Kira-kira apa Kayla bisa melewati ujian ini? 🥰🥰🥰 Yuk lah ramein dulu feedbacknya! Biar lebih seru entar... 🤩🤩
Kayla merasakan gelombang emosi berdesir di dadanya. Untuk sesaat, dia panik dan bingung, tetapi dia berusaha menjaga ketenangan yang terpancar di wajahnya. Dia tahu, sejak menyadari siapa William sebenarnya, hidupnya tidak akan pernah berjalan seperti biasa lagi. Sosok William bukan hanya sekadar pria biasa; dia adalah seseorang yang punya dunia berbeda, penuh dengan tanggung jawab besar, dan keluarga yang tidak mudah untuk dihadapi. Berusaha untuk tetap tenang, Kayla akhirnya bicara, suaranya terdengar stabil meskipun hatinya sedikit bergetar. “Saya lahir dari keluarga yang cukup bahagia dan dekat satu sama lain. Keluarga yang hangat, yang selalu membuat saya merasa terlindungi dan nyaman. Itulah sebabnya saya selalu ingat untuk pulang,” katanya, dengan pandangan tulus mengarah ke Walter Drake, kakek William. Ucapan Kayla membawa hawa keheningan ke dalam ruangan. Walter menatap Kayla dengan kilatan mata tajam dan penuh penilaian. Di sisi lain, William tampak sedikit terkejut mend
Setelah Daisy membawa Kayla menjauh dari ruangan itu, Walter melihat tajam ke arah cucunya. William masih duduk dengan tenang di hadapan Walter Drake, meskipun pikirannya tengah berkecamuk. Dia tahu, percakapan ini tidak akan mudah, tetapi sejak awal dia sudah mempersiapkan diri. Walter bukan pria yang bisa diajak berdiskusi dengan santai, apalagi menyangkut sesuatu yang dianggap melawan kehendaknya. “Kamu pulang hanya untuk menikah?” tanya Walter dingin, tanpa basa-basi. Suaranya datar, namun menusuk seperti jarum yang menembus lapisan pertahanan William. William mengangkat dagunya sedikit, mencoba menunjukkan ketegasan meskipun ada rasa lelah di balik matanya. “Kakek menyuruhku untuk menikah, kan? Aku sudah menikah sekarang,” jawabnya tanpa ragu. Alih-alih menerima jawaban itu dengan baik, Walter mendengus kecil. “Kamu pikir semudah itu, Will?” Nada suaranya rendah, tetapi penuh ketidaksukaan. “Kek, aku sudah menikah secara resmi, sesuai dengan hukum negara dan agama. Tidak
Langkah-langkah Daisy dan Kayla bergema di sepanjang lorong menuju dapur. Kesunyian yang menyelimuti mereka membuat suasana terasa semakin menegangkan. Kayla hanya bisa mengikuti wanita itu dengan perasaan cemas yang perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Daisy, ini terasa berbeda seperti sebelumnya yang seolah-olah terasa dia cukup hangat.Sesampainya di dapur, dua pelayan yang sedang membereskan meja langsung membungkuk hormat.“Ada yang bisa kami bantu, Nyonya?” tanya salah satu pelayan dengan sopan.“Keluarlah, tinggalkan kami berdua,” ucap Daisy dengan nada dingin yang tak memberikan ruang untuk pertanyaan.Tanpa banyak bicara, kedua pelayan itu segera meninggalkan dapur. Kayla hanya bisa berdiri kaku, menatap Daisy yang kini duduk di salah satu kursi dekat meja besar. Hening sejenak, hanya terdengar suara langkah terakhir para pelayan yang perlahan menghilang di balik pintu. “Kayla, itu namamu, kan?” Daisya berkata datar melihat ke
