Di posisinya, Badai terus mengawasi pergerakan timnya dan juga Sasa. Pengaman senjatanya sudah tidak terpasang, ia siaga, menjaga sang istri agar tidak terluka dari kejauhan."You got an enemy on your 12," ujar Badai pada earpiece-nya."Copy that Boss," balas Lion dari seberang.Sasa terus dilindungi oleh Anung di belakangnya. Mereka masih ada di dalam ruang kontrol, bersiap untuk kontak senjata langsung jika musuh yang dikatakan Badai, mendekat dan masuk mendatangi mereka. Seakan diberi kekuatan untuk bertahan sekuat tenaga, Sasa yang terluka di bagian pundaknya bahkan ikut menyelipkan kedua tangan di balik punggungnya, siap ikut menyerang jika nantinya terjadi baku tembak.Suara riuh sirine di luar gedung mulai terdengar. Tuntutan yang Diaz layangkan sudah didengar oleh pemerintah tapi berkat diterjunkannya tim Raider, Damar meminta presiden untuk tetap pada posisinya. Laporan yang dikirim oleh masing-masing pemimpin tim Raider padanya membuat Damar sangat percaya bahwa kekacauan ak
"Hei!" Sasa habis kesabaran. Ia tarik senjata milik Badai yang masih ia simpan di balik punggungnya, lantas ia todong Dira hingga mengejutkan semua orang. "Badai belom mati dan jaga mulut lo atau gue bener-bener habis kesabaran!" ancamnya mengerikan."Mbak," Ramdan meremas pergelangan tangan Sasa, "akan ada waktu untuk menginterogasi sandera non kooperatif nantinya, Mbak harus sabar," pintanya. "Di tengah situasi kayak gini dia justru memperparah suasana Mas, kita lagi berjuang buat hidup tapi mulutnya udah lebih bocor dari meriam!" gumam Sasa tak mau menuruti Ramdan dan justru mengokang handgun milik suaminya itu.Dira yang tak menyangka akan ditodong tiba-tiba menggunakan senapan sungguhan seperti itu langsung ciut nyali. Ia harus kapok memprovokasi Sasa kali ini jika tidak ingin mati konyol."Sakura Kadita Rumi," Badai kembali dan langsung meremas tangan Sasa yang menodong Dira, "jangan kotori tangan kamu dengan darah orang yang nggak penting," katanya lembut."Mas harus periksa d
Sasa mengitarkan pandangannya setelah menerima secangkir teh panas dari perempuan yang ditugaskan untuk menyiapkan makanan dan minuman bagi korban teror yang tidak terluka. Untuk memulihkan jiwa mereka dari trauma, ke-40 orang itu sengaja diberikan pelayanan kesehatan sebelum kembali pada keluarga satu minggu ke depan. Harapannya, para sandera itu sudah lupa pada kejadian baku tembak dan bisa menjalani aktivitas sehari-hari mereka lagi tanpa rasa takut dan panik."Kalau mantan model dan artis emang bisa bebas meluk cowok mana aja gitu ya?" gumam Dira sengaja duduk di seberang Sasa."Jangan lo pikir karena pistol gue udah diminta Mas Badai, lo nggak bakalan gue todong pake senjata yang laen ya Ra!" desah Sasa jengah, "lagian gue nggak perlu ngejelasin ke lo siapa aja cowok yang gue peluk dan apa hubungannya sama gue!" lanjutnya ketus."Lo nggak malu asal nempel begitu?" tanya Dira belum merasa cukup dengan jawaban Sasa."Yang dipeluk Sasa tadi itu Mas Ernest," Nana bergabung dan duduk
"Nduk," pupil mata Badai melebar saat ia menoleh dan menemukan senyum cantik istrinya, sudah ada di sebelahnya begitu senyap, entah sejak kapan."Mas," balas Sasa lembut. "Aku nyari Mas dari tadi, kupikir ikut nyiapin kedatangan Ayah sama Presiden," sebutnya."Enggak, kalau nyambut begituan udah ada timnya sendiri kok," ujar Badai. Ia lantas mematikan bara rokoknya. Ditariknya jemari Sasa dan digenggamnya erat, "nyaman rasanya ada kamu," katanya tiba-tiba."Ada yang lagi Mas pikirin?"Badai mengangguk, tapi ia tidak langsung bicara. Tatapan matanya yang biasanya setajam elang, kini tampak tanpa fokus, bagai ditutupi selaput ketakutan dan penyesalan yang mendalam."Aku nggak akan maksa Mas buat cerita sekarang, aku sendiri tau kalau hatiku masih nggak karuan karena kejadian seharian. Yang kupengin justru pulang ke rumah, tidur di pelukan Mas, rasanya pasti nyaman banget. Sayangnya, kami semua kudu di karantina di sini," desah Sasa sedikit sendu."Aku juga di sini selama seminggu itu Nd
