Seperti biasa, aku memasuki kelas di menit-menit terakhir sebelum bel berbunyi. Kurang lebih selama satu bulan belakangan ini aku memang sengaja datang lebih lama agar aku tak begitu bosan di dalam kelas (dibaca: agar aku tak begitu merindukan Cito).
Hari masih pagi, namun telingaku lagi-lagi harus mendengar bisik-bisik dari beberapa murid di sekolah ini, apalagi jika bukan tentang aku dan mendiang Cito. Aku takut jika stok kesabaranku menipis hanya karena mulut sampah mereka. "Cih! Mereka tidak ada di dalam perjalanan hubunganku dengan Cito, tapi bisa-bisanya mereka berbicara seolah mereka ada di sana, sialan!" gumamku dengan wajah kesal setelah aku menjatuhkan bokongku di bangkuku. "Good morning, Delyna Alicia! Ada apa gerangan, sih? Masih pagi tapi muka kamu udah asam begitu," tukas Alia yang baru saja tiba di sebelahku. Aku mendengus, mencoba menetralisir kekesalanku. "Ya gimana aku ga kesal, Lia. Sudah hampir satu bulan Cito meninggalkan kita semua, tapi bisa-bisanya manusia-manusia itu masih memperbincangkan mengenai aku dan Cito," aku memberi penjelasan pada Alia. Dari kening Alia yang mengerut, aku tahu bahwa ia sama kesalnya denganku. "Ck! Kan aku sudah pernah bilang, hubunganmu dengan Cito memang sangat membuat tanaman cabai di sekolah ini kepanasan. Del, coba kau beri tahu aku, tanaman cabai mana yang paling membuat kesabaranmu terusik," Alia kemudian menatap ke arah pintu masuk kelas. "Rasanya cabai itu perlu diberi cairan pembunuh hama." Alia kembali membuka suara. Aku menggeleng pelan. "Ah sudahlah, aku berniat untuk melupakan hal-hal semacam tadi itu," ucapku lalu menenggelamkan wajahku di atas tas yang kuletakkan di atas meja. Ya, bukan tanpa alasan beberapa murid perempuan selalu membicarakan mengenai Cito dan Delyna, sekalipun pria itu sudah meninggal dunia. Cito adalah siswa baik, cerdas, dan juga tampan. Selain itu, Cito juga aktif dalam kegiatan-kegiatan di luar bidang akademik, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Ketua OSIS pun menjadi gelar yang ia sandang ketika masih ada. Itulah sebabnya banyak siswi yang merasa iri saat tahu Cito dan Delyna menjalin hubungan lebih dari teman. Mereka beranggapan bahwa Delyna terlalu beruntung mendapatkan Cito. Awalnya Delyna marah dengan tatapan dan cibiran tanda kebencian yang ditujukan kepada dia, namun, sungguh Alcito Danendra adalah air yang mampu menenangkan dirinya. Sejuk dan tenang. Ia benar-benar merasa menjadi sosok yang lebih baik setelah kehadiran Alcito di hidupnya. "Kenapa selalu diam, sih, Del? Apa kamu mau disalahpahami terus sama orang-orang itu?" Alia tampak lebih kesal dari sebelumnya. Aku mengidikkan bahuku sebelum menatap Alia. "Lah terus aku harus gimana, Lia? Apa aku harus mengumumkan bahwa mereka salah melalui speaker sekolah? Atau aku harus membuat video klarifikasi atas segala yang terjadi? Atau apa, Alia? Kuutarakan hal yang sebenarnya pun pasti tak ada gunanya," ucapku dengan sedikit penekanan di akhir kalimat. Aku tak mendengar balasan apapun dari Alia. Namun aku mampu melihat raut jengkel masih terpancar di wajahnya. "Ayolah, Lia, biarkan saja mereka dengan pikiran dan kebencian mereka terhadapku. Aku terlalu rajin jika harus mengurus setiap mulut yang menyuarakan tentang kami," ucapku berusaha menenangkan Alia. Alia membuang napasnya kasar. "Aku kasihan padamu, Del. Kamu baru saja ditimpa musibah, tapi ada