Setelah ketegangannya dengan sang kakek, William masuk ke kamarnya, di ruangan ini ada ruang kerja khusus untuk dirinya. Dia duduk di depan layar komputer yang mati, memikirkan apa yang harus dia lakukan ke depannya. Pikirannya berkecamuk hebat, walaupun dia sudah memikirkan matang-matang rencana ini dan tahu akan menjadi seperti ini, tetapi dia tetap nekat melakukannya karena berharap hasilnya akan berbeda. Namun, siapa sangka kenyataan malah sesuai dengan apa yang dia pikirkan sebelumnya. Kembali terlihat William menghela napas berat, pikirannya makin bertumpuk saja, apalagi saat ini, dia sedang ditekan oleh sang kakek untuk mendapatkan mega proyek yang bekerja sama dengan salah satu perusahaan besar dari Uni Eropa, dan target ini harus bisa diwujudkan dalam tahun ini.Ponselnya berdering, Gabriel menghubunginya, lekas dia menerima panggilan tersebut.“Ada hal penting apa Gab?” tanyanya.“Will, bagaimana masalahmu? Apa cukup besar? Apa aku harus menjemputmu dari sana dan pulang ke r
Sesaat sebelumnya. “Dua jam dua puluh lima menit,” suara Daisy terdengar dingin seperti es, memecah keheningan. Kayla yang baru saja membawa kue itu ke hadapannya langsung merasa seolah-olah dirinya seorang terdakwa di ruang sidang. Tatapan tajam Daisy menghujam tepat ke arahnya.“Apa… terlalu lama, Nek?” tanya Kayla dengan hati-hati, berusaha menyembunyikan kegugupannya di balik senyum kecil.“Tidak juga,” jawab Daisy singkat, namun nada tajamnya sudah cukup membuat Kayla menjadi sedikit gemetar. “Tapi aku ingin mencobanya, apakah ini cukup enak untuk lidahku atau tidak.”Kayla tersenyum canggung, lalu meletakkan piring kue di meja di hadapan Daisy. Dalam hati, dia terus menyemangati dirinya sendiri. “Sabarlah, Kayla. Kamu pasti bisa melewati ini.” Bahkan untuk menghela napas saja, rasanya dia tidak mampu.Saat kue itu masuk ke dalam mulut Daisy, ada perasaan gugup yang langsung menyergap Kayla, bukan karena dia tidak bisa membuat makanan ini, hanya saja, seperti yang dikatakan oleh
Kayla merasa hatinya bergemuruh. Tatapan tajam William membuat dirinya sadar bahwa ia tidak bisa terus menyembunyikan semuanya. Namun, mengungkapkan apa yang ia rasakan sekarang juga tidak mungkin. Apalagi, pelayan yang masih membersihkan serpihan piring pecah di ruang ini membuat suasana semakin kikuk.“Tunggu sebentar. Aku akan membawa kue itu untuk kita,” ujar Kayla sambil beranjak dari kursinya. Ia mengambil wadah di kabinet atas, lalu mulai menyusun clove roll cheese yang tersisa ke dalam kotak makanan itu. Setelah selesai, ia mendapati William masih berdiri dengan tatapan yang tak beralih sedikit pun darinya.“Kamu menatapku seperti itu, sedikit menyeramkan, tahu,” canda Kayla, berusaha mencairkan suasana dengan senyuman tipis. Berusaha menutupi rasa gugupnya beberapa waktu sebelumnya.Namun, William tidak tertawa. Ia tetap diam, membiarkan sorot matanya berbicara. “Kita bicara di kamarmu saja,” ujar Kayla akhirnya, suaranya lembut namun tegas.Tanpa banyak bicara, William seger
Kayla merasa tubuhnya menegang seketika saat tatapan tajam Walter Drake jatuh padanya. Tatapan itu seperti elang yang siap menyambar mangsanya, dingin, tajam, dan tanpa ampun. Ia merasa dirinya terkuliti di hadapan pria tua itu. Walter berdiri tegak dengan postur penuh wibawa, tangannya diselipkan ke saku celana, sementara ekspresinya seperti ukiran batu yang tak berperasaan. Kal iini benar-benar wajah asli yang keluar.Kayla menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya meski jantungnya berdetak sekeras gemuruh. Ia berkata pada dirinya sendiri untuk tetap tenang. Namun, sebelum sempat menyusun kata-kata, suara berat dan tegas William lebih dulu memenuhi ruangan.“Cukup, Kakek.” Nada suara William dingin, penuh ketegasan. Ia berdiri lebih tegak, jelas memperlihatkan dirinya sebagai tameng yang kokoh di hadapan Kayla. “Aku tidak peduli siapa yang datang hari ini, aku tidak pernah membuat janji itu. Jadi, aku tidak akan ikut campur dalam urusan ini.”Tatapan Walter berubah tajam
