Suasana makan siang di rumah ini terasa hangat dan nyaman. Ruangan makan itu tidak terlalu besar, tapi cukup untuk menciptakan kesan intim dengan pencahayaan alami dari jendela besar di samping meja. Aroma makanan yang masih tersisa di udara membuat suasana terasa lebih hidup.Kayla tampak makan dengan lahap. Kali ini, wajahnya terlihat jauh lebih santai dibandingkan sebelumnya. William duduk di seberangnya, mengamati setiap gerakan Kayla dengan senyuman tipis yang jarang terlihat di wajahnya. Meskipun bibirnya tersenyum, pikirannya tidak sepenuhnya hadir di ruangan itu. Sebagian dari dirinya masih tertinggal di kediaman sang kakek, mengingat percakapan tajam dan sikap dingin yang telah mereka terima.Selesai menyantap makanannya, Kayla menatap William yang terlihat melamun. Ia sudah mulai memahami pria itu dengan baik—William adalah seseorang yang layaknya permukaan air yang tenang. Meski tampak datar, ia menyimpan arus yang sulit diprediksi di dalamnya. Hari ini, arus itu terlihat je
Kayla duduk di ruang tengah, memandangi layar televisi yang bahkan tidak dinyalakan. Suasana rumah terasa terlalu sepi, membuatnya sedikit gelisah. Ini adalah hari pertama William pergi ke kantornya setelah mereka tiba di Amerika. Pikirannya melayang pada percakapan terakhirnya dengan William pagi ini. “Kay, nanti kalau perlu kemana-mana minta antar dengan Frank saja.” William berkata datar sambil mengenakan pakaiannya. Kayla sedikit terkejut, pasalnya Frank adalah sopir pribadi William yang selama dua hari ini selalu mengantarkan mereka kemana-mana. “Frank bukannya harus di kantor bersama Kak Will? Nanti akan repot kalau dia mesti bolak-balik, lagian juga aku bisa naik taksi saja kalau mau pergi.” Kayla menjawab santai. “Tidak, nanti Frank akan ada di sini, aku bisa pergi ke kantor sendiri atau bisa dengan Gabriel.” William berkata dengan tenang. “Kak Will, apa aku boleh tanya?” tanya Kayla lagi dengan sedikit rasa penasaran. William mengangguk sebagai isyarat untuk Kayla melan
Keduanya sudah duduk di ruang keluarga. Suasana nampak terasa hening dan mencekam. Namun, Kayla berusaha untuk tetap tenang, walaupun hatinya mulai merasakan resah dengan apa yang akan disampaikan oleh sang Nenek.Kayla masih diam.“Aku yakin kamu bukan orang bodoh yang tidak mengerti maksud dari perkataanku.” Daisy berkata dengan nada dingin.Kayla mengulas senyum simpul di wajahnya tetap tenang dan berkata, “Baik, Nek, kalau begitu silakan sampaikan, biar aku mencoba untuk mengerti.” “Apa kamu tahu dengan latar belakang William sebelum dia menikah denganmu?” Daisy kembali berkata dengan nada datar dan tatapan tajam.Kayla diam sejenak sebelum akhirnya kembali bicara, “Aku cukup dekat dengan keluarga Kak William di Indonesia. Baik Mama Risda maupun Papa Anthony keduanya adalah sahabat kedua orang tuaku, tapi sejujurnya … aku juga baru tahu kalau Kak Will ternyata masih memiliki keluarga dari Papa Anthony setelah kami menikah.” Kayla tetap menjaga suaranya tetap stabil.“Lalu kamu per
