Alia menunjukkan deretan giginya dengan kikuk.
"Aku jadi curiga, apa jangan-jangan ada yang sedang kalian rencanakan di belakangku?" aku tetap menatap Alia dengan tatapan menyelidik.
Alia membantah ucapanku dengan gerak tangan yang ia silangkan. "Tidak! Kau terlalu berpikiran buruk tentangku, kawan."
Aku hanya berdecak mendengar pembelaannya.
Tak ingin berdebat lebih lama lagi, aku dan Alia segera berjalan menuju gerbang sekolah. Sialnya, hari ini Alia dijemput lebih dulu oleh ayahnya, jadi aku harus berdiri sendirian di depan gerbang seperti ini.
"Ekhem!"
Kudengar suara yang semakin dikenali indera pendengaranku menyapa dari belakang.
'Nobel?' pekikku dalam hati.
"Buru-buru sekali. Kau sedang dikejar polisi?" aku gelagapan mendengar pertanyaan dari Nobel.
"Aissh! Kau sebenarnya manusia yang terbuat dari apa, sih? Kenapa kau selalu muncul di depanku dengan tiba-tiba?" tak bisa kusembunyikan raut terkejut dan kesalk
Aku buru-buru mengembalikan helm milik Nobel sesaat setelah aku turun dari sepeda motornya."Makasih." Aku dengan sengaja menatap dingin ke arah laki-laki yang berdiri di hadapanku ini.Kulihat Nobel menggelengkan kepalanya. "Mck! Senyum kek, ngobrol kek, apa kek, serius amat! Udah kayak jalan sama napi aja!" protes Nobel."Aku anaknya malas basa-basi, langsung balik aja ya?" aku dengan terang-terangan mengusir Nobel. "Astaga! Kau benar-benar tak tahu cara menghadapi tamu rupanya," ucap Nobel sambil berkacak pinggang. "Ya, kau tampaknya sangat paham dengan diriku. Jadi, tolong bantu aku untuk tetap menjadi diriku. Pulanglah, Bel! Aku malas menerima tamu, apalagi meladeninya!" aku tersenyum sinis. Baru saja Nobel ingin membalas ucapanku, tiba-tiba aku mendengar suara klop pintu, dan kudapati Bang Raymoon ke luar dari rumah. "Eh, Bro, kok bisa nyasar ke sini?" kudengar sapaan hangat dari Bang Raymoon kepada... Nobel. Bahkan keduanya berjabat tanga
"Bang, jenis yang ini kau temukan di mana, hah?! Sepertinya sangat berbeda dari teman-temanmu yang pernah kutemui." Tuturku pada Bang Raymoon sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Husst... ga sopan, dek. Lagian malam-malam gini kenapa malah mau main ke rumah Alia, sih? Emang urusannya ga bisa besok aja?"Bang Raymoon sedikit memicingkan matanya. "Terus kenapa pakai dandan segala? Emang urusan apa pakai dandan segala?" sambung Bang Raymoon. "Perlunya kan sekarang, bang. Masa perlu sekarang tapi ketemunya besok." Aku mencoba meluluhkan hati Bang Raymoon. "Ya tapi perlunya apa, dek?""Ya pokoknya ada, Bang. Tenang aja, ga ada aneh-aneh, kok," aku menjelaskan karena kutahu pasti ada ketakutan ke arah negatif dalam pikiran Bang Raymoon. "Ck! Kau hidup di bumi bagian mana, hah? Apakah kalian tidak mengenal aplikasi untuk bertukar pesan?""Bawel!"Aku meninggalkan kamar Bang Raymoon begitu saja. Kesal rasanya ketika orang lain lebih dominan menghakimiku."Gue susul, ya?"Raymo
Nobel melihat wajah lelah Delyna yang tengah menunggu taksi atau angkutan umum lainnya. Entah apa yang wanita itu pikirkan hingga mengambil keputusan seperti ini.'Cukup! Aku tak bisa membiarkannya luntang-lantung seperti ini saat sudah malam begini!' aku segera menyalakan mesin motorku dan melaju menghampiri Delyna.POV end. "Pulanglah bersamaku!" lagi-lagi kudengar dengan tiba-tiba suara laki-laki yang beberapa jam lalu sangat kuhindari.Sontak saja aku sedikit mundur dengan kehadirannya. "Kau ini apa-apaan, hah?! Kau... Kau kenapa bisa ada di sini? Aku kan sudah bilang kalau ---""Kau ini berisik sekali, ya! Kau mau menunggu sampai kapan? Hari sudah malam dan kurasa sebentar lagi hujan akan turun!" kudengar ada kekesalan pada setiap kata yang dilontarkan Nobel.Sebenarnya hatiku mengatakan agar mengikuti ucapan Nobel, namun sayangnya, egoku terlalu dominan untuk malam ini."Kau pulanglah lebih dulu. Aku akan menunggu sebentar lagi."Nobel turun dari sepeda motornya dan langsung m
"Astaga, Sabrin! Tatapanmu membuatku merasa seolah tengah melakukan tindak kejahatan, Sab!" aku memutar bola mataku malas. Sabrin tertawa mendengar ucapanku. "Sayangnya, orang yang kau cari belum datang, Del. Kurasa anak itu terlambat lagi. Ah, kau seperti tak tahu dia saja." Ucap Sabrin seraya berlalu dari hadapanku. Ah! Benar juga kata Sabrin. Nobel kan memang sering terlambat. Mungkin saat ini dia tengah sibuk dengan urusannya yang entah berada di bagian bumi mana.'Benar-benar tidak tahu aturan!' batinku. Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali ke kelas. Kalau rajin, mungkin saat jam istirahat aku akan kembali ke kelasnya untuk mengantar titipan dari ibu. "Loh? Kok bekalnya dibawa lagi, Del? Nobel ga mau nerima?" Alia terlihat penasaran. Aku menggeleng pelan. "Dia belum datang. Tuh anak kayaknya emang doyan dihukum, deh. Heran." ucapku sebelum menyimpan bekal yang kubawa tadi ke dalam laci. Alia ber-oh ria. "Tapi nih ya Del, bandel bandel gitu dia tuh tetap jadi idaman cewek-
"Loh? Kok? Wah, kacau sih tuh anak! Ibuku sudah repot memasak untuknya, tapi dia dengan mudahnya menolak masakan ibuku? Dan apa ini, wajahmu muram begini, pasti dia memperlakukanmu tidak baik, kan?"Alia menggeleng dengan cepat. "Bukan, bukan seperti itu Delyna!"Aku meletakkan jari telunjukku di depan bibirku; yang mengisyaratkan agar Alia diam. "Kau tenanglah di sini Alia. Sudah cukup kau membela laki-laki itu di depanku! Aku akan memberi laki-laki itu pelajaran agar dia bisa menghargai orang lain!" aku terbawa emosi tanpa mendengarkan penjelasan Alia."Bukan seperti itu Delyna! Astaga! Kau salah paham, hei!"Aku tak mengindahkan ucapan Alia. Aku segera bangkit dari tempat duduk dan berjalan dengan penuh emosi menuju kelas Nobel."Di mana Nobel?" aku bertanya kepada kedua teman dekat Nobel yang kebetulan masih duduk di luar kelas. Togi dan Marius saling melemparkan tatapan bingung."Lah? Ada angin apa nih Del sampai nyariin Nobel segala?" Togi malah ba
"Delyna... Sayang.... " suara wanita yang paling kusayang terdengar mengisi seisi rumah.Aku mendongak ke belakang; melihat mamaku yang sedang sibuk dengan kulkas dan segala isinya. "Iya, Ma, kenapa?""Ini?"Mama menunjukkan bekal yang tadinya ia minta untuk kuberi kepada Nobel, namun ujungnya malah kusimpan di kulkas. "Oh.""Loh, kok cuma oh doang? Bekalnya kenapa dibawa pulang lagi, Sayang?""Orangnya ga masuk sekolah, Ma." Ucapku dengan santai. Mama menghampiriku yang tengah duduk sembari menonton televisi.Kurasakan belaian tangan mama di kepalaku. "Ga masuk kenapa?"Aku mengidikkan bahuku. "Katanya sih sakit. Ga tau deh benar atau engga." Aku masih sibuk dengan tontonan di hadapanku. Mama menggelengkan kepalanya kala mendengar ucapanku. "Kamu ini loh, Nobel udah baik begitu sama kamu, masa kamu ngomongnya begitu."Aku menatap mama. "Ya kan Delyn memang ga tahu dia beneran sakit apa engga, Ma."Kudengar mama berdehem beberapa saat. "Kalau gitu, gimana kalau kamu main aja ke ru
Deg. Kak Niel. "Astaga! Kak Niel bikin kaget aja. Kak Niel, ngapain di sini? Siapa yang sakit, Kak?"Kulihat senyuman terukir di wajah Kak Niel. "Maaf ya Del sudah membuatmu kaget. Ini, aku habis menjenguk temanku. Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini? Tante dan Bang Raymoon di mana?" tatapan Kak Niel menelusur ke sekitar; berusaha mencari keberadaan mama dan Bang Raymoon. "Huum... ini... apa... aku ke sini sendirian, Kak. Mau jenguk teman juga, Kak." Aku tersenyum kikuk sembari menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal."Teman?" Kak Niel menaikkan sebelah alisnya."Nobel." Jawabku singkat. "Oh, anak baru itu, ya? Aku baru tahu kalau ternyata kau sedekat itu dengannya. Menjenguk dia. SENDIRIAN."Ada penekanan di akhir kalimat Kak Niel yang terdengar jelas di telingaku.Kugelengkan kepalaku dengan cepat. "Lebih tepatnya aku disuruh oleh mama dan Bang Raymoon untuk menjenguknya, Kak."Meski tak punya kewajiban untuk menjelaskan, tapi entah mengapa aku melakukannya. "Oh, j
Aku berdecak sebal. Hampir saja aku melayangkan parsel itu pada Nobel. "Sebaiknya kau lebih serius kali ini!" ucapku memperingati. Terkekeh pelan, Nobel bergumam, "Hummm... sebenarnya tadi aku sudah makan buah, tapi kurasa aku ingin mencoba buah yang darimu."Nobel tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangannya ke arah buah yang kubawa tadi.Aku memilih buah apel untuk dimakan oleh Nobel. Kusodorkan buah apel tersebut pada laki-laki yang sedang dalam posisi setengah berbaring ini.Ia hanya menatap aku dan buah yang masih setia kusodorkan padanya secara bergantian. "Ini, ambillah!" ucapku kala melihat tak ada pergerakan yang Nobel lakukan. Bukannya menyambut, aku malah mendengar helaan napas yang sedikit kasar dari mulut Nobel. "Ck! Ternyata tingkat kepedulian dan kepekaanmu sungguh minim, Delyna."Aku mengerutkan keningku karena tak cukup mampu memahami maksud dari ucapan Nobel. Apa lagi isi otak manusia ini?!"Tanganku tak cukup bertenaga untuk memotong, atau bahkan sekedar mema
Bang Raymoon terlihat menghela napas kasar sebelum mengeluarkan suara. "Kenapa lagi sih, Bro?" sekarang giliran Nobel yang ditanyai; tepat setelah pria itu menghentikan langkahnya di sebelahku. "Tahu nih adek lo. Masa cuma karena gue ke dapur dia langsung ngomel-ngomel? Padahal kan yang nyuruh gue ngambil minum itu lo.""Engga, ga gitu, Bang." Ucapku, lalu beralih menatap Nobel. "Eh, Jamet, kalau cerita tuh jangan setengah-setengah gitu dong! Pengen banget ya dapat pembelaan dari Bang Ray?" ucapku kesal. "Delyna, kok manggil jamet-jamet gitu, sih? Walaupun kamu sama Nobel itu 1 angkatan, tapi dia itu lebih tua dari kamu, Dek. Minta maaf sekarang." Ucap Bang Raymoon menegur.Oh, lebih tua, ya?Aku menghela napas dalam-dalam. "Delyna minta maaf, ya, OM?" ucapku dengan penekanan pada panggilanku padanya. "Lah? Kok malah om, sih?" Nobel tampak mengerutkan keningnya. "Kan LEBIH TUA." Ucapku langsung dengan penekanan pada 2 kata terakhir. "Ya ga gitu juga dek manggilnya." Lagi-lagi Ban
Suara teriakan itu bersamaan dengan lonjakan kaget sesaat setelah orang itu mendapati diriku membuka pintu. Aku segera memukul lengannya. "Berisik, jamet! Ini manusia. Delyna ini, Delyna!" ucapku kesal. Mama dan Bang Raymoon menyusulku ke luar dengan langkah yang tergesa -yang kutahu pasti karena suara berisik dari salah satu penghuni bumi yang baru kutemui ini-. Keduanya bingung melihat ekspresi wajahku dan Nobel. "Dia, Ma. Dia yang teriak, bukan Delyna." Ucapku sambil menunjuk Nobel. Yang kutunjuk justru berjalan menghampiri mama dan dengan tidak terduganya dia malah mengulurkan tangan dan menyalam mama. Ya bukannya apa-apa ya, aku hanya kaget saja. Di situasi seperti ini, kenapa dia masih kepikiran dengan sopan santun yang seperti itu? Ah benar-benar tidak bisa kuselami. "Nobel minta maaf ya tante udah ganggu waktu tante dan bikin tante panik gini. Habisnya tadi Nobel kaget banget tiba-tiba dibukain pintu sama Delyna dengan kondisi mukanya yang begitu, Tante." Ucap Nobel den
Ia menyunggingkan bibirnya. "Sekarang aku belum tahu akan aku gunakan untuk apa kesempatan yang kau beri, tapi nanti akan aku pikirkan." Setelah mengatakan itu, kulihat Alia mengutak-atik layar ponselnya. Untuk apa, aku pun tidak tahu. "Ini." Ucapnya tiba-tiba. Semakin bingung saja aku dibuat anak ini. "Apa ini?" tanyaku saat melihat aplikasi recorder yang ia suguhkan padaku melalui ponselnya. "Sekarang, kau rekam saja suaramu." "Untuk apa? Kau tahu kan aku bukan penyanyi?" "Siapa pula yang memintamu untuk bernyanyi? Ini sebagai jaminan bahwa kau benar-benar akan melakukan apa yang aku mau setelah kau mendapat info tentang sahabatku." Kunaikkan sebelah alisnya. "Apa kau berencana untuk mengurasku?" "Kalau aku jahat, aku mungkin akan melakukannya." "Lalu mengapa harus dengan cara begini? Apa kau tidak percaya padaku?" Alia tampak membuang napas kasar. "Nobel, aku bukannya tidak percaya padamu-" Belum sempat Alia menyelesaikan ucapannya, kuulurkan tanganku menjentik tepat di
Di toko ice cream, terlihat di dalamnya dominan dipenuhi oleh gadis-gadis seusia Alia. Adapun laki-laki, kebanyakan bernasib sama denganku; hanya memenuhi keinginan gadis yang tengah bersama mereka."Alia, kenapa lama sekali? Ini hanya perkara ice cream, Alia." Ucapku dengan suara yang setengah berbisik. Kulihat Alia tak menanggapi ucapanku. Gadis itu justru asik memilih ice cream seraya berbincang tipis-tipis dengan gadis lain di sebelahnya. "Alia, ayo, cepatlah! Ini sudah jam berapa." Ucapku menuntut."Nobel, tolong sabar sebentar. Aku harus memastikan bahwa ice cream yang kupilih benar-benar tak membuatku kecewa nantinya. Aku harus memikirkannya dengan baik. Jadi kuharap, kau bersabarlah!""Ck! Dia berucap seperti itu seakan ia tengah memilih pasangan hidup, padahal ia hanya tengah berkutat dengan varian ice cream. Dasar wanita!"Aku mengomel pelan seraya berjalan kembali ke kursi tunggu. Dan kini, pria yang menunggu di tempat itu semakin bertambah saja. Apa perkara varian ice c
Ah! Mengapa dia selalu menyebalkan seperti ini?!Ucapannya membuat kerjaanku bertambah. Setelah ini, Alia pasti akan mencecarku dengan rentetan pertanyaan. "Dasar laki-laki aneh!" kesalku dengan geram. ***[Delyna, abang sudah di depan. Apa belnya masih lama?]Kubaca pesan dari kontak bernama 'Bang Ray yang diikuti emoticon bulan' melalui notifikasi ponselku.Kulihat jam tanganku sekejap. Masih ada kurang lebih 15 menit lagi menuju bel pulang sekolah. 'Apa Bang Raymoon tidak ke kampus hari ini?' pikirku sebelum membalas pesannya. Baru saja aku menyimpan kembali ponselku, Alia tiba-tiba menyikut lenganku. "Ntar mau ke toko ice cream dulu ga, Del? Dengar-dengar toko ice cream di simpang lampu merah depan baru aja ngeluarin varian baru dan lagi ngadain promo juga." Alia terlihat excited mengajakku. Aku berpikir sejenak. Tidak mungkin aku mengiyakan ajakan Alia, sedangkan Bang Raymoon sudah menungguku di depan. "Aduh... gimana ya, Lia, masalahnya Bang Ray sudah di depan. Udah nunggu
