Aku mengidikkan bahuku acuh tak acuh. "Hm... ya karena aku mau aja," ucapku dengan santai.
"Gak ada istilah turun di tengah jalan! Udah, buruan naik! Nanggung amat nganterin anak gadis orang cuma sampai di rumah kedua kayak gini." Ucap Nobel yang segera kembali menaiki motornya. Aku menggeleng dengan cepat. "Gak, ga usah! Aku mau turun di sini aja. Sudah, kau lebih baik pulang. Hah, udah malam juga, sana!" aku mengayun-ayunkan tanganku seperti gerakan mengusir. "Justru karena ini udah malam, Del. Ibuku pernah bilang, kalau mau jemput atau ngantar anak gadis orang ga boleh di depan gang. Harus sampai ke rumah. Aku hanya ingin menuruti nasihat ibuku." Aku tak terenyuh sedikit pun meski Nobel sudah mengoceh panjang lebar. "Ayolah, kumohon jangan terlalu batu, Delyna! Aku hanya ingin memastikan bahwa kau sampai di rumah dengan keadaan selamat." Nobel menghela napasnya kasar. "Naik, Del, buru!" kali ini suara Nobel yang melembut membuatku sedikit goyah. Sungguh, mengapa Nobel bersikeras menyuruhku naik? Tak ada cara lain, aku dengan cepat melangkah meninggalkan Nobel yang masih terpaku di atas motornya. Semoga saja Nobel memilih pulang. Kalau ditanya, bukannya aku tak suka jika ia mengantarku pulang sampai di depan rumah, tapi aku sungguh malas jika sampai ada tetangga julid yang melihat Nobel mengantarku saat sudah malam begini. Mungkin jika hari masih siang, aku tak akan ambil pusing. "Demi apa, kok dia malah ngikutin aku, sih?!" aku menggerutu sambil sesekali menoleh ke belakang. Kukira Nobel akan membiarkanku berjalan kaki, tapi justru yang kulihat saat ini Nobel malah mengikutiku; masih dengan sepeda motornya, tanpa menghidupkan mesin sepeda motor tersebut. "Ini?" tanya Nobel tepat saat aku menghentikan langkahku. "Rumahmu lebih megah dari yang kubayangkan." Sambung Nobel sembari merapikan rambutnya. Aku menaikkan sebelah alisku. "Apa kau sedang meremehkan tempat tinggalku?" 'Humm... ternyata benar, rumahnya tak begitu jauh dari rumahku.' batin Nobel. "Cih! Sudah kuduga!" ucapku kala melihat Nobel malah mematung. Nobel menggelengkan kepalanya. "Kata siapa?" "Intonasimu menggambarkan demikian." "Ck. Ternyata kau terlalu sensitif, Del," ucap Nobel seraya turun dari motornya. "Lagipula, timbang nganterin ke sini aja dramanya banyak amat!" lanjut Nobel tanpa mengindahkan keberadaanku di hadapannya. Aku memutar bola mataku dengan malas. "Udah ngomelnya? Ya udah, mending balik deh sana! Udah malam juga. Ga enak kalau dilihat tetangga. Ntar yang ada mereka nyinyirin keluargaku." Ucapku yang langsung mengibas tanganku seolah sedang mengusir pria berperawakan tinggi itu. Nobel memicingkan matanya sebelum akhirnya ia mengiyakan permintaanku. "Hei," aku memanggil Nobel yang baru saja memutar arah sepeda motornya. "Aku punya nama, Delyna!" Aku melihat ada jengah dalam nada suara Nobel kali ini. Nobel tiba-tiba mengulurkan tangan kanannya ke hadapanku. Meski tak mengerti, namun tetap saja kusambut tangan di depanku. "Nobel Danerson. Kalau kau lupa." Ucap Nobel dengan tatapan datarnya, lalu melepaskan jabatan tangannya. Aku berdehem sejenak. "Oh iya, itu... aku mau..." Entahlah, tiba-tiba saja suaraku seolah tertahan. "Humm... apa namanya... aku mau..." "Mau kubonceng lagi?" Nobel dengan cepat memotong ucapanku yang terdengar terbata-bata. Aku menggeleng. "Makasih." Ucapku secepat kilat, lalu segera memalingkan pandanganku ke sembarang arah. Kulirik sekilas senyum simpul yang terukir di wajah