Senyum Sasa terkembang. Ia rentangkan kedua tangannya, meminta gendong pada sang suami. Dengan senang hati, Badai membopong tubuh mungil Sasa itu hingga ke ranjang bak membawa satu karung kerupuk yang ringan. Dikecupnya kening Sasa, turun ke hidung mancungnya dan berakhir di bibir tipis indah itu."Gimana dong? Kemejanya basah," goda Sasa memainkan tulang selangka Badai dengan berani.Senyum Badai terkembang, "Nggak pa-pa. Basah bekas kamu ini," katanya pengertian. Mereka saling berpandangan dalam diam, melempar senyum penuh cinta, bentuk rasa syukur karena telah bersama. Namun, momen manis itu tidak bertahan lama karena sebuah gedoran keras datang dari pintu.Badai langsung tanggap. Ia melompat dari tempat tidur, diberinya Sasa baju dan dalaman yang ia ambilkan kilat dari dalam koper. Sementara ia pakai kemeja basahnya, membantu Sasa merapikan diri."Diaz," bisik Badai. "Pasti ada yang nggak suka, kamu siap-siap buka pintunya. Tetep tenang," pintanya menyempatkan diri mengecup kenin
Menjelang malam, Badai yang sudah bak pencuri datang dan pergi melalui balkon kamar Sasa, akhirnya duduk tenang di ranjang. Ia tunggui istrinya yang tengah sibuk menyiapkan beberapa cindera mata untuk diserahkan pada pihak Universitas Yogyakarta. Sebenarnya, Sasa ditugasi menyiapkan kenang-kenangan itu bersama Amelia dan Karin, tapi Sasa memilih untuk membungkusnya sendiri."Nggak perlu bantuan?" tanya Badai seusai memberesi handgun-nya."Mas udah selesai?" tanya Sasa balik, melongok ke atas ranjang yang spreinya sudah diganti oleh pihak hotel setelah Badai mengurus dendanya."Udah," balas Badai."Tugas Mas nemenin aku tidur, ngelonin. Urusan cindera mata ini biar aku yang tanganin," gumam Sasa yang kini merasa nyaman bersikap sopan pada Badai dengan tidak memanggilnya dengan sapaan 'kamu'.Senyum Badai terkembang, "Iya maksudku juga gitu Nduk," katanya. "Biar cepet dikelonin, pengin kubantuin.""Nggak usah, bentar lagi selesai," tolak Sasa. "Mas, nanti misal Mas nemenin aku tidur di
Ragu, Sasa terima ponsel Badai. Ia amati sebentar layarnya, ada foto candid Sasa yang Badai jadikan sebagai latar belakang layarnya. Senyum Sasa terbit, hatinya membuncah. Badai sangat tahu bagaimana cara menyenangkan hatinya dan seperti apa cara membuat Sasa tenang atas perasaannya."Dia coba ngingetin Mas soal masa lalu indah kalian dulu ya," gumam Sasa kusyu membaca satu per satu isi pesan percakapan yang dikirim Arleta."Nagih janji yang belom sempat kutepati," sahut Badai."Kalau mau ngajak liburan sih itu bukan janji, emang penginnya pergi aja, tapi karena nggak ada waktu, makanya nggak sempat terealisasi.""Iya, gitu maksudku Nduk," ralat Badai tak ingin Sasa salah tanggap."Halaah, sok ngingetin jika mencintaimu adalah salah maka jangan ijinkan aku menjadi benar, kok geli aku baca ini," desis Sasa kesal. "Mas bener pernah bilang gitu ke dia?" tanyanya."Dulu, pas kami masih mesra-mesranya," jawab Badai jujur."Sama aku Mas nggak pernah mesra," desis Sasa iri.Badai tersenyum s
