"Terus gimana dong Mas?" tanya Sasa panik."Ya udah nggak pa-pa, dibayar aja kena berapa," kata Badai santai.Sasa menghela napas panjang. Ia pandangi noda merah di sprei yang menjadi pengingat hari bersejarah dalam hidupnya. Hatinya lega, tanpa beban meski sebelumnya ia merasa takut jika Badai akan memperlakukannya sama seperti saat memperlakukan Arleta."Atau boleh diminta aja nggak sih itu sprei-nya? Buat kenang-kenangan gitu Mas," gumam Sasa absurd."Masa nyimpen begituan.""Ya nggak pa-pa, kan bersejarah. Aku ngelepas keperawananku sama kamu di sini," kata Sasa.Badai tertegun. Se-istimewa itu momen malam pertama ini bagi istri cantiknya dan ia merasa bersalah entah untuk alasan apa."Kemejanya tolong," ujar Badai mengalihkan topik pembicaraan. "Nggak mungkin aku gelantungan lewat balkon pake boxer doang gini kan?" pintanya."Sengaja ya kamu begitu Mas? Iya kan? Nggak mau ah, enak bau badan kamu, udah aku klaim jadi hak milik ini baju," ucap Sasa menggemaskan."Mancing, pengin ku
Senyum Sasa terkembang. Ia rentangkan kedua tangannya, meminta gendong pada sang suami. Dengan senang hati, Badai membopong tubuh mungil Sasa itu hingga ke ranjang bak membawa satu karung kerupuk yang ringan. Dikecupnya kening Sasa, turun ke hidung mancungnya dan berakhir di bibir tipis indah itu."Gimana dong? Kemejanya basah," goda Sasa memainkan tulang selangka Badai dengan berani.Senyum Badai terkembang, "Nggak pa-pa. Basah bekas kamu ini," katanya pengertian. Mereka saling berpandangan dalam diam, melempar senyum penuh cinta, bentuk rasa syukur karena telah bersama. Namun, momen manis itu tidak bertahan lama karena sebuah gedoran keras datang dari pintu.Badai langsung tanggap. Ia melompat dari tempat tidur, diberinya Sasa baju dan dalaman yang ia ambilkan kilat dari dalam koper. Sementara ia pakai kemeja basahnya, membantu Sasa merapikan diri."Diaz," bisik Badai. "Pasti ada yang nggak suka, kamu siap-siap buka pintunya. Tetep tenang," pintanya menyempatkan diri mengecup kenin
Menjelang malam, Badai yang sudah bak pencuri datang dan pergi melalui balkon kamar Sasa, akhirnya duduk tenang di ranjang. Ia tunggui istrinya yang tengah sibuk menyiapkan beberapa cindera mata untuk diserahkan pada pihak Universitas Yogyakarta. Sebenarnya, Sasa ditugasi menyiapkan kenang-kenangan itu bersama Amelia dan Karin, tapi Sasa memilih untuk membungkusnya sendiri."Nggak perlu bantuan?" tanya Badai seusai memberesi handgun-nya."Mas udah selesai?" tanya Sasa balik, melongok ke atas ranjang yang spreinya sudah diganti oleh pihak hotel setelah Badai mengurus dendanya."Udah," balas Badai."Tugas Mas nemenin aku tidur, ngelonin. Urusan cindera mata ini biar aku yang tanganin," gumam Sasa yang kini merasa nyaman bersikap sopan pada Badai dengan tidak memanggilnya dengan sapaan 'kamu'.Senyum Badai terkembang, "Iya maksudku juga gitu Nduk," katanya. "Biar cepet dikelonin, pengin kubantuin.""Nggak usah, bentar lagi selesai," tolak Sasa. "Mas, nanti misal Mas nemenin aku tidur di