Setelah Daisy pergi dari rumah, Kayla masih duduk termenung di sofa. Ruangan itu terasa hening, seolah-olah menyerap kegelisahannya. Pikirannya bercampur aduk. Wajah dingin dan ucapan tajam nenek William terus terngiang-ngiang di kepalanya. Kayla menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, tapi kegelisahan tetap bertahan. “Nyonya,” suara lembut Rose, pelayan paruh baya, membuyarkan lamunannya. Wanita itu membawa baki berisi secangkir teh hangat dan beberapa camilan. “Apa Nyonya Besar sudah pulang?” tanyanya dengan nada sopan namun sedikit heran. Kayla tersentak kecil sebelum mengangguk. “Oh, iya. Nenek baru saja pulang. Bibi bawa saja kembali itu ke dapur. Nanti kita keluar, oke?” ujarnya dengan senyum tipis yang dipaksakan. Rose tampak ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Baik, Nyonya,” jawabnya singkat, lalu berjalan kembali ke dapur. Kayla kembali menghela napas. Pertemuan dengan Nenek William tadi benar-benar meninggalkan kesan mendalam. Ada sesuatu yang aneh. Ca
Sesampainya di rumah, Kayla langsung tenggelam dalam aktivitas di dapur. Aroma rempah-rempah mulai memenuhi ruangan, memberikan suasana hangat dan nyaman. Dibantu oleh Rose, mereka bekerja sama dengan cekatan. Kehadiran Rose membuat pekerjaan Kayla terasa lebih ringan, sesuatu yang cukup ia syukuri di tengah kepenatan hari ini. Kayla tetap mempertahankan kebiasaan yang sering ia lakukan saat masih di Indonesia, yaitu menyiapkan makanan sesuai daftar menu yang sudah direncanakannya. Setiap bahan ditimbang dengan cermat, setiap langkah dilakukan dengan hati-hati. Rose memerhatikan nyonya mudanya itu dengan penuh kekaguman. Dalam diam, dia memperhatikan bagaimana Kayla menata semua bahan dengan rapi, memotong sayuran dengan teknik yang presisi, dan memastikan semuanya sesuai standar yang dia tetapkan. “Nyonya sangat teliti,” gumam Rose pelan, hampir tidak terdengar. Kayla yang sedang sibuk mengaduk sup di atas kompor menoleh. “Bibi, kenapa melihatku seperti itu?” tanyanya sambil tersen
“Bagaimana, Bos? Sudah memberikan laporan pada istrimu?” Suara Gabriel terdengar sesaat setelah William memutuskan sambungan teleponnya.William hanya melihat ke arah Gabriel dengan tatapan datarnya. “Tidak perlu ikut campur!” Gabriel terkekeh mendengarnya, lalu sesaat berikutnya wajahnya terlihat sangat serius. “Jadi, malam ini kamu yakin akan mewakili Tuan Besar Drake untuk bertemu mereka?” Helaan napas berat terdengar dari William, tatapan matanya menjadi sangat tajam ke arah depan. “Ya, lagipula aku tidak sendiri, kan?” Ucapan William terdengar pasti lalu melirik ke arah Gabriel.“Tentu saja aku menemanimu, aku juga sudah menyiapkan semua bentuk kesepakatan tertulisnya di sini.” Gabriel menunjukkan file yang dia bawa ke ruangan William saat ini.“Baguslah, letakkan saja di sana. Aku akan memeriksanya kembali. Dan katakan pada sekretarisku di luar sana kalau malam ini aku ada agenda bertemu dengan mereka, kalau dia mau pulang silakan saja.” William berkata dengan nada penekanan.