saja hal yang membuatmu seolah tertimpa tangga juga," Kini raut Alia berubah drastis dari sebelumnya. Entah ke mana perginya raut kekesalan tadi. "Andai saja mereka tahu apa alasanmu hingga tak hadir saat hari pemakaman Cito," Alia sedikit menurunkan nada bicaranya sambil terus menatapku. Tatapan yang terlihat sangat iba. Aku hanya diam. Kulirik sekilas ke arah Alia. Aku mendapati perubahan raut wajah Alia, lagi. Aku rasa Alia tahu bahwa aku sedikit tak nyaman jika terus membahas mengenai Cito. Kenangan itu, seperti menyeruak dengan hebat di kepalaku. Aku tak suka jika harus lemah karena merindukan Cito, tapi aku juga takut jika aku melupakannya.Aku menatap Alia dengan kening yang mengerut. Tak biasanya temanku ini diantar oleh seorang pria selain ayahnya, pikirku. Aku tak bisa melihat dengan jelas siapa pria yang tengah membonceng Alia karena pria itu mengenakan helm, ditambah lagi aku melihat mereka dari arah yang berseberangan. 'Apa diam-diam Alia sudah memiliki kekasih?'Aku bertanya pada diriku sendiri sambil terus melangkah memasuki gerbang sekolah. Dari postur tubuh pria itu, rasanya aku tak mengenalnya. Ah, entahlah, mungkin selama ini aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri hingga tak mengenali banyak orang di sekolah ini.***Kulihat wajah Alia seperti biasa saat memasuki kelas. 'Tak terlihat jika kupu-kupu tengah menghinggapi hatinya,' pikirku dalam hati. Aku menunggu Alia mengucapkan hal lain selain sapaan selamat pagi dan pertanyaan mengenai tugas sekolah, seperti biasa."Apa tidak ada yang ingin kau ceritakan padaku, Lia?" tanyaku setelah bosan menunggu Alia berterusterang.
Alia menjelaskan hari dimana ia hampir saja terlambat karena bangun kesiangan. Dan tiba-tiba saja seorang pria dengan seragam yang sama dengannya berhenti tepat di depan dirinya, dan dengan ramahnya menawarkan tumpangan -siapa lagi jika bukan pria bernama Nobel Danerson-Tak ada percakapan yang begitu berarti antara keduanya di sepanjang perjalanan, bahkan pagi ini pun tidak."Ya kuakui, sejak pandangan pertama aku memang sangat terpukau dengan ketampanannya, namun sepertinya aku bukan tipe wanita yang ia suka." Alia berucap seraya menopang dagunya."Kenapa kau bicara begitu?""Kalau aku memang tipenya, kurasa dia tidak akan membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa mengobrol denganku."Aku menatap geli ke arah Alia. Dia terdengar lebih melow dengan pembahasan kali ini. "Aku berharap semoga tak akan pernah bertemu lelaki itu secara personal."Alia tertawa kecil. "Kurasa kau akan menyesali ucapanmu yang ini, Delyna."***Jariku masih sibuk mengotak-at
Langit semakin gelap. Kuedarkan pandanganku ke sekitar, sepi. Hanya ada aku dan beberapa anak yang masih tertinggal di lingkungan sekolah. Ya, hanya anggota OSIS.Aku tersenyum tipis kala satu per satu temanku membunyikan klakson motor mereka saat melewatiku sebagai salam perpisahan."Sampai kapan aku harus menunggu di sini? Hari sudah semakin gelap."Aku kembali menatap ke atas. "Ya Tuhan, tolong bantu Delyn. Delyn harus segera pulang." Aku merapalkan doa tak kala keadaan semakin sepi dan hari yang semakin gelap.Biasanya aku akan pulang bersama dengan Alia karena arah rumah kami yang searah. Namun, karena tadi ada rapat OSIS, jadi Alia memutuskan untuk pulang lebih dulu.Ibu dan Bang Raymoon juga tengah berada di rumah tanteku -adik dari ibu- dan mungkin akan tiba di rumah larut malam. Dengan penerangan yang tak begitu cukup, aku melihat sebuah motor dengan pengendara berpakaian serba hitam berhenti tepat di depanku. Jantungku seketika berdetak tak karuan. Bahkan kini kakiku terasa
