Efgan datang bersama suster. Ia heran saat melihat raut wajah sang istri yang terlihat muram."Sayang, kamu kenapa? Sakit banget ya? Itu aku udah bawa suster biar dia periksa kamu ya," ucap Efgan dengan lembut.Khania tak menjawab bahkan tak melihat ke arah suaminya. Khania hanya menatap dan tersenyum ke arah suster yang ada di belakang Efgan.Suster itu mendekat ke arah Khania dan tersenyum ramah. "Permisi ya Bu, saya periksa sembentar," ucap suster itu sambil memeriksa Khania. Setelah selesai diperiksa dan bertanya pada Khania apa yang sakit suster itu memberikan obat untuk dimakan oleh Khania.Selepas kepergian suster itu. Efgan duduk di samping istrinya. Ia heran melihat perubahan Khania terhadap dirinya."Sayang, kamu kenapa sedari tadi cemberut gitu? Apa sesakit itu ya?" tanya Efgan. Namun lagi-lagi tak ada jawaban dari Khania. Khania berdiri dari sofa dan berjalan ke arah ranjang tanpa menoleh sedikitpun pada Efgan.Efgan menatap heran Khania. Ada apa dengan istrinya itu. Nam
Efgan terkejut saat seseorang memeluknya dari belakang, lebih terkejut lagi saat ia melihat siapa yang kini memeluknya. Refleks dia melepaskan tangan yang tengah melingkar di perutnya itu dan mendorong orang itu jauh-jauh."Aww," jerit orang itu dengan manja. "Kamu tega ih." Sambungnya sambil berdiri. Ia memegangi bokongnya yang sakit karena mencium lantai.Khania menahan tawanya.Orang itu lalu menatap sinis pada Khania dan memalingkan wajahnya saat Khania menatapnya, ia lalu berjalan mendekat pada Efgan.Efgan gugup saat melihat orang yang tadi memwluknya kini mendekat padanya. Ia pun melepaskan tangannya yang tengah memegang pundak Khania dan melangkah mundur."Stop! Jangan deket-deket!" teriak Efgan dengan mata yang melotot tajam.Orang itu tersenyum genit pada Efgan.Dengan langkah seribu Efgan lari dari sana meninggalkan Khania sendiri di lorong rumah sakit.Orang itu tak tinggal diam dan berlari mengejar Efgan.Khania yang sudah tak kuat menahan tawanya pun melepaskan tawanya de
"Glen, kamu apa-apaan sih," teriak Monic yang terkejut saat melihat Glen datang dengan tiba-tiba dan langsung menghajar Gabriel."Kamu yang apa-apaan, dia itu siapa? Sudah tau kamu udah punya calon suami, kenapa masih main mata sama lelaki lain," sahut Glen dengan nada penuh emosi.Efgan yang melihat Glen yang dilanda amarah mendekat dan mencoba menjelaskan kejadian yang sebenarnya."Glen," seru Efgan."Diam! kamu juga. Bukannya mengingatkan kakak kamu itu supaya gak dekat-dekat dengan lelaki lain. Kenapa kamu malah membiarkan dia," ucapnya dengan Emosi pada Efgan."Bukan gitu Glen, kamu tenang dulu!" Efgan membawa Glen. Namun, Glen menepis tangan Efgan."Glen, ini semau gak seperti apa yang kamu lihat, dia itu—" ucapan Monic terhenti oelh Glen."Diam!" bentak Glen pada Monic.Efgan yang sedari tadi masih menahan amarahnya kini murka saat melihat Glen membentak kakaknya.BUKK!Efgan yang sudah tak bisa lagi menahan amarahnya memukul wajah Glen
Glen menunjuk arah dadanya. "Ini yang sakit, karena kamu marah jadinya sakit, sakit banget," ucapnya dengan lebay.PLAKK!Monic memukul lengan Glen, ia merasa gemas dengan kekasihnya ini. Ia pikir Glen beneran sakit sampai ia tadi panik dan khawatir, tapi ternyata semua itu hanya modus saja.Glen tersenyum cengengesan.Monic berdiri dan pergi meninggalkan Glen sendiri."Sayang tunggu." Glen segera bangkit dan berlari kecil untuk mengejar Monic. Monic tak menghiraukan Glen dan terus saja berjalan."Sayang, kamu marah?" tanya Glen saat sudah dekat dengan Monic. Tangannya membawa tangan Monic dan menggenggamnya erat."Aku gak marah, cuma kesel aja sama kamu. Kamu bisa gak sih jangan main-main kayak tadi, aku tadi itu beneran panik tau, takut kamu kenapa-napa," omel Monic.Glen tersenyum lalu membawa Monic ke dalam dekapannya. "Iya, aku minta maaf. Aku gak akan gitu lagi, gak akan bikin kamu khawatir lagi, aku janji."Monic menatap manik mat