"Kayaknya tadi aku liat kamu turun dari bus bareng mas pacar, sekarang ke mana?" tegur Nana saat mendapati Sasa menuju ke ruang pertemuan di Universitas Yogyakarta sendirian."Katanya mau ngabisin rokok dulu, kan ruang pertemuannya ber-AC," jawab Sasa sesuai ucapan Badai yang berpamitan padanya."Aku denger ada rame-rame di penginapan yang otaknya Dira ya?" tanya Nana."Dia nuduh aku masukin Badai ke kamar, ngajakin Mas Diaz sama yang laennya buat sidak langsung. And you know what, Bestie? Mereka ngegeledah kamarku dong. Sialan!""Sampe segitunya?" mata Nana membulat."Sampe segitunya. Dan mereka pasti malu banget karena udah nuduh tanpa bukti dan Badai nggak ada di kamarku. Lagian, Dira dipercaya!" sungut Sasa dengan senyum puasnya."Tapi serius lho Sa, emang rumor soal kamu sama Badai yang minta kamar sendiri-sendiri jadi bahan gosip anak-anak. Untungnya pas digrebek kamu lagi nggak sama Badai di dalem.""Aku minta kamar sendiri karena aku butuh privasi. Keinget pas kita KKL di Bali
Demi kebaikan semua orang yang sudah tunduk pada perintah para teroris ini, Sasa akhirnya berdiri. Ia letakkan ponselnya di podium depan, lalu ia didorong oleh Diaz agar bergabung dengan tawanan lainnya, duduk sambil memegangi kepala."Dia juga nggak berkutik, badan doang gede tapi nyalinya nggak ada. Tuh!" tunjuk Diaz ke arah pintu setelah berbisik di telinga Sasa.Ada Badai di sana, kedua tangannya terangkat sambil digiring oleh salah seorang kawanan teroris terorganisir yang berasal dari universitas tuan rumah. Semua perkiraan tim Raider dan sejauh apa pergerakan Diaz benar-benar diprediksi dengan sempurna oleh pasukan khusus itu. Saat Badai digiring ke sisi berlawanan dengan Sasa, mereka saling melempar tatapan. Badai memberikan dua kedipan pelan pada istrinya itu. Sebuah isyarat agar Sasa tetap tenang dan percaya pada sang suami."Kita punya tawanan dan kita siapin tuntutan," ujar Diaz bergerak sebagai pemimpin teroris."Apa karena gue?" tanya Sasa yang sengaja dijaga tetap dekat
Kabar penyanderaan dan penyerangan oleh Organisasi Kriminal Bersenjata di dalam kampus yang didalangi Diaz dan anak buahnya cepat sampai ke pusat. Operasi senyap segera digelar, seluruh pasukan elite khusus yang tengah bersiaga segera diturunkan untuk mendukung tim Raider yang bertugas di lapangan. Keamanan sekitar berikut polisi segera mengamankan lingkungan sekitar kampus, memasang garis polisi agar tidak ada orang luar yang masuk, sesuai permintaan para teroris berkedok mahasiswa itu.Sementara di bawah tekanan, Sasa berusaha tegar. Meski air matanya terus mengalir, takut terjadi sesuatu pada sang suami. Namun, ingatan mengenai Badai yang adalah pemimpin tim elite khusus membuatnya sedikit lebih tenang. Badai tidak akan tumbang semudah itu bukan?"Lo nggak akan dapet apa-apa dari ngelakuin ini selaen dapet kutukan marah dari semua orang, berharap lo mati mengenaskan!" geram Sasa melirik tajam pada Diaz yang kini menggunakan masker hingga hanya matanya saja yang terlihat.Diaz menye
Sasa jelas tertegun mendengar suara itu. Pilihannya hanya ada satu, antara Rahman yang tumbang atau Badai yang terkena tembakan. Ia remas kedua lututnya untuk menguatkan diri, menyemangati hatinya dan meyakinkan dirinya bahwa Badai pasti baik-baik saja. Sementara, suasana di luar yang menjelang senja itu hening. Hanya ada tiga kumpulan petugas gabungan tentara dan polisi yang bersiaga, menunggu kode dari tim pelaksana operasi senyap."Heh!" Diaz menyodok bahu Sasa menggunakan ujung senjata apinya, "kayaknya emang kebanyakan omong si Badai, gue anter ngecek mau?" tawarnya kejam dengan seringai.Sasa bergeming."Ikut gue! Sekarang lo milik gue seutuhnya!" ujar Diaz menarik lengan Sasa dengan paksa, membuat semua sandera menatap ke arah istri Badai itu.Sasa berontak, berusaha melawan tapi ia kalah ancaman. Bagaimanapun, Diaz ada di posisi menang senjata sekarang, Sasa tidak bisa berbuat semaunya jika ingin semua sandera tetap hidup. Langkahnya terseok, mengimbangi Diaz yang terus menyer