Ragu, Sasa terima ponsel Badai. Ia amati sebentar layarnya, ada foto candid Sasa yang Badai jadikan sebagai latar belakang layarnya. Senyum Sasa terbit, hatinya membuncah. Badai sangat tahu bagaimana cara menyenangkan hatinya dan seperti apa cara membuat Sasa tenang atas perasaannya."Dia coba ngingetin Mas soal masa lalu indah kalian dulu ya," gumam Sasa kusyu membaca satu per satu isi pesan percakapan yang dikirim Arleta."Nagih janji yang belom sempat kutepati," sahut Badai."Kalau mau ngajak liburan sih itu bukan janji, emang penginnya pergi aja, tapi karena nggak ada waktu, makanya nggak sempat terealisasi.""Iya, gitu maksudku Nduk," ralat Badai tak ingin Sasa salah tanggap."Halaah, sok ngingetin jika mencintaimu adalah salah maka jangan ijinkan aku menjadi benar, kok geli aku baca ini," desis Sasa kesal. "Mas bener pernah bilang gitu ke dia?" tanyanya."Dulu, pas kami masih mesra-mesranya," jawab Badai jujur."Sama aku Mas nggak pernah mesra," desis Sasa iri.Badai tersenyum s
"Kayaknya tadi aku liat kamu turun dari bus bareng mas pacar, sekarang ke mana?" tegur Nana saat mendapati Sasa menuju ke ruang pertemuan di Universitas Yogyakarta sendirian."Katanya mau ngabisin rokok dulu, kan ruang pertemuannya ber-AC," jawab Sasa sesuai ucapan Badai yang berpamitan padanya."Aku denger ada rame-rame di penginapan yang otaknya Dira ya?" tanya Nana."Dia nuduh aku masukin Badai ke kamar, ngajakin Mas Diaz sama yang laennya buat sidak langsung. And you know what, Bestie? Mereka ngegeledah kamarku dong. Sialan!""Sampe segitunya?" mata Nana membulat."Sampe segitunya. Dan mereka pasti malu banget karena udah nuduh tanpa bukti dan Badai nggak ada di kamarku. Lagian, Dira dipercaya!" sungut Sasa dengan senyum puasnya."Tapi serius lho Sa, emang rumor soal kamu sama Badai yang minta kamar sendiri-sendiri jadi bahan gosip anak-anak. Untungnya pas digrebek kamu lagi nggak sama Badai di dalem.""Aku minta kamar sendiri karena aku butuh privasi. Keinget pas kita KKL di Bali
Demi kebaikan semua orang yang sudah tunduk pada perintah para teroris ini, Sasa akhirnya berdiri. Ia letakkan ponselnya di podium depan, lalu ia didorong oleh Diaz agar bergabung dengan tawanan lainnya, duduk sambil memegangi kepala."Dia juga nggak berkutik, badan doang gede tapi nyalinya nggak ada. Tuh!" tunjuk Diaz ke arah pintu setelah berbisik di telinga Sasa.Ada Badai di sana, kedua tangannya terangkat sambil digiring oleh salah seorang kawanan teroris terorganisir yang berasal dari universitas tuan rumah. Semua perkiraan tim Raider dan sejauh apa pergerakan Diaz benar-benar diprediksi dengan sempurna oleh pasukan khusus itu. Saat Badai digiring ke sisi berlawanan dengan Sasa, mereka saling melempar tatapan. Badai memberikan dua kedipan pelan pada istrinya itu. Sebuah isyarat agar Sasa tetap tenang dan percaya pada sang suami."Kita punya tawanan dan kita siapin tuntutan," ujar Diaz bergerak sebagai pemimpin teroris."Apa karena gue?" tanya Sasa yang sengaja dijaga tetap dekat
Kabar penyanderaan dan penyerangan oleh Organisasi Kriminal Bersenjata di dalam kampus yang didalangi Diaz dan anak buahnya cepat sampai ke pusat. Operasi senyap segera digelar, seluruh pasukan elite khusus yang tengah bersiaga segera diturunkan untuk mendukung tim Raider yang bertugas di lapangan. Keamanan sekitar berikut polisi segera mengamankan lingkungan sekitar kampus, memasang garis polisi agar tidak ada orang luar yang masuk, sesuai permintaan para teroris berkedok mahasiswa itu.Sementara di bawah tekanan, Sasa berusaha tegar. Meski air matanya terus mengalir, takut terjadi sesuatu pada sang suami. Namun, ingatan mengenai Badai yang adalah pemimpin tim elite khusus membuatnya sedikit lebih tenang. Badai tidak akan tumbang semudah itu bukan?"Lo nggak akan dapet apa-apa dari ngelakuin ini selaen dapet kutukan marah dari semua orang, berharap lo mati mengenaskan!" geram Sasa melirik tajam pada Diaz yang kini menggunakan masker hingga hanya matanya saja yang terlihat.Diaz menye
Sasa jelas tertegun mendengar suara itu. Pilihannya hanya ada satu, antara Rahman yang tumbang atau Badai yang terkena tembakan. Ia remas kedua lututnya untuk menguatkan diri, menyemangati hatinya dan meyakinkan dirinya bahwa Badai pasti baik-baik saja. Sementara, suasana di luar yang menjelang senja itu hening. Hanya ada tiga kumpulan petugas gabungan tentara dan polisi yang bersiaga, menunggu kode dari tim pelaksana operasi senyap."Heh!" Diaz menyodok bahu Sasa menggunakan ujung senjata apinya, "kayaknya emang kebanyakan omong si Badai, gue anter ngecek mau?" tawarnya kejam dengan seringai.Sasa bergeming."Ikut gue! Sekarang lo milik gue seutuhnya!" ujar Diaz menarik lengan Sasa dengan paksa, membuat semua sandera menatap ke arah istri Badai itu.Sasa berontak, berusaha melawan tapi ia kalah ancaman. Bagaimanapun, Diaz ada di posisi menang senjata sekarang, Sasa tidak bisa berbuat semaunya jika ingin semua sandera tetap hidup. Langkahnya terseok, mengimbangi Diaz yang terus menyer
Interaksi mesra keduanya, juga candaan Badai yang kini seringkali menghangatkan suasana membuat Sasa tak hanya menikmati bulan madu mereka, tapi juga menyembuhkan semua rasa sakit yang bertubi diterimanya. Badai membuat Sasa tidak pernah menyesali satupun keputusan yang diambil setelah mereka saling mengenal dan berbagi rasa, termasuk kekecewaan saat tahu bahwa Badai pernah dinikmati perempuan lain. Kini, Sasa sudah berlapang dada menerimanya. Ia juga tak mau ambil pusing dengan apapun yang Arleta perbuat untuk meretakkan hubungannya dengan Badai. Semakin lama, ia akan kebal dengan sendirinya."Cari makan di pinggiran danau aja ya Yang?" tawar Badai setelah ia dan Sasa siap untuk menikmati sore hari Luzern yang menawan."Emang ada yang buang Mas?" tanya Sasa polos sekali."Yang buang?" alis Badai bertaut."Lha katanya mau nyari," gumam Sasa."Apa sih Nduk," Badai terbahak. "Maksudku beli, bukan nyari dalam arti yang sebenernya," terangnya."Iya, aku juga cuma bercanda, bukan karena ak
Adalah Luzern, kota kecil dengan pemandangan indah nan romantis di malam hari ini yang akhirnya ditetapkan Sasa dan Badai untuk menghabiskan sisa waktu 8 hari mereka setelah dua hari tinggal di Frankfurt, Jerman. Badai tahu, Luzern adalah kota sempurna bagi ia dan Sasa untuk menumbuhkan cinta, merajut kembali asa pernikahan mereka yang sempat koyak karena perpisahan dan rasa sakit yang sempat melanda. Suasana kota yang tenang, aroma angin yang manis, juga pemandangan alamnya yang menakjubkan langsung membuat Sasa jatuh cinta. "Kota ini adalah pilihan yang tepat banget buat bulan madu," bisik Sasa sambil sesekali menggigiti telinga suaminya sensual. Badai tersenyum simpul, tangannya sudah menangkup kedua dada Sasa yang tanpa balutan. Musim dingin baru saja berlalu, cuaca menghangat, matahari bersinar cerah. Baru siang tadi mereka tiba di hotel dan berniat untuk berjalan-jalan sore harinya. Alih-alih beristirahat, sang pengendali naga tak tahan untuk melakukan aksinya."Aku goyang Mas
