Semua ini seharusnya menjadi momen yang membahagiakan bagi Veline. Bukankah ini yang selalu ia impikan? Seorang lelaki mengungkapkan perasaannya di depan banyak orang, membawa seikat bunga mawar yang cantik, dan mengungkapkan cintanya dengan tulus. Namun, entah mengapa, kebahagiaan itu tidak terasa hadir. Sebaliknya, hatinya justru terasa gundah, seperti ada beban yang menghimpitnya, dan terus mencegahnya untuk tersenyum. Veline mengangkat pandangannya dengan lemah, matanya perlahan beralih dari Yudha yang masih berlutut di hadapannya ke arah sosok lain yang berdiri beberapa meter darinya. Sosok itu tidak mengatakan apa-apa, tapi tatapannya sudah cukup membuat dada Veline semakin sesak. Hero. Lelaki itu berdiri tegak dengan sorot mata dingin yang tajam, seolah ingin menerkamnya hidup-hidup. Raut wajahnya seperti ukiran marah yang tak terucapkan, tapi begitu jelas terasa. "Ayo dong, Vel! Kok diem terus? Kasihan Yudha, dari tadi udah pegel berlutut terus!" teriak Leona dari kerumu
"Gue ... gue cuma ingin fokus sama pelajaran," alibi Veline. Yudha mengerutkan kening, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Veline yang selama ini ia kenal, tak pernah suka akan pelajaran, tapi tiba-tiba ia berkata seperti itu. "Lo ... serius, Vel?" tanya Yudha ragu. Veline mengangguk pelan, meskipun ia merasa canggung dengan kata-kata yang baru saja ia ucapkan. "Kita kan udah kelas 12, Yud ... gue cuma pengen lebih fokus aja." "Ya, nggak apa-apa kok." "Sekali lagi, maaf ya, Yud." Veline sedikit menundukkan kepala, merasa tidak enak karena harus menolak perasaan Yudha dengan cara seperti ini. Setelah itu, Ia pun berbalik untuk pergi. Namun, langkahnya terhenti ketika Yudha memanggilnya lagi. "Mm, Vel ...." Veline berhenti, lalu kemudian menoleh lagi ke arah lelaki itu. "Iya, Yud?" "Tapi soal lo mau nganter gue nemuin nyokap gue itu jadi, kan?" Ketika sedang berada di supermarket kemarin, Yudha sempat mengungkapkan niatnya untuk menemui ibuny
Setelah jam pelajaran kedua selesai. Awalnya, Veline ingin menemui Leona yang masih berada di kelas, tapi tampaknya Leona masih marah karena kejadian kemarin. Veline sendiri tidak tahu pasti mengapa Leona bisa semarah itu padanya. Karena Leona tampak enggan bertemu, Veline memutuskan untuk tidak menemui Leona terlebih dulu sampai sahabatnya itu sudah tak marah lagi padanya. Ketika ia sedang berjalan di koridor sekolah, ia melihat Alyssa, teman sebangkunya, sedang duduk sendirian. "Hay, Sa, lo lagi ngapain duduk sendirian di sini?" tanya Veline, ketika sudah berada di dekat sahabatnya itu. "Gue lagi ini, baca komik," jawab Alissya, tanpa menoleh ke arah Veline. "Hah? Komik apaan?" Veline mengernyitkan alis, penasaran dengan komik yang dibaca oleh Alyssa. "Biasa, tentang pahlawan super." "Haaa, lo mah suka banget baca komik yang gituan." "Ya lumayan, daripada diem terus. Eh, lo nggak main sama Leona?" "Nggak. Kayaknya dia masih marah deh sama gue." Nada suara Velin