Efgan dengan cepat mengambil ponselnya dan segera menghubungi seseorang."Bagaimana keadaan di sana?" tanyanya pada seseorang di sebrang sana.Efgan mengangguk-anggukan kepalanya saat mendengar jawaban dari seseorang yang tengah berbicara padanya di sebrang telepon."Bagus, kalian harus terus waspada jangan sampai lemah dan kalian harus ingat jangan sampai menimbulkan kecurigaan," ucapnya lagi setelah itu Efgan memarikan sambungan telepon itu. Ia bisa bernapas lega saat mengetahui jika anaknya kini aman. Ia memang menepatkan anak buah Hendrik untuk menjaga anaknya. Namun, mereka semua menyamar agar tidak timbul kecurigaan.Efgan melihat jam di tangannya. Ia menatap pintu yang tertutup rapat. Ia heran karena Gabriel tak kunjung kembali. Namun, ia tak ingin mempedulikan itu. Ia yakin Gabriel bisa menjaga dirinya sendiri, ia pun bangkit dari sofa itu dan berjalan ke arah ranjang di mana sang istri tengah tertidur pulas. Ia pun dengan cepat naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Kha
"Jadi apa yang harus kita lakukan? Masa iya kita membiarkan dia berkeliaran di dekat Khania dan Kai, itu akan sangat berbahaya bagi istri dan anak kamu," ucap Glen."Untuk sementara ini kita diam aja dulu. Kita lihat, sampai mana dia akan bertindak," balas Efgan dengan tangan yang terkepal erat. Ia sungguh tidak menyangka jika Gabriel mempunyai niat buruk. Benar firasatnya selama ini. Dan semua kecurigaannya terbukti sekarang, Gabriel mendekati Khania karena ada maksud tertentu. Beruntungnya Efgan sekarang lebih peka dan sensitif. Ia tak bisa lengah lagi dan membahayakan nyawa Khania. Apalagi sekarang sudah ada anaknya yang juga harus ia jaga."Tapi ...." Glen yang merasat tak tenang mencoba protes. Namun, ucapannya tertahan saat melihat tatapan mata Efgan yang sangat tajam padanya. Ia pun mengalah. "Baiklah kalau itu maumu," ujar Glen dengan lesu."Kita pantau saja dia, saat ada pergerakan yang mencurigakan baru kalian eksekusi," ucap Efgan.Glen menganggukan kepalanya.Tiba di kant
Khania dengan cepat turun dari atas ranjangnya dan berlari menghampiri orang yang tengah menggendong Kai."Kamu mau bawa anakku ke mana?" Orang itu menoleh dan tersenyum.Seketika Khania terdiam."Ma-Mas, kamu kapan pulangnya?" tanya Khania yang terkejut saat melihat sang suami ada di sana. "Maaf Mas, aku kira kamu orang lain yang mau bawa anakku." Lanjutnya lagi."Dia juga anakku sayang. Bukan cuma anak kamu aja," rajuk Efgan.Khania tersenyum."Maaf, iya. Aku kira kamu orang lain yang mau bawa anak kita." Khania meralat kembali ucapannya."Emangnya kamu gak bisa bedain suami kamu sama orang lain?" ucap Efgan."Maaf Mas, mungkin karena nyawaku belum terkumpul semua, dan keburu panik. Ini semua gara-gara mbak Monic, jadinya kan aku parno," keluh Khania.Efgan mengerutkan alisnya. "Emang kak Monic ngapain kamu, sampai kamu ketakutan gitu?" tanya Efgan sambil terus mencoba menenangkan sang anak yang masih saja menangis.Khania membawa
"Ya ampun, enggak mungkin lah, orang aku baru aja lahiran. Lagian juga aku masih dalam masa nifas, jadi gak mungkin kan?" gumam Khania dengan raut bingung. Ia bingung dengan raut wajah Efgan yang terlihat kesal dan marah saat keluar dari kamar. "Bodo ah, lagian juga dia bakalan ngerti kalau aku lagi masa nifas. Jadi kita gak mungkin begituan," ucapnya, ia pun kembali memejamkan matanya.Setelah cukup lama Efgan menenangkan dirinya di luar dan duduk di taman sendirian. Akhirnya ia pun memutuskan kembali ke dalam kamar. Namun, langkahnya terhenti kala ia melihat Gabriel yang baru saja turun dari atas dan berjalan dengan terburu-buru."Dia mau ke mana?" gumamnya sambil terus memperhatikan Gabriel yang kini mulai mendekat padanya."Eh Mas Efgan," ucap Gabriel menghentikan langkahnya, ia tersenyum paksa pada Efgan."Kamu mau ke mana?" tanya Efgan yang penasaran."Ah ... itu, apa. Aku mau pergi keluar, ada urusan sebentar Mas," sahut Gabriel gelagapan.Efgan menger