Suasana benar-benar menjadi sedikit dingin, namun Laura tetap memberikan senyum hangat padanya. Tangannya menggantung di udara beberapa saat sebelum akhirnya William menjabat tangannya sesaat. Tatapan Laura penuh rasa ingin tahu, tetapi William tetap menjaga ekspresi datarnya yang khas.“Will, sudah lama aku tidak melihatmu! Ternyata dunia ini benar-benar kecil, ya!” kata Laura sambil tersenyum, lalu mengambil tempat duduk di salah satu kursi di hadapan William. Gesturnya anggun, namun ada aura intens yang membuat suasana ruangan terasa lebih sempit dari seharusnya.William hanya menatapnya sekilas, kemudian mengalihkan pandangannya. “Aku datang kemari untuk membahas bisnis dengan ayahmu,” jawabnya singkat, tanpa basa-basi cukup tepat sasaran.Kalimat itu segera membuat wajah Laura sedikit berubah. Namun, ia cepat-cepat kembali tersenyum, mencoba mengatasi canggung yang muncul. “Bisnis itu penting, Will, tapi hidup juga perlu warna, kan? Kadang kita harus keluar dari rutinitas untuk me
Kayla menatap layar ponselnya dengan alis berkerut. Matanya membelalak ketika melihat gambar yang muncul di layar. Sebuah foto yang menunjukkan William duduk berhadapan dengan seorang wanita cantik dan mempesona. Wanita itu tersenyum lebar, tawa bahagianya terlihat jelas. William, di sisi lain, hanya tampak dari sudut menyamping, membuat ekspresi wajahnya sulit ditebak. Kayla menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang tiba-tiba terasa bergejolak. Ia memperbesar gambar itu, memperhatikan setiap detail dengan teliti. Setelah beberapa kali mengamati, Kayla menyadari bahwa pertemuan tersebut tidak hanya dihadiri William dan wanita itu saja. Ada beberapa elemen latar belakang yang menunjukkan kehadiran orang lain. Senyum getir muncul di bibirnya. “Mereka pikir aku sebodoh itu untuk percaya begitu saja?” gumamnya dengan nada penuh ironi. Ia meletakkan ponselnya sejenak, mencoba mencari jawaban di balik gambar itu. Kayla menimbang untuk menghubungi William. Namun, ia menah
William menunggu di ruangan itu sudah lima menit dari waktu kesepakatan. Tempat ini membuatnya menjadi sedikit tidak nyaman, hingga akhirnya suara pintu dibuka.Seorang pelayan mengantarkan wanita muda di hadapannya."Tuan, tamu Anda sudah datang." Suara pria itu, membuat William berbalik ke arah pintu setelah sebelumnya dia melihat pemandangan kota dari kaca besar ini. Dan ... hal ini membuat William sangat terkejut, terlebih lagi orang itu sangat dia kenal.“Kayla, itu kamu …?” William berkata ditengah keterkejutannya“Kak Will?” Suaranya tak kalah terkejutnya. Matanya membelalak, berusaha memastikan bahwa ini bukan ilusi atau sekadar mimpi.“Kayla? Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya, masih belum bisa menyembunyikan rasa bingungnya.Kayla heran. “Nenek yang menyuruhku datang ke sini. Katanya ini acara penting,” jawabnya, berusaha mengatur napas yang masih tersengal karena kaget.William mengerutkan kening. “Nenek? Dia juga memintaku datang ke sini. Tapi dia tidak bilang apa-apa tent
Di kantor William.“Bagaimana, apa kamu sudah mendapatkan informasi terkait siapa orang yang berada di balik Frank? Apa itu benar Kakekku?” tanya William saat Gabriel masuk ke ruangannya dengan membawa beberapa file untuk ditinjau oleh William.Gabriel duduk di kursi yang ada di depan meja William. “Sudah,” jawabnya singkat.“Lalu?” “Dia memberikan laporan kepada Tuan Besar Drake untuk menyelidikimu dan juga ….” Gabriel menjeda kalimatnya, wajahnya terlihat sedikit tegang untuk menyampaikan informasi yang dia terima.“Katakan saja dan jangan ada yang ditutupi.” William berkata dengan tegas, menyingkirkan file di hadapannya dan memasang wajah serius.“Frank mengatakan dia disuruh Tuan Besar Drake untuk mengikutimu dan memberikan laporan padanya tentang apa yang kamu kerjakan, tetapi sesaat sebelum kita kembali ke Amerika, dia mendapatkan perintah untuk mengikuti istrimu dan membuatnya … celaka.” Gabriel berkata dengan pelan pada saat mengatakan kata terakhirnya itu.“Apa?!” William ti