WOI!!! ARRRGHHH! APA-APAAN?!Senyuman lebar yang ditampilkan Nobel seolah memang sengaja untuk membuatku kesal. Dan senyuman itu ia tunjukkan bersamaan dengan lototan tajam yang kuberi dan pekikan terkejut dari Alia. Alia yang sedari tadi bertahan hanya sebagai penonton pada akhirnya angkat bicara. "What? Hei, sebentar sebentar, apa aku tidak salah dengar, nih? Kalian berdua sejak kapan resmi begini?"Aku menggelengkan kepalaku sembari memajukan kedua tanganku membentuk silang. "Ya ampun, Delyna Alicia, kenapa bisa berita bahagia seperti ini tak kau beritahu padaku? Apa aku tidak sepenting itu bagimu?"Mulai lagi drama manusia satu ini, pikirku.Belum selesai, Alia kembali berucap. "Padahal kalau aku tahu tentang ini, aku pasti tak akan mendukung Kak Niel untuk mendekatimu seperti tadi."Panjang lebar Alia berucap membuatku benar-benar ingin menenggelamkan anak itu ke kolam ikan sekolah.APA TIDAK BISA SEHARI SAJA MULUTNYA ITU DI-REM? SANGAT MEREPOTKANKU!Kulihat wajah jahil Nobel de
"Oh ini, Del, tadi aku singgah buat beliin cemilan." "Buat apa, Kak? Kan udah ada kantin." Aku dengan mulutku yang ringan berbicara seperti tak ada beban hingga membuat Alia yang mendengar jawabanku langsung mencondongkan dirinya ke arahku."Del, bisa ga sih kalau ada orang yang ngasih sesuatu walaupun cuma modus, kau cukup terima pemberiannya dan ucapkan terima kasih saja?"Aku mengerutkan keningku, namun tetap mengikuti ucapan Alia. "Terima kasih, Kak. Nanti akan kumakan bersama Alia."Ia tersenyum mengangguk. "Kalau begitu, aku kembali ke kelas dulu, ya, Del? Semoga kau menyukai pemberianku. Dan semoga harimu menyenangkan.""Hei, apa tidak ada ucapan untukku, Kak?" Alia sedikit berteriak karena yang diajak bicara sudah berjingkrak kegirangan menuju kelasnya. Meski semakin jauh, Kak Niel tetap menyahuti ucapan Alia. "Kali ini tidak, Alia."Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku melihat aksi Kak Niel dan Alia.Kurasa mereka lebih cocok jika bersanding bersama.Alia menaikkan dagun
"Nobel, tungguin, Bel!" aku sedikit berteriak setelah mendapatkan kesadaran penuh.Nobel dengan santainya tetap berjalan tanpa mempedulikan aku yang telah memanggil namanya berulang kali. "Ih! Sengaja, ya?" ucapku setelah berhasil meraih ujung jaket abu-abu yang tengah dikenakan Nobel. "Yang nyuruh bengong kayak tadi siapa, ha?"Aku merotasikan bola mataku dengan malas. "Makasih." Ucapku dengan sedikit tertahan. "Hah? Apa apa? Ga kedengaran, Del." Ucap Nobel seraya mencondongkan telinganya padaku."Ck! Ga usah kayak gitu, resek banget!""Ya emang ga kedengaran, Delyna. Suara jangkrik lebih gede noh ketimbang suara kau."Aku menghela napas dalam-dalam. "M-A-K-A-S-I-H ya, Nobel." Aku dengan sengaja mengeja kata 'makasih' dengan suara yang lebih lantang dibanding kata lainnya. Nobel terkekeh geli melihat senyum terpaksa yang kutampilkan."Gitu dong. Lagian bilang makasih doang apa susahnya, sih, Del? Heran banget.""Pengen banget ya diapresiasi begitu?"Nobel tak serta merta langsung
Kulihat sekilas Pak Gunawan menatap Nobel dengan kening yang mengerut. Kurasa Nobel telah masuk ke ranah yang salah. Aku akan sangat merasa bersalah kalau sampai Nobel terkena imbas dari kejadian ini. "Maaf, Mas, ada apa ini ya ribut-ribut? Ada yang bisa saya bantu?"Pria yang kini berhadapan dengan Pak Gunawan terlihat melemparkan senyuman meremehkan. "Anda manajer di restoran ini?" tanyanya dengan wajah angkuh kebanggaannya. Pak Gunawan mengangguk seraya tersenyum tipis. "Ada yang bisa saya bantu, Mas?""Sebaiknya Anda tanya saja pada karyawan Anda dan orang ini!" pria itu menunjuk Nobel dengan kasar. "Nyesal saya datang ke sini!" ucapnya lalu melenggang begitu saja dari hadapan kami.Dari wajahnya, masih sangat jelas terlihat amarah yang melekat pada dirinya. Menurutku, justru yang membuatnya semarah itu bukanlah karena kesalahan pesanan yang ia terima, tapi karena dia merasa tak mendapat pembelaan. Terutama saat Nobel menegurnya tadi. Kami menatap langkah besar pria itu yang se