Hari demi hari berhasil aku dan keluargaku lewati. Bohong jika tak ada yang berubah. Ruang keluarga yang sepi, meja makan yang tak sehangat biasanya, senyum ibu yang terlihat rapuh, dan cibiran tetangga yang mengharuskan aku, mama, dan Bang Raymoon menutup telinga rapat-rapat.
*** "Ibu-ibu sudah dengar belum cerita tentang Bu Ida? Suaminya kepergok selingkuh sama janda kampung sebelah," berita yang disampaikan Bu Aro pagi ini terdengar sedikit panas di tengah-tengah kegiatan memilih bahan masakan. Ibu-ibu lainnya menyimak dengan serius, "Ah yang benar Bu Aro? Masa iya Pak Joko selingkuh? Kelihatannya Pak Joko dan Bu Ida mesra-mesra aja tuh," timpal yang lainnya. "Iya, saya juga ga percaya ah. Pak Joko itu kelihatan sayang banget kok sama Bu Ida. Kayaknya Bu Aro dapat berita bohong itu," ucap lainnya yang masih belum percaya. "Itukan kelihatannya doang. Bisa jadi mesranya Pak Joko selama ini justru buat nutupin kelakuan busuknya dia," ucap Bu Aro. Tak jauh dari perkumpulan ibu-ibu tersebut, tampak Helda yang berjalan mendekati kerumunan tersebut. Sebenarnya Helda sangat malas jika harus bertemu dengan tetangga-tetangganya itu. Ia tahu bahwa isi dari perkumpulan itu hanya akan menceritai keburukan orang lain. Sangat berbeda dengan orang-orang di komplek rumahnya dulu. Ya, beberapa hari setelah kepergian suaminya, Helda dan keluarganya memilih untuk menjual rumah mereka dan membeli rumah baru di tempat baru. Ia tak ingin jika mereka berlarut dengan kenangan di rumah lamanya, terutama Delyn. Helda yang awalnya bermaksud agar Raymoon dan Delyn bisa bergaul dengan banyak orang di lingkungan barunya, ternyata salah. Lingkungannya yang sekarang justru membuat mental mereka sedikit terganggu. Mungkin ini adalah salah satu keputusan yang sangat disesali oleh Helda sepanjang hidupnya. "Zaman sekarang mah memang harus hati-hati, Bu. Harus bisa jaga suami masing-masing. Noh, di TV aja banyak artis yang pada selingkuh," ucap seorang ibu lainnya dengan wajah asamnya. Beberapa ibu-ibu di situ mengangguk dengan cepat. "Benar banget, Bu, kita lengah sedikit aja suami kita bisa hilang diambil pelakor. Maklum, sekarang ini kan banyak yang mau hidup mewah tanpa repot-repot kerja keras," ucap ibu-ibu lainnya sebagai tanggapan atas pernyataan sebelumnya. "Sekarang tuh tampang benar-benar ga menjamin sifat seseorang. Punya muka polos juga bukan berarti ga bisa jadi pelakor," ucap Bu Aro dengan penekanan di akhir kalimatnya... dan melirik Helda dengan senyum sinis. Ya, begitulah kira-kira perlakuan yang didapat Helda di lingkungan barunya. Memang tak semua, tapi itu cukup membuat Helda dan kedua anaknya malas berinteraksi atau sekedar basa-basi dengan tetangga mereka. Beberapa ibu-ibu julid menganggap kehadiran Helda dan keluarganya menjadi ancaman bagi keutuhan rumah tangga mereka. Meskipun Helda sama sekali tak melakukan hal menjijikkan seperti itu, tapi parasnya yang cantik dan lembut mampu membuat yang lain kepanasan. Ditambah lagi status single parent yang disandang oleh Helda. "Lah, yang mukanya polos aja gak bisa ditebak sifatnya, apalagi yang jelek ya bu, kayak ibu," ucap Kang Suep, yang tak lain adalah tukang sayur keliling. Pantas saja Kang Suep menjadi penjual sayur keliling, ternyata mulutnya tak kalah berbisa dari ibu-ibu lainnya. "Udahlah, Kang Suep ga usah ikut rumpi sama kita," ucap Bu Aro dengan sinis. "Kelihatannya Kang Suep ini mau ngambil bini muda lagi, nih. Asal jangan yang janda aja ya kang," timpal seorang lainnya yang diikuti gelak tawa dari rekan-rekannya. "Ya ampun bu, siapa juga yang mau nyari bini baru? Boro-boro mikirin bini baru, bini sebiji di rumah aja udah bikin kepala saya pusing karena ngomel-ngomel mulu, apalagi nambah lagi," ucap Kang Suep sembari mengusap wajahnya dengan kain yang tergantung di lehernya. "Ya tapi kalau bininya kaya Bu Helda sih saya mau aja. Ikhlas saya, ya Bu?" lanjut