Rumah yang mereka tuju tidaklah besar atau megah, tetapi begitu tiba di sana, Kayla langsung merasakan suasana yang hangat dan menenangkan. Halaman luas dengan rerumputan hijau dan pohon-pohon rindang menyambut mereka, seolah-olah memberikan ruang untuk bernapas setelah perjalanan panjang.Seorang pelayan wanita paruh baya keluar dari pintu depan, membungkuk hormat kepada mereka. “Selamat datang, Tuan dan Nyonya,” sapanya ramah. Senyumnya tulus, membuat Kayla merasa dihargai. Pelayan itu dengan sigap mengambil barang-barang mereka dari sopir dan membawanya masuk ke dalam rumah.William meraih tangan Kayla, membimbingnya masuk. “Ayo, aku ingin menunjukkan sesuatu,” katanya singkat, tetapi nada suaranya membuat Kayla merasa ada sesuatu yang istimewa menanti.Mereka lalu memasuki sebuah ruangan yang memiliki atmosfer tenang dan elegan. Begitu pintu terbuka, aroma kayu dan bau mint menyambut mereka. Ruangan itu adalah perpustakaan mini William, sekaligus tempat kerjanya. Rak-rak buku tert
“Ini untukmu,” ucap Daisy sesaat setelah Kayla melewati serangkaian pelajarannya hari ini.Sebuah file yang cukup tebal diserahkan oleh Daisy padanya. Kayla mengambilnya tanpa bertanya. Baginya seharian otaknya sudah benar-benar penuh dengan hal-hal yang cukup rumit, apalagi mempelajari tentang karya seni secara umum hanya dalam waktu beberapa jam saja dan tentu saja dirinya dituntut untuk bisa menguasainya.“Baca itu juga, karena itu sangat penting saat kamu berada di sana.” Daisy menambahkan lagi,membuat hawa di sekeliling mereka terasa lebih berat.“Baik, Nek,” jawab Kayla singkat.“Kamu harus ingat Kayla, semua itu harus kamu pelajari dan jangan sampai ada kesalahan sekecil apa pun, karena saat kamu punya kesalahan sedikit saja, maka akibatnya akan fatal dan keluarga Drake akan menjadi buah bibir semua orang. Ingat Kayla, tugasmu jelas untuk membuat keluarga Drake tetap pada posisinya.” Daisy berkata dengan penuh penekanan.Mendengar hal itu, rasanya beban di pundak Kayla makin
Di Ruang Kerja Pribadi WalterWilliam berdiri tegap di depan kakeknya, Walter, yang duduk santai di kursi kulit hitam kebanggaannya. Ekspresi Walter tampak acuh tak acuh, seolah-olah tak ada yang terjadi sebelumnya. Sementara itu, tangan William mengepal erat di samping tubuhnya, urat-urat di lengannya terlihat menegang.“Apa maksud Kakek mengatakan hal itu di depan Kayla?” Suara William bergetar, bukan karena takut, melainkan karena kemarahan yang ditahan dengan susah payah sejak tadi.Walter mendongak sedikit, senyuman tipis menghiasi bibirnya. “Apa yang salah? Aku hanya mengatakan yang seharusnya aku katakan, bukan?” Nada bicaranya ringan, hampir seperti bercanda, tapi penuh dengan provokasi yang disengaja."Fakta apa? Kayla bukanlah asistenku melainkan istriku!" Suara William tajam. Matanya tetap memandang Walter, yang hanya mengangkat alis tipisnya dengan ekspresi tak terpengaruh. Walter mencondongkan tubuh sedikit ke depan, seolah mengamati reaksi William seperti seorang pemain