Tinju demi tinju terus mendarat di wajah Arnold. Yudha terus saja melakukannya tanpa henti meski tubuh Arnold sudah terkulai lemas di lantai. Setelah beberapa saat, akhirnya Yudha menghentikan pukulannya, ia mencoba mengatur napasnya yang sudah terengah-engah. Sementara itu, Arnold berusaha bangkit dari posisinya. Ia tersenyum smirk, seraya menyeka darah segar yang ada di ujung bibirnya dengan punggung tangan, lalu berdiri tertatih-tatih. Lelaki itu mencoba menyerang Yudha dengan pukulan lurus ke arah wajah. Namun, gerakannya yang terlalu lambat membuat Yudha dengan mudah menghindar, tubuhnya sedikit merunduk, lalu melontarkan pukulan keras ke arah perut Arnold. Pukulan itu membuat Arnold terhuyung ke belakang. Yudha tidak memberinya waktu untuk bernapas. Ia mencengkram kerah seragam Arnold dengan satu tangan, lalu menariknya, sementara tangan lainnya sudah mengepal erat. Dengan cepat, Yudha menghantamkan tinjunya ke rahang Arnold, membuat suara benturan keras menguar di udar
Seorang lelaki paruh baya tengah mengepalkan tangannya kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Wajahnya merah padam, rahangnya mengeras seperti batu karang, amarah dalam dadanya sudah membuncah. Lelaki berjambang tipis itu terus mengumpat dalam hati, mengulang-ulang kekesalan yang tak kunjung mereda. Ia tak habis pikir bagaimana seseorang bisa berlaku semena-mena terhadap Veline, menantu kesayangannya. Baginya, Veline bukan sekadar istri anaknya, melainkan putri yang selalu ia jaga dan lindungi. Dimas duduk di sofa panjang di ruang tamu, tepat di depan Veline yang tampak lesu. Perempuan muda itu menunduk, jemarinya meremas-remas ujung rok seolah mencoba menahan emosinya. Sedangkan di sampingnya, Amanda terduduk di kursi single, sementara Hero masih berdiri di dekat mereka. Raut wajahnya juga tak kalah kerasnya seperti Dimas. Suasana di ruang tamu itu terasa begitu tegang. Hanya suara napas berat dan jam dinding yang berdetak perlahan yang terdengar di tengah kebisuan mereka
Veline kini sedang mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Yudha. Ia berdiri di depan cermin, sambil terus mengamati penampilannya. Penampilannya malam ini sangat berbeda dengan hari-hari biasa. Ia mengenakan jaket pink yang modern dengan potongan yang agak longgar, dipadukan dengan celana jeans biru muda yang pas di tubuhnya. Veline memeriksa dirinya lagi di cermin, memastikan bahwa semua detailnya terlihat sempurna. Meskipun ia tidak terlalu suka berlebihan. "Lo mau ke mana?" Hero yang berdiri di ambang pintu menatap Veline dengan heran, matanya terpaku pada penampilan gadis itu yang terlihat rapi malam ini. "Mau ketemu temen." "Temen?" Hero mengerutkan kening. "Iya." "Siapa?" Veline terdiam sesaat. Ia bingung, tak tahu harus berkata apa. Sejak pertemuannya dengan Yudha beberapa waktu lalu, semuanya jadi lebih rumit. Ia ingin sekali mengantar Yudha bertemu dengan ibunya, yang sedang merayakan ulang tahun malam ini, tetapi jika mengatakan itu pada Hero, ia takut
"Mm, Yud, lo seriusan ini rumah nyokap lo?" Veline mencoba memastikan, ia berharap Yudha salah rumah. "Iya, Vel, ini rumahnya. Gue pernah nganter nyokap gue pulang pas dia pergi." Veline terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya berkata, "Hah, seriusan?" Anggukan Yudha membuat Veline semakin resah. Bila ia tahu pada awalnya nyokap Yudha tinggal serumah dengannya, Veline pasti sudah menolak Yudha untuk menemaninya bertemu dengan ibunya. Veline menyesal, seandainya ia bertanya dulu lebih awal kepada Yudha tentang siapa ibunya, mungkin ia tak akan mengalami kejadian seperti ini. "Iya, gue serius. Kenapa kok lo kayak kaget gitu?" Yudha memandang Veline sedikit heran dari kaca spion motornya, ketika melihat wajah Veline yang mendadak pucat. "Oh ... nggak, nggak, nggak apa-apa, kok." Veline merasa bersalah karena sudah berbohong kepada Hero, mengatakan bahwa ia akan pergi bersama Susi. Namun kenyataannya ia ada di sini bersama Yudha, di rumah yang tak pernah ia duga sebelumny