Aku mengidikkan bahuku acuh tak acuh. "Hm... ya karena aku mau aja," ucapku dengan santai. "Gak ada istilah turun di tengah jalan! Udah, buruan naik! Nanggung amat nganterin anak gadis orang cuma sampai di rumah kedua kayak gini." Ucap Nobel yang segera kembali menaiki motornya.Aku menggeleng dengan cepat. "Gak, ga usah! Aku mau turun di sini aja. Sudah, kau lebih baik pulang. Hah, udah malam juga, sana!" aku mengayun-ayunkan tanganku seperti gerakan mengusir."Justru karena ini udah malam, Del. Ibuku pernah bilang, kalau mau jemput atau ngantar anak gadis orang ga boleh di depan gang. Harus sampai ke rumah. Aku hanya ingin menuruti nasihat ibuku."Aku tak terenyuh sedikit pun meski Nobel sudah mengoceh panjang lebar."Ayolah, kumohon jangan terlalu batu, Delyna! Aku hanya ingin memastikan bahwa kau sampai di rumah dengan keadaan selamat." Nobel menghela napasnya kasar."Naik, Del, buru!" kali ini suara Nobel yang melembut membuatku sedikit goyah.Sungguh, mengapa Nobel bersikeras m
Aku menatap jijik pada pria di hadapanku ini. Mungkin kini aku benar-benar menyesali keputusanku berterima kasih secara langsung padanya. Terima kasih-ku harusnya kusimpan sendiri di dalam hatiku."Kumohon buang rasa percaya dirimu itu jika kau sedang berhadapan denganku! Aku hanya ingin mengatakan bahwa wajahmu sangat mirip dengan seseorang yang pernah kutemui di supermarket." Aku memutus tatapan begitu saja dari Nobel.Nobel tersenyum tipis. Sangat tipis. Bahkan senyum itu lebih tipis dari pada kesabaranku."Apa wajahku sungguh pasaran?""Kurasa begitu. Sudahlah, lebih baik kau segera pulang. Kurasa tak ada gunanya berdiskusi dengan pria aneh sepertimu! Dan satu lagi, kurasa pria yang kutemui kemarin tak lebih buruk darimu!" ucapku dengan tatapan sinis."Apa menurutmu yang barusan itu adalah bentuk diskusi, Del?"Aku mengidikkan bahuku acuh tak acuh. "Lebih cepat kau pulang, maka akan lebih baik! Pergilah!"Aku memutuskan untuk segera melan
Kak Niel menatapku tanpa berkedip ketika aku menceritakan beberapa drama yang belakangan ini kutonton."Kenapa, Kak?" aku menatap bingung ke arah Kak Niel. "Oh, apa wajahku belepotan?" dengan cepat aku menyeka bagian sekitar mulutku setelah meletakkan burger yang tadi kulahap sembari bercerita dengan Kak Niel.Kak Niel menggeleng pelan. "Aku senang kau sudah lebih baik, Delyna. Wajah ceriamu perlahan kembali," aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Kak Niel saat itu."Apa ada seseorang di b
"Emang mau ntar dihukum karena ga masuk kelas? Aku sih ogah!"Kulihat Nobel tersenyum dengan sebelah bibir yang terangkat. Indah sekali.Sebenarnya tak salah jika lelaki ini mengaku bahwa dirinya mempesona, karena memang benar begitu kenyataannya. Aku yakin, 95% orang yang bertemu dengan dia pasti setuju dengan pernyataan itu."Ternyata kau terlalu mengikuti peraturan, Delyna."Kurasa sepertinya ada yang salah dengan otaknya kala mengatakan hal itu. Bukankah sebagai pelajar kita memang harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan sekolah? Apalagi jika peraturan itu dibuat untuk kebaikan.Aku tak mengubris ucapan Nobel. Aku tetap berjalan menuju ruang kelasku."Delyna!" kudengar suara Nobel yang setengah berteriak memanggil namaku.Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang. Kudapati dirinya tersenyum menatapku."Nanti kuantar pulang, ya?"Kukerutkan keningku. 'Apa pula manusia ini tiba-tiba ingin mengantarku p
