"Mas, saya perhatiin dari tadi mas ini ngelihatin saya terus, emangnya ada yang salah ya dari saya?" tanyaku dengan suara yang kubuat sejudes mungkin.
Sebenarnya aku tak bermaksud berkata selantang itu, apalagi mengingat tempat kami berada saat ini. Tapi aku ingin dia tahu bahwa apa yang ia lakukan tak sopan, dan membuatku tak nyaman. Pria itu justru tampak mengerutkan keningnya setelah melangkah mundur 2 langkah secara perlahan. "Ngomong sama saya, Mbak?" tanya pria itu dengan wajah datar yang berhasil membuatku tak menyesali perbuatanku barusan. "Lah, jelas-jelas saya berdiri di depan Mas, masa iya saya ngomong sama tembok!" ucapku kesal dengan pertanyaan pria itu. Iya, pria yang berhadapan dengan Delyna saat ini adalah Nobel Danerson. Pria yang juga tadi siang melihatnya di pemakaman. Nobel tertawa seolah meremehkan omelan gadis di depannya ini. "Anda memang terlahir begitu percaya diri, ya?" sontak saja ucapan pria itu membuatku semakin jengkel. "Enak saja dia mengatakan seperti itu! Aku kan mengatakan apa yang kulihat tadi! Dasar pria aneh!" rengutku di dalam hati. "Astaga mas, kalau salah tuh ya minta maaf, bukan malah ngatain kayak begitu! Minta maaf doang ga bakal bikin mas jadi kelihatan rendah, kok," ucapku sembari menyilangkan tanganku di depan dadaku. Pria itu menggelengkan kepalanya serasa berdecak. "Tuh! Saya lagi ngomong sama teman saya," ucap pria di hadapanku ini sembari mengulurkan jari telunjuknya. Kuikuti arah telunjuknya hingga membelakangi pria itu. Kulihat seorang wanita tengah melambai sembari tersenyum lebar ke arah kami; atau lebih tepatnya ke arah pria yang tadi kuomeli. "Lain kali jangan terlalu percaya diri begitu, Mbak," lagi-lagi ucapan pria itu berhasil membuatku kesal. Sangat sederhana, namun aku terpancing. Mulutku komat-kamit tak tentu setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tapi meskipun begitu, tetap saja aku tak mau kelihatan salah. Kucondongkan tubuhku ke arah pria itu dengan tatapan kesal. "Makanya mas, istrinya diajak masuklah, masa dibiarin kayak patung toko gitu di sana! Dasar laki-laki!" aku masih sempat-sempatnya mengecam pria itu sebelum bergerak menjauhinya. Sebenarnya aku ingin meminta maaf karena telah menuduhnya, tapi entah mengapa setelah melihat tampangnya yang songong itu, aku jadi berubah pikiran. Rasanya aku justru semakin ingin melantunkan omelan-omelan lainnya tepat di telinganya. "Dasar lelaki menyebalkan!" tukasku pelan agar pendengaran pria itu tak mampu menjangkaunya. *** Nobel's POV "Ha? Istri? Apa aku kelihatan segitu tuanya di mata wanita itu? Perasaan tampangku masih sangat cocok menjadi anak SMA. Wanita itu memang aneh. Barangkali matanya sudah tertutup dengan air matanya saat di pemakaman tadi," gumam Nobel seiring punggung Delyna yang semakin menjauh darinya. "Entahlah, mungkin wanita itu terlalu banyak menangis," lanjut Nobel di dalam hatinya. Jujur saja, sedari tadi dirinya memang tengah memperhatikan Delyna. Meski saat di pemakaman wajah Delyna tak begitu jelas ia lihat, namun sekilas ia masih dapat mengenali gadis itu. Ditambah lagi mata sembab Delyna yang belum hilang sepenuhnya meski sudah beberapa jam sejak dari ia melihat gadis itu menangis. Dan karena terlalu serius memperhatikan Delyna, Nobel sampai tak menyadari jika Delyna melihat kelakuannya itu. Untung saja ada Farah, tetangganya yang kebetulan