Nobel kala mendengar ucapanku. Dan sialnya, senyum sesederhana itu terlihat menawan. "Apaan? Ga dengar, Del! Ketutupan nih helm," Dasar! Jelas aku tahu bahwa itu adalah sebuah kebohongan dari pria itu. "Makasih." Suaraku terdengar sedikit berteriak. Kali ini aku mampu melihat senyuman yang memang sengaja disuguhkan pria ini kepadaku. Senyuman yang terasa lebih mewah dari sebelumnya. "Gitu loh, Del, yang jelas. Ngomong makasih doang kok susahnya kayak mau bayar tagihan pay-later." Ucap Nobel dengan suara tawa merdu yang tertangkap jelas di telingaku. Katakanlah jika kali ini aku memang naif. Berpura-pura mengutuki seseorang yang sebenarnya kulihat sebagai penolong. "Tapi bentar deh Bel, kok kayaknya semakin diperhatiin rasanya kau itu-" "Apa secara tidak langsung kau ingin memberitahuku bahwa kau diam-diam memperhatikanku?" Nobel memotong ucapanku begitu saja. "Oh! Atau jangan-jangan apa yang dikatakan oleh Alia itu benar? Delyna Alicia, apa pesonaku sungguh berhasil membuatmu terusik?"Aku menatap jijik pada pria di hadapanku ini. Mungkin kini aku benar-benar menyesali keputusanku berterima kasih secara langsung padanya. Terima kasih-ku harusnya kusimpan sendiri di dalam hatiku."Kumohon buang rasa percaya dirimu itu jika kau sedang berhadapan denganku! Aku hanya ingin mengatakan bahwa wajahmu sangat mirip dengan seseorang yang pernah kutemui di supermarket." Aku memutus tatapan begitu saja dari Nobel.Nobel tersenyum tipis. Sangat tipis. Bahkan senyum itu lebih tipis dari pada kesabaranku."Apa wajahku sungguh pasaran?""Kurasa begitu. Sudahlah, lebih baik kau segera pulang. Kurasa tak ada gunanya berdiskusi dengan pria aneh sepertimu! Dan satu lagi, kurasa pria yang kutemui kemarin tak lebih buruk darimu!" ucapku dengan tatapan sinis."Apa menurutmu yang barusan itu adalah bentuk diskusi, Del?"Aku mengidikkan bahuku acuh tak acuh. "Lebih cepat kau pulang, maka akan lebih baik! Pergilah!"Aku memutuskan untuk segera melan
Kak Niel menatapku tanpa berkedip ketika aku menceritakan beberapa drama yang belakangan ini kutonton."Kenapa, Kak?" aku menatap bingung ke arah Kak Niel. "Oh, apa wajahku belepotan?" dengan cepat aku menyeka bagian sekitar mulutku setelah meletakkan burger yang tadi kulahap sembari bercerita dengan Kak Niel.Kak Niel menggeleng pelan. "Aku senang kau sudah lebih baik, Delyna. Wajah ceriamu perlahan kembali," aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Kak Niel saat itu."Apa ada seseorang di b
"Emang mau ntar dihukum karena ga masuk kelas? Aku sih ogah!"Kulihat Nobel tersenyum dengan sebelah bibir yang terangkat. Indah sekali.Sebenarnya tak salah jika lelaki ini mengaku bahwa dirinya mempesona, karena memang benar begitu kenyataannya. Aku yakin, 95% orang yang bertemu dengan dia pasti setuju dengan pernyataan itu."Ternyata kau terlalu mengikuti peraturan, Delyna."Kurasa sepertinya ada yang salah dengan otaknya kala mengatakan hal itu. Bukankah sebagai pelajar kita memang harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan sekolah? Apalagi jika peraturan itu dibuat untuk kebaikan.Aku tak mengubris ucapan Nobel. Aku tetap berjalan menuju ruang kelasku."Delyna!" kudengar suara Nobel yang setengah berteriak memanggil namaku.Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang. Kudapati dirinya tersenyum menatapku."Nanti kuantar pulang, ya?"Kukerutkan keningku. 'Apa pula manusia ini tiba-tiba ingin mengantarku p
