berbuat apa-apa. "Delyn, ke mari, Nak," ucap ibuku dengan suara serak. Jelas itu karena ia tak berhenti menangis sejak tadi pagi. Aku mulai mendapat kesadaran penuh kala melihat jenazah papa. "Pa, mengapa harus secepat ini?" bisik batinku. Tak ada penjelasan dari siapa pun. Dan memang saat ini aku tak membutuhkan itu. "Delyn, aku turut berduka ya atas kepergian papamu. Kalau kamu ada apa-apa, kalau kamu mau cerita, kamu bisa kabarin aku. Kamu bisa cerita sepuasnya sama aku. Aku di sini buat kamu. Kapanpun." Ucap Nielson, salah satu kakak kelasku di SMA Cipto Kusuma. Tadinya aku tak menangis, namun entah mengapa mendengar ucapan Niel justru berhasil membuatku menangis perih. Bahkan para tamu yang hadir langsung menoleh ke arahku dan Niel karena mendengar suara tangisku yang mendadak. Kulihat sepintas wajah panik Niel. Tentu saja panik, Niel yang awalnya ingin memberiku kekuatan justru kusambut dengan air mata. "Tidak apa-apa, menangislah jika itu yang membuatmu merasa lebih baik," ucap Niel sembari mengelus lenganku dengan lembut. *** Aku duduk di ujung kasur setelah pulang dari pemakaman. Ibu dan Bang Raymoon berada di ruang tamu. Aku sadar, yang merasa kehilangan bukan hanya aku, yang butuh dikuatkan bukan hanya aku, karena itu aku lebih memilih untuk berada di kamarku. "Pa, Delyn takut kalau nanti Delyn ga sanggup menjalani hidup Delyn. Delyn takut kalau Delyn ga seberani dan sekuat yang papa anggap selama ini. Pa, Delyn masih butuh papa untuk dengerin cerita-cerita Delyn. Delyn butuh papa untuk bantu Delyn bertahan lebih jauh, Pa," ucapku dengan suara yang sedikit tertahan. Aku menoleh ke arah meja di kamarku. Kuraih bingkai kecil yang menunjukkan senyuman lembut keluarga kecil di dalamnya. "Pa, papa tahu kan kalau Delyn baru aja kehilangan Cito? Papa tahu Delyn belum sembuh dari luka itu? Tapi kenapa sekarang papa justru ikutan pergi dari hidup Delyn?" Aku menangis sembari mengelus wajah papa dari balik bingkai kaca yang kupegang. "Kemarin Delyn punya tempat cerita setelah kepergian Cito, tapi sekarang Delyn punya siapa untuk cerita tentang kepergian papa?" tangisku semakin menjadi-jadi sembari kudekap erat bingkai yang sedari tadi kutatap. "Delyn, bisa buka pintu sebentar? Abang mau bicara sama kamu," kudengar suara Bang Raymoon sembari mengetuk pintu kamarku. Aku mengusap air mataku secepat mungkin. Aku berusaha menghilangkan jejak tangisku, meski itu menjadi usaha yang sia-sia. "Kenapa, Bang?" tanyaku tanpa berani menatap mata Bang Raymoon. "Boleh ngobrol sebentar?" tanya Bang Raymoon yang hanya kubalas dengan anggukan kecil. Biasanya Bang Raymoon akan berteriak ketika menyuruhku membukakan pintu kamarku sekedar untuk membuatku kesal atau hal-hal aneh lainnya, tapi penampakan yang terjadi malam ini sangat berbeda. Ia tampak lembut dan menjadi sosok abang yang dewasa. "Delyn sekarang sudah kelas 12, kan?" Bang Raymoon membuka percakapan. Kujawab ia dengan anggukan. "Delyn, abang tahu kamu perempuan yang kuat, dan setelah ini kamu pasti akan lebih kuat," Aku tertegun. "Dek, kalau kemarin-kemarin kamu selalu cerita apapun ke papa, sekarang izinin abang buat gantiin tugas papa ya buat dengerin semua cerita kamu. Delyn jangan pernah nutupin masalah apapun dari abang," Kubiarkan Bang Raymoon meneruskan ucapannya. "Abang bakal lakuin yang terbaik buat Delyn... buat mama... buat keluarga kita," Jelas itu adalah ucapan jujur dari Bang Raymoon. Meskipun selama ini dia sering mengerjaiku, membuatku kesal, tapi aku