Alia menunjukkan deretan giginya dengan kikuk."Aku jadi curiga, apa jangan-jangan ada yang sedang kalian rencanakan di belakangku?" aku tetap menatap Alia dengan tatapan menyelidik.Alia membantah ucapanku dengan gerak tangan yang ia silangkan. "Tidak! Kau terlalu berpikiran buruk tentangku, kawan."Aku hanya berdecak mendengar pembelaannya.Tak ingin berdebat lebih lama lagi, aku dan Alia segera berjalan menuju gerbang sekolah. Sialnya, hari ini Alia dijemput lebih dulu oleh ayahnya, jadi aku harus berdiri sendirian di depan gerbang seperti ini."Ekhem!"Kudengar suara yang semakin dikenali indera pendengaranku menyapa dari belakang.'Nobel?' pekikku dalam hati."Buru-buru sekali. Kau sedang dikejar polisi?" aku gelagapan mendengar pertanyaan dari Nobel."Aissh! Kau sebenarnya manusia yang terbuat dari apa, sih? Kenapa kau selalu muncul di depanku dengan tiba-tiba?" tak bisa kusembunyikan raut terkejut dan kesalk
Bang Raymoon terlihat menghela napas kasar sebelum mengeluarkan suara. "Kenapa lagi sih, Bro?" sekarang giliran Nobel yang ditanyai; tepat setelah pria itu menghentikan langkahnya di sebelahku. "Tahu nih adek lo. Masa cuma karena gue ke dapur dia langsung ngomel-ngomel? Padahal kan yang nyuruh gue ngambil minum itu lo.""Engga, ga gitu, Bang." Ucapku, lalu beralih menatap Nobel. "Eh, Jamet, kalau cerita tuh jangan setengah-setengah gitu dong! Pengen banget ya dapat pembelaan dari Bang Ray?" ucapku kesal. "Delyna, kok manggil jamet-jamet gitu, sih? Walaupun kamu sama Nobel itu 1 angkatan, tapi dia itu lebih tua dari kamu, Dek. Minta maaf sekarang." Ucap Bang Raymoon menegur.Oh, lebih tua, ya?Aku menghela napas dalam-dalam. "Delyna minta maaf, ya, OM?" ucapku dengan penekanan pada panggilanku padanya. "Lah? Kok malah om, sih?" Nobel tampak mengerutkan keningnya. "Kan LEBIH TUA." Ucapku langsung dengan penekanan pada 2 kata terakhir. "Ya ga gitu juga dek manggilnya." Lagi-lagi Ban
Suara teriakan itu bersamaan dengan lonjakan kaget sesaat setelah orang itu mendapati diriku membuka pintu. Aku segera memukul lengannya. "Berisik, jamet! Ini manusia. Delyna ini, Delyna!" ucapku kesal. Mama dan Bang Raymoon menyusulku ke luar dengan langkah yang tergesa -yang kutahu pasti karena suara berisik dari salah satu penghuni bumi yang baru kutemui ini-. Keduanya bingung melihat ekspresi wajahku dan Nobel. "Dia, Ma. Dia yang teriak, bukan Delyna." Ucapku sambil menunjuk Nobel. Yang kutunjuk justru berjalan menghampiri mama dan dengan tidak terduganya dia malah mengulurkan tangan dan menyalam mama. Ya bukannya apa-apa ya, aku hanya kaget saja. Di situasi seperti ini, kenapa dia masih kepikiran dengan sopan santun yang seperti itu? Ah benar-benar tidak bisa kuselami. "Nobel minta maaf ya tante udah ganggu waktu tante dan bikin tante panik gini. Habisnya tadi Nobel kaget banget tiba-tiba dibukain pintu sama Delyna dengan kondisi mukanya yang begitu, Tante." Ucap Nobel den