berada di supermarket tersebut. Jika tidak, Nobel tak tahu harus mengatakan apa pada gadis itu. "Wanita yang sama, tapi sifatnya kenapa bisa beda banget ya sama yang di pemakaman tadi?" ucap Nobel pelan seraya tersenyum kecil. "Beda apanya, Bel?" tanya Farah yang tengah duduk di sebelah Nobel. Setelah insiden tadi, Nobel memang sengaja mengajak Farah untuk pulang bersamanya. Selain untuk membuat Delyna yakin, hal itu juga menjadi salah satu bentuk terima kasih Nobel kepada Farah yang telah membantunya tanpa sengaja. "Ha? Oh, engga. Ini, setirnya kayak ada yang beda gitu. Tapi kayaknya perasaan aku aja," ucap Nobel sembari menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. "Jangan bilang kamu mau ninggalin aku di tengah jalan kayak gini setelah nyomot aku dari supermarket tadi," ucap Farah sambil mengangkat sebelah alisnya. Nobel terkekeh pelan. "Ya ampun Far, ya ga mungkinlah aku ninggalin kamu di tengah jalan gini. Ya walaupun mungkin bisa, tapi aku ga setega itu, kok. Lagi pula ini cuma masalah kecil doang, kok," Farah hanya ber-oh ria mendengar penjelasan dari Nobel. "Kenapa perempuan itu ada di sana, ya? Apa rumah dia ada di dekat sini juga?" pikir Nobel dalam benaknya. Sibuk dengan pikirannya tentang Delyna, tiba-tiba Farah berteriak hingga membuat Nobel tersadar dan langsung menginjak rem mobilnya secara mendadak. Napas Nobel dan Farah terdengar berkejaran. Farah membuka matanya secara perlahan. "Aku masih hidup, kan? Aku masih hidup, kan?" ucap Farah yang terdengar panik sembari menyentuh sekujur tubuhnya secara bergantian; seolah ingin memastikan bahwa ia masih berada di dunia. Nobel menoleh ke arah Farah yang justru malah mendapat pukulan keras dari Farah tepat di lengannya. "Bel, kamu gila, ya?" ucap Farah kesal. "Kamu ga kenapa-napa kan, Far?" Nobel mengabaikan perkataan Farah sebelumnya dan langsung memeriksa tangan serta kepala Farah; takut jika ada benturan di daerah tersebut. Nobel tahu bahwa ia pantas mendapat ucapan seperti itu dari Farah. Ia merasa bersalah karena bisa-bisanya ia mengabaikan keselamatan dirinya dan Farah hanya karena memikirkan seorang gadis yang tak jelas identitasnya itu. "Bentar Bel, kayaknya tadi kita nabrak sesuatu, deh. Bel, itu kita nabrak apaan, Bel?" tanya Farah dengan wajah panik. Nobel menggelengkan kepalanya. "Ya udah, mending kita turun aja dulu buat mastiin," ucap Nobel yang langsung diangguki oleh Farah. Ekspresi kaget bercampur panik jelas terlihat di wajah Nobel ketika ia melihat seorang perempuan paruh baya tengah meringis tepat di depan mobilnya. "Bel, ayo kita antar ke rumah sakit, buruan!" pekik Farah yang langsung sigap membukakan pintu mobil Nobel. "Bu, kita antar ke rumah sakit, ya?" ucap Nobel menawarkan. Yang ditanyai hanya mengangguk pelan. *** "Semoga aja ibu itu ga kenapa-napa ya, Bel? Aku takut banget kalau sampai ada luka dalam. Terus, gimana kalau keluarganya ga terima dan minta ganti rugi ke kita? Atau gimana kalau mereka nuntut kita? Kita bisa masuk penjara, Bel. Aku ga mau masuk penjara, Bel," ucap Farah yang kelewat panik. Bahkan mungkin beberapa menit ke depan gadis ini bisa menangis karena paniknya. "Husst... husst... udah Far, udah ya. Kamu mikirnya ga usah kejauhan gitu. Kita doain aja semoga si ibu ga kenapa-napa. Semoga aja bisa langsung pulang. Lagi pula tadi kan si ibu masih sadar dan dia juga bilang kalau