tahu pasti bahwa dia sangat menyayangiku. Di ingatanku jelas terekam bagaimana Bang Raymoon mempertaruhkan nyawanya untuk melindungiku dari pria mabuk yang tak sengaja kutemui sepulang sekolah. "Bang..." ucapku pelan. Bang Raymoon mengayunkan dagunya seolah mempertanyakan apa yang hendak kukatakan. "Kenapa papa pergi ninggalin kita secepat ini, Bang? Apa papa ga sayang sama kita? Apa papa bosan dengar cerita Delyn? Apa papa marah karena Delyn banyak permintaan?" tanyaku yang membuat Bang Raymoon dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Delyn, papa sangat menyayangi kita. Papa juga ga pernah bosan buat dengerin cerita Delyn. Papa ga pernah marah kalau Delyn minta banyak hal. Delyn tahu, bahkan kalau Delyn minta seisi dunia ini, papa akan usahain itu," ucap Bang Raymoon sembari mengusap rambutku. "Terus kenapa papa ga berjuang?" belum sempat Bang Raymoon menjawab, aku langsung mengajukan pertanyaan lain, "Sama kayak Cito. Cito tiba-tiba ninggalin aku gitu aja. Cito ga berjuang buat aku," ucapku dengan air mata yang tertahan. "Delyn, papa sama Cito bukannya ga berjuang, tapi ini semua sudah takdir. Tuhan sayang sama kita, tapi Tuhan punya rencana lain buat papa dan Cito," "Kenapa Tuhan ga ngizinin Delyn ada di samping papa dan Cito di saat Tuhan akan bawa mereka pergi untuk selamanya? Bahkan Tuhan ga ngasih aba-aba buat Delyn sebelum Tuhan ngambil papa dan Cito," ucapku yang terdengar menyalahkan keputusan Tuhan. Bang Raymoon segera membawaku ke dalam dekapannya. Mungkin ia takut jika aku akan terus-terusan menyalahkan Tuhan. "Delyn, Tuhan selalu punya cara yang berbeda untuk menguatkan anak-anak-Nya. Delyn ga boleh nyalahin Tuhan. Delyn harus lebih kuat dari Delyn hari ini, ya?" Aku ingin memberontak, tapi sungguh aku tak bisa. Aku tak berani dan tak punya kekuatan untuk terus-terusan menyalahkan Tuhan. "Kita harus saling menguatkan, ya," ucap Bang Raymoon yang masih mendekapku. Ga ada yang siap dengan perpisahan karena kematian, bahkan setelah orang itu berpamitan.Hari demi hari berhasil aku dan keluargaku lewati. Bohong jika tak ada yang berubah. Ruang keluarga yang sepi, meja makan yang tak sehangat biasanya, senyum ibu yang terlihat rapuh, dan cibiran tetangga yang mengharuskan aku, mama, dan Bang Raymoon menutup telinga rapat-rapat. *** "Ibu-ibu sudah dengar belum cerita tentang Bu Ida? Suaminya kepergok selingkuh sama janda kampung sebelah," berita yang disampaikan Bu Aro pagi ini terdengar sedikit panas di tengah-tengah kegiatan memilih bahan masakan. Ibu-ibu lainnya menyimak dengan serius, "Ah yang benar Bu Aro? Masa iya Pak Joko selingkuh? Kelihatannya Pak Joko dan Bu Ida mesra-mesra aja tuh," timpal yang lainnya. "Iya, saya juga ga percaya ah. Pak Joko itu kelihatan sayang banget kok sama Bu Ida. Kayaknya Bu Aro dapat berita bohong itu," ucap lainnya yang masih belum percaya. "Itukan kelihatannya doang. Bisa jadi mesranya Pak Joko selama ini justru buat nutupin kelakuan busuknya dia," ucap Bu Aro. Tak jauh dari perkumpula