Alia menunjukkan deretan giginya dengan kikuk."Aku jadi curiga, apa jangan-jangan ada yang sedang kalian rencanakan di belakangku?" aku tetap menatap Alia dengan tatapan menyelidik.Alia membantah ucapanku dengan gerak tangan yang ia silangkan. "Tidak! Kau terlalu berpikiran buruk tentangku, kawan."Aku hanya berdecak mendengar pembelaannya.Tak ingin berdebat lebih lama lagi, aku dan Alia segera berjalan menuju gerbang sekolah. Sialnya, hari ini Alia dijemput lebih dulu oleh ayahnya, jadi aku harus berdiri sendirian di depan gerbang seperti ini."Ekhem!"Kudengar suara yang semakin dikenali indera pendengaranku menyapa dari belakang.'Nobel?' pekikku dalam hati."Buru-buru sekali. Kau sedang dikejar polisi?" aku gelagapan mendengar pertanyaan dari Nobel."Aissh! Kau sebenarnya manusia yang terbuat dari apa, sih? Kenapa kau selalu muncul di depanku dengan tiba-tiba?" tak bisa kusembunyikan raut terkejut dan kesalk
Aku buru-buru mengembalikan helm milik Nobel sesaat setelah aku turun dari sepeda motornya."Makasih." Aku dengan sengaja menatap dingin ke arah laki-laki yang berdiri di hadapanku ini.Kulihat Nobel menggelengkan kepalanya. "Mck! Senyum kek, ngobrol kek, apa kek, serius amat! Udah kayak jalan sama napi aja!" protes Nobel."Aku anaknya malas basa-basi, langsung balik aja ya?" aku dengan terang-terangan mengusir Nobel. "Astaga! Kau benar-benar tak tahu cara menghadapi tamu rupanya," ucap Nobel sambil berkacak pinggang. "Ya, kau tampaknya sangat paham dengan diriku. Jadi, tolong bantu aku untuk tetap menjadi diriku. Pulanglah, Bel! Aku malas menerima tamu, apalagi meladeninya!" aku tersenyum sinis. Baru saja Nobel ingin membalas ucapanku, tiba-tiba aku mendengar suara klop pintu, dan kudapati Bang Raymoon ke luar dari rumah. "Eh, Bro, kok bisa nyasar ke sini?" kudengar sapaan hangat dari Bang Raymoon kepada... Nobel. Bahkan keduanya berjabat tanga
"Bang, jenis yang ini kau temukan di mana, hah?! Sepertinya sangat berbeda dari teman-temanmu yang pernah kutemui." Tuturku pada Bang Raymoon sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Husst... ga sopan, dek. Lagian malam-malam gini kenapa malah mau main ke rumah Alia, sih? Emang urusannya ga bisa besok aja?"Bang Raymoon sedikit memicingkan matanya. "Terus kenapa pakai dandan segala? Emang urusan apa pakai dandan segala?" sambung Bang Raymoon. "Perlunya kan sekarang, bang. Masa perlu sekarang tapi ketemunya besok." Aku mencoba meluluhkan hati Bang Raymoon. "Ya tapi perlunya apa, dek?""Ya pokoknya ada, Bang. Tenang aja, ga ada aneh-aneh, kok," aku menjelaskan karena kutahu pasti ada ketakutan ke arah negatif dalam pikiran Bang Raymoon. "Ck! Kau hidup di bumi bagian mana, hah? Apakah kalian tidak mengenal aplikasi untuk bertukar pesan?""Bawel!"Aku meninggalkan kamar Bang Raymoon begitu saja. Kesal rasanya ketika orang lain lebih dominan menghakimiku."Gue susul, ya?"Raymo
Nobel melihat wajah lelah Delyna yang tengah menunggu taksi atau angkutan umum lainnya. Entah apa yang wanita itu pikirkan hingga mengambil keputusan seperti ini.'Cukup! Aku tak bisa membiarkannya luntang-lantung seperti ini saat sudah malam begini!' aku segera menyalakan mesin motorku dan melaju menghampiri Delyna.POV end. "Pulanglah bersamaku!" lagi-lagi kudengar dengan tiba-tiba suara laki-laki yang beberapa jam lalu sangat kuhindari.Sontak saja aku sedikit mundur dengan kehadirannya. "Kau ini apa-apaan, hah?! Kau... Kau kenapa bisa ada di sini? Aku kan sudah bilang kalau ---""Kau ini berisik sekali, ya! Kau mau menunggu sampai kapan? Hari sudah malam dan kurasa sebentar lagi hujan akan turun!" kudengar ada kekesalan pada setiap kata yang dilontarkan Nobel.Sebenarnya hatiku mengatakan agar mengikuti ucapan Nobel, namun sayangnya, egoku terlalu dominan untuk malam ini."Kau pulanglah lebih dulu. Aku akan menunggu sebentar lagi."Nobel turun dari sepeda motornya dan langsung m