Hari hampir pagi dan Sasa masih belum bisa memejamkan mata di ranjangnya. Ia bangun dalam posisi duduk, mengitarkan pandangannya ke sekeliling. Mungkin karena energi semua orang tersita akibat serangan yang dipimpin oleh Diaz seharian tadi, mereka tertidur lelap. Meski Sasa acapkali masih mendengar beberapa dari mereka mengigau meminta ampun dan meminta agar diselamatkan. Perlahan Sasa turun dari ranjangnya. Ponselnya rusak parah dan tidak bisa digunakan akibat terlempar saat baku tembak tak terelakkan, bersama milik sandera lain. Jadi, ia mengandalkan jam dinding kecil di dalam barak sebagai penunjuk waktunya. Baru pukul 3 pagi, rasanya matahari masih lama terbit untuk menemaninya menyambut pagi. Banyak yang berputar di kepala Sasa, termasuk pikiran tentang perkataan Damar sang ayah pada suaminya. "Le ..., udah tau ini baru awal kan ya? Masih ada tanggung jawab besar menantimu dan juga tim," sebut Damar malam tadi, terngiang terus-menerus di telinga Sasa. Rasa penasaran yang meny
Senyum Badai terkembang mendengar pertanyaan Sasa. Ia tahu bahwa dalam hati kecilnya, Sasa pasti khawatir terhadap keselamatannya. Namun, sebagai seorang prajurit yang sudah menyerahkan seluruh jiwa dan raganya pada negara, misi apapun yang dibebankan padanya, wajib bagi Badai untuk menjalaninya."Malah senyum begitu, kan aku jadi penasaran!!" sungut Sasa gemas."Jadi, dengan terbunuhnya semua anggota teroris termasuk Diaz yang tuntutannya adalah memisahkan diri dari Indonesia, para anggota gerakan separatis yang ada di Papua sana pasti juga bakalan bergejolak. Taktik mereka menyusup ke kampus-kampus udah terendus tim intelejen, satu-satunya cara buat lepas dari kejaran negara adalah melakukan serangan balasan. Ayah minta aku sama yang laen buat antisipasi hal ini, makanya Ayah bilang belom selesai," jelas Badai tanpa ada yang ditutup-tutupi."Bentar Mas, biar kucerna pelan-pelan," desis Sasa terlihat cukup syok, "kalau Mas tugas ke Papua, terus aku gimana?" tanyanya mulai panik. Bad
Menunggu ijin dari Damar untuk membawa Sasa ke hotel selama karantina berlangsung, Badai kembali mengajak Sasa ke barak menjelang pagi, setelah ia dan sang istri puas menikmati suasana sibuk perempatan Gondomanan. Beberapa mahasiswa yang ada di barak laki-laki sudah banyak yang bangun, sepertinya tidur mereka sangatlah nyenyak. Sedangkan dari barak perempuan, ada Nana yang duduk-duduk di depan barak bersama Karin dan Wulan. "Dari mana?" tanya Nana saat Sasa mendekat, Badai harus berganti baju olahraga, jadi, mereka berpisah arah."Nongkrong di angkringan depan, nggak bisa tidur aku," jawab Sasa ikut duduk di sebelah Nana. "Nggak nyangka kalau pacar Sasa itu tentara ya," gumam Karin menimbrung. "Gimana emangnya Mbak? Nggak keliatan kalau Badai itu punya postur tentara ya?" kata Sasa berjenggit. "Kalau postur sih dapet banget Dek, cuma kan potongan rambutnya gondrong gitu, ya meskipun tinggi menjulang juga sih dia. Cuma kaget aja. Pas di kolam renang kan kami semua sempat liat tato