Tadinya aku ingin naik angkutan umum dan segera pulang ke rumah sebelum jadwal masuk kerjaku tiba. Tapi entah mengapa aku tiba-tiba merindukan papa dan Cito. Bukan berarti di hari sebelumnya aku tak merindukan mereka, tapi hari ini rasa rinduku semakin menjadi-jadi. Kuurungkan niatku untuk segera pulang. Aku menaiki angkutan umum yang berbeda dari biasanya. Ya, tujuanku adalah mengunjungi makam kedua pria yang sangat kusayangi, papa dan Cito. Langkahku melemah ketika tiba di pemakaman. Kuedarkan pandanganku ke sekitar. Aku benci mengapa aku harus ada di tempat ini. Tempat yang tak pernah kusangka akan menjadi tempat di kala aku merindukan papa dan Cito. Biasanya ketika aku merindukan papa yang sedang berada di luar kota atau merindukan Cito yang tengah sibuk dengan kegiatan OSIS, aku hanya akan menunggu sampai mereka menghampiriku, tapi sekarang... "Semoga aku kuat," ucapku dalam hati. Rumah baru papa tak begitu jauh dengan Cito, jadi itu memudahkanku untuk mengunjungi kedua
"Mas, saya perhatiin dari tadi mas ini ngelihatin saya terus, emangnya ada yang salah ya dari saya?" tanyaku dengan suara yang kubuat sejudes mungkin.Sebenarnya aku tak bermaksud berkata selantang itu, apalagi mengingat tempat kami berada saat ini. Tapi aku ingin dia tahu bahwa apa yang ia lakukan tak sopan, dan membuatku tak nyaman. Pria itu justru tampak mengerutkan keningnya setelah melangkah mundur 2 langkah secara perlahan."Ngomong sama saya, Mbak?" tanya pria itu dengan wajah datar yang berhasil membuatku tak menyesali perbuatanku barusan. "Lah, jelas-jelas saya berdiri di depan Mas, masa iya saya ngomong sama tembok!" ucapku kesal dengan pertanyaan pria itu. Iya, pria yang berhadapan dengan Delyna saat ini adalah Nobel Danerson. Pria yang juga tadi siang melihatnya di pemakaman.Nobel tertawa seolah meremehkan omelan gadis di depannya ini."Anda memang terlahir begitu percaya diri, ya?" sontak saja ucapan pria itu membuatku semakin jengkel."Enak saja dia mengatakan sepert
Seperti biasa, aku memasuki kelas di menit-menit terakhir sebelum bel berbunyi. Kurang lebih selama satu bulan belakangan ini aku memang sengaja datang lebih lama agar aku tak begitu bosan di dalam kelas (dibaca: agar aku tak begitu merindukan Cito). Hari masih pagi, namun telingaku lagi-lagi harus mendengar bisik-bisik dari beberapa murid di sekolah ini, apalagi jika bukan tentang aku dan mendiang Cito. Aku takut jika stok kesabaranku menipis hanya karena mulut sampah mereka. "Cih! Mereka tidak ada di dalam perjalanan hubunganku dengan Cito, tapi bisa-bisanya mereka berbicara seolah mereka ada di sana, sialan!" gumamku dengan wajah kesal setelah aku menjatuhkan bokongku di bangkuku."Good morning, Delyna Alicia! Ada apa gerangan, sih? Masih pagi tapi muka kamu udah asam begitu," tukas Alia yang baru saja tiba di sebelahku. Aku mendengus, mencoba menetralisir kekesalanku. "Ya gimana aku ga kesal, Lia. Sudah hampir satu bulan Cito meninggalkan kita semua, tapi bisa-bisanya manusia-m
Aku menatap Alia dengan kening yang mengerut. Tak biasanya temanku ini diantar oleh seorang pria selain ayahnya, pikirku. Aku tak bisa melihat dengan jelas siapa pria yang tengah membonceng Alia karena pria itu mengenakan helm, ditambah lagi aku melihat mereka dari arah yang berseberangan. 'Apa diam-diam Alia sudah memiliki kekasih?'Aku bertanya pada diriku sendiri sambil terus melangkah memasuki gerbang sekolah. Dari postur tubuh pria itu, rasanya aku tak mengenalnya. Ah, entahlah, mungkin selama ini aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri hingga tak mengenali banyak orang di sekolah ini.***Kulihat wajah Alia seperti biasa saat memasuki kelas. 'Tak terlihat jika kupu-kupu tengah menghinggapi hatinya,' pikirku dalam hati. Aku menunggu Alia mengucapkan hal lain selain sapaan selamat pagi dan pertanyaan mengenai tugas sekolah, seperti biasa."Apa tidak ada yang ingin kau ceritakan padaku, Lia?" tanyaku setelah bosan menunggu Alia berterusterang.