"Astaga, Sabrin! Tatapanmu membuatku merasa seolah tengah melakukan tindak kejahatan, Sab!" aku memutar bola mataku malas. Sabrin tertawa mendengar ucapanku. "Sayangnya, orang yang kau cari belum datang, Del. Kurasa anak itu terlambat lagi. Ah, kau seperti tak tahu dia saja." Ucap Sabrin seraya berlalu dari hadapanku. Ah! Benar juga kata Sabrin. Nobel kan memang sering terlambat. Mungkin saat ini dia tengah sibuk dengan urusannya yang entah berada di bagian bumi mana.'Benar-benar tidak tahu aturan!' batinku. Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali ke kelas. Kalau rajin, mungkin saat jam istirahat aku akan kembali ke kelasnya untuk mengantar titipan dari ibu. "Loh? Kok bekalnya dibawa lagi, Del? Nobel ga mau nerima?" Alia terlihat penasaran. Aku menggeleng pelan. "Dia belum datang. Tuh anak kayaknya emang doyan dihukum, deh. Heran." ucapku sebelum menyimpan bekal yang kubawa tadi ke dalam laci. Alia ber-oh ria. "Tapi nih ya Del, bandel bandel gitu dia tuh tetap jadi idaman cewek-
Bang Raymoon terlihat menghela napas kasar sebelum mengeluarkan suara. "Kenapa lagi sih, Bro?" sekarang giliran Nobel yang ditanyai; tepat setelah pria itu menghentikan langkahnya di sebelahku. "Tahu nih adek lo. Masa cuma karena gue ke dapur dia langsung ngomel-ngomel? Padahal kan yang nyuruh gue ngambil minum itu lo.""Engga, ga gitu, Bang." Ucapku, lalu beralih menatap Nobel. "Eh, Jamet, kalau cerita tuh jangan setengah-setengah gitu dong! Pengen banget ya dapat pembelaan dari Bang Ray?" ucapku kesal. "Delyna, kok manggil jamet-jamet gitu, sih? Walaupun kamu sama Nobel itu 1 angkatan, tapi dia itu lebih tua dari kamu, Dek. Minta maaf sekarang." Ucap Bang Raymoon menegur.Oh, lebih tua, ya?Aku menghela napas dalam-dalam. "Delyna minta maaf, ya, OM?" ucapku dengan penekanan pada panggilanku padanya. "Lah? Kok malah om, sih?" Nobel tampak mengerutkan keningnya. "Kan LEBIH TUA." Ucapku langsung dengan penekanan pada 2 kata terakhir. "Ya ga gitu juga dek manggilnya." Lagi-lagi Ban
Suara teriakan itu bersamaan dengan lonjakan kaget sesaat setelah orang itu mendapati diriku membuka pintu. Aku segera memukul lengannya. "Berisik, jamet! Ini manusia. Delyna ini, Delyna!" ucapku kesal. Mama dan Bang Raymoon menyusulku ke luar dengan langkah yang tergesa -yang kutahu pasti karena suara berisik dari salah satu penghuni bumi yang baru kutemui ini-. Keduanya bingung melihat ekspresi wajahku dan Nobel. "Dia, Ma. Dia yang teriak, bukan Delyna." Ucapku sambil menunjuk Nobel. Yang kutunjuk justru berjalan menghampiri mama dan dengan tidak terduganya dia malah mengulurkan tangan dan menyalam mama. Ya bukannya apa-apa ya, aku hanya kaget saja. Di situasi seperti ini, kenapa dia masih kepikiran dengan sopan santun yang seperti itu? Ah benar-benar tidak bisa kuselami. "Nobel minta maaf ya tante udah ganggu waktu tante dan bikin tante panik gini. Habisnya tadi Nobel kaget banget tiba-tiba dibukain pintu sama Delyna dengan kondisi mukanya yang begitu, Tante." Ucap Nobel den