"Kayak Alpha yang dipake Badai sama si Mas Scorpion ya," gumam Nana terlihat benar-benar jatuh cinta pada sosok Ramdan."Penyanderaan berujung kisah asmara," kekeh Karin geleng-geleng kepala. "Ayok, kita juga disuruh ikut senam tuh. Katanya pembina perempuan tadi, kita hari ini full olahraga, biar pikiran kita fresh lagi dan nggak kepikiran soal kemaren," tambahnya. Sasa berdiri malas-malas, ia menggeliat untuk merenggangkan tubuhnya. Saat itulah Badai juga muncul dari dalam barak, langsung mendatanginya. "Udah tau jadwal kegiatan hari ini?" tanya Badai mengembangkan senyumnya. "Olahraga?" gumam Sasa tak berminat."Ketemu sama keluarga juga. Kemaren kan belom puas tuh baru ketemu bentar sama keluarga sandera, makanya sekarang ada sesi pertemuan khusus. Ngasih pengertian ke keluarganya juga soal karantina ini. Apalagi keluarga yang dari universitas kita kan baru pada dateng hari ini," jelas Badai. "Kalian memutuskan buat rilis muka kalian semuanya?" gumam Sasa sudah tak fokus saat
"Jadi, selama Badai di Papua, Sasa di rumah sini aja," kata Ran setelah ia dan Damar saling melempar pandangan lama, syok tentu saja. "Mau gimana lagi, Bunda mengakui kalau Sasa pasti pinter ngegoda kan Mas Badai," ujarnya senyum dikulum. "Nda," Damar berdehem sebentar, "Sasa dan Badai udah tau resikonya setelah menikah itu seperti apa. Dan kamu Nduk," ditatapnya Sasa penuh keteduhan, "kamu tau suamimu itu adalah prajurit dari kesatuan khusus, menjadi istrinya adalah sama dengan merelakan separuh jiwanya untuk negara. Dengan kondisi kamu yang hamil di tengah misinya yang belum selesai, kamu nggak bisa nuntut suamimu untuk selalu ada dan siaga di sisimu," nasihatnya. "Iya Yah," Sasa menghela napas panjang. "Dari kemarin, saat kami tau kalau aku positif, kami udah diskusi panjang dan ketemu pada satu kesepakatan kalau selama hamil dan Mas Badai masih di Papua, aku tinggal di sini," katanya. "Sa," senyum Ran melebar, "Sasa tau kan Mas Badai itu posisi di tim seperti apa?" tanyanya. "
"Kamu bener, dulu kalau dia lagi ada di masa subur, dia selalu minta aku pake pengaman," desis Badai mengaku. Tangis Sasa semakin menggugu, hatinya tersayat. Bukan itu yang ingin Sasa dengar dari mulutmu, Lettu Badai. Perempuanmu yang tengah rapuh ini hanya perlu kau sentuh, kau peluk pundaknya penuh rasa aman. Membawa lagi nama Arleta ke dalam biduk rumah tangga dan bercerita tentang hal yang sangat intim di masa lalu hanya menambah sakit di hati sang bunga. "Aku bahkan nggak tau kapan masa suburku dan berapa lama periode menstruasiku," ucap Sasa setelah ia merasa cukup tenang. "Salahku karena ngerasa udah cukup bisa berumah tangga padahal aku baru dapet menstruasi pertamaku di umur 14 tahun," sebutnya. "Maaf," sesal Badai lirih. "Aku seneng kamu hamil, Nduk, seneng banget malah. Ekspresi yang kamu baca pas aku denger tentang kehamilan kamu itu bukan ekspresi nggak bahagia, tapi ekspresi takut ninggalin kamu di sini dalam keadaan hamil. Kamu tau tugas ini harus berhasil. Kalau sam
Badai dan Sasa sama-sama terdiam. Mobil masih terparkir di halaman, Badai tidak langsung memasukkannya ke dalam garasi. Sasa melamun dengan menatap kolam ikan kecil di sebelah kanan pintu utama. Sedangkan Badai akhirnya memilih untuk turun dari mobil, menyulut rokoknya sambil menengadah menatap ke langit."Kita musti bersyukur kan?" gumam Sasa sambil menyusul Badai turun dari mobil. "Anak itu rejeki, pasti kusyukuri," jawab Badai mengembus asap rokoknya ke udara. "Terus, kenapa kita jadi saling ngediemin kayak gini?""Aku kaget pastinya kan? Kita sama-sama tau kalau nggak boleh bobol, bener?" kali ini Badai menyempatkan menatap istrinya yang duduk lesehan di teras depan rumah. "Jadi Mas nyesel karena aku hamil?" tanya Sasa lebih spesifik."Aku nggak bilang gitu Nduk," Badai terdengar menekan suaranya. "Kita ngobrol di dalem, di sini nggak enak didenger sama tetangga," ajaknya. "Nanti, kepalaku pusing, sempoyongan kalau buat jalan," tolak Sasa dingin. Badai segera mematikan bara r
"Nanti pulangan beli nasi kebuli yang di deket perempatan terakhir tadi boleh Mas?" tanya Sasa saat Badai membantunya membuka pintu mobil."Nggak jadi masak berdua?" tanya Badai mengingatkan."Ah iya," Sasa menepuk keningnya sendiri."Tapi kalau kamu emang pengin nasi kebuli, kita beli aja," putus Badai tak ingin terlalu memperpanjang bahasan mengenai makan malam mereka. "Aku daftarin kamu dulu ya," ujarnya seraya meminta Sasa menunggu di deretan kursi panjang.Sasa mengangguk lemah. Penampilan sederhana Sasa yang sangat flawless itu membuatnya tak dikenali sebagai putri Damar ataupun mantan artis yang vakum cukup lama dari dunia hiburan. Tanpa akses khusus, ia menunggu dengan sabar antrean untuk berkonsultasi dengan dokter umum itu. Beruntung, Badai selalu standby mendampinginya."Yok, giliran kamu," ajak Badai membimbing lengan istrinya menuju pintu poli umum.Saat pintu dikuak oleh seorang perawat yang sangat ramah, tampaklah wajah Dokter Puspa, salah satu Dokter yang menjadi kenal
"Gimana?" Sasa mengulum bibirnya dengan tatapan yang tak lepas dari sang suami, ia bahkan menahan napas."Enak," ucap Badai sambil manggut-manggut. "Rada asin," tambahnya membuat ekspresi Sasa berubah."Maaf, Mas tau aku nggak bisa masak," cengir Sasa merasa bersalah. Ia tarik mangkok sop ayam yang tengah dinikmati suaminya. "Jajan di luar aja yok Mas, ini nggak layak makan," katanya."Siapa bilang? Enak kok," kata Badai tulus. "Apapun itu kalau dari tangan kamu, pasti kumakan," ujarnya begitu manis, ia ambil lagi mangkok sopnya dari sang istri, ia lahap isinya rakus."Jangan gitu," hidung Sasa kembang kempis, pertanda ia tengah berusaha untuk tidak bersedih. "Harusnya aku masak yang enak biar Mas seneng, kan tiga hari lagi Mas berangkat," katanya.Surat perintah agar Badai dan timnya segera berangkat ke Papua terbit kemarin sore. Setelah dua minggu melakukan peran sebenar-benarnya sebagai suami-istri di rumah mereka sendiri, kabar yang paling tidak ingin didengar Sasa itu akhirnya da
"Ganteng kan kalau udah pake baju, gemes, pengin di atas," bisik Sasa penuh godaan."Yok, ke sebelah," ajak Badai langsung sigap."Kok jadi serius," Sasa menutup mulutnya spontan. "Mas nggak capek? Abis maen bola juga ih," desisnya."Sekalian capeknya. Lagian kalau kamu yang di atas, aku nggak capek, Nduk.""Kok vulgar gini jadinya kita ngobrolnya ya Mas?"Lalu, tawa mereka berderai ceria. Badai melakukan kebiasaan wajibnya, mengacak rambut Sasa, membuat beberapa mahasiswi lain dari universitas tuan rumah yang ikut dikarantina memekik iri, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Sasa sengaja pamer kemesraan di depan mereka, juga di depan Dira yang sudah pasti sedang tak aman posisinya."Ayok sarapan!" ajak Badai menunjuk gedung induk di paling depan, semua aktivitas dari makan termasuk hiburan diadakan di ruangan itu."Emang yang laen udah?""Tuh, Ramdan udah ngusap sekitar bibirnya. Udah selesai dia," jawab Badai."Mas udah laper? Aku kok belom. Pengin sarapan yang lain," pancing Sasa imut."