***WARNING 21+***Bab ini berisi tindakan kekerasan dan aksi brutal, mohon bijak salam membaca. "Orang-orang di luar pasti denger suara tembakan tadi," sebut Badai sambil membalut luka di pundak Sasa dengan peralatan seadanya."Diaz bakalan muncul Mas, Mas harus pergi," ujar Sasa sudah mulai bisa menguasai keadaan meski sesekali ia melirik mayat Tino yang disingkirkan Badai ke pojok ruangan."Enggak tanpa kamu," balas Badai lirih, tapi terdengar sangat serius."Aku tau aku adalah prioritas utama Mas, tapi ada tiga lusin nyawa lain di dalam sana yang butuh pertolongan, iya kan?" gumam Sasa meremas jemari Badai pelan."Meski begitu, aku nggak akan ninggalin istriku di sini sendirian.""Tinggalin handgun Mas buat jadi temenku, Mas," ujar Sasa mengejutkan. "Perintahnya tangkap dalam kondisi hidup atau mati kan?""Tembak mati semuanya," sahut Badai membuat Sasa membasahi bibirnya cukup kaget. "Dan mana mungkin kutinggalin kamu!""Mas nggak pernah ninggalin aku," sangkal Sasa. "Kita tau si
"Gimana?" Sasa mengulum bibirnya dengan tatapan yang tak lepas dari sang suami, ia bahkan menahan napas."Enak," ucap Badai sambil manggut-manggut. "Rada asin," tambahnya membuat ekspresi Sasa berubah."Maaf, Mas tau aku nggak bisa masak," cengir Sasa merasa bersalah. Ia tarik mangkok sop ayam yang tengah dinikmati suaminya. "Jajan di luar aja yok Mas, ini nggak layak makan," katanya."Siapa bilang? Enak kok," kata Badai tulus. "Apapun itu kalau dari tangan kamu, pasti kumakan," ujarnya begitu manis, ia ambil lagi mangkok sopnya dari sang istri, ia lahap isinya rakus."Jangan gitu," hidung Sasa kembang kempis, pertanda ia tengah berusaha untuk tidak bersedih. "Harusnya aku masak yang enak biar Mas seneng, kan tiga hari lagi Mas berangkat," katanya.Surat perintah agar Badai dan timnya segera berangkat ke Papua terbit kemarin sore. Setelah dua minggu melakukan peran sebenar-benarnya sebagai suami-istri di rumah mereka sendiri, kabar yang paling tidak ingin didengar Sasa itu akhirnya da
"Ganteng kan kalau udah pake baju, gemes, pengin di atas," bisik Sasa penuh godaan."Yok, ke sebelah," ajak Badai langsung sigap."Kok jadi serius," Sasa menutup mulutnya spontan. "Mas nggak capek? Abis maen bola juga ih," desisnya."Sekalian capeknya. Lagian kalau kamu yang di atas, aku nggak capek, Nduk.""Kok vulgar gini jadinya kita ngobrolnya ya Mas?"Lalu, tawa mereka berderai ceria. Badai melakukan kebiasaan wajibnya, mengacak rambut Sasa, membuat beberapa mahasiswi lain dari universitas tuan rumah yang ikut dikarantina memekik iri, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Sasa sengaja pamer kemesraan di depan mereka, juga di depan Dira yang sudah pasti sedang tak aman posisinya."Ayok sarapan!" ajak Badai menunjuk gedung induk di paling depan, semua aktivitas dari makan termasuk hiburan diadakan di ruangan itu."Emang yang laen udah?""Tuh, Ramdan udah ngusap sekitar bibirnya. Udah selesai dia," jawab Badai."Mas udah laper? Aku kok belom. Pengin sarapan yang lain," pancing Sasa imut."