Ia menyunggingkan bibirnya. "Sekarang aku belum tahu akan aku gunakan untuk apa kesempatan yang kau beri, tapi nanti akan aku pikirkan." Setelah mengatakan itu, kulihat Alia mengutak-atik layar ponselnya. Untuk apa, aku pun tidak tahu. "Ini." Ucapnya tiba-tiba. Semakin bingung saja aku dibuat anak ini. "Apa ini?" tanyaku saat melihat aplikasi recorder yang ia suguhkan padaku melalui ponselnya. "Sekarang, kau rekam saja suaramu." "Untuk apa? Kau tahu kan aku bukan penyanyi?" "Siapa pula yang memintamu untuk bernyanyi? Ini sebagai jaminan bahwa kau benar-benar akan melakukan apa yang aku mau setelah kau mendapat info tentang sahabatku." Kunaikkan sebelah alisnya. "Apa kau berencana untuk mengurasku?" "Kalau aku jahat, aku mungkin akan melakukannya." "Lalu mengapa harus dengan cara begini? Apa kau tidak percaya padaku?" Alia tampak membuang napas kasar. "Nobel, aku bukannya tidak percaya padamu-" Belum sempat Alia menyelesaikan ucapannya, kuulurkan tanganku menjentik tepat di
Di toko ice cream, terlihat di dalamnya dominan dipenuhi oleh gadis-gadis seusia Alia. Adapun laki-laki, kebanyakan bernasib sama denganku; hanya memenuhi keinginan gadis yang tengah bersama mereka."Alia, kenapa lama sekali? Ini hanya perkara ice cream, Alia." Ucapku dengan suara yang setengah berbisik. Kulihat Alia tak menanggapi ucapanku. Gadis itu justru asik memilih ice cream seraya berbincang tipis-tipis dengan gadis lain di sebelahnya. "Alia, ayo, cepatlah! Ini sudah jam berapa." Ucapku menuntut."Nobel, tolong sabar sebentar. Aku harus memastikan bahwa ice cream yang kupilih benar-benar tak membuatku kecewa nantinya. Aku harus memikirkannya dengan baik. Jadi kuharap, kau bersabarlah!""Ck! Dia berucap seperti itu seakan ia tengah memilih pasangan hidup, padahal ia hanya tengah berkutat dengan varian ice cream. Dasar wanita!"Aku mengomel pelan seraya berjalan kembali ke kursi tunggu. Dan kini, pria yang menunggu di tempat itu semakin bertambah saja. Apa perkara varian ice c
Ah! Mengapa dia selalu menyebalkan seperti ini?!Ucapannya membuat kerjaanku bertambah. Setelah ini, Alia pasti akan mencecarku dengan rentetan pertanyaan. "Dasar laki-laki aneh!" kesalku dengan geram. ***[Delyna, abang sudah di depan. Apa belnya masih lama?]Kubaca pesan dari kontak bernama 'Bang Ray yang diikuti emoticon bulan' melalui notifikasi ponselku.Kulihat jam tanganku sekejap. Masih ada kurang lebih 15 menit lagi menuju bel pulang sekolah. 'Apa Bang Raymoon tidak ke kampus hari ini?' pikirku sebelum membalas pesannya. Baru saja aku menyimpan kembali ponselku, Alia tiba-tiba menyikut lenganku. "Ntar mau ke toko ice cream dulu ga, Del? Dengar-dengar toko ice cream di simpang lampu merah depan baru aja ngeluarin varian baru dan lagi ngadain promo juga." Alia terlihat excited mengajakku. Aku berpikir sejenak. Tidak mungkin aku mengiyakan ajakan Alia, sedangkan Bang Raymoon sudah menungguku di depan. "Aduh... gimana ya, Lia, masalahnya Bang Ray sudah di depan. Udah nunggu
WOI!!! ARRRGHHH! APA-APAAN?!Senyuman lebar yang ditampilkan Nobel seolah memang sengaja untuk membuatku kesal. Dan senyuman itu ia tunjukkan bersamaan dengan lototan tajam yang kuberi dan pekikan terkejut dari Alia. Alia yang sedari tadi bertahan hanya sebagai penonton pada akhirnya angkat bicara. "What? Hei, sebentar sebentar, apa aku tidak salah dengar, nih? Kalian berdua sejak kapan resmi begini?"Aku menggelengkan kepalaku sembari memajukan kedua tanganku membentuk silang. "Ya ampun, Delyna Alicia, kenapa bisa berita bahagia seperti ini tak kau beritahu padaku? Apa aku tidak sepenting itu bagimu?"Mulai lagi drama manusia satu ini, pikirku.Belum selesai, Alia kembali berucap. "Padahal kalau aku tahu tentang ini, aku pasti tak akan mendukung Kak Niel untuk mendekatimu seperti tadi."Panjang lebar Alia berucap membuatku benar-benar ingin menenggelamkan anak itu ke kolam ikan sekolah.APA TIDAK BISA SEHARI SAJA MULUTNYA ITU DI-REM? SANGAT MEREPOTKANKU!Kulihat wajah jahil Nobel de