Ia menyunggingkan bibirnya. "Sekarang aku belum tahu akan aku gunakan untuk apa kesempatan yang kau beri, tapi nanti akan aku pikirkan." Setelah mengatakan itu, kulihat Alia mengutak-atik layar ponselnya. Untuk apa, aku pun tidak tahu. "Ini." Ucapnya tiba-tiba. Semakin bingung saja aku dibuat anak ini. "Apa ini?" tanyaku saat melihat aplikasi recorder yang ia suguhkan padaku melalui ponselnya. "Sekarang, kau rekam saja suaramu." "Untuk apa? Kau tahu kan aku bukan penyanyi?" "Siapa pula yang memintamu untuk bernyanyi? Ini sebagai jaminan bahwa kau benar-benar akan melakukan apa yang aku mau setelah kau mendapat info tentang sahabatku." Kunaikkan sebelah alisnya. "Apa kau berencana untuk mengurasku?" "Kalau aku jahat, aku mungkin akan melakukannya." "Lalu mengapa harus dengan cara begini? Apa kau tidak percaya padaku?" Alia tampak membuang napas kasar. "Nobel, aku bukannya tidak percaya padamu-" Belum sempat Alia menyelesaikan ucapannya, kuulurkan tanganku menjentik tepat di
Di toko ice cream, terlihat di dalamnya dominan dipenuhi oleh gadis-gadis seusia Alia. Adapun laki-laki, kebanyakan bernasib sama denganku; hanya memenuhi keinginan gadis yang tengah bersama mereka."Alia, kenapa lama sekali? Ini hanya perkara ice cream, Alia." Ucapku dengan suara yang setengah berbisik. Kulihat Alia tak menanggapi ucapanku. Gadis itu justru asik memilih ice cream seraya berbincang tipis-tipis dengan gadis lain di sebelahnya. "Alia, ayo, cepatlah! Ini sudah jam berapa." Ucapku menuntut."Nobel, tolong sabar sebentar. Aku harus memastikan bahwa ice cream yang kupilih benar-benar tak membuatku kecewa nantinya. Aku harus memikirkannya dengan baik. Jadi kuharap, kau bersabarlah!""Ck! Dia berucap seperti itu seakan ia tengah memilih pasangan hidup, padahal ia hanya tengah berkutat dengan varian ice cream. Dasar wanita!"Aku mengomel pelan seraya berjalan kembali ke kursi tunggu. Dan kini, pria yang menunggu di tempat itu semakin bertambah saja. Apa perkara varian ice c
Ah! Mengapa dia selalu menyebalkan seperti ini?!Ucapannya membuat kerjaanku bertambah. Setelah ini, Alia pasti akan mencecarku dengan rentetan pertanyaan. "Dasar laki-laki aneh!" kesalku dengan geram. ***[Delyna, abang sudah di depan. Apa belnya masih lama?]Kubaca pesan dari kontak bernama 'Bang Ray yang diikuti emoticon bulan' melalui notifikasi ponselku.Kulihat jam tanganku sekejap. Masih ada kurang lebih 15 menit lagi menuju bel pulang sekolah. 'Apa Bang Raymoon tidak ke kampus hari ini?' pikirku sebelum membalas pesannya. Baru saja aku menyimpan kembali ponselku, Alia tiba-tiba menyikut lenganku. "Ntar mau ke toko ice cream dulu ga, Del? Dengar-dengar toko ice cream di simpang lampu merah depan baru aja ngeluarin varian baru dan lagi ngadain promo juga." Alia terlihat excited mengajakku. Aku berpikir sejenak. Tidak mungkin aku mengiyakan ajakan Alia, sedangkan Bang Raymoon sudah menungguku di depan. "Aduh... gimana ya, Lia, masalahnya Bang Ray sudah di depan. Udah nunggu
WOI!!! ARRRGHHH! APA-APAAN?!Senyuman lebar yang ditampilkan Nobel seolah memang sengaja untuk membuatku kesal. Dan senyuman itu ia tunjukkan bersamaan dengan lototan tajam yang kuberi dan pekikan terkejut dari Alia. Alia yang sedari tadi bertahan hanya sebagai penonton pada akhirnya angkat bicara. "What? Hei, sebentar sebentar, apa aku tidak salah dengar, nih? Kalian berdua sejak kapan resmi begini?"Aku menggelengkan kepalaku sembari memajukan kedua tanganku membentuk silang. "Ya ampun, Delyna Alicia, kenapa bisa berita bahagia seperti ini tak kau beritahu padaku? Apa aku tidak sepenting itu bagimu?"Mulai lagi drama manusia satu ini, pikirku.Belum selesai, Alia kembali berucap. "Padahal kalau aku tahu tentang ini, aku pasti tak akan mendukung Kak Niel untuk mendekatimu seperti tadi."Panjang lebar Alia berucap membuatku benar-benar ingin menenggelamkan anak itu ke kolam ikan sekolah.APA TIDAK BISA SEHARI SAJA MULUTNYA ITU DI-REM? SANGAT MEREPOTKANKU!Kulihat wajah jahil Nobel de
"Oh ini, Del, tadi aku singgah buat beliin cemilan." "Buat apa, Kak? Kan udah ada kantin." Aku dengan mulutku yang ringan berbicara seperti tak ada beban hingga membuat Alia yang mendengar jawabanku langsung mencondongkan dirinya ke arahku."Del, bisa ga sih kalau ada orang yang ngasih sesuatu walaupun cuma modus, kau cukup terima pemberiannya dan ucapkan terima kasih saja?"Aku mengerutkan keningku, namun tetap mengikuti ucapan Alia. "Terima kasih, Kak. Nanti akan kumakan bersama Alia."Ia tersenyum mengangguk. "Kalau begitu, aku kembali ke kelas dulu, ya, Del? Semoga kau menyukai pemberianku. Dan semoga harimu menyenangkan.""Hei, apa tidak ada ucapan untukku, Kak?" Alia sedikit berteriak karena yang diajak bicara sudah berjingkrak kegirangan menuju kelasnya. Meski semakin jauh, Kak Niel tetap menyahuti ucapan Alia. "Kali ini tidak, Alia."Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku melihat aksi Kak Niel dan Alia.Kurasa mereka lebih cocok jika bersanding bersama.Alia menaikkan dagun
"Nobel, tungguin, Bel!" aku sedikit berteriak setelah mendapatkan kesadaran penuh.Nobel dengan santainya tetap berjalan tanpa mempedulikan aku yang telah memanggil namanya berulang kali. "Ih! Sengaja, ya?" ucapku setelah berhasil meraih ujung jaket abu-abu yang tengah dikenakan Nobel. "Yang nyuruh bengong kayak tadi siapa, ha?"Aku merotasikan bola mataku dengan malas. "Makasih." Ucapku dengan sedikit tertahan. "Hah? Apa apa? Ga kedengaran, Del." Ucap Nobel seraya mencondongkan telinganya padaku."Ck! Ga usah kayak gitu, resek banget!""Ya emang ga kedengaran, Delyna. Suara jangkrik lebih gede noh ketimbang suara kau."Aku menghela napas dalam-dalam. "M-A-K-A-S-I-H ya, Nobel." Aku dengan sengaja mengeja kata 'makasih' dengan suara yang lebih lantang dibanding kata lainnya. Nobel terkekeh geli melihat senyum terpaksa yang kutampilkan."Gitu dong. Lagian bilang makasih doang apa susahnya, sih, Del? Heran banget.""Pengen banget ya diapresiasi begitu?"Nobel tak serta merta langsung
Kulihat sekilas Pak Gunawan menatap Nobel dengan kening yang mengerut. Kurasa Nobel telah masuk ke ranah yang salah. Aku akan sangat merasa bersalah kalau sampai Nobel terkena imbas dari kejadian ini. "Maaf, Mas, ada apa ini ya ribut-ribut? Ada yang bisa saya bantu?"Pria yang kini berhadapan dengan Pak Gunawan terlihat melemparkan senyuman meremehkan. "Anda manajer di restoran ini?" tanyanya dengan wajah angkuh kebanggaannya. Pak Gunawan mengangguk seraya tersenyum tipis. "Ada yang bisa saya bantu, Mas?""Sebaiknya Anda tanya saja pada karyawan Anda dan orang ini!" pria itu menunjuk Nobel dengan kasar. "Nyesal saya datang ke sini!" ucapnya lalu melenggang begitu saja dari hadapan kami.Dari wajahnya, masih sangat jelas terlihat amarah yang melekat pada dirinya. Menurutku, justru yang membuatnya semarah itu bukanlah karena kesalahan pesanan yang ia terima, tapi karena dia merasa tak mendapat pembelaan. Terutama saat Nobel menegurnya tadi. Kami menatap langkah besar pria itu yang se