“Ini untukmu,” ucap Daisy sesaat setelah Kayla melewati serangkaian pelajarannya hari ini.Sebuah file yang cukup tebal diserahkan oleh Daisy padanya. Kayla mengambilnya tanpa bertanya. Baginya seharian otaknya sudah benar-benar penuh dengan hal-hal yang cukup rumit, apalagi mempelajari tentang karya seni secara umum hanya dalam waktu beberapa jam saja dan tentu saja dirinya dituntut untuk bisa menguasainya.“Baca itu juga, karena itu sangat penting saat kamu berada di sana.” Daisy menambahkan lagi,membuat hawa di sekeliling mereka terasa lebih berat.“Baik, Nek,” jawab Kayla singkat.“Kamu harus ingat Kayla, semua itu harus kamu pelajari dan jangan sampai ada kesalahan sekecil apa pun, karena saat kamu punya kesalahan sedikit saja, maka akibatnya akan fatal dan keluarga Drake akan menjadi buah bibir semua orang. Ingat Kayla, tugasmu jelas untuk membuat keluarga Drake tetap pada posisinya.” Daisy berkata dengan penuh penekanan.Mendengar hal itu, rasanya beban di pundak Kayla makin
Di Ruang Kerja Pribadi WalterWilliam berdiri tegap di depan kakeknya, Walter, yang duduk santai di kursi kulit hitam kebanggaannya. Ekspresi Walter tampak acuh tak acuh, seolah-olah tak ada yang terjadi sebelumnya. Sementara itu, tangan William mengepal erat di samping tubuhnya, urat-urat di lengannya terlihat menegang.“Apa maksud Kakek mengatakan hal itu di depan Kayla?” Suara William bergetar, bukan karena takut, melainkan karena kemarahan yang ditahan dengan susah payah sejak tadi.Walter mendongak sedikit, senyuman tipis menghiasi bibirnya. “Apa yang salah? Aku hanya mengatakan yang seharusnya aku katakan, bukan?” Nada bicaranya ringan, hampir seperti bercanda, tapi penuh dengan provokasi yang disengaja."Fakta apa? Kayla bukanlah asistenku melainkan istriku!" Suara William tajam. Matanya tetap memandang Walter, yang hanya mengangkat alis tipisnya dengan ekspresi tak terpengaruh. Walter mencondongkan tubuh sedikit ke depan, seolah mengamati reaksi William seperti seorang pemain
Ruangan itu telah lama kosong, meninggalkan hanya jejak langkah dan hawa dingin yang mengendap. Laura berdiri di tengah ruangan, tangannya terkepal di sisi tubuh, sementara matanya menatap pintu yang baru saja tertutup. Hatinya berkecamuk. Rasa marah dan frustrasi bercampur menjadi satu. Dia telah membawa proposal kerja sama yang seharusnya menjadi langkah besar bagi kedua keluarga, tetapi semua sia-sia. Tidak ada apresiasi, tidak ada penerimaan. Malah, mereka meninggalkannya sendirian di sini seperti orang yang tak berarti.Laura menghela napas kasar, lalu berjalan menuju pintu. Tumit sepatunya beradu dengan lantai, menghasilkan bunyi yang menggema, seolah mencerminkan isi hatinya yang mendidih. Kepalanya dipenuhi dengan bayangan keluarga Drake, terutama William. William Drake. Pria yang seharusnya menjadi miliknya.Begitu sampai di mobil, dia duduk dengan gerakan kasar, membuat sopir yang menunggu di kursi depan meliriknya dengan bingung. Laura tidak peduli. Dia meraih tasnya dan me