"Bentar," Badai menepuk pundak istrinya sebentar dan berjalan mendekati seorang petugas avsec di dekat pintu keberangkatan bandara.Melihat keanehan suaminya dan bagaimana Badai dan dirinya dikawal oleh petugas itu menuju check in counter tentu saja membuat Sasa bingung. Namun, ia tidak banyak bertanya, ia ikuti saja langkah Badai yang melepas genggaman tangannya untuk mengurus dokumen keberangkatan bulan madunya."Kenapa sih Mas? Ada masalah sama dokumen kita?" tanya Sasa sambil melempar senyum dan melambaikan tangan pada beberapa orang wartawan."Enggak, aman aja," jawab Badai."Terus tadi ngapain?" gumam Sasa penasaran."Badai kudu dipisahin sama pacarnya kan kalau lagi naek pesawat?""Hem?" dahi Sasa berkerut, bingung dengan maksud sang suami. "Aku? Kita nggak bisa duduk deketan di pesawat?" tanyanya sedikit panik."Nggak gitu," Badai menahan tawa. Dibawanya Sasa duduk setelah tiba di executive lounge. "Ini kan penerbangan sipil, handgun-ku musti didaftarin dulu dan dititipin, ala
Arleta tercekat, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa selain lanjut berjalan dan turun dari pelaminan. Hatinya tak menyangka, Badai akan sekejam itu padanya dan keluarga."Siapa Ibuk?" tanya Sasa heran."Mamanya," desis Badai. "Aku biasa manggil Ibuk ke beliau," tambahnya.Sasa mengulum bibir merah meronanya, hatinya tergerak, "Mungkin kita nggak boleh terlalu kejam Mas. Sekedar jenguk pun aku nggak akan keberatan," ujarnya."Aku udah nitip salam, itu udah cukup Nduk," kata Badai mantap. "Aku harus jaga perasaan banyak orang, sedangkan dia justru berusaha menyakiti dirinya sendiri dan mamanya dengan memelihara harapan. Aku sekarang adalah suami orang. Banyak pelajaran yang kuambil setelah kita sama-sama dipisahkan. Jadi, biarin kujaga kamu dan keluargaku sebaik mungkin!" ikrarnya.Sasa tak lagi membantah. Jika ini memang keputusan yang sudah menjadi keyakinan sang suami, ia tinggal mengikuti. Sebenarnya Sasa juga bahagia karena Badai menjadikannya prioritas utama dengan tak lagi memedulik
Akhirnya, apa yang Sasa impi-impikan sebagai pernikahan khayalan masa kecil putri cantik Damar, terlaksana. Berbalut kebaya modern nan elegan, Sasa menuntaskan langkahnya di samping Badai dalam prosesi pedang pora nan sakral. Sebagai tanda jasa karena pengorbanan luar biasa Badai dalam menyelesaikan perlawanan Organisasi Kriminal Bersenjata bersama tim, ia dianugerahi kenaikan pangkat. Kini, Sasa adalah istri seorang Kapten Akai Badai Bagaspati. "Kamu sengaja ngebiarin banyak wartawan yang ngeliput acara kita?" gumam Badai berbisik pada sang istri saat keduanya menyelesaikan prosesi pedang pora dan duduk di pelaminan. Sasa mengangguk, "Iya, biar aku nggak diserang sama rumor jahat lagi. Jadi, nanti kalau aku hamil, aku bisa menikmati kehamilanku dengan bahagia dan tanpa beban. Jujur, aku ngerasa bersalah banget karena selama kehamilanku dulu, aku nggak jaga Gala dengan baik Mas," ungkapnya. "Bukan salah kamu Nduk, semua udah jadi kehendak Allah, gitu kan kata kamu?" "Iya Mas, tapi
Melajukan mobil kesayangan Badai itu meninggalkan halaman rumah, Sasa menemukan jalanan sudah mulai lengang oleh orang-orang yang berangkat menuju tempat kerja. Meski ramai lancar, Badai tetap saja khawatir dan merasa was-was saat sopirnya adalah Sasa, si labil manja nan imut itu."Apa aku perlu nemuin Arleta ya Mas?" tanya Sasa memecah keheningan, setidaknya ia membuat Badai lupa pada ketegangannya."Buat apa?" gumam Badai bingung."Kita nikah udah lama, udah banyak yang terlalui berdua kan ya? Kok dia kayak masih nggak rela ngelepasin Mas Badai gitu.""Terus kamu mau ngomong apa kalau udah ketemu sama dia?" tantang Badai.Sasa mengedikkan bahunya, "Ngobrol sebagai selayaknya perempuan yang udah pernah menikmati Mas Badai," katanya santai sekali."Nduk!" Badai mendesis."Emang bener gitu kan? Setelah dulu nggak berhasil nyerang kepercayaanku ke Mas Badai, sekarang dia nyoba nyerang aku secara mental lewat media sosial," desis Sasa terdengar kesal tapi tak tahu harus bagaimana melampi
Sasa cembetut, matanya tak lepas dari layar ponsel di tangannya. Saat Badai keluar dari kamar mandi seusai mandi pagi, ekspresi yang sama masih ia temui."Something's wrong, Love?" tegur Badai yang langsung menyadari bahwa ada yang aneh di layar ponsel istrinya."Mantan Mas Badai nyebelin deh," sungut Sasa jujur."Kenapa lagi dia?" tanya Badai langsung nyambung."Dia komentar di postingan foto yang aku pasang di Instagram. @arletanyumnyum kan nama akunnya? Childish banget gitu," gerutu Sasa jengah."Kamu emang posting foto apa?""Posting foto Mas Badai. Cuma nggak ngeliatin muka aja sih. Pas kemaren dari rumah sakit itu, aku kan foto punggungnya Mas, lha aku posting pake caption so called him BOJO pake huruf gede semua tulisan bojonya. Lha kok dia tiba-tiba masuk komentar ngatain aku!" lapor Sasa bersungut-sungut."Ngatain apa sih?" tanya Badai sabar."Aku dibilang pelakor! Kan aku kesel, ya emang sih aku pelakor," Sasa tertawa penuh kemenangan, "tapi dia kan war-nya cuma sepihak, aku
Badai menggeleng lemah, "Mereka yang ngarahin senjatanya ke tim langsung kulumpuhin, kubidik tangan dan kakinya. Langsung diamanin sama Raider 2, diobatin, biar tetep selamat. Umur mereka masih muda, ideologi yang tercetak di kepalanya masih bisa diperbaiki. Tapi kalau yang sekiranya bawa bom atau basoka, terpaksa dilumpuhkan selamanya," jawabnya dengan suara bergetar, tersirat penyesalan di sana."Aku paham," kedua tangan Sasa menangkup rahang Badai. "Bukan salah Mas Badai, jangan jadi beban pikiran ya Mas," hiburnya lembut.Senyum Badai terkembang, ia peluk seketika tubuh mungil sang istri dengan sebelah tangannya yang tidak terluka. Ia tenggelamkan wajahnya di ceruk leher Sasa, mencari kenyamanan dan kehangatan di sana."Aku pengin banget melepas rindu, tapi tangan Mas Badai kayaknya lagi nggak bisa diajak enak-enak," bisik Sasa nakal."Hem?" Badai menegakkan kepalanya, melirik wajah cantik istrinya sebentar, "siapa bilang nggak bisa enak-enak? Yang sakit kan tangannya, bukan nagan
"Ehem,"Badai berdehem seraya memejamkan matanya untuk menahan sakit. Setelah Badai pulang dan mendapat banyak hari cuti, Sasa memutuskan untuk kembali ke rumah pribadi mereka dan tidak lagi menginap di rumah sang ayah. Lagipula, dengan tinggal di rumah sendiri, Badai dan Sasa akan lebih bebas melepas rindu."Ada ya orang jago nembak kepala sama dada tapi diobatin lukanya meringis-meringis kesakitan gini," desis Sasa manyun."Gimanapun aku tetep manusia Nduk. Aku punya sisi manjaku sendiri dan itu cuma kutunjukin ke istriku. Lagian, boleh kan manja sama istri yang udah nggak kutemui berbulan-bulan lamanya?" gumam Badai sambil meniup-niup luka robek lebar di lengannya itu."Untung nggak kena tulang ini tu, kalau sampe kena tulang kan bisa berpengaruh ke kemampuan menembak Mas kan?""Iya," Badai membenarkan. "Udah kepalang basah. Aku kudu milih ngorbanin timku atau pasang badan, kupilih pasang badan biar timku bisa keluar dari barak dulu baru aku yang paling terakhir," ceritanya."Mas l