Alia menjelaskan hari dimana ia hampir saja terlambat karena bangun kesiangan. Dan tiba-tiba saja seorang pria dengan seragam yang sama dengannya berhenti tepat di depan dirinya, dan dengan ramahnya menawarkan tumpangan -siapa lagi jika bukan pria bernama Nobel Danerson-Tak ada percakapan yang begitu berarti antara keduanya di sepanjang perjalanan, bahkan pagi ini pun tidak."Ya kuakui, sejak pandangan pertama aku memang sangat terpukau dengan ketampanannya, namun sepertinya aku bukan tipe wanita yang ia suka." Alia berucap seraya menopang dagunya."Kenapa kau bicara begitu?""Kalau aku memang tipenya, kurasa dia tidak akan membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa mengobrol denganku."Aku menatap geli ke arah Alia. Dia terdengar lebih melow dengan pembahasan kali ini. "Aku berharap semoga tak akan pernah bertemu lelaki itu secara personal."Alia tertawa kecil. "Kurasa kau akan menyesali ucapanmu yang ini, Delyna."***Jariku masih sibuk mengotak-at
Langit semakin gelap. Kuedarkan pandanganku ke sekitar, sepi. Hanya ada aku dan beberapa anak yang masih tertinggal di lingkungan sekolah. Ya, hanya anggota OSIS.Aku tersenyum tipis kala satu per satu temanku membunyikan klakson motor mereka saat melewatiku sebagai salam perpisahan."Sampai kapan aku harus menunggu di sini? Hari sudah semakin gelap."Aku kembali menatap ke atas. "Ya Tuhan, tolong bantu Delyn. Delyn harus segera pulang." Aku merapalkan doa tak kala keadaan semakin sepi dan hari yang semakin gelap.Biasanya aku akan pulang bersama dengan Alia karena arah rumah kami yang searah. Namun, karena tadi ada rapat OSIS, jadi Alia memutuskan untuk pulang lebih dulu.Ibu dan Bang Raymoon juga tengah berada di rumah tanteku -adik dari ibu- dan mungkin akan tiba di rumah larut malam. Dengan penerangan yang tak begitu cukup, aku melihat sebuah motor dengan pengendara berpakaian serba hitam berhenti tepat di depanku. Jantungku seketika berdetak tak karuan. Bahkan kini kakiku terasa
Aku mengidikkan bahuku acuh tak acuh. "Hm... ya karena aku mau aja," ucapku dengan santai. "Gak ada istilah turun di tengah jalan! Udah, buruan naik! Nanggung amat nganterin anak gadis orang cuma sampai di rumah kedua kayak gini." Ucap Nobel yang segera kembali menaiki motornya.Aku menggeleng dengan cepat. "Gak, ga usah! Aku mau turun di sini aja. Sudah, kau lebih baik pulang. Hah, udah malam juga, sana!" aku mengayun-ayunkan tanganku seperti gerakan mengusir."Justru karena ini udah malam, Del. Ibuku pernah bilang, kalau mau jemput atau ngantar anak gadis orang ga boleh di depan gang. Harus sampai ke rumah. Aku hanya ingin menuruti nasihat ibuku."Aku tak terenyuh sedikit pun meski Nobel sudah mengoceh panjang lebar."Ayolah, kumohon jangan terlalu batu, Delyna! Aku hanya ingin memastikan bahwa kau sampai di rumah dengan keadaan selamat." Nobel menghela napasnya kasar."Naik, Del, buru!" kali ini suara Nobel yang melembut membuatku sedikit goyah.Sungguh, mengapa Nobel bersikeras m
