Di dalam mobil, suasana terasa berbeda. Hero mengemudi begitu serius. Ia tetap fokus pada jalan di depannya, tidak memberikan perhatian sedikitpun pada Leona yang duduk di sebelahnya. Leona terus saja bercerita. Ia membahas entah apa—mulai dari rencana persami, gosip teman-teman di sekolah, hingga makanan favoritnya. Namun, dari awal hingga akhir, Hero tidak merespons. Raganya memang ada di sana, tapi pikirannya melayang jauh entah ke mana. Ia masih terbayang-bayang kejadian di supermarket tadi. Saat Veline dengan sabar membantu Yudha memilih kado untuk ulang tahun ibunya. Saat mereka berdiskusi dengan begitu dekat, bahkan terkadang tertawa kecil bersama. Hero menggenggam setir lebih erat. Bayangan Yudha yang menyeka butiran nasi di sudut bibir Veline juga terus membayangi pikirannya. Perasaan asing yang mengganggu dadanya membuatnya gusar, tapi ia tak bisa menjelaskannya. "Ro, lo dengerin gue nggak?" Leona memandang ke arah lelaki yang sedari tadi hanya terdiam. "Ro!"
Hero merasa begitu khawatir, saat sedari tadi tak menemukan keberadaan istrinya. Ia sudah menelusuri seluruh sudut rumah, tapi tak ada penampakan gadis itu sedikitpun. Tanpa membuang waktu, ia merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel, dan langsung mencoba menghubungi Veline. Suara nada sambung terdengar, tapi tidak ada jawaban. "Kenapa nggak diangkat sih?!" gerutunya kesal, sementara ia terus mencoba lagi. Sudah lima kali ia menelepon, lalu delapan, dan bahkan sebelas kali, tapi tetap sama—Veline tidak mengangkat panggilannya. Pikirannya semakin tak tenang, terlebih ia masih teringat bahwa Yudha yang mengantar gadis itu pulang. "Di mana lo, Veline?" gumamnya, merasa begitu frustrasi. Napasnya juga sudah memburu karena rasa khawatir yang terus saja melanda. Ketika akhirnya, pada percobaan ke-12, panggilannya dijawab, Hero langsung bicara tanpa membiarkan Veline menyelesaikan perkataanya. "Halo—" "Lo di mana?! Kenapa dari tadi nggak angkat panggilan gue? Lo nggak li
Kamar berukuran 3x3 meter itu terlihat begitu mungil. Dengan perabotan seadanya, ruangan itu terasa lebih sempit, terutama kasur yang hampir memenuhi separuh ruangan. Hero memperhatikan tempat itu dalam diam, ia bertanya-tanya bagaimana mereka bisa tidur bersama di kasur yang tampak terlalu kecil untuk dua orang. "Lo tidur sebelah sana, gue tidur sebelah sini aja," ujar Veline sambil menunjuk ke sisi kasur. "Hm," gumam Hero singkat, tanpa banyak bicara. Veline mengerutkan kening sejenak, merasa aneh dengan sikap lelaki itu yang begitu berbeda dibandingkan sebelumnya. Ia teringat saat Hero meneleponnya beberapa waktu lalu, ketika lelaki itu marah padanya. Tapi sekarang, Hero malah jadi pendiam. "Lo ngapain sih pake ke sini segala?" Hero menoleh sekilas. "Gue cuma takut." "Takut apaan?" Veline bertanya sambil mengernyit heran. "Takut lo bohongin gue." Veline mendesah pelan, lalu menjawab tanpa menoleh. "Tapi buktinya nggak, kan? Lo aja yang terlalu parno." Tanpa bany