dia itu cuma kaget, makanya dia bisa sampai jatuh," ucap Nobel yang berusaha menenangkan Farah. Kalau boleh jujur, telinga Nobel sebenarnya sangat panas mendengar celotehan Farah sedari tadi. Sejak tiba di rumah sakit, Farah tak bisa berhenti mengoceh. Ia terus saja mengutarakan skenario-skenario yang ada di kepalanya. "Ya tapi gimana kalau si ibu malah..." belum selesai bicara, Nobel sudah meletakkan jari telunjuknya tepat di depan bibir Farah agar gadis itu berhenti mengoceh. Ia juga tak lupa merangkul Farah; seolah tengah menyalurkan sebagian ketenangan yang ia miliki. "Kamu ini perempuan banget sih, Far, dikit-dikit panik, dikit-dikit panik, heran aku," ucap Nobel seraya menggelengkan kepalanya. "Dengerin aku, ya. Kita tuh sebagai manusia harus bisa mengendalikan pikiran kita. Kalau kamu panik dan mikir yang aneh-aneh, bisa-bisa hasilnya juga ga baik, Farah Nadia," ucap Nobel dengan penekanan di akhir kalimatnya, dan tak lupa sembari mengacak-acak rambut Farah. Farah menarik napasnya dalam-dalam. Ia berusaha mengambil alih ketakutan dan pikiran negatif yang sedari tadi menyerangnya. "Kamu benar, semua bakal baik-baik aja, iya kan, Bel?" ucapan itu mendapat anggukan mantap dari sang lawan bicara. Untung saja di dunia ini ada laki-laki, yang tenang. Ga kebayang gimana jadinya kalau dunia ini isinya wanita semua. Bisa kacau dunia ini karena isinya panik semua.Seperti biasa, aku memasuki kelas di menit-menit terakhir sebelum bel berbunyi. Kurang lebih selama satu bulan belakangan ini aku memang sengaja datang lebih lama agar aku tak begitu bosan di dalam kelas (dibaca: agar aku tak begitu merindukan Cito). Hari masih pagi, namun telingaku lagi-lagi harus mendengar bisik-bisik dari beberapa murid di sekolah ini, apalagi jika bukan tentang aku dan mendiang Cito. Aku takut jika stok kesabaranku menipis hanya karena mulut sampah mereka. "Cih! Mereka tidak ada di dalam perjalanan hubunganku dengan Cito, tapi bisa-bisanya mereka berbicara seolah mereka ada di sana, sialan!" gumamku dengan wajah kesal setelah aku menjatuhkan bokongku di bangkuku."Good morning, Delyna Alicia! Ada apa gerangan, sih? Masih pagi tapi muka kamu udah asam begitu," tukas Alia yang baru saja tiba di sebelahku. Aku mendengus, mencoba menetralisir kekesalanku. "Ya gimana aku ga kesal, Lia. Sudah hampir satu bulan Cito meninggalkan kita semua, tapi bisa-bisanya manusia-m
Aku menatap Alia dengan kening yang mengerut. Tak biasanya temanku ini diantar oleh seorang pria selain ayahnya, pikirku. Aku tak bisa melihat dengan jelas siapa pria yang tengah membonceng Alia karena pria itu mengenakan helm, ditambah lagi aku melihat mereka dari arah yang berseberangan. 'Apa diam-diam Alia sudah memiliki kekasih?'Aku bertanya pada diriku sendiri sambil terus melangkah memasuki gerbang sekolah. Dari postur tubuh pria itu, rasanya aku tak mengenalnya. Ah, entahlah, mungkin selama ini aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri hingga tak mengenali banyak orang di sekolah ini.***Kulihat wajah Alia seperti biasa saat memasuki kelas. 'Tak terlihat jika kupu-kupu tengah menghinggapi hatinya,' pikirku dalam hati. Aku menunggu Alia mengucapkan hal lain selain sapaan selamat pagi dan pertanyaan mengenai tugas sekolah, seperti biasa."Apa tidak ada yang ingin kau ceritakan padaku, Lia?" tanyaku setelah bosan menunggu Alia berterusterang.
Alia menjelaskan hari dimana ia hampir saja terlambat karena bangun kesiangan. Dan tiba-tiba saja seorang pria dengan seragam yang sama dengannya berhenti tepat di depan dirinya, dan dengan ramahnya menawarkan tumpangan -siapa lagi jika bukan pria bernama Nobel Danerson-Tak ada percakapan yang begitu berarti antara keduanya di sepanjang perjalanan, bahkan pagi ini pun tidak."Ya kuakui, sejak pandangan pertama aku memang sangat terpukau dengan ketampanannya, namun sepertinya aku bukan tipe wanita yang ia suka." Alia berucap seraya menopang dagunya."Kenapa kau bicara begitu?""Kalau aku memang tipenya, kurasa dia tidak akan membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa mengobrol denganku."Aku menatap geli ke arah Alia. Dia terdengar lebih melow dengan pembahasan kali ini. "Aku berharap semoga tak akan pernah bertemu lelaki itu secara personal."Alia tertawa kecil. "Kurasa kau akan menyesali ucapanmu yang ini, Delyna."***Jariku masih sibuk mengotak-at
Langit semakin gelap. Kuedarkan pandanganku ke sekitar, sepi. Hanya ada aku dan beberapa anak yang masih tertinggal di lingkungan sekolah. Ya, hanya anggota OSIS.Aku tersenyum tipis kala satu per satu temanku membunyikan klakson motor mereka saat melewatiku sebagai salam perpisahan."Sampai kapan aku harus menunggu di sini? Hari sudah semakin gelap."Aku kembali menatap ke atas. "Ya Tuhan, tolong bantu Delyn. Delyn harus segera pulang." Aku merapalkan doa tak kala keadaan semakin sepi dan hari yang semakin gelap.Biasanya aku akan pulang bersama dengan Alia karena arah rumah kami yang searah. Namun, karena tadi ada rapat OSIS, jadi Alia memutuskan untuk pulang lebih dulu.Ibu dan Bang Raymoon juga tengah berada di rumah tanteku -adik dari ibu- dan mungkin akan tiba di rumah larut malam. Dengan penerangan yang tak begitu cukup, aku melihat sebuah motor dengan pengendara berpakaian serba hitam berhenti tepat di depanku. Jantungku seketika berdetak tak karuan. Bahkan kini kakiku terasa
Aku mengidikkan bahuku acuh tak acuh. "Hm... ya karena aku mau aja," ucapku dengan santai. "Gak ada istilah turun di tengah jalan! Udah, buruan naik! Nanggung amat nganterin anak gadis orang cuma sampai di rumah kedua kayak gini." Ucap Nobel yang segera kembali menaiki motornya.Aku menggeleng dengan cepat. "Gak, ga usah! Aku mau turun di sini aja. Sudah, kau lebih baik pulang. Hah, udah malam juga, sana!" aku mengayun-ayunkan tanganku seperti gerakan mengusir."Justru karena ini udah malam, Del. Ibuku pernah bilang, kalau mau jemput atau ngantar anak gadis orang ga boleh di depan gang. Harus sampai ke rumah. Aku hanya ingin menuruti nasihat ibuku."Aku tak terenyuh sedikit pun meski Nobel sudah mengoceh panjang lebar."Ayolah, kumohon jangan terlalu batu, Delyna! Aku hanya ingin memastikan bahwa kau sampai di rumah dengan keadaan selamat." Nobel menghela napasnya kasar."Naik, Del, buru!" kali ini suara Nobel yang melembut membuatku sedikit goyah.Sungguh, mengapa Nobel bersikeras m
Aku menatap jijik pada pria di hadapanku ini. Mungkin kini aku benar-benar menyesali keputusanku berterima kasih secara langsung padanya. Terima kasih-ku harusnya kusimpan sendiri di dalam hatiku."Kumohon buang rasa percaya dirimu itu jika kau sedang berhadapan denganku! Aku hanya ingin mengatakan bahwa wajahmu sangat mirip dengan seseorang yang pernah kutemui di supermarket." Aku memutus tatapan begitu saja dari Nobel.Nobel tersenyum tipis. Sangat tipis. Bahkan senyum itu lebih tipis dari pada kesabaranku."Apa wajahku sungguh pasaran?""Kurasa begitu. Sudahlah, lebih baik kau segera pulang. Kurasa tak ada gunanya berdiskusi dengan pria aneh sepertimu! Dan satu lagi, kurasa pria yang kutemui kemarin tak lebih buruk darimu!" ucapku dengan tatapan sinis."Apa menurutmu yang barusan itu adalah bentuk diskusi, Del?"Aku mengidikkan bahuku acuh tak acuh. "Lebih cepat kau pulang, maka akan lebih baik! Pergilah!"Aku memutuskan untuk segera melan