Ruangan itu telah lama kosong, meninggalkan hanya jejak langkah dan hawa dingin yang mengendap. Laura berdiri di tengah ruangan, tangannya terkepal di sisi tubuh, sementara matanya menatap pintu yang baru saja tertutup. Hatinya berkecamuk. Rasa marah dan frustrasi bercampur menjadi satu. Dia telah membawa proposal kerja sama yang seharusnya menjadi langkah besar bagi kedua keluarga, tetapi semua sia-sia. Tidak ada apresiasi, tidak ada penerimaan. Malah, mereka meninggalkannya sendirian di sini seperti orang yang tak berarti.Laura menghela napas kasar, lalu berjalan menuju pintu. Tumit sepatunya beradu dengan lantai, menghasilkan bunyi yang menggema, seolah mencerminkan isi hatinya yang mendidih. Kepalanya dipenuhi dengan bayangan keluarga Drake, terutama William. William Drake. Pria yang seharusnya menjadi miliknya.Begitu sampai di mobil, dia duduk dengan gerakan kasar, membuat sopir yang menunggu di kursi depan meliriknya dengan bingung. Laura tidak peduli. Dia meraih tasnya dan me
Daisy lalu melihat ke arah Laura dan Walter yang masih duduk di sofa ruangan ini. "Laura, kakek William, aku harus pamit sebentar untuk mengurus sesuatu di kamar dan bersiap-siap untuk pergi," katanya dengan suara lembut namun tegas. Tatapannya sejenak beralih ke Kayla, memberikan anggukan kecil yang penuh makna sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkahnya tenang, tapi kehadirannya masih terasa kuat bahkan setelah menghilang di balik pintu.Kini, hanya William, Kayla, Laura, dan Walter yang tersisa di ruangan. Suasana semakin hening, hanya terdengar suara detik jam di sudut ruangan. Keheningan itu pecah oleh suara Laura, yang kembali bersuara hingga suasana menjadi tidak menyenangkan."William, kamu mau ke kantor, kan? Kebetulan sekali aku ingin ikut juga ke sana. Kita bisa pergi bersama," ucapnya sekali lagi sambil melirik ke arah William dengan tatapan penuh arti. Nada suaranya sengaja dibuat lebih keras, memastikan semua orang di ruangan mendengar.Kayla menelan ludah, hat
Seperti yang dikatakan oleh William semalam, dia yang akan mengantar Kayla sendiri ke kediaman Drake untuk menemui neneknya dan pagi ini juga Kayla tidak melihat Frank ada di rumah mereka.William, dengan tangan kokohnya di setir, tampak begitu santai. Dia menoleh sesekali, memastikan Kayla baik-baik saja, sementara jarinya secara naluriah menyesuaikan posisi dasi.Kayla memainkan ujung jaketnya, terlihat sedikit cemas. Dia menggigit bibir bawahnya, sebuah kebiasaan yang muncul saat dia merasa gugup. "Apa ini tidak berlebihan dan membuat Kak Will menjadi repot?" tanyanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh alunan lembut musik klasik dari pemutar musik di dalam mobil.William menoleh sekilas, pandangannya tetap tenang tanpa ekspresi berlebihan. Dia mengulurkan tangannya, mengusap puncak kepala Kayla dengan gerakan mantap, seolah ingin meyakinkannya. "Mengantar istri sendiri bukanlah sebuah kerepotan."Kayla merasakan wajahnya memanas. Dia buru-buru mengalihkan pandangannya, mencoba me
Di dalam mobil yang melaju pelan Kayla hanya terdiam. Wajahnya menghadap ke jendela, memandangi bayangan gedung-gedung yang berkelebat dalam senja. Tangannya bermain di pangkuan, menggenggam ujung mantel yang ia kenakan. Ada segumpal rasa ragu dan penasaran yang terus berputar di kepalanya sejak insiden tadi. Namun, ia memilih bungkam.Hening yang menyelimuti kabin mobil akhirnya pecah ketika suara Daisy terdengar. Suaranya tenang, tapi ada nada otoritas yang tidak bisa diabaikan. “Frank, antarkan Kayla pulang lebih dulu ke rumahnya. Setelah itu, baru kau antar aku pulang.”Frank, sopir yang duduk tegap di depan, melirik melalui kaca spion dengan ekspresi yang tampak ragu. Dia mengernyitkan dahi sejenak sebelum akhirnya berkata, “Tapi Nyonya ...?”Daisy menoleh sedikit, menatap Frank dengan sorot tajam yang membuat udara di dalam mobil seolah menegang. “Apa kau keberatan?”Frank langsung menundukkan kepalanya sedikit, menyesali pertanyaannya. “Ma-maaf, Nyonya Besar. Saya akan mengantar