"Oh ini, Del, tadi aku singgah buat beliin cemilan." "Buat apa, Kak? Kan udah ada kantin." Aku dengan mulutku yang ringan berbicara seperti tak ada beban hingga membuat Alia yang mendengar jawabanku langsung mencondongkan dirinya ke arahku."Del, bisa ga sih kalau ada orang yang ngasih sesuatu walaupun cuma modus, kau cukup terima pemberiannya dan ucapkan terima kasih saja?"Aku mengerutkan keningku, namun tetap mengikuti ucapan Alia. "Terima kasih, Kak. Nanti akan kumakan bersama Alia."Ia tersenyum mengangguk. "Kalau begitu, aku kembali ke kelas dulu, ya, Del? Semoga kau menyukai pemberianku. Dan semoga harimu menyenangkan.""Hei, apa tidak ada ucapan untukku, Kak?" Alia sedikit berteriak karena yang diajak bicara sudah berjingkrak kegirangan menuju kelasnya. Meski semakin jauh, Kak Niel tetap menyahuti ucapan Alia. "Kali ini tidak, Alia."Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku melihat aksi Kak Niel dan Alia.Kurasa mereka lebih cocok jika bersanding bersama.Alia menaikkan dagun
"Nobel, tungguin, Bel!" aku sedikit berteriak setelah mendapatkan kesadaran penuh.Nobel dengan santainya tetap berjalan tanpa mempedulikan aku yang telah memanggil namanya berulang kali. "Ih! Sengaja, ya?" ucapku setelah berhasil meraih ujung jaket abu-abu yang tengah dikenakan Nobel. "Yang nyuruh bengong kayak tadi siapa, ha?"Aku merotasikan bola mataku dengan malas. "Makasih." Ucapku dengan sedikit tertahan. "Hah? Apa apa? Ga kedengaran, Del." Ucap Nobel seraya mencondongkan telinganya padaku."Ck! Ga usah kayak gitu, resek banget!""Ya emang ga kedengaran, Delyna. Suara jangkrik lebih gede noh ketimbang suara kau."Aku menghela napas dalam-dalam. "M-A-K-A-S-I-H ya, Nobel." Aku dengan sengaja mengeja kata 'makasih' dengan suara yang lebih lantang dibanding kata lainnya. Nobel terkekeh geli melihat senyum terpaksa yang kutampilkan."Gitu dong. Lagian bilang makasih doang apa susahnya, sih, Del? Heran banget.""Pengen banget ya diapresiasi begitu?"Nobel tak serta merta langsung
Kulihat sekilas Pak Gunawan menatap Nobel dengan kening yang mengerut. Kurasa Nobel telah masuk ke ranah yang salah. Aku akan sangat merasa bersalah kalau sampai Nobel terkena imbas dari kejadian ini. "Maaf, Mas, ada apa ini ya ribut-ribut? Ada yang bisa saya bantu?"Pria yang kini berhadapan dengan Pak Gunawan terlihat melemparkan senyuman meremehkan. "Anda manajer di restoran ini?" tanyanya dengan wajah angkuh kebanggaannya. Pak Gunawan mengangguk seraya tersenyum tipis. "Ada yang bisa saya bantu, Mas?""Sebaiknya Anda tanya saja pada karyawan Anda dan orang ini!" pria itu menunjuk Nobel dengan kasar. "Nyesal saya datang ke sini!" ucapnya lalu melenggang begitu saja dari hadapan kami.Dari wajahnya, masih sangat jelas terlihat amarah yang melekat pada dirinya. Menurutku, justru yang membuatnya semarah itu bukanlah karena kesalahan pesanan yang ia terima, tapi karena dia merasa tak mendapat pembelaan. Terutama saat Nobel menegurnya tadi. Kami menatap langkah besar pria itu yang se