Kang Suep sembari tersenyum genit menatap Helda. Suara sorakan dari para pelanggannya langsung membuat Kang Suep tertawa kikuk. "Ini kang, berapa?" Helda buru-buru menyodorkan belanjaannya. Ia sudah sangat risih dengan ucapan sekelilingnya. Ia ingin buru-buru pulang. Ketenangan yang ia dan anak-anaknya harapkan tak ia dapatkan di tempat ini. "Buru-buru amat bu," goda Kang suep sembari menghitung total belanjaan Helda. Jika bukan karena jarak rumah dan pasar yang lumayan jauh, sungguh Helda tak akan pernah berbelanja di situ. Belanjaannya tak seberapa, namun kesabarannya benar-benar diuji ketika berhadapan dengan ibu-ibu julid itu. *** "Del, ntar aku sama Sena mau ke toko buku nih, kamu mau ikut ga?" tanya Alia, teman semejaku. "Hemmm... kayaknya ga dulu deh, Lia. Aku mau langsung balik ke rumah aja," ucapku sembari memasukkan buku-bukuku ke dalam tas. Kulihat Alia tersenyum sembari menatapku dengan dalam. Sejak kepergian Cito dan papa, aku sering memergoki Alia menatapku dengan tatapan yang aneh, entah tatapan iba atau apa, aku tidak mengerti. Tapi yang jelas aku tidak begitu menyukai tatapan itu. "Ck... Lia, harus berapa kali lagi sih aku bilang ke kamu kalau aku ga suka ditatap seperti itu?" ucapku tanpa menatap lawan bicaraku ini. Alia tersentak. Aku melirik gelagat Alia yang langsung membuang pandangannya ke sembarang arah setelah mendengar ucapanku. "Del, kamu nganggap aku sahabatmu, kan?" tanya Alia tiba-tiba. Aku mengangguk menatapnya. "Kalau kamu mau cerita, aku siap buat dengerin kamu. Kamu ga sendirian, kok," Alia yang biasanya sangat cerewat ternyata bisa mengeluarkan kata-kata manis begitu, pikirku. "Lia, makasih banyak ya. Tapi aku baik-baik aja, kok. Justru sekarang aku ngerasa lebih kuat. Nih, kamu lihat aja, aku udah ga manja kayak dulu, kan?" ucapku sembari menunjukkan sebuah brosur berisi lowongan kerja sebagai pelayan. Tentu aku bukan anak dari keluarga yang begitu miskin, yang setelah kepergian sang ayah langsung hidup luntang-lantung, bukan. Aku hanya tak ingin jika terus-terusan bersantai menikmati hasil kerja keras orangtuaku. Aku juga ingin merasakan lelahnya bekerja. Aku ingin merasakan apa yang dirasakan orangtuaku, agar aku bisa menghargai rezeki apapun yang kuperoleh, bahkan yang terkecil sekalipun. Alia menyambar brosur di tanganku. "Ha? Kamu mau lamar kerja jadi pelayan, Del?" suara pekik kaget Alia membuatku sedikit tertawa. "Lebih tepatnya sudah diterima, Lia," ucapku dengan bangga. "Del, kamu yakin sama keputusan kamu ini? Gimana dengan tante dan bang Raymoon? Apa mereka tahu kalau kamu bekerja? Apa mereka ngizinin?" tanya Alia beruntun. Aku menggeleng dengan santai. "Kayaknya aku ga bakal ngasih tahu mama dan Bang Raymoon, deh. Kamu tahu sendirilah gimana mereka. Ntar yang ada aku bakal diomelin, apalagi Bang Raymoon," "Emangnya kamu ga cukup lelah dengan omongan tetanggamu sampai kamu harus melelahkan diri lagi dengan kerja paruh waktu gini?" tanya Alia dengan wajah serius. "Hallah, kalau mau ngikutin maunya tetangga mah ga bakalan ada habisnya, Lia. Meskipun baru beberapa minggu, tapi aku sudah cukup kebal kok dengan cibiran mereka. Mereka hanya salah paham tentang keluargaku," "Dan baiknya, justru karena hal-hal yang ga sesuai dengan mauku, aku bisa lebih kuat," lanjutku dengan senyum tipis di bibirku. Jujur saja, rasanya memang lumayan berat, tapi mau bagaimana lagi? Hidup kan harus terus berjalan. "Aku makin kagum sama kamu, Del. Di tengah pahit yang kamu rasain, kamu tetap bisa bersyukur. Kalau aku ada di posisi kamu, aku belum tentu bisa ngejalanin itu sebaik kamu," "Nah, makanya kamu harus lebih banyak syukurnya. Kamu juga harus bisa manfaatin waktu yang kamu punya bareng keluarga dan orang-orang yang kamu sayang," Alia mengangguk sembari menunjukkan deretan giginya.Tadinya aku ingin naik angkutan umum dan segera pulang ke rumah sebelum jadwal masuk