Daisy lalu melihat ke arah Laura dan Walter yang masih duduk di sofa ruangan ini. "Laura, kakek William, aku harus pamit sebentar untuk mengurus sesuatu di kamar dan bersiap-siap untuk pergi," katanya dengan suara lembut namun tegas. Tatapannya sejenak beralih ke Kayla, memberikan anggukan kecil yang penuh makna sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkahnya tenang, tapi kehadirannya masih terasa kuat bahkan setelah menghilang di balik pintu.Kini, hanya William, Kayla, Laura, dan Walter yang tersisa di ruangan. Suasana semakin hening, hanya terdengar suara detik jam di sudut ruangan. Keheningan itu pecah oleh suara Laura, yang kembali bersuara hingga suasana menjadi tidak menyenangkan."William, kamu mau ke kantor, kan? Kebetulan sekali aku ingin ikut juga ke sana. Kita bisa pergi bersama," ucapnya sekali lagi sambil melirik ke arah William dengan tatapan penuh arti. Nada suaranya sengaja dibuat lebih keras, memastikan semua orang di ruangan mendengar.Kayla menelan ludah, hat
Seperti yang dikatakan oleh William semalam, dia yang akan mengantar Kayla sendiri ke kediaman Drake untuk menemui neneknya dan pagi ini juga Kayla tidak melihat Frank ada di rumah mereka.William, dengan tangan kokohnya di setir, tampak begitu santai. Dia menoleh sesekali, memastikan Kayla baik-baik saja, sementara jarinya secara naluriah menyesuaikan posisi dasi.Kayla memainkan ujung jaketnya, terlihat sedikit cemas. Dia menggigit bibir bawahnya, sebuah kebiasaan yang muncul saat dia merasa gugup. "Apa ini tidak berlebihan dan membuat Kak Will menjadi repot?" tanyanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh alunan lembut musik klasik dari pemutar musik di dalam mobil.William menoleh sekilas, pandangannya tetap tenang tanpa ekspresi berlebihan. Dia mengulurkan tangannya, mengusap puncak kepala Kayla dengan gerakan mantap, seolah ingin meyakinkannya. "Mengantar istri sendiri bukanlah sebuah kerepotan."Kayla merasakan wajahnya memanas. Dia buru-buru mengalihkan pandangannya, mencoba me
Di dalam mobil yang melaju pelan Kayla hanya terdiam. Wajahnya menghadap ke jendela, memandangi bayangan gedung-gedung yang berkelebat dalam senja. Tangannya bermain di pangkuan, menggenggam ujung mantel yang ia kenakan. Ada segumpal rasa ragu dan penasaran yang terus berputar di kepalanya sejak insiden tadi. Namun, ia memilih bungkam.Hening yang menyelimuti kabin mobil akhirnya pecah ketika suara Daisy terdengar. Suaranya tenang, tapi ada nada otoritas yang tidak bisa diabaikan. “Frank, antarkan Kayla pulang lebih dulu ke rumahnya. Setelah itu, baru kau antar aku pulang.”Frank, sopir yang duduk tegap di depan, melirik melalui kaca spion dengan ekspresi yang tampak ragu. Dia mengernyitkan dahi sejenak sebelum akhirnya berkata, “Tapi Nyonya ...?”Daisy menoleh sedikit, menatap Frank dengan sorot tajam yang membuat udara di dalam mobil seolah menegang. “Apa kau keberatan?”Frank langsung menundukkan kepalanya sedikit, menyesali pertanyaannya. “Ma-maaf, Nyonya Besar. Saya akan mengantar
Daisy tidak langsung menjawab. Wanita tua itu menatap Kayla dengan ekspresi datar, seolah-olah pertanyaan itu tidak membutuhkan penjelasan panjang. "Tenangkan dirimu, Kayla. Kau tahu posisi ini bukan sesuatu yang mudah. Keluarga Drake butuh seseorang yang bisa diandalkan, dan itu termasuk kamu.""Diandalkan?" Kayla hampir tertawa, tetapi suaranya terdengar getir. "Nenek menyeretku ke sini, memberikan gelar adik William? Apa ini tidak salah? Apa aku hanya pion dalam permainan keluarga ini?" Suaranya meninggi, mencerminkan gejolak emosi yang ia tahan selama ini. Ketenangan yang biasanya ia tunjukkan runtuh dalam sekejap.“Nona, rendahkan suara Anda saat bicara dengan Nyonya besar,” ucap seorang wanita berpostur langsing yang berdiri di samping Daisy, suaranya dingin dan penuh otoritas."Kamu yang diam dan tutup mulut!" Kayla menunjuk wanita itu dengan tatapan tajam.Wanita itu terperangah, tetapi sebelum ia bisa membalas, seorang wanita lain yang bertubuh gempal ikut menyahut, suaranya t