Bang Raymoon terlihat menghela napas kasar sebelum mengeluarkan suara. "Kenapa lagi sih, Bro?" sekarang giliran Nobel yang ditanyai; tepat setelah pria itu menghentikan langkahnya di sebelahku. "Tahu nih adek lo. Masa cuma karena gue ke dapur dia langsung ngomel-ngomel? Padahal kan yang nyuruh gue ngambil minum itu lo.""Engga, ga gitu, Bang." Ucapku, lalu beralih menatap Nobel. "Eh, Jamet, kalau cerita tuh jangan setengah-setengah gitu dong! Pengen banget ya dapat pembelaan dari Bang Ray?" ucapku kesal. "Delyna, kok manggil jamet-jamet gitu, sih? Walaupun kamu sama Nobel itu 1 angkatan, tapi dia itu lebih tua dari kamu, Dek. Minta maaf sekarang." Ucap Bang Raymoon menegur.Oh, lebih tua, ya?Aku menghela napas dalam-dalam. "Delyna minta maaf, ya, OM?" ucapku dengan penekanan pada panggilanku padanya. "Lah? Kok malah om, sih?" Nobel tampak mengerutkan keningnya. "Kan LEBIH TUA." Ucapku langsung dengan penekanan pada 2 kata terakhir. "Ya ga gitu juga dek manggilnya." Lagi-lagi Ban
Suara teriakan itu bersamaan dengan lonjakan kaget sesaat setelah orang itu mendapati diriku membuka pintu. Aku segera memukul lengannya. "Berisik, jamet! Ini manusia. Delyna ini, Delyna!" ucapku kesal. Mama dan Bang Raymoon menyusulku ke luar dengan langkah yang tergesa -yang kutahu pasti karena suara berisik dari salah satu penghuni bumi yang baru kutemui ini-. Keduanya bingung melihat ekspresi wajahku dan Nobel. "Dia, Ma. Dia yang teriak, bukan Delyna." Ucapku sambil menunjuk Nobel. Yang kutunjuk justru berjalan menghampiri mama dan dengan tidak terduganya dia malah mengulurkan tangan dan menyalam mama. Ya bukannya apa-apa ya, aku hanya kaget saja. Di situasi seperti ini, kenapa dia masih kepikiran dengan sopan santun yang seperti itu? Ah benar-benar tidak bisa kuselami. "Nobel minta maaf ya tante udah ganggu waktu tante dan bikin tante panik gini. Habisnya tadi Nobel kaget banget tiba-tiba dibukain pintu sama Delyna dengan kondisi mukanya yang begitu, Tante." Ucap Nobel den
Ia menyunggingkan bibirnya. "Sekarang aku belum tahu akan aku gunakan untuk apa kesempatan yang kau beri, tapi nanti akan aku pikirkan." Setelah mengatakan itu, kulihat Alia mengutak-atik layar ponselnya. Untuk apa, aku pun tidak tahu. "Ini." Ucapnya tiba-tiba. Semakin bingung saja aku dibuat anak ini. "Apa ini?" tanyaku saat melihat aplikasi recorder yang ia suguhkan padaku melalui ponselnya. "Sekarang, kau rekam saja suaramu." "Untuk apa? Kau tahu kan aku bukan penyanyi?" "Siapa pula yang memintamu untuk bernyanyi? Ini sebagai jaminan bahwa kau benar-benar akan melakukan apa yang aku mau setelah kau mendapat info tentang sahabatku." Kunaikkan sebelah alisnya. "Apa kau berencana untuk mengurasku?" "Kalau aku jahat, aku mungkin akan melakukannya." "Lalu mengapa harus dengan cara begini? Apa kau tidak percaya padaku?" Alia tampak membuang napas kasar. "Nobel, aku bukannya tidak percaya padamu-" Belum sempat Alia menyelesaikan ucapannya, kuulurkan tanganku menjentik tepat di