Sepasang mata Veline menyipit tatkala sinar matahari yang terik menyilaukan matanya. Ia berdiri di depan kelasnya di lantai tiga, sambil terus memandang ke arah lapangan sekolah yang ada di bawah. Gadis cantik yang rambutnya tergerai indah itu melihat sekelompok siswa terlihat asyik bermain basket, sementara yang lainnya sibuk berbincang di tepi lapangan. Ketika Veline tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dari belakang, sampai membuatnya tersentak kaget. "Hayo, lagi ngapain sendirian di sini?" Veline terkesiap, lantas ia menoleh dengan raut kesal ke arah orang yang ada di belakangnya, saat itu juga, ia melihat Leona tengah tersenyum. "Astaga, Leona! Lo ngagetin gue aja!" Leona hanya terkikik kecil, lalu melirik ke arah lapangan yang ada di bawah. "Hayo, lo lagi mikirin apa sih? Dari tadi gue lihat lo bengong sambil lihatin ke bawah. Ada apa emangnya di sana?" Veline menggeleng pelan. "Gak ada apa-apa. Gue cuma lagi lihat anak-anak yang lagi main
Semua ini seharusnya menjadi momen yang membahagiakan bagi Veline. Bukankah ini yang selalu ia impikan? Seorang lelaki mengungkapkan perasaannya di depan banyak orang, membawa seikat bunga mawar yang cantik, dan mengungkapkan cintanya dengan tulus. Namun, entah mengapa, kebahagiaan itu tidak terasa hadir. Sebaliknya, hatinya justru terasa gundah, seperti ada beban yang menghimpitnya, dan terus mencegahnya untuk tersenyum. Veline mengangkat pandangannya dengan lemah, matanya perlahan beralih dari Yudha yang masih berlutut di hadapannya ke arah sosok lain yang berdiri beberapa meter darinya. Sosok itu tidak mengatakan apa-apa, tapi tatapannya sudah cukup membuat dada Veline semakin sesak. Hero. Lelaki itu berdiri tegak dengan sorot mata dingin yang tajam, seolah ingin menerkamnya hidup-hidup. Raut wajahnya seperti ukiran marah yang tak terucapkan, tapi begitu jelas terasa. "Ayo dong, Vel! Kok diem terus? Kasihan Yudha, dari tadi udah pegel berlutut terus!" teriak Leona dari kerumu
"Gue ... gue cuma ingin fokus sama pelajaran," alibi Veline. Yudha mengerutkan kening, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Veline yang selama ini ia kenal, tak pernah suka akan pelajaran, tapi tiba-tiba ia berkata seperti itu. "Lo ... serius, Vel?" tanya Yudha ragu. Veline mengangguk pelan, meskipun ia merasa canggung dengan kata-kata yang baru saja ia ucapkan. "Kita kan udah kelas 12, Yud ... gue cuma pengen lebih fokus aja." "Ya, nggak apa-apa kok." "Sekali lagi, maaf ya, Yud." Veline sedikit menundukkan kepala, merasa tidak enak karena harus menolak perasaan Yudha dengan cara seperti ini. Setelah itu, Ia pun berbalik untuk pergi. Namun, langkahnya terhenti ketika Yudha memanggilnya lagi. "Mm, Vel ...." Veline berhenti, lalu kemudian menoleh lagi ke arah lelaki itu. "Iya, Yud?" "Tapi soal lo mau nganter gue nemuin nyokap gue itu jadi, kan?" Ketika sedang berada di supermarket kemarin, Yudha sempat mengungkapkan niatnya untuk menemui ibuny
Setelah jam pelajaran kedua selesai. Awalnya, Veline ingin menemui Leona yang masih berada di kelas, tapi tampaknya Leona masih marah karena kejadian kemarin. Veline sendiri tidak tahu pasti mengapa Leona bisa semarah itu padanya. Karena Leona tampak enggan bertemu, Veline memutuskan untuk tidak menemui Leona terlebih dulu sampai sahabatnya itu sudah tak marah lagi padanya. Ketika ia sedang berjalan di koridor sekolah, ia melihat Alyssa, teman sebangkunya, sedang duduk sendirian. "Hay, Sa, lo lagi ngapain duduk sendirian di sini?" tanya Veline, ketika sudah berada di dekat sahabatnya itu. "Gue lagi ini, baca komik," jawab Alissya, tanpa menoleh ke arah Veline. "Hah? Komik apaan?" Veline mengernyitkan alis, penasaran dengan komik yang dibaca oleh Alyssa. "Biasa, tentang pahlawan super." "Haaa, lo mah suka banget baca komik yang gituan." "Ya lumayan, daripada diem terus. Eh, lo nggak main sama Leona?" "Nggak. Kayaknya dia masih marah deh sama gue." Nada suara Velin