kerjaku tiba. Tapi entah mengapa aku tiba-tiba merindukan papa dan Cito. Bukan berarti di hari sebelumnya aku tak merindukan mereka, tapi hari ini rasa rinduku semakin menjadi-jadi. Kuurungkan niatku untuk segera pulang. Aku menaiki angkutan umum yang berbeda dari biasanya. Ya, tujuanku adalah mengunjungi makam kedua pria yang sangat kusayangi, papa dan Cito. Langkahku melemah ketika tiba di pemakaman. Kuedarkan pandanganku ke sekitar. Aku benci mengapa aku harus ada di tempat ini. Tempat yang tak pernah kusangka akan menjadi tempat di kala aku merindukan papa dan Cito. Biasanya ketika aku merindukan papa yang sedang berada di luar kota atau merindukan Cito yang tengah sibuk dengan kegiatan OSIS, aku hanya akan menunggu sampai mereka menghampiriku, tapi sekarang... "Semoga aku kuat," ucapku dalam hati. Rumah baru papa tak begitu jauh dengan Cito, jadi itu memudahkanku untuk mengunjungi kedua
"Mas, saya perhatiin dari tadi mas ini ngelihatin saya terus, emangnya ada yang salah ya dari saya?" tanyaku dengan suara yang kubuat sejudes mungkin.Sebenarnya aku tak bermaksud berkata selantang itu, apalagi mengingat tempat kami berada saat ini. Tapi aku ingin dia tahu bahwa apa yang ia lakukan tak sopan, dan membuatku tak nyaman. Pria itu justru tampak mengerutkan keningnya setelah melangkah mundur 2 langkah secara perlahan."Ngomong sama saya, Mbak?" tanya pria itu dengan wajah datar yang berhasil membuatku tak menyesali perbuatanku barusan. "Lah, jelas-jelas saya berdiri di depan Mas, masa iya saya ngomong sama tembok!" ucapku kesal dengan pertanyaan pria itu. Iya, pria yang berhadapan dengan Delyna saat ini adalah Nobel Danerson. Pria yang juga tadi siang melihatnya di pemakaman.Nobel tertawa seolah meremehkan omelan gadis di depannya ini."Anda memang terlahir begitu percaya diri, ya?" sontak saja ucapan pria itu membuatku semakin jengkel."Enak saja dia mengatakan sepert
Seperti biasa, aku memasuki kelas di menit-menit terakhir sebelum bel berbunyi. Kurang lebih selama satu bulan belakangan ini aku memang sengaja datang lebih lama agar aku tak begitu bosan di dalam kelas (dibaca: agar aku tak begitu merindukan Cito). Hari masih pagi, namun telingaku lagi-lagi harus mendengar bisik-bisik dari beberapa murid di sekolah ini, apalagi jika bukan tentang aku dan mendiang Cito. Aku takut jika stok kesabaranku menipis hanya karena mulut sampah mereka. "Cih! Mereka tidak ada di dalam perjalanan hubunganku dengan Cito, tapi bisa-bisanya mereka berbicara seolah mereka ada di sana, sialan!" gumamku dengan wajah kesal setelah aku menjatuhkan bokongku di bangkuku."Good morning, Delyna Alicia! Ada apa gerangan, sih? Masih pagi tapi muka kamu udah asam begitu," tukas Alia yang baru saja tiba di sebelahku. Aku mendengus, mencoba menetralisir kekesalanku. "Ya gimana aku ga kesal, Lia. Sudah hampir satu bulan Cito meninggalkan kita semua, tapi bisa-bisanya manusia-m
Aku menatap Alia dengan kening yang mengerut. Tak biasanya temanku ini diantar oleh seorang pria selain ayahnya, pikirku. Aku tak bisa melihat dengan jelas siapa pria yang tengah membonceng Alia karena pria itu mengenakan helm, ditambah lagi aku melihat mereka dari arah yang berseberangan. 'Apa diam-diam Alia sudah memiliki kekasih?'Aku bertanya pada diriku sendiri sambil terus melangkah memasuki gerbang sekolah. Dari postur tubuh pria itu, rasanya aku tak mengenalnya. Ah, entahlah, mungkin selama ini aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri hingga tak mengenali banyak orang di sekolah ini.***Kulihat wajah Alia seperti biasa saat memasuki kelas. 'Tak terlihat jika kupu-kupu tengah menghinggapi hatinya,' pikirku dalam hati. Aku menunggu Alia mengucapkan hal lain selain sapaan selamat pagi dan pertanyaan mengenai tugas sekolah, seperti biasa."Apa tidak ada yang ingin kau ceritakan padaku, Lia?" tanyaku setelah bosan menunggu Alia berterusterang.
Alia menjelaskan hari dimana ia hampir saja terlambat karena bangun kesiangan. Dan tiba-tiba saja seorang pria dengan seragam yang sama dengannya berhenti tepat di depan dirinya, dan dengan ramahnya menawarkan tumpangan -siapa lagi jika bukan pria bernama Nobel Danerson-Tak ada percakapan yang begitu berarti antara keduanya di sepanjang perjalanan, bahkan pagi ini pun tidak."Ya kuakui, sejak pandangan pertama aku memang sangat terpukau dengan ketampanannya, namun sepertinya aku bukan tipe wanita yang ia suka." Alia berucap seraya menopang dagunya."Kenapa kau bicara begitu?""Kalau aku memang tipenya, kurasa dia tidak akan membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa mengobrol denganku."Aku menatap geli ke arah Alia. Dia terdengar lebih melow dengan pembahasan kali ini. "Aku berharap semoga tak akan pernah bertemu lelaki itu secara personal."Alia tertawa kecil. "Kurasa kau akan menyesali ucapanmu yang ini, Delyna."***Jariku masih sibuk mengotak-at
Langit semakin gelap. Kuedarkan pandanganku ke sekitar, sepi. Hanya ada aku dan beberapa anak yang masih tertinggal di lingkungan sekolah. Ya, hanya anggota OSIS.Aku tersenyum tipis kala satu per satu temanku membunyikan klakson motor mereka saat melewatiku sebagai salam perpisahan."Sampai kapan aku harus menunggu di sini? Hari sudah semakin gelap."Aku kembali menatap ke atas. "Ya Tuhan, tolong bantu Delyn. Delyn harus segera pulang." Aku merapalkan doa tak kala keadaan semakin sepi dan hari yang semakin gelap.Biasanya aku akan pulang bersama dengan Alia karena arah rumah kami yang searah. Namun, karena tadi ada rapat OSIS, jadi Alia memutuskan untuk pulang lebih dulu.Ibu dan Bang Raymoon juga tengah berada di rumah tanteku -adik dari ibu- dan mungkin akan tiba di rumah larut malam. Dengan penerangan yang tak begitu cukup, aku melihat sebuah motor dengan pengendara berpakaian serba hitam berhenti tepat di depanku. Jantungku seketika berdetak tak karuan. Bahkan kini kakiku terasa
Aku mengidikkan bahuku acuh tak acuh. "Hm... ya karena aku mau aja," ucapku dengan santai. "Gak ada istilah turun di tengah jalan! Udah, buruan naik! Nanggung amat nganterin anak gadis orang cuma sampai di rumah kedua kayak gini." Ucap Nobel yang segera kembali menaiki motornya.Aku menggeleng dengan cepat. "Gak, ga usah! Aku mau turun di sini aja. Sudah, kau lebih baik pulang. Hah, udah malam juga, sana!" aku mengayun-ayunkan tanganku seperti gerakan mengusir."Justru karena ini udah malam, Del. Ibuku pernah bilang, kalau mau jemput atau ngantar anak gadis orang ga boleh di depan gang. Harus sampai ke rumah. Aku hanya ingin menuruti nasihat ibuku."Aku tak terenyuh sedikit pun meski Nobel sudah mengoceh panjang lebar."Ayolah, kumohon jangan terlalu batu, Delyna! Aku hanya ingin memastikan bahwa kau sampai di rumah dengan keadaan selamat." Nobel menghela napasnya kasar."Naik, Del, buru!" kali ini suara Nobel yang melembut membuatku sedikit goyah.Sungguh, mengapa Nobel bersikeras m
Aku menatap jijik pada pria di hadapanku ini. Mungkin kini aku benar-benar menyesali keputusanku berterima kasih secara langsung padanya. Terima kasih-ku harusnya kusimpan sendiri di dalam hatiku."Kumohon buang rasa percaya dirimu itu jika kau sedang berhadapan denganku! Aku hanya ingin mengatakan bahwa wajahmu sangat mirip dengan seseorang yang pernah kutemui di supermarket." Aku memutus tatapan begitu saja dari Nobel.Nobel tersenyum tipis. Sangat tipis. Bahkan senyum itu lebih tipis dari pada kesabaranku."Apa wajahku sungguh pasaran?""Kurasa begitu. Sudahlah, lebih baik kau segera pulang. Kurasa tak ada gunanya berdiskusi dengan pria aneh sepertimu! Dan satu lagi, kurasa pria yang kutemui kemarin tak lebih buruk darimu!" ucapku dengan tatapan sinis."Apa menurutmu yang barusan itu adalah bentuk diskusi, Del?"Aku mengidikkan bahuku acuh tak acuh. "Lebih cepat kau pulang, maka akan lebih baik! Pergilah!"Aku memutuskan untuk segera melan
Bang Raymoon terlihat menghela napas kasar sebelum mengeluarkan suara. "Kenapa lagi sih, Bro?" sekarang giliran Nobel yang ditanyai; tepat setelah pria itu menghentikan langkahnya di sebelahku. "Tahu nih adek lo. Masa cuma karena gue ke dapur dia langsung ngomel-ngomel? Padahal kan yang nyuruh gue ngambil minum itu lo.""Engga, ga gitu, Bang." Ucapku, lalu beralih menatap Nobel. "Eh, Jamet, kalau cerita tuh jangan setengah-setengah gitu dong! Pengen banget ya dapat pembelaan dari Bang Ray?" ucapku kesal. "Delyna, kok manggil jamet-jamet gitu, sih? Walaupun kamu sama Nobel itu 1 angkatan, tapi dia itu lebih tua dari kamu, Dek. Minta maaf sekarang." Ucap Bang Raymoon menegur.Oh, lebih tua, ya?Aku menghela napas dalam-dalam. "Delyna minta maaf, ya, OM?" ucapku dengan penekanan pada panggilanku padanya. "Lah? Kok malah om, sih?" Nobel tampak mengerutkan keningnya. "Kan LEBIH TUA." Ucapku langsung dengan penekanan pada 2 kata terakhir. "Ya ga gitu juga dek manggilnya." Lagi-lagi Ban
Suara teriakan itu bersamaan dengan lonjakan kaget sesaat setelah orang itu mendapati diriku membuka pintu. Aku segera memukul lengannya. "Berisik, jamet! Ini manusia. Delyna ini, Delyna!" ucapku kesal. Mama dan Bang Raymoon menyusulku ke luar dengan langkah yang tergesa -yang kutahu pasti karena suara berisik dari salah satu penghuni bumi yang baru kutemui ini-. Keduanya bingung melihat ekspresi wajahku dan Nobel. "Dia, Ma. Dia yang teriak, bukan Delyna." Ucapku sambil menunjuk Nobel. Yang kutunjuk justru berjalan menghampiri mama dan dengan tidak terduganya dia malah mengulurkan tangan dan menyalam mama. Ya bukannya apa-apa ya, aku hanya kaget saja. Di situasi seperti ini, kenapa dia masih kepikiran dengan sopan santun yang seperti itu? Ah benar-benar tidak bisa kuselami. "Nobel minta maaf ya tante udah ganggu waktu tante dan bikin tante panik gini. Habisnya tadi Nobel kaget banget tiba-tiba dibukain pintu sama Delyna dengan kondisi mukanya yang begitu, Tante." Ucap Nobel den
Ia menyunggingkan bibirnya. "Sekarang aku belum tahu akan aku gunakan untuk apa kesempatan yang kau beri, tapi nanti akan aku pikirkan." Setelah mengatakan itu, kulihat Alia mengutak-atik layar ponselnya. Untuk apa, aku pun tidak tahu. "Ini." Ucapnya tiba-tiba. Semakin bingung saja aku dibuat anak ini. "Apa ini?" tanyaku saat melihat aplikasi recorder yang ia suguhkan padaku melalui ponselnya. "Sekarang, kau rekam saja suaramu." "Untuk apa? Kau tahu kan aku bukan penyanyi?" "Siapa pula yang memintamu untuk bernyanyi? Ini sebagai jaminan bahwa kau benar-benar akan melakukan apa yang aku mau setelah kau mendapat info tentang sahabatku." Kunaikkan sebelah alisnya. "Apa kau berencana untuk mengurasku?" "Kalau aku jahat, aku mungkin akan melakukannya." "Lalu mengapa harus dengan cara begini? Apa kau tidak percaya padaku?" Alia tampak membuang napas kasar. "Nobel, aku bukannya tidak percaya padamu-" Belum sempat Alia menyelesaikan ucapannya, kuulurkan tanganku menjentik tepat di