Daisy tidak langsung menjawab. Wanita tua itu menatap Kayla dengan ekspresi datar, seolah-olah pertanyaan itu tidak membutuhkan penjelasan panjang. "Tenangkan dirimu, Kayla. Kau tahu posisi ini bukan sesuatu yang mudah. Keluarga Drake butuh seseorang yang bisa diandalkan, dan itu termasuk kamu.""Diandalkan?" Kayla hampir tertawa, tetapi suaranya terdengar getir. "Nenek menyeretku ke sini, memberikan gelar adik William? Apa ini tidak salah? Apa aku hanya pion dalam permainan keluarga ini?" Suaranya meninggi, mencerminkan gejolak emosi yang ia tahan selama ini. Ketenangan yang biasanya ia tunjukkan runtuh dalam sekejap.“Nona, rendahkan suara Anda saat bicara dengan Nyonya besar,” ucap seorang wanita berpostur langsing yang berdiri di samping Daisy, suaranya dingin dan penuh otoritas."Kamu yang diam dan tutup mulut!" Kayla menunjuk wanita itu dengan tatapan tajam.Wanita itu terperangah, tetapi sebelum ia bisa membalas, seorang wanita lain yang bertubuh gempal ikut menyahut, suaranya t
Kayla berdiri mematung di depan villa megah itu, matanya tertuju pada dinding putih yang tampak pucat di bawah sinar matahari pagi musim dingin. Angin menusuk kulitnya, membawa aroma tanah basah yang menyelinap ke dalam napasnya, tetapi tak mampu menenangkan gejolak di dadanya. Ranting-ranting gundul pepohonan di sekitar villa berayun pelan, seperti mencerminkan pikirannya yang kusut. Beban berat seolah menekan pundaknya, menciptakan sensasi tidak nyaman yang tak kunjung hilang. Ia merapatkan mantel lebih erat, mencoba menghalau hawa dingin, tapi kekhawatiran dan rasa tak percaya diri justru membuatnya semakin kaku. "Kamu harus bisa, Kayla," gumamnya dalam hati, namun suaranya tenggelam di antara desir angin yang dingin.“Ayo masuk.” Suara Daisy memotong lamunannya. Wanita tua itu melangkah lebih dulu, tak menunggu respon dari Kayla. Kayla menelan ludah, mencoba menghapus keraguan yang menggantung di dadanya, lalu mengikuti langkah tegas Daisy ke dalam villa.Di ruang tamu yang luas d
Kayla dan William pulang dari tempat itu saat pagi hari. Rose menyambut Kayla dengan wajah yang cukup cerah. Semalam dia juga menghubungi William dan mengatakan kalau Kayla belum pulang, nadanya terdengar khawatir, tetapi saat William mengatakan kalau Kayla bersamanya dia cukup terdengar lega.Setelah William pergi ke kantor, Kayla duduk di depan televisi yang dinyalakan dengan lumayan keras, pikirannya melayang ke acara yang akan dia hadiri nanti, lalu acara yang akan dia tinggalkan. Ternyata benar, menjadi orang yang sangat penting itu memang selalu dihadapkan dengan dilema.“Nyonya, silakan diminum tehnya,” ucap Rose memecah pikiran Kayla.“Ah, Iya, Bi, terima kasih.” Kayla berkata dengan sopan. Setelah Rose meninggalkan tempat itu, dia memandang punggung pelayannya itu dari kejauhan dan teringat akan beberapa percakapan singkatnya dengan William semalam.“Apa mungkin yang memberi tahu nenek adalah Bibi Rose?” gumama Kayla singkat.Memikirkan hal ini, rasanya kepala Kayla mau pecah