Sasa jelas tertegun mendengar suara itu. Pilihannya hanya ada satu, antara Rahman yang tumbang atau Badai yang terkena tembakan. Ia remas kedua lututnya untuk menguatkan diri, menyemangati hatinya dan meyakinkan dirinya bahwa Badai pasti baik-baik saja. Sementara, suasana di luar yang menjelang senja itu hening. Hanya ada tiga kumpulan petugas gabungan tentara dan polisi yang bersiaga, menunggu kode dari tim pelaksana operasi senyap."Heh!" Diaz menyodok bahu Sasa menggunakan ujung senjata apinya, "kayaknya emang kebanyakan omong si Badai, gue anter ngecek mau?" tawarnya kejam dengan seringai.Sasa bergeming."Ikut gue! Sekarang lo milik gue seutuhnya!" ujar Diaz menarik lengan Sasa dengan paksa, membuat semua sandera menatap ke arah istri Badai itu.Sasa berontak, berusaha melawan tapi ia kalah ancaman. Bagaimanapun, Diaz ada di posisi menang senjata sekarang, Sasa tidak bisa berbuat semaunya jika ingin semua sandera tetap hidup. Langkahnya terseok, mengimbangi Diaz yang terus menyer
***WARNING 21+***Bab ini berisi tindakan kekerasan dan aksi brutal, mohon bijak salam membaca. "Orang-orang di luar pasti denger suara tembakan tadi," sebut Badai sambil membalut luka di pundak Sasa dengan peralatan seadanya."Diaz bakalan muncul Mas, Mas harus pergi," ujar Sasa sudah mulai bisa menguasai keadaan meski sesekali ia melirik mayat Tino yang disingkirkan Badai ke pojok ruangan."Enggak tanpa kamu," balas Badai lirih, tapi terdengar sangat serius."Aku tau aku adalah prioritas utama Mas, tapi ada tiga lusin nyawa lain di dalam sana yang butuh pertolongan, iya kan?" gumam Sasa meremas jemari Badai pelan."Meski begitu, aku nggak akan ninggalin istriku di sini sendirian.""Tinggalin handgun Mas buat jadi temenku, Mas," ujar Sasa mengejutkan. "Perintahnya tangkap dalam kondisi hidup atau mati kan?""Tembak mati semuanya," sahut Badai membuat Sasa membasahi bibirnya cukup kaget. "Dan mana mungkin kutinggalin kamu!""Mas nggak pernah ninggalin aku," sangkal Sasa. "Kita tau si
Selanjutnya, Sasa memeluk kedua lututnya, air matanya mulai mengalir, sengaja bersikap gemetaran tepat saat Diaz membuka pintu cukup keras. Mata Diaz nyalang meneliti ke sekitar, lalu fokusnya jatuh pada tubuh Tino yag terkapar."Jalang sialan!" teriak Diaz seraya mendatangi Sasa dan menjambak rambutnya. "Berani lo mampusin orang gue?" sengalnya tanpa ampun.Sasa berusaha untuk bertahan, ia biarkan rambutnya dibawa Diaz hingga tubuhnya ikut terseret karena jambakan kuat itu. Hanya erangan kesakitan yang muncul dari mulut Sasa atas tindakan brutal Diaz."Gue bunuh lo! Gue mampusin lo sekarang!" seru Diaz langsung menodong kening Sasa dengan senjata laras panjangnya.Pintu ruang kontrol yang terbuka lebar memungkinkan para sandera yang lain melihat adegan Sasa diseret dan dijambak oleh Diaz, hingga diancam dengan senjata. Namun, tak ada satu katapun yang keluar dari mulut Sasa, justru para mahasiswi lainnya yang panik dan saling bergumam ketakutan."Brengsek!" sergah Diaz segera menutup
Di posisinya, Badai terus mengawasi pergerakan timnya dan juga Sasa. Pengaman senjatanya sudah tidak terpasang, ia siaga, menjaga sang istri agar tidak terluka dari kejauhan."You got an enemy on your 12," ujar Badai pada earpiece-nya."Copy that Boss," balas Lion dari seberang.Sasa terus dilindungi oleh Anung di belakangnya. Mereka masih ada di dalam ruang kontrol, bersiap untuk kontak senjata langsung jika musuh yang dikatakan Badai, mendekat dan masuk mendatangi mereka. Seakan diberi kekuatan untuk bertahan sekuat tenaga, Sasa yang terluka di bagian pundaknya bahkan ikut menyelipkan kedua tangan di balik punggungnya, siap ikut menyerang jika nantinya terjadi baku tembak.Suara riuh sirine di luar gedung mulai terdengar. Tuntutan yang Diaz layangkan sudah didengar oleh pemerintah tapi berkat diterjunkannya tim Raider, Damar meminta presiden untuk tetap pada posisinya. Laporan yang dikirim oleh masing-masing pemimpin tim Raider padanya membuat Damar sangat percaya bahwa kekacauan ak
"Hei!" Sasa habis kesabaran. Ia tarik senjata milik Badai yang masih ia simpan di balik punggungnya, lantas ia todong Dira hingga mengejutkan semua orang. "Badai belom mati dan jaga mulut lo atau gue bener-bener habis kesabaran!" ancamnya mengerikan."Mbak," Ramdan meremas pergelangan tangan Sasa, "akan ada waktu untuk menginterogasi sandera non kooperatif nantinya, Mbak harus sabar," pintanya. "Di tengah situasi kayak gini dia justru memperparah suasana Mas, kita lagi berjuang buat hidup tapi mulutnya udah lebih bocor dari meriam!" gumam Sasa tak mau menuruti Ramdan dan justru mengokang handgun milik suaminya itu.Dira yang tak menyangka akan ditodong tiba-tiba menggunakan senapan sungguhan seperti itu langsung ciut nyali. Ia harus kapok memprovokasi Sasa kali ini jika tidak ingin mati konyol."Sakura Kadita Rumi," Badai kembali dan langsung meremas tangan Sasa yang menodong Dira, "jangan kotori tangan kamu dengan darah orang yang nggak penting," katanya lembut."Mas harus periksa d
Sasa mengitarkan pandangannya setelah menerima secangkir teh panas dari perempuan yang ditugaskan untuk menyiapkan makanan dan minuman bagi korban teror yang tidak terluka. Untuk memulihkan jiwa mereka dari trauma, ke-40 orang itu sengaja diberikan pelayanan kesehatan sebelum kembali pada keluarga satu minggu ke depan. Harapannya, para sandera itu sudah lupa pada kejadian baku tembak dan bisa menjalani aktivitas sehari-hari mereka lagi tanpa rasa takut dan panik."Kalau mantan model dan artis emang bisa bebas meluk cowok mana aja gitu ya?" gumam Dira sengaja duduk di seberang Sasa."Jangan lo pikir karena pistol gue udah diminta Mas Badai, lo nggak bakalan gue todong pake senjata yang laen ya Ra!" desah Sasa jengah, "lagian gue nggak perlu ngejelasin ke lo siapa aja cowok yang gue peluk dan apa hubungannya sama gue!" lanjutnya ketus."Lo nggak malu asal nempel begitu?" tanya Dira belum merasa cukup dengan jawaban Sasa."Yang dipeluk Sasa tadi itu Mas Ernest," Nana bergabung dan duduk
"Nduk," pupil mata Badai melebar saat ia menoleh dan menemukan senyum cantik istrinya, sudah ada di sebelahnya begitu senyap, entah sejak kapan."Mas," balas Sasa lembut. "Aku nyari Mas dari tadi, kupikir ikut nyiapin kedatangan Ayah sama Presiden," sebutnya."Enggak, kalau nyambut begituan udah ada timnya sendiri kok," ujar Badai. Ia lantas mematikan bara rokoknya. Ditariknya jemari Sasa dan digenggamnya erat, "nyaman rasanya ada kamu," katanya tiba-tiba."Ada yang lagi Mas pikirin?"Badai mengangguk, tapi ia tidak langsung bicara. Tatapan matanya yang biasanya setajam elang, kini tampak tanpa fokus, bagai ditutupi selaput ketakutan dan penyesalan yang mendalam."Aku nggak akan maksa Mas buat cerita sekarang, aku sendiri tau kalau hatiku masih nggak karuan karena kejadian seharian. Yang kupengin justru pulang ke rumah, tidur di pelukan Mas, rasanya pasti nyaman banget. Sayangnya, kami semua kudu di karantina di sini," desah Sasa sedikit sendu."Aku juga di sini selama seminggu itu Nd
Hari hampir pagi dan Sasa masih belum bisa memejamkan mata di ranjangnya. Ia bangun dalam posisi duduk, mengitarkan pandangannya ke sekeliling. Mungkin karena energi semua orang tersita akibat serangan yang dipimpin oleh Diaz seharian tadi, mereka tertidur lelap. Meski Sasa acapkali masih mendengar beberapa dari mereka mengigau meminta ampun dan meminta agar diselamatkan. Perlahan Sasa turun dari ranjangnya. Ponselnya rusak parah dan tidak bisa digunakan akibat terlempar saat baku tembak tak terelakkan, bersama milik sandera lain. Jadi, ia mengandalkan jam dinding kecil di dalam barak sebagai penunjuk waktunya. Baru pukul 3 pagi, rasanya matahari masih lama terbit untuk menemaninya menyambut pagi. Banyak yang berputar di kepala Sasa, termasuk pikiran tentang perkataan Damar sang ayah pada suaminya. "Le ..., udah tau ini baru awal kan ya? Masih ada tanggung jawab besar menantimu dan juga tim," sebut Damar malam tadi, terngiang terus-menerus di telinga Sasa. Rasa penasaran yang meny
Interaksi mesra keduanya, juga candaan Badai yang kini seringkali menghangatkan suasana membuat Sasa tak hanya menikmati bulan madu mereka, tapi juga menyembuhkan semua rasa sakit yang bertubi diterimanya. Badai membuat Sasa tidak pernah menyesali satupun keputusan yang diambil setelah mereka saling mengenal dan berbagi rasa, termasuk kekecewaan saat tahu bahwa Badai pernah dinikmati perempuan lain. Kini, Sasa sudah berlapang dada menerimanya. Ia juga tak mau ambil pusing dengan apapun yang Arleta perbuat untuk meretakkan hubungannya dengan Badai. Semakin lama, ia akan kebal dengan sendirinya."Cari makan di pinggiran danau aja ya Yang?" tawar Badai setelah ia dan Sasa siap untuk menikmati sore hari Luzern yang menawan."Emang ada yang buang Mas?" tanya Sasa polos sekali."Yang buang?" alis Badai bertaut."Lha katanya mau nyari," gumam Sasa."Apa sih Nduk," Badai terbahak. "Maksudku beli, bukan nyari dalam arti yang sebenernya," terangnya."Iya, aku juga cuma bercanda, bukan karena ak
Adalah Luzern, kota kecil dengan pemandangan indah nan romantis di malam hari ini yang akhirnya ditetapkan Sasa dan Badai untuk menghabiskan sisa waktu 8 hari mereka setelah dua hari tinggal di Frankfurt, Jerman. Badai tahu, Luzern adalah kota sempurna bagi ia dan Sasa untuk menumbuhkan cinta, merajut kembali asa pernikahan mereka yang sempat koyak karena perpisahan dan rasa sakit yang sempat melanda. Suasana kota yang tenang, aroma angin yang manis, juga pemandangan alamnya yang menakjubkan langsung membuat Sasa jatuh cinta. "Kota ini adalah pilihan yang tepat banget buat bulan madu," bisik Sasa sambil sesekali menggigiti telinga suaminya sensual. Badai tersenyum simpul, tangannya sudah menangkup kedua dada Sasa yang tanpa balutan. Musim dingin baru saja berlalu, cuaca menghangat, matahari bersinar cerah. Baru siang tadi mereka tiba di hotel dan berniat untuk berjalan-jalan sore harinya. Alih-alih beristirahat, sang pengendali naga tak tahan untuk melakukan aksinya."Aku goyang Mas
"Bentar," Badai menepuk pundak istrinya sebentar dan berjalan mendekati seorang petugas avsec di dekat pintu keberangkatan bandara.Melihat keanehan suaminya dan bagaimana Badai dan dirinya dikawal oleh petugas itu menuju check in counter tentu saja membuat Sasa bingung. Namun, ia tidak banyak bertanya, ia ikuti saja langkah Badai yang melepas genggaman tangannya untuk mengurus dokumen keberangkatan bulan madunya."Kenapa sih Mas? Ada masalah sama dokumen kita?" tanya Sasa sambil melempar senyum dan melambaikan tangan pada beberapa orang wartawan."Enggak, aman aja," jawab Badai."Terus tadi ngapain?" gumam Sasa penasaran."Badai kudu dipisahin sama pacarnya kan kalau lagi naek pesawat?""Hem?" dahi Sasa berkerut, bingung dengan maksud sang suami. "Aku? Kita nggak bisa duduk deketan di pesawat?" tanyanya sedikit panik."Nggak gitu," Badai menahan tawa. Dibawanya Sasa duduk setelah tiba di executive lounge. "Ini kan penerbangan sipil, handgun-ku musti didaftarin dulu dan dititipin, ala
Arleta tercekat, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa selain lanjut berjalan dan turun dari pelaminan. Hatinya tak menyangka, Badai akan sekejam itu padanya dan keluarga."Siapa Ibuk?" tanya Sasa heran."Mamanya," desis Badai. "Aku biasa manggil Ibuk ke beliau," tambahnya.Sasa mengulum bibir merah meronanya, hatinya tergerak, "Mungkin kita nggak boleh terlalu kejam Mas. Sekedar jenguk pun aku nggak akan keberatan," ujarnya."Aku udah nitip salam, itu udah cukup Nduk," kata Badai mantap. "Aku harus jaga perasaan banyak orang, sedangkan dia justru berusaha menyakiti dirinya sendiri dan mamanya dengan memelihara harapan. Aku sekarang adalah suami orang. Banyak pelajaran yang kuambil setelah kita sama-sama dipisahkan. Jadi, biarin kujaga kamu dan keluargaku sebaik mungkin!" ikrarnya.Sasa tak lagi membantah. Jika ini memang keputusan yang sudah menjadi keyakinan sang suami, ia tinggal mengikuti. Sebenarnya Sasa juga bahagia karena Badai menjadikannya prioritas utama dengan tak lagi memedulik
Akhirnya, apa yang Sasa impi-impikan sebagai pernikahan khayalan masa kecil putri cantik Damar, terlaksana. Berbalut kebaya modern nan elegan, Sasa menuntaskan langkahnya di samping Badai dalam prosesi pedang pora nan sakral. Sebagai tanda jasa karena pengorbanan luar biasa Badai dalam menyelesaikan perlawanan Organisasi Kriminal Bersenjata bersama tim, ia dianugerahi kenaikan pangkat. Kini, Sasa adalah istri seorang Kapten Akai Badai Bagaspati. "Kamu sengaja ngebiarin banyak wartawan yang ngeliput acara kita?" gumam Badai berbisik pada sang istri saat keduanya menyelesaikan prosesi pedang pora dan duduk di pelaminan. Sasa mengangguk, "Iya, biar aku nggak diserang sama rumor jahat lagi. Jadi, nanti kalau aku hamil, aku bisa menikmati kehamilanku dengan bahagia dan tanpa beban. Jujur, aku ngerasa bersalah banget karena selama kehamilanku dulu, aku nggak jaga Gala dengan baik Mas," ungkapnya. "Bukan salah kamu Nduk, semua udah jadi kehendak Allah, gitu kan kata kamu?" "Iya Mas, tapi
Melajukan mobil kesayangan Badai itu meninggalkan halaman rumah, Sasa menemukan jalanan sudah mulai lengang oleh orang-orang yang berangkat menuju tempat kerja. Meski ramai lancar, Badai tetap saja khawatir dan merasa was-was saat sopirnya adalah Sasa, si labil manja nan imut itu."Apa aku perlu nemuin Arleta ya Mas?" tanya Sasa memecah keheningan, setidaknya ia membuat Badai lupa pada ketegangannya."Buat apa?" gumam Badai bingung."Kita nikah udah lama, udah banyak yang terlalui berdua kan ya? Kok dia kayak masih nggak rela ngelepasin Mas Badai gitu.""Terus kamu mau ngomong apa kalau udah ketemu sama dia?" tantang Badai.Sasa mengedikkan bahunya, "Ngobrol sebagai selayaknya perempuan yang udah pernah menikmati Mas Badai," katanya santai sekali."Nduk!" Badai mendesis."Emang bener gitu kan? Setelah dulu nggak berhasil nyerang kepercayaanku ke Mas Badai, sekarang dia nyoba nyerang aku secara mental lewat media sosial," desis Sasa terdengar kesal tapi tak tahu harus bagaimana melampi
Sasa cembetut, matanya tak lepas dari layar ponsel di tangannya. Saat Badai keluar dari kamar mandi seusai mandi pagi, ekspresi yang sama masih ia temui."Something's wrong, Love?" tegur Badai yang langsung menyadari bahwa ada yang aneh di layar ponsel istrinya."Mantan Mas Badai nyebelin deh," sungut Sasa jujur."Kenapa lagi dia?" tanya Badai langsung nyambung."Dia komentar di postingan foto yang aku pasang di Instagram. @arletanyumnyum kan nama akunnya? Childish banget gitu," gerutu Sasa jengah."Kamu emang posting foto apa?""Posting foto Mas Badai. Cuma nggak ngeliatin muka aja sih. Pas kemaren dari rumah sakit itu, aku kan foto punggungnya Mas, lha aku posting pake caption so called him BOJO pake huruf gede semua tulisan bojonya. Lha kok dia tiba-tiba masuk komentar ngatain aku!" lapor Sasa bersungut-sungut."Ngatain apa sih?" tanya Badai sabar."Aku dibilang pelakor! Kan aku kesel, ya emang sih aku pelakor," Sasa tertawa penuh kemenangan, "tapi dia kan war-nya cuma sepihak, aku
Badai menggeleng lemah, "Mereka yang ngarahin senjatanya ke tim langsung kulumpuhin, kubidik tangan dan kakinya. Langsung diamanin sama Raider 2, diobatin, biar tetep selamat. Umur mereka masih muda, ideologi yang tercetak di kepalanya masih bisa diperbaiki. Tapi kalau yang sekiranya bawa bom atau basoka, terpaksa dilumpuhkan selamanya," jawabnya dengan suara bergetar, tersirat penyesalan di sana."Aku paham," kedua tangan Sasa menangkup rahang Badai. "Bukan salah Mas Badai, jangan jadi beban pikiran ya Mas," hiburnya lembut.Senyum Badai terkembang, ia peluk seketika tubuh mungil sang istri dengan sebelah tangannya yang tidak terluka. Ia tenggelamkan wajahnya di ceruk leher Sasa, mencari kenyamanan dan kehangatan di sana."Aku pengin banget melepas rindu, tapi tangan Mas Badai kayaknya lagi nggak bisa diajak enak-enak," bisik Sasa nakal."Hem?" Badai menegakkan kepalanya, melirik wajah cantik istrinya sebentar, "siapa bilang nggak bisa enak-enak? Yang sakit kan tangannya, bukan nagan
"Ehem,"Badai berdehem seraya memejamkan matanya untuk menahan sakit. Setelah Badai pulang dan mendapat banyak hari cuti, Sasa memutuskan untuk kembali ke rumah pribadi mereka dan tidak lagi menginap di rumah sang ayah. Lagipula, dengan tinggal di rumah sendiri, Badai dan Sasa akan lebih bebas melepas rindu."Ada ya orang jago nembak kepala sama dada tapi diobatin lukanya meringis-meringis kesakitan gini," desis Sasa manyun."Gimanapun aku tetep manusia Nduk. Aku punya sisi manjaku sendiri dan itu cuma kutunjukin ke istriku. Lagian, boleh kan manja sama istri yang udah nggak kutemui berbulan-bulan lamanya?" gumam Badai sambil meniup-niup luka robek lebar di lengannya itu."Untung nggak kena tulang ini tu, kalau sampe kena tulang kan bisa berpengaruh ke kemampuan menembak Mas kan?""Iya," Badai membenarkan. "Udah kepalang basah. Aku kudu milih ngorbanin timku atau pasang badan, kupilih pasang badan biar timku bisa keluar dari barak dulu baru aku yang paling terakhir," ceritanya."Mas l