Di toko ice cream, terlihat di dalamnya dominan dipenuhi oleh gadis-gadis seusia Alia. Adapun laki-laki, kebanyakan bernasib sama denganku; hanya memenuhi keinginan gadis yang tengah bersama mereka."Alia, kenapa lama sekali? Ini hanya perkara ice cream, Alia." Ucapku dengan suara yang setengah berbisik. Kulihat Alia tak menanggapi ucapanku. Gadis itu justru asik memilih ice cream seraya berbincang tipis-tipis dengan gadis lain di sebelahnya. "Alia, ayo, cepatlah! Ini sudah jam berapa." Ucapku menuntut."Nobel, tolong sabar sebentar. Aku harus memastikan bahwa ice cream yang kupilih benar-benar tak membuatku kecewa nantinya. Aku harus memikirkannya dengan baik. Jadi kuharap, kau bersabarlah!""Ck! Dia berucap seperti itu seakan ia tengah memilih pasangan hidup, padahal ia hanya tengah berkutat dengan varian ice cream. Dasar wanita!"Aku mengomel pelan seraya berjalan kembali ke kursi tunggu. Dan kini, pria yang menunggu di tempat itu semakin bertambah saja. Apa perkara varian ice c
Ah! Mengapa dia selalu menyebalkan seperti ini?!Ucapannya membuat kerjaanku bertambah. Setelah ini, Alia pasti akan mencecarku dengan rentetan pertanyaan. "Dasar laki-laki aneh!" kesalku dengan geram. ***[Delyna, abang sudah di depan. Apa belnya masih lama?]Kubaca pesan dari kontak bernama 'Bang Ray yang diikuti emoticon bulan' melalui notifikasi ponselku.Kulihat jam tanganku sekejap. Masih ada kurang lebih 15 menit lagi menuju bel pulang sekolah. 'Apa Bang Raymoon tidak ke kampus hari ini?' pikirku sebelum membalas pesannya. Baru saja aku menyimpan kembali ponselku, Alia tiba-tiba menyikut lenganku. "Ntar mau ke toko ice cream dulu ga, Del? Dengar-dengar toko ice cream di simpang lampu merah depan baru aja ngeluarin varian baru dan lagi ngadain promo juga." Alia terlihat excited mengajakku. Aku berpikir sejenak. Tidak mungkin aku mengiyakan ajakan Alia, sedangkan Bang Raymoon sudah menungguku di depan. "Aduh... gimana ya, Lia, masalahnya Bang Ray sudah di depan. Udah nunggu
WOI!!! ARRRGHHH! APA-APAAN?!Senyuman lebar yang ditampilkan Nobel seolah memang sengaja untuk membuatku kesal. Dan senyuman itu ia tunjukkan bersamaan dengan lototan tajam yang kuberi dan pekikan terkejut dari Alia. Alia yang sedari tadi bertahan hanya sebagai penonton pada akhirnya angkat bicara. "What? Hei, sebentar sebentar, apa aku tidak salah dengar, nih? Kalian berdua sejak kapan resmi begini?"Aku menggelengkan kepalaku sembari memajukan kedua tanganku membentuk silang. "Ya ampun, Delyna Alicia, kenapa bisa berita bahagia seperti ini tak kau beritahu padaku? Apa aku tidak sepenting itu bagimu?"Mulai lagi drama manusia satu ini, pikirku.Belum selesai, Alia kembali berucap. "Padahal kalau aku tahu tentang ini, aku pasti tak akan mendukung Kak Niel untuk mendekatimu seperti tadi."Panjang lebar Alia berucap membuatku benar-benar ingin menenggelamkan anak itu ke kolam ikan sekolah.APA TIDAK BISA SEHARI SAJA MULUTNYA ITU DI-REM? SANGAT MEREPOTKANKU!Kulihat wajah jahil Nobel de