Kak Niel menatapku tanpa berkedip ketika aku menceritakan beberapa drama yang belakangan ini kutonton."Kenapa, Kak?" aku menatap bingung ke arah Kak Niel. "Oh, apa wajahku belepotan?" dengan cepat aku menyeka bagian sekitar mulutku setelah meletakkan burger yang tadi kulahap sembari bercerita dengan Kak Niel.Kak Niel menggeleng pelan. "Aku senang kau sudah lebih baik, Delyna. Wajah ceriamu perlahan kembali," aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Kak Niel saat itu."Apa ada seseorang di b
"Emang mau ntar dihukum karena ga masuk kelas? Aku sih ogah!"Kulihat Nobel tersenyum dengan sebelah bibir yang terangkat. Indah sekali.Sebenarnya tak salah jika lelaki ini mengaku bahwa dirinya mempesona, karena memang benar begitu kenyataannya. Aku yakin, 95% orang yang bertemu dengan dia pasti setuju dengan pernyataan itu."Ternyata kau terlalu mengikuti peraturan, Delyna."Kurasa sepertinya ada yang salah dengan otaknya kala mengatakan hal itu. Bukankah sebagai pelajar kita memang harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan sekolah? Apalagi jika peraturan itu dibuat untuk kebaikan.Aku tak mengubris ucapan Nobel. Aku tetap berjalan menuju ruang kelasku."Delyna!" kudengar suara Nobel yang setengah berteriak memanggil namaku.Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang. Kudapati dirinya tersenyum menatapku."Nanti kuantar pulang, ya?"Kukerutkan keningku. 'Apa pula manusia ini tiba-tiba ingin mengantarku p
Bang Raymoon terlihat menghela napas kasar sebelum mengeluarkan suara. "Kenapa lagi sih, Bro?" sekarang giliran Nobel yang ditanyai; tepat setelah pria itu menghentikan langkahnya di sebelahku. "Tahu nih adek lo. Masa cuma karena gue ke dapur dia langsung ngomel-ngomel? Padahal kan yang nyuruh gue ngambil minum itu lo.""Engga, ga gitu, Bang." Ucapku, lalu beralih menatap Nobel. "Eh, Jamet, kalau cerita tuh jangan setengah-setengah gitu dong! Pengen banget ya dapat pembelaan dari Bang Ray?" ucapku kesal. "Delyna, kok manggil jamet-jamet gitu, sih? Walaupun kamu sama Nobel itu 1 angkatan, tapi dia itu lebih tua dari kamu, Dek. Minta maaf sekarang." Ucap Bang Raymoon menegur.Oh, lebih tua, ya?Aku menghela napas dalam-dalam. "Delyna minta maaf, ya, OM?" ucapku dengan penekanan pada panggilanku padanya. "Lah? Kok malah om, sih?" Nobel tampak mengerutkan keningnya. "Kan LEBIH TUA." Ucapku langsung dengan penekanan pada 2 kata terakhir. "Ya ga gitu juga dek manggilnya." Lagi-lagi Ban
Suara teriakan itu bersamaan dengan lonjakan kaget sesaat setelah orang itu mendapati diriku membuka pintu. Aku segera memukul lengannya. "Berisik, jamet! Ini manusia. Delyna ini, Delyna!" ucapku kesal. Mama dan Bang Raymoon menyusulku ke luar dengan langkah yang tergesa -yang kutahu pasti karena suara berisik dari salah satu penghuni bumi yang baru kutemui ini-. Keduanya bingung melihat ekspresi wajahku dan Nobel. "Dia, Ma. Dia yang teriak, bukan Delyna." Ucapku sambil menunjuk Nobel. Yang kutunjuk justru berjalan menghampiri mama dan dengan tidak terduganya dia malah mengulurkan tangan dan menyalam mama. Ya bukannya apa-apa ya, aku hanya kaget saja. Di situasi seperti ini, kenapa dia masih kepikiran dengan sopan santun yang seperti itu? Ah benar-benar tidak bisa kuselami. "Nobel minta maaf ya tante udah ganggu waktu tante dan bikin tante panik gini. Habisnya tadi Nobel kaget banget tiba-tiba dibukain pintu sama Delyna dengan kondisi mukanya yang begitu, Tante." Ucap Nobel den