Tinju demi tinju terus mendarat di wajah Arnold. Yudha terus saja melakukannya tanpa henti meski tubuh Arnold sudah terkulai lemas di lantai. Setelah beberapa saat, akhirnya Yudha menghentikan pukulannya, ia mencoba mengatur napasnya yang sudah terengah-engah. Sementara itu, Arnold berusaha bangkit dari posisinya. Ia tersenyum smirk, seraya menyeka darah segar yang ada di ujung bibirnya dengan punggung tangan, lalu berdiri tertatih-tatih. Lelaki itu mencoba menyerang Yudha dengan pukulan lurus ke arah wajah. Namun, gerakannya yang terlalu lambat membuat Yudha dengan mudah menghindar, tubuhnya sedikit merunduk, lalu melontarkan pukulan keras ke arah perut Arnold. Pukulan itu membuat Arnold terhuyung ke belakang. Yudha tidak memberinya waktu untuk bernapas. Ia mencengkram kerah seragam Arnold dengan satu tangan, lalu menariknya, sementara tangan lainnya sudah mengepal erat. Dengan cepat, Yudha menghantamkan tinjunya ke rahang Arnold, membuat suara benturan keras menguar di udar
Beberapa waktu sudah, Veline habiskan di dalam tenda, setelah menjalankan ibadah salat Isya secara berjamaah bersama siswa lainnya. Akhirnya, ia memutuskan keluar untuk menghirup udara segar. Saat melangkah keluar, pandangannya langsung tertuju ke langit yang sudah gelap gulita. Namun, gelapnya malam ini justru memperlihatkan keindahan yang luar biasa—bulan sabit yang dihiasi ribuan bintang sudah terlihat begitu cantik di atas sana. Suasana ini begitu terasa menenangkan, membuat Veline tertegun sejenak menikmati keindahan alam yang jarang ia perhatikan di tengah kesibukannya sehari-hari. Namun di tengah keindahan yang sedang ia rasakan, tiba-tiba suara Leona membuyarkan lamunannya. "Eh, kebo udah keluar!" Sepasang mata Veline menatapnya kesal. "Sembarangan lo manggil gue kebo!" "Ya, dari tadi lo ngumpet di tenda mulu. Anak-anak yang lain udah pada kumpul di dekat api unggun." "Ah, males gue. Mending tidur." "Veline, Leona, sini! Kita disuruh kumpul sama Pak Agus!"
Yudha yang sedari tadi terdiam, akhirnya berkata, "Udah, tenang aja. Kita bisa coba perbaiki. Mungkin kita bisa tambahin air biar nggak terlalu asin." Noval menghela napas panjang. "Ya udah, tapi cepat! Waktu kita udah tinggal sedikit." Sementara Freya masih tampak kesal, tetapi akhirnya mengangguk. Mereka pun bekerja sama menambahkan air dan beberapa sayuran tambahan untuk mengimbangi rasa asin. Meskipun situasi sempat tegang, mereka tetap berusaha menyelesaikan masakan mereka tepat waktu. Noval mencoba mencicipi kuah sup yang baru saja mereka tambahkan air. Begitu sendok menyentuh lidahnya, wajahnya langsung meringis. "Huh, percuma kita tambahin air satu gayung pun tetap aja asin," keluhnya sambil meletakkan sendok ke meja. Kelompok lain yang mendengar keluhan Noval sontak tertawa terbahak-bahak. "Alhamdulillah, ya Allah. Saingannya berkurang satu," ujar Raka sambil terkekeh, membuat teman-temannya makin riuh. "Ck, berisik lo!" balas Noval kesal, sambil melempar serbet ke a
"Oke, anak-anak! Untuk makan sore ini, kita akan buat suasana lebih seru dengan game dan beberapa perlombaan," seru Pak Agus begitu semangat. Murid-murid yang tengah berkumpul di area perkemahan langsung bersorak kecil, meski beberapa tampak kurang antusias. "Yaelah, Pak. Mau makan aja harus main game dulu," keluh Noval, sambil menggaruk kepala. Pak Agus hanya tersenyum. "Eh, ini bukan game sembarang game." "Emang game-nya apaan, Pak?" tanya Raka yang juga penasaran, sambil melipat tangan di dada. Pak Agus mendekat ke tengah lingkaran. "Biar lebih menantang, kita adakan lomba masak!" "Hah? Lomba masak? Yang bener aja, Pak. Peralatan kita kan seadanya," sahut Alyssa. "Justru karena peralatan kita seadanya, itu jadi tantangan tersendiri buat kalian! Kita akan lihat siapa yang paling kreatif." Murid-murid mulai saling melihat satu sama lain, beberapa mulai berbisik, sementara yang lain tampak ragu. "Pak, kelompoknya bisa pilih sendiri nggak?" tanya Leona. Pak Agus meng
"Veline!" Leona berteriak lantang sambil berlari menuju tenda tempat Veline berada. Di luar tenda, Veline tengah duduk di kursi lipat, kedua tangannya menggenggam secangkir teh hangat. Wanita itu pun sudah berganti pakaian, sore ini ia mengenakan jaket tebal berwarna hijau army dengan resleting yang sedikit terbuka, sampai memperlihatkan inner rajutnya yang berwarna hitam di bagian dalam. Sesampainya di depan Veline, Leona langsung memeluk sahabatnya erat-erat. "Ya ampun, Vel! Sorry banget, gara-gara gue lo sampai jatuh dari jembatan!" "Astaga, Le! Lo bikin gue sesek!" keluh Veline sambil berusaha melepaskan pelukan Leona, dan terus menjaga cangkir tehnya agar tidak tumpah. "Hehe, sorry, Vel. Gue bener-bener takut lo kenapa-napa." Leona berkata dengan wajah bersalah. Veline meletakkan cangkir tehnya di meja kecil yang ada di depannya. "Buktinya gue nggak apa-apa, kan?" "Iya sih ... tapi gue tetep aja ngerasa bersalah sama lo." Veline meraih tangan Leona, lalu m
"Tidak perlu, Leona. Kamu ikut saja dengan anak-anak yang lain. Biar Hero dan Veline saja yang kembali ke tenda," ujar Pak Agus. Leona terdiam sesaat, wajahnya terlihat kecewa. Namun, ia hanya bisa menerima keputusan tersebut, lalu mengangguk pelan. "Oh, baik, Pak," jawabnya. Dengan berat hati, ia melangkah mundur dan bergabung kembali dengan teman-temannya. Sementara itu, Hero mengangkat tubuh Veline ala bridal style. "Hati-hati, Ro," ucap Adrian, saat melihat Hero sudah membawa Veline pergi. Hero hanya mengangguk, lalu melangkah pergi meninggalkan teman-temannya. Semua mata tertuju pada Hero dan Veline yang perlahan menjauh, beberapa siswa masih terkejut melihat perubahan sikap Hero yang begitu peduli pada Veline. Setelah mereka menghilang dari pandangan, Pak Agus kembali mengambil alih situasi. "Baik, anak-anak. Sekarang kita lanjutkan tugas kita. Catat dengan baik apa yang kalian temui di sepanjang perjalanan, dan tetap hati-hati." "Baik, Pak!" jawab para sisw
Semua siswa menoleh ke arah teriakan Leona yang memanggil sahabatnya. Mereka menyaksikan dengan ngeri ketika tubuh Veline terhempas dari jembatan kayu dan jatuh ke dalam sungai yang deras. "Veline!" teriak beberapa siswa serentak ketika melihat gadis itu terbawa arus yang ganas. Suasana berubah mencekam, wajah para siswa sudah mulai panik. Sepasang mata Hero terpaku tatkala melihat tubuh Veline yang terseret oleh arus. Kesadarannya kembali dalam hitungan detik saat ia teringat bahwa Veline tak bisa berenang. Tanpa berpikir panjang, Hero melepaskan tasnya dan melompat ke sungai. "Hero!" teriak Raka, ia panik ketika melihat Hero melompat ke sungai begitu saja. Pak Agus juga panik, wajahnya tegang melihat aksi nekat Hero. "Ya ampun, Hero! Hati-hati! Anak-anak, cepat cari sesuatu untuk membantu Hero!" teriaknya. Para siswa segera berhamburan, mencari apa saja yang bisa digunakan untuk menyelamatkan kedua temannya. Mereka memeriksa sekitar jembatan. "Pak! Ada bambu panjang di