"Aku juga baru tau kalau tim penyelamat kita itu semua hobi pamer," desis Sasa geleng-geleng kepala. Bagaimana Nyonya Badai ini tidak merasa heran dan kesal saat mendapati sang suami bersama anggota timnya bertelanjang dada. Benar, Badai hanya mengenakan celana pendek olahraga dengan running shoes bermotif hitam putih saat bermain sepakbola. Sebagai istri sah, Sasa tentu measa tidak rela Badai mengumbar daya tarik seperti itu."Dari semua sesi karantina buat penyembuhan trauma, ini sih sesi healing yang paling manjur menurutku," cengir Nana puas sekali."Kebanyakan dari mereka emang bertato ya Dek," kata Wulan ikut menatap takjub. "Tadi gue liat ada juga yang telinganya bertindik," tambah Karin tak kalah terpesonanya. "Sasa beruntung dapet yang paling ganteng, damage-nya nggak ada obat pula," katanya kagum."Kalau dia begitu keselku muncul lagi," gumam Sasa lagi-lagi keceplosan. "Kesel kenapa? Bukannya kalian bulan madu?" bisik Nana yang akhirnya benar-benar diberi pengertian ke ma
"Aku minta maaf, nggak akan keulang yang begini lagi, janji!" ikrar Badai serius sekali. "Janji, janji, kebanyakan janji nanti nggak bisa nepatin, sekalinya mau nepatin malah nyakitin," sindir Sasa telak. "Salah lagi akunya." "Lha Mas ngerasa salah nggak?" suara Sasa meninggi lagi. "Iya ngerasa, aku tau aku salah makanya aku minta maaf." "Kalau ngerasa gitu, cancel semua bantuan yang udah Mas atur buat Arleta. Berani?" dagu Sasa terangkat, menantang. "Nduk, kamu boleh marah tapi jangan sampe hilang empatimu buat sesama perempuan," pinta Badai kalut. "Aku ngetes Mas tau nggak!" sengal Sasa tak tahan. "Aku nyoba liat reaksi Mas kayak gimana, ternyata Mas masih belom bisa misahin antara peduli sama Arleta dan ngejaga perasaanku!" sergahnya siap menangis lagi. "Mas harusnya kenal siapa istri Mas! Nggak mungkin aku serius nyuruh Mas ngebatalin itu semua!" Hening. Badai meraup wajahnya frustasi. Ia berdiri dari ranjang tanpa bicara lagi, serasa yang ia ucapkan pada sang istri
Kediaman panjang pasangan baru ini masih berlangsung hingga lewat tengah malam. Badai takut untuk memulai pembicaraan lagi, pun dengan Sasa yang enggan bertanya atau tangisnya akan pecah lagi-lagi. "Nduk," Badai memberanikan diri memanggil Sasa. "Kamu udah tidur?" tanyanya. "Belom, masih sedih dan pengin nangis," jawab Sasa terdengar sangat imut. Badai tersenyum simpul, semarah apapun Sasa, celetukannya benar-benar membuat Badai selalu merasa dimabuk cinta. Namun Badai harus serius jika itu mengenai Arleta dan perasaan istrinya. "Aku bodoh ya Nduk?" gumam Badai. "Sebenernya aku males kita berdebat kayak gini Mas. Ngabisin energi, saling nyakitin," ujar Sasa. Tampak bahunya sedikit bergetar, tanda ia masih sedikit emosi. "Aku nggak pengin mendebat kamu Nduk," sangkal Badai polos sekali. "Iya Mas bilang gitu, tapi nggak sadar kalau sikap Mas udah nyakitin aku. Sadar nggak kalau kita lagi dalam kondisi begini itu pertahanan kita sama-sama aktif? Kita sama-sama merasa b