Ia menyunggingkan bibirnya. "Sekarang aku belum tahu akan aku gunakan untuk apa kesempatan yang kau beri, tapi nanti akan aku pikirkan." Setelah mengatakan itu, kulihat Alia mengutak-atik layar ponselnya. Untuk apa, aku pun tidak tahu. "Ini." Ucapnya tiba-tiba. Semakin bingung saja aku dibuat anak ini. "Apa ini?" tanyaku saat melihat aplikasi recorder yang ia suguhkan padaku melalui ponselnya. "Sekarang, kau rekam saja suaramu." "Untuk apa? Kau tahu kan aku bukan penyanyi?" "Siapa pula yang memintamu untuk bernyanyi? Ini sebagai jaminan bahwa kau benar-benar akan melakukan apa yang aku mau setelah kau mendapat info tentang sahabatku." Kunaikkan sebelah alisnya. "Apa kau berencana untuk mengurasku?" "Kalau aku jahat, aku mungkin akan melakukannya." "Lalu mengapa harus dengan cara begini? Apa kau tidak percaya padaku?" Alia tampak membuang napas kasar. "Nobel, aku bukannya tidak percaya padamu-" Belum sempat Alia menyelesaikan ucapannya, kuulurkan tanganku menjentik tepat di
Di toko ice cream, terlihat di dalamnya dominan dipenuhi oleh gadis-gadis seusia Alia. Adapun laki-laki, kebanyakan bernasib sama denganku; hanya memenuhi keinginan gadis yang tengah bersama mereka."Alia, kenapa lama sekali? Ini hanya perkara ice cream, Alia." Ucapku dengan suara yang setengah berbisik. Kulihat Alia tak menanggapi ucapanku. Gadis itu justru asik memilih ice cream seraya berbincang tipis-tipis dengan gadis lain di sebelahnya. "Alia, ayo, cepatlah! Ini sudah jam berapa." Ucapku menuntut."Nobel, tolong sabar sebentar. Aku harus memastikan bahwa ice cream yang kupilih benar-benar tak membuatku kecewa nantinya. Aku harus memikirkannya dengan baik. Jadi kuharap, kau bersabarlah!""Ck! Dia berucap seperti itu seakan ia tengah memilih pasangan hidup, padahal ia hanya tengah berkutat dengan varian ice cream. Dasar wanita!"Aku mengomel pelan seraya berjalan kembali ke kursi tunggu. Dan kini, pria yang menunggu di tempat itu semakin bertambah saja. Apa perkara varian ice c
Ah! Mengapa dia selalu menyebalkan seperti ini?!Ucapannya membuat kerjaanku bertambah. Setelah ini, Alia pasti akan mencecarku dengan rentetan pertanyaan. "Dasar laki-laki aneh!" kesalku dengan geram. ***[Delyna, abang sudah di depan. Apa belnya masih lama?]Kubaca pesan dari kontak bernama 'Bang Ray yang diikuti emoticon bulan' melalui notifikasi ponselku.Kulihat jam tanganku sekejap. Masih ada kurang lebih 15 menit lagi menuju bel pulang sekolah. 'Apa Bang Raymoon tidak ke kampus hari ini?' pikirku sebelum membalas pesannya. Baru saja aku menyimpan kembali ponselku, Alia tiba-tiba menyikut lenganku. "Ntar mau ke toko ice cream dulu ga, Del? Dengar-dengar toko ice cream di simpang lampu merah depan baru aja ngeluarin varian baru dan lagi ngadain promo juga." Alia terlihat excited mengajakku. Aku berpikir sejenak. Tidak mungkin aku mengiyakan ajakan Alia, sedangkan Bang Raymoon sudah menungguku di depan. "Aduh... gimana ya, Lia, masalahnya Bang Ray sudah di depan. Udah nunggu