"Aku juga baru tau kalau tim penyelamat kita itu semua hobi pamer," desis Sasa geleng-geleng kepala. Bagaimana Nyonya Badai ini tidak merasa heran dan kesal saat mendapati sang suami bersama anggota timnya bertelanjang dada. Benar, Badai hanya mengenakan celana pendek olahraga dengan running shoes bermotif hitam putih saat bermain sepakbola. Sebagai istri sah, Sasa tentu measa tidak rela Badai mengumbar daya tarik seperti itu."Dari semua sesi karantina buat penyembuhan trauma, ini sih sesi healing yang paling manjur menurutku," cengir Nana puas sekali."Kebanyakan dari mereka emang bertato ya Dek," kata Wulan ikut menatap takjub. "Tadi gue liat ada juga yang telinganya bertindik," tambah Karin tak kalah terpesonanya. "Sasa beruntung dapet yang paling ganteng, damage-nya nggak ada obat pula," katanya kagum."Kalau dia begitu keselku muncul lagi," gumam Sasa lagi-lagi keceplosan. "Kesel kenapa? Bukannya kalian bulan madu?" bisik Nana yang akhirnya benar-benar diberi pengertian ke ma
"Aku minta maaf, nggak akan keulang yang begini lagi, janji!" ikrar Badai serius sekali. "Janji, janji, kebanyakan janji nanti nggak bisa nepatin, sekalinya mau nepatin malah nyakitin," sindir Sasa telak. "Salah lagi akunya." "Lha Mas ngerasa salah nggak?" suara Sasa meninggi lagi. "Iya ngerasa, aku tau aku salah makanya aku minta maaf." "Kalau ngerasa gitu, cancel semua bantuan yang udah Mas atur buat Arleta. Berani?" dagu Sasa terangkat, menantang. "Nduk, kamu boleh marah tapi jangan sampe hilang empatimu buat sesama perempuan," pinta Badai kalut. "Aku ngetes Mas tau nggak!" sengal Sasa tak tahan. "Aku nyoba liat reaksi Mas kayak gimana, ternyata Mas masih belom bisa misahin antara peduli sama Arleta dan ngejaga perasaanku!" sergahnya siap menangis lagi. "Mas harusnya kenal siapa istri Mas! Nggak mungkin aku serius nyuruh Mas ngebatalin itu semua!" Hening. Badai meraup wajahnya frustasi. Ia berdiri dari ranjang tanpa bicara lagi, serasa yang ia ucapkan pada sang istri
Kediaman panjang pasangan baru ini masih berlangsung hingga lewat tengah malam. Badai takut untuk memulai pembicaraan lagi, pun dengan Sasa yang enggan bertanya atau tangisnya akan pecah lagi-lagi. "Nduk," Badai memberanikan diri memanggil Sasa. "Kamu udah tidur?" tanyanya. "Belom, masih sedih dan pengin nangis," jawab Sasa terdengar sangat imut. Badai tersenyum simpul, semarah apapun Sasa, celetukannya benar-benar membuat Badai selalu merasa dimabuk cinta. Namun Badai harus serius jika itu mengenai Arleta dan perasaan istrinya. "Aku bodoh ya Nduk?" gumam Badai. "Sebenernya aku males kita berdebat kayak gini Mas. Ngabisin energi, saling nyakitin," ujar Sasa. Tampak bahunya sedikit bergetar, tanda ia masih sedikit emosi. "Aku nggak pengin mendebat kamu Nduk," sangkal Badai polos sekali. "Iya Mas bilang gitu, tapi nggak sadar kalau sikap Mas udah nyakitin aku. Sadar nggak kalau kita lagi dalam kondisi begini itu pertahanan kita sama-sama aktif? Kita sama-sama merasa b
Sementara, Sasa yang akhirnya merubah posisi berbaringnya menjadi setengah duduk dengan bersandar di leher ranjang, menatap suaminya penasaran. Seandainya Badai tahu bahwa Sasa ingin Badai menyalakan pengeras suaranya jadi Sasa bisa ikut mendengar isi percakapan itu. Begitu mematikan sambungan, Badai beranjak dari ranjang. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas lagi, tapi ia berjalan menuju gantungan baju, memakai kemeja dan jaketnya. "Aku keluar bentar ya Nduk, ada urusan dikit, nggak lama kok," pamit Badai seraya menyambar ponselnya dan berjalan keluar kamar tanpa memberi penjelasan apapun pada sang istri. Hanya anggukan lemah yang Sasa berikan. Sasa sendiri tak tahu harus bersikap seperti apa menanggapi tingkah laku absurd Badai kali ini. Tidakkah Sasa baru saja diabaikan karena sebuah telepon dari sang mantan? Padahal, sebelum ada panggilan dari Arleta, keduanya tengah mengobrol mesra."Mungkin emang penting Sa, jangan emosi, dengerin penjelasannya dulu ya," kata Sasa berusaha m