"Oh ini, Del, tadi aku singgah buat beliin cemilan." "Buat apa, Kak? Kan udah ada kantin." Aku dengan mulutku yang ringan berbicara seperti tak ada beban hingga membuat Alia yang mendengar jawabanku langsung mencondongkan dirinya ke arahku."Del, bisa ga sih kalau ada orang yang ngasih sesuatu walaupun cuma modus, kau cukup terima pemberiannya dan ucapkan terima kasih saja?"Aku mengerutkan keningku, namun tetap mengikuti ucapan Alia. "Terima kasih, Kak. Nanti akan kumakan bersama Alia."Ia tersenyum mengangguk. "Kalau begitu, aku kembali ke kelas dulu, ya, Del? Semoga kau menyukai pemberianku. Dan semoga harimu menyenangkan.""Hei, apa tidak ada ucapan untukku, Kak?" Alia sedikit berteriak karena yang diajak bicara sudah berjingkrak kegirangan menuju kelasnya. Meski semakin jauh, Kak Niel tetap menyahuti ucapan Alia. "Kali ini tidak, Alia."Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku melihat aksi Kak Niel dan Alia.Kurasa mereka lebih cocok jika bersanding bersama.Alia menaikkan dagun
"Nobel, tungguin, Bel!" aku sedikit berteriak setelah mendapatkan kesadaran penuh.Nobel dengan santainya tetap berjalan tanpa mempedulikan aku yang telah memanggil namanya berulang kali. "Ih! Sengaja, ya?" ucapku setelah berhasil meraih ujung jaket abu-abu yang tengah dikenakan Nobel. "Yang nyuruh bengong kayak tadi siapa, ha?"Aku merotasikan bola mataku dengan malas. "Makasih." Ucapku dengan sedikit tertahan. "Hah? Apa apa? Ga kedengaran, Del." Ucap Nobel seraya mencondongkan telinganya padaku."Ck! Ga usah kayak gitu, resek banget!""Ya emang ga kedengaran, Delyna. Suara jangkrik lebih gede noh ketimbang suara kau."Aku menghela napas dalam-dalam. "M-A-K-A-S-I-H ya, Nobel." Aku dengan sengaja mengeja kata 'makasih' dengan suara yang lebih lantang dibanding kata lainnya. Nobel terkekeh geli melihat senyum terpaksa yang kutampilkan."Gitu dong. Lagian bilang makasih doang apa susahnya, sih, Del? Heran banget.""Pengen banget ya diapresiasi begitu?"Nobel tak serta merta langsung
Kulihat sekilas Pak Gunawan menatap Nobel dengan kening yang mengerut. Kurasa Nobel telah masuk ke ranah yang salah. Aku akan sangat merasa bersalah kalau sampai Nobel terkena imbas dari kejadian ini. "Maaf, Mas, ada apa ini ya ribut-ribut? Ada yang bisa saya bantu?"Pria yang kini berhadapan dengan Pak Gunawan terlihat melemparkan senyuman meremehkan. "Anda manajer di restoran ini?" tanyanya dengan wajah angkuh kebanggaannya. Pak Gunawan mengangguk seraya tersenyum tipis. "Ada yang bisa saya bantu, Mas?""Sebaiknya Anda tanya saja pada karyawan Anda dan orang ini!" pria itu menunjuk Nobel dengan kasar. "Nyesal saya datang ke sini!" ucapnya lalu melenggang begitu saja dari hadapan kami.Dari wajahnya, masih sangat jelas terlihat amarah yang melekat pada dirinya. Menurutku, justru yang membuatnya semarah itu bukanlah karena kesalahan pesanan yang ia terima, tapi karena dia merasa tak mendapat pembelaan. Terutama saat Nobel menegurnya tadi. Kami menatap langkah besar pria itu yang se