Di toko ice cream, terlihat di dalamnya dominan dipenuhi oleh gadis-gadis seusia Alia. Adapun laki-laki, kebanyakan bernasib sama denganku; hanya memenuhi keinginan gadis yang tengah bersama mereka."Alia, kenapa lama sekali? Ini hanya perkara ice cream, Alia." Ucapku dengan suara yang setengah berbisik. Kulihat Alia tak menanggapi ucapanku. Gadis itu justru asik memilih ice cream seraya berbincang tipis-tipis dengan gadis lain di sebelahnya. "Alia, ayo, cepatlah! Ini sudah jam berapa." Ucapku menuntut."Nobel, tolong sabar sebentar. Aku harus memastikan bahwa ice cream yang kupilih benar-benar tak membuatku kecewa nantinya. Aku harus memikirkannya dengan baik. Jadi kuharap, kau bersabarlah!""Ck! Dia berucap seperti itu seakan ia tengah memilih pasangan hidup, padahal ia hanya tengah berkutat dengan varian ice cream. Dasar wanita!"Aku mengomel pelan seraya berjalan kembali ke kursi tunggu. Dan kini, pria yang menunggu di tempat itu semakin bertambah saja. Apa perkara varian ice c
Ah! Mengapa dia selalu menyebalkan seperti ini?!Ucapannya membuat kerjaanku bertambah. Setelah ini, Alia pasti akan mencecarku dengan rentetan pertanyaan. "Dasar laki-laki aneh!" kesalku dengan geram. ***[Delyna, abang sudah di depan. Apa belnya masih lama?]Kubaca pesan dari kontak bernama 'Bang Ray yang diikuti emoticon bulan' melalui notifikasi ponselku.Kulihat jam tanganku sekejap. Masih ada kurang lebih 15 menit lagi menuju bel pulang sekolah. 'Apa Bang Raymoon tidak ke kampus hari ini?' pikirku sebelum membalas pesannya. Baru saja aku menyimpan kembali ponselku, Alia tiba-tiba menyikut lenganku. "Ntar mau ke toko ice cream dulu ga, Del? Dengar-dengar toko ice cream di simpang lampu merah depan baru aja ngeluarin varian baru dan lagi ngadain promo juga." Alia terlihat excited mengajakku. Aku berpikir sejenak. Tidak mungkin aku mengiyakan ajakan Alia, sedangkan Bang Raymoon sudah menungguku di depan. "Aduh... gimana ya, Lia, masalahnya Bang Ray sudah di depan. Udah nunggu
WOI!!! ARRRGHHH! APA-APAAN?!Senyuman lebar yang ditampilkan Nobel seolah memang sengaja untuk membuatku kesal. Dan senyuman itu ia tunjukkan bersamaan dengan lototan tajam yang kuberi dan pekikan terkejut dari Alia. Alia yang sedari tadi bertahan hanya sebagai penonton pada akhirnya angkat bicara. "What? Hei, sebentar sebentar, apa aku tidak salah dengar, nih? Kalian berdua sejak kapan resmi begini?"Aku menggelengkan kepalaku sembari memajukan kedua tanganku membentuk silang. "Ya ampun, Delyna Alicia, kenapa bisa berita bahagia seperti ini tak kau beritahu padaku? Apa aku tidak sepenting itu bagimu?"Mulai lagi drama manusia satu ini, pikirku.Belum selesai, Alia kembali berucap. "Padahal kalau aku tahu tentang ini, aku pasti tak akan mendukung Kak Niel untuk mendekatimu seperti tadi."Panjang lebar Alia berucap membuatku benar-benar ingin menenggelamkan anak itu ke kolam ikan sekolah.APA TIDAK BISA SEHARI SAJA MULUTNYA ITU DI-REM? SANGAT MEREPOTKANKU!Kulihat wajah jahil Nobel de