WOI!!! ARRRGHHH! APA-APAAN?!Senyuman lebar yang ditampilkan Nobel seolah memang sengaja untuk membuatku kesal. Dan senyuman itu ia tunjukkan bersamaan dengan lototan tajam yang kuberi dan pekikan terkejut dari Alia. Alia yang sedari tadi bertahan hanya sebagai penonton pada akhirnya angkat bicara. "What? Hei, sebentar sebentar, apa aku tidak salah dengar, nih? Kalian berdua sejak kapan resmi begini?"Aku menggelengkan kepalaku sembari memajukan kedua tanganku membentuk silang. "Ya ampun, Delyna Alicia, kenapa bisa berita bahagia seperti ini tak kau beritahu padaku? Apa aku tidak sepenting itu bagimu?"Mulai lagi drama manusia satu ini, pikirku.Belum selesai, Alia kembali berucap. "Padahal kalau aku tahu tentang ini, aku pasti tak akan mendukung Kak Niel untuk mendekatimu seperti tadi."Panjang lebar Alia berucap membuatku benar-benar ingin menenggelamkan anak itu ke kolam ikan sekolah.APA TIDAK BISA SEHARI SAJA MULUTNYA ITU DI-REM? SANGAT MEREPOTKANKU!Kulihat wajah jahil Nobel de
"Oh ini, Del, tadi aku singgah buat beliin cemilan." "Buat apa, Kak? Kan udah ada kantin." Aku dengan mulutku yang ringan berbicara seperti tak ada beban hingga membuat Alia yang mendengar jawabanku langsung mencondongkan dirinya ke arahku."Del, bisa ga sih kalau ada orang yang ngasih sesuatu walaupun cuma modus, kau cukup terima pemberiannya dan ucapkan terima kasih saja?"Aku mengerutkan keningku, namun tetap mengikuti ucapan Alia. "Terima kasih, Kak. Nanti akan kumakan bersama Alia."Ia tersenyum mengangguk. "Kalau begitu, aku kembali ke kelas dulu, ya, Del? Semoga kau menyukai pemberianku. Dan semoga harimu menyenangkan.""Hei, apa tidak ada ucapan untukku, Kak?" Alia sedikit berteriak karena yang diajak bicara sudah berjingkrak kegirangan menuju kelasnya. Meski semakin jauh, Kak Niel tetap menyahuti ucapan Alia. "Kali ini tidak, Alia."Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku melihat aksi Kak Niel dan Alia.Kurasa mereka lebih cocok jika bersanding bersama.Alia menaikkan dagun
"Nobel, tungguin, Bel!" aku sedikit berteriak setelah mendapatkan kesadaran penuh.Nobel dengan santainya tetap berjalan tanpa mempedulikan aku yang telah memanggil namanya berulang kali. "Ih! Sengaja, ya?" ucapku setelah berhasil meraih ujung jaket abu-abu yang tengah dikenakan Nobel. "Yang nyuruh bengong kayak tadi siapa, ha?"Aku merotasikan bola mataku dengan malas. "Makasih." Ucapku dengan sedikit tertahan. "Hah? Apa apa? Ga kedengaran, Del." Ucap Nobel seraya mencondongkan telinganya padaku."Ck! Ga usah kayak gitu, resek banget!""Ya emang ga kedengaran, Delyna. Suara jangkrik lebih gede noh ketimbang suara kau."Aku menghela napas dalam-dalam. "M-A-K-A-S-I-H ya, Nobel." Aku dengan sengaja mengeja kata 'makasih' dengan suara yang lebih lantang dibanding kata lainnya. Nobel terkekeh geli melihat senyum terpaksa yang kutampilkan."Gitu dong. Lagian bilang makasih doang apa susahnya, sih, Del? Heran banget.""Pengen banget ya diapresiasi begitu?"Nobel tak serta merta langsung
Kulihat sekilas Pak Gunawan menatap Nobel dengan kening yang mengerut. Kurasa Nobel telah masuk ke ranah yang salah. Aku akan sangat merasa bersalah kalau sampai Nobel terkena imbas dari kejadian ini. "Maaf, Mas, ada apa ini ya ribut-ribut? Ada yang bisa saya bantu?"Pria yang kini berhadapan dengan Pak Gunawan terlihat melemparkan senyuman meremehkan. "Anda manajer di restoran ini?" tanyanya dengan wajah angkuh kebanggaannya. Pak Gunawan mengangguk seraya tersenyum tipis. "Ada yang bisa saya bantu, Mas?""Sebaiknya Anda tanya saja pada karyawan Anda dan orang ini!" pria itu menunjuk Nobel dengan kasar. "Nyesal saya datang ke sini!" ucapnya lalu melenggang begitu saja dari hadapan kami.Dari wajahnya, masih sangat jelas terlihat amarah yang melekat pada dirinya. Menurutku, justru yang membuatnya semarah itu bukanlah karena kesalahan pesanan yang ia terima, tapi karena dia merasa tak mendapat pembelaan. Terutama saat Nobel menegurnya tadi. Kami menatap langkah besar pria itu yang se