"Zahira … dia terus memanggil Hero, dan kondisinya memburuk. Suster Ira khawatir kalau ini tidak segera ditangani, bisa makin parah." "Ya sudah, Mas. Kita ke rumah sakit sekarang." "Tapi, acara ulang tahunmu ...," ujar Dimas ragu. "Nanti kita pikirkan lagi, Mas. Yang penting sekarang kita lihat kondisi Zahira dulu." Dimas tersenyum tipis, merasa lega ketika Amanda memahami situasinya. "Baiklah, terima kasih, Ma. Maaf bila acara kita ditunda lagi." "Gak apa-apa, Mas. Ayo kita pergi sekarang." Dimas mengangguk. Mereka berdua lalu masuk ke dalam mobil, dan Dimas memberi arahan pada Pak Supri. "Pak Supri, kita ke rumah sakit sekarang." "Baik, Pak," jawab Pak Supri sambil menyalakan mesin, membawa mereka menuju rumah sakit. Beberapa saat kemudian, kendaraan yang ditumpangi Dimas dan Amanda berhenti di depan rumah sakit. Bangunan megah dengan dinding putih bersih itu berdiri kokoh di bawah langit yang mulai mendung. Tanpa menunggu lama, Dimas segera keluar dari mobil, d
Udara yang semakin siang bukannya makin panas, tapi malah semakin sejuk. Saat bus perlahan memasuki area Puncak. Hamparan perkebunan teh pun sudah terlihat oleh mereka. Veline memandang keluar jendela, matanya terpaku pada hamparan hijau. Udara dingin yang menyelusup melalui celah-celah kaca jendela membuatnya menarik jaket lebih erat. Pemandangan yang begitu indah itu membuat Veline sejenak melupakan rasa kesal dan gelisah yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Setelah sekitar tiga jam perjalanan, bus perlahan melambat dan akhirnya berhenti di sebuah area perkemahan yang luas, yang dikelilingi pohon-pohon pinus. Para siswa mulai bersemangat. Mereka berbondong-bondong turun dari mobil, mata mereka terbelalak melihat pemandangan yang begitu menakjubkan: pegunungan hijau, udara segar, dan suara gemericik sungai kecil dari kejauhan. "Wah, keren banget tempatnya!" teriak Alyssa sambil merentangkan tangannya ke udara. "Sumpah, ini beneran kayak di film-film!" Leona memandang ta
"Jidat gue kejedog kursi," keluh Veline sambil mengusap dahinya yang terasa sakit. "Sama. Kepala gue langsung kliyengan lagi." Mereka berdua terus berkeluh kesah karena kepalanya terasa pusing. Namun, dari barisan belakang terdengar suara lantang Noval. "Pak!" Pak Agus yang sedang memperhatikan jalan segera menoleh. "Ya, ada apa, Noval?" "Pak, daripada diem-diem bae, gimana kalau karokean?" usul Noval. Pak Agus mulai menimbang. "Karokean? Emang kamu mau nyanyi lagu apa?" "Dangdutan aja, Pak, biar seru!" Kali ini Raka yang menjawab. "Daripada dangdutan, mending kita sholawatan aja. Biar perjalanan kita berkah dan hati kita tenang," kata Pak Agus, sambil memperhatikan para siswa. "Gimana, anak-anak?" Beberapa siswa mulai bersorak setuju. Pak Agus pun mulai melantunkan sholawat. "Shallallahu 'ala Muhammad ... shallallahu 'alaihi wasallam ...." "Ayo, anak-anak, ikuti bapak." "Iya, Pak!" Para siswa pun langsung mengikuti sholawat dengan kompak. Namun, di tenga