"Oh ini, Del, tadi aku singgah buat beliin cemilan." "Buat apa, Kak? Kan udah ada kantin." Aku dengan mulutku yang ringan berbicara seperti tak ada beban hingga membuat Alia yang mendengar jawabanku langsung mencondongkan dirinya ke arahku."Del, bisa ga sih kalau ada orang yang ngasih sesuatu walaupun cuma modus, kau cukup terima pemberiannya dan ucapkan terima kasih saja?"Aku mengerutkan keningku, namun tetap mengikuti ucapan Alia. "Terima kasih, Kak. Nanti akan kumakan bersama Alia."Ia tersenyum mengangguk. "Kalau begitu, aku kembali ke kelas dulu, ya, Del? Semoga kau menyukai pemberianku. Dan semoga harimu menyenangkan.""Hei, apa tidak ada ucapan untukku, Kak?" Alia sedikit berteriak karena yang diajak bicara sudah berjingkrak kegirangan menuju kelasnya. Meski semakin jauh, Kak Niel tetap menyahuti ucapan Alia. "Kali ini tidak, Alia."Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku melihat aksi Kak Niel dan Alia.Kurasa mereka lebih cocok jika bersanding bersama.Alia menaikkan dagun
"Nobel, tungguin, Bel!" aku sedikit berteriak setelah mendapatkan kesadaran penuh.Nobel dengan santainya tetap berjalan tanpa mempedulikan aku yang telah memanggil namanya berulang kali. "Ih! Sengaja, ya?" ucapku setelah berhasil meraih ujung jaket abu-abu yang tengah dikenakan Nobel. "Yang nyuruh bengong kayak tadi siapa, ha?"Aku merotasikan bola mataku dengan malas. "Makasih." Ucapku dengan sedikit tertahan. "Hah? Apa apa? Ga kedengaran, Del." Ucap Nobel seraya mencondongkan telinganya padaku."Ck! Ga usah kayak gitu, resek banget!""Ya emang ga kedengaran, Delyna. Suara jangkrik lebih gede noh ketimbang suara kau."Aku menghela napas dalam-dalam. "M-A-K-A-S-I-H ya, Nobel." Aku dengan sengaja mengeja kata 'makasih' dengan suara yang lebih lantang dibanding kata lainnya. Nobel terkekeh geli melihat senyum terpaksa yang kutampilkan."Gitu dong. Lagian bilang makasih doang apa susahnya, sih, Del? Heran banget.""Pengen banget ya diapresiasi begitu?"Nobel tak serta merta langsung
Kulihat sekilas Pak Gunawan menatap Nobel dengan kening yang mengerut. Kurasa Nobel telah masuk ke ranah yang salah. Aku akan sangat merasa bersalah kalau sampai Nobel terkena imbas dari kejadian ini. "Maaf, Mas, ada apa ini ya ribut-ribut? Ada yang bisa saya bantu?"Pria yang kini berhadapan dengan Pak Gunawan terlihat melemparkan senyuman meremehkan. "Anda manajer di restoran ini?" tanyanya dengan wajah angkuh kebanggaannya. Pak Gunawan mengangguk seraya tersenyum tipis. "Ada yang bisa saya bantu, Mas?""Sebaiknya Anda tanya saja pada karyawan Anda dan orang ini!" pria itu menunjuk Nobel dengan kasar. "Nyesal saya datang ke sini!" ucapnya lalu melenggang begitu saja dari hadapan kami.Dari wajahnya, masih sangat jelas terlihat amarah yang melekat pada dirinya. Menurutku, justru yang membuatnya semarah itu bukanlah karena kesalahan pesanan yang ia terima, tapi karena dia merasa tak mendapat pembelaan. Terutama saat Nobel menegurnya tadi. Kami menatap langkah besar pria itu yang se