"Aku diminta sama tim buat ikut nanyain Dira and the gang," lapor Badai pada sang istri tepat saat Sasa menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Ijin untuk menginap di hotel di sebelah gedung karantina sudah didapat, Damar memperbolehkan selama aktivitas di siang hari, Sasa dan Badai tetap mengikuti jadwal. Oleh karena itu, Badai baru bisa mengajak sang istri beristirahat di hotel yang sudah dipesannya di atas pukul 8 malam. "Terus Mas jawab mau?" gumam Sasa langsung meminta bantal pada lengan Badai dan menyusup nyaman di celah ketiak sang suami. Mereka berbaring berdampingan kini. "Aku harus mau. Karena kita kan pernah satu kelas sama Dira dan tim menganggap kalau seenggaknya aku cukup paham karakternya. Di samping itu, kalau aku yang coba nanyain, kecil kemungkinan Dira bakal berkilah," sebut Badai. "Aku sih ngedukung kalau Mas yang nanyain Dira, biar dia tau siapa Mas dan kayak apa pengaruh Mas. Kadang kesel juga kalau ngeliat cara dia mandang Mas, ngeremehin gitu. Mungkin dia mas
"Idih," Sasa berjenggit, "makanya aku minta banget buat nyelidikan dia, bisa aja dia dimanfaatin sama Diaz buat gimana-gimana kan?" "Iya, masuk akal kalau itu sih," Badai manggut-manggut setuju."Mas, kalau boleh tau, jenazah Diaz sama teroris yang laen dibawa ke mana?" tanya Sasa mengubah topik. Meski yang ia tanyakan nampak serius, pandangannya tak lepas dari permainan bola voli receh para mahasiswa yang tengah berlangsung. "Untuk saat ini masih ditahan pihak intelejen buat kepentingan laporan. Nanti bakalan dikirim ke keluarga masing-masing, yang jelas meskipun nama asli mereka dirilis, kita udah minta ke pihak warga sekitar buat tetep menerima jenazahnya dan memperlakukan keluarga mereka sama kayak yang laennya," sebut Badai rinci. "Keluarganya nggak salah sih, menurutku mereka gampang terpengaruh sama ideologi yang menuntut makar begitu karena mereka jauh dari keluarga. Kebanyakan kan mereka anak-anak rantau semuanya," kata Sasa terdengar miris. "Ironis ya Nduk," Badai tersen
Sasa menggaruk bagian belakang kepalanya untuk menghindar dari Dira. Namun, seakan tak terima dengan pengakuan Sasa, Dira menarik lengan Sasa kasar."Kalian baru pacaran, nggak usah ngaku-ngaku sok jadi istrinya, belom tentu nikah juga!" kata Dira geram. "Dia emang istri gue," sambar Badai yang entah sejak kapan mendatangi tempat istrinya diserang oleh Dira dan geng. Lokasi yang seharusnya dijadikan tempat untuk senam pagi justru diubah Dira menjadi spot menggosip ria. Mendengar ucapan Badai, tentu saja Dira and the geng tidak langsung percaya. Apalagi ekspresi kesal Dira makin menjadi saat Badai memeluk pundak Sasa protektif. "Mas, jangan ladenin mereka," pinta Sasa pada suaminya."Harus diladenin yang begini. Sampe kamu todong senjata aja dia nggak kapok. Hatinya udah penuh iri sama dengki," ujar Badai. "Kami udah nikah, sah secara agama dan negara, kalau lo perlu bukti, nanti gue buktiin. Berhenti menekan istri gue dan berusaha mem-bully-nya. Lo nggak akan pernah tau akibat apa