Sayup-sayup terdengar derap langkah kaki yang semakin mendekat. Dan pada saat itu juga, jantung Veline berdegup begitu cepat. Ia menundukkan kepala, mencoba menenangkan dirinya, tapi rasa cemas itu tak kunjung hilang. Sepertinya takdir tak lagi berpihak padanya, tatkala Dimas berkata, "Ah, itu anak om." Dimas menunjuk ke arah lelaki yang sedang menuruni tangga. Amanda dan Yudha segera melihat ke arah tangga, sementara Veline hanya bisa menunduk pasrah, sambil terus meremas ujung jaketnya. Jantung Veline berdegup semakin cepat ketika Hero sudah ada di dekat mereka. 'Mati gue!' Ketika Hero melihat Yudha ada di rumahnya, ia pun mengerutkan kening. Ekspresinya berubah bingung. Namun, yang membuatnya bingung lagi, kenapa Veline masih ada di rumah? Bukankah gadis itu sudah pamit kepadanya ingin menemui sahabatnya yang bernama Susi? "Kenapa lo ada di sini?" Hero bertanya, sembari menatap Yudha. Sebelum Yudha sempat menjawab, Dimas cepat-cepat menjelaskan. "Hero, kenalkan, dia Y
"Apa? Lo bilang apa barusan?!" Serpihan beling yang ada di tangannya semakin erat Leona genggam, hingga darah mengalir lebih deras dari pergelangan tangannya. "Ngebesar-besarin masalah, gue?" Leona menatap Veline nanar. "Lo pikir gue ngebesar-besarin masalah? Vel, lo bahkan gak tahu apa yang gue rasain selama ini! Lo tahu berapa lama gue bertahan nunggu Hero? Sepuluh tahun, Vel! Sepuluh tahun gue pendam perasaan gue ke dia!" Veline menelan ludah, hatinya mencelos mendengar pernyataan itu, tapi ia segera menegarkan diri. "Gue ngerti, Leona. Tapi rasa suka lo itu gak pernah jadi alasan buat lo ngerebut Hero dari gue! Hero sekarang suami gue, dan gue gak akan pernah melepaskan dia, apa pun yang lo lakuin!" "Lo gak ngerti, Vel! Kalau lo ngerti, lo gak akan ngomong kayak gitu!" Napas Leona tersengal, matanya menatap lurus ke arah Veline dengan pandangan yang sulit diartikan. "Hero itu segalanya buat gue!" lanjut Leona. "Dia adalah alasan gue terus bertahan selama ini. Lo gak tah
Tepat saat pintu terbuka, mata Leona membulat sempurna. Tubuhnya menegang ketika melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Alih-alih Hero yang sedang ia tunggu sedari tadi, tapi nyatanya bukan. Leona menggenggam ujung bajunya erat-erat, tanpa sadar kuku-kukunya yang panjang menancap ke kulit tangannya sendiri hingga buku-buku jarinya memutih. Tatapan matanya yang semula teduh kini berubah menjadi dingin, bahkan ada rasa kecewa dan juga benci. "Ngapain lo ke sini?" Ia bertanya dengan dingin, suaranya sedikit bergetar menahan emosi. Bukannya menjawab, orang yang ada di depannya hanya tersenyum smirk. Sebuah senyum yang membuat darah Leona berdesir. "Gue cuma ingin mengunjungi rumah sahabat gue," ujar Veline dengan santai, tapi tatapan matanya begitu tajam seperti seekor serigala yang hendak memangsa mangsanya. Saat melihat notifikasi di ponsel Hero beberapa waktu lalu, Veline sempat tertegun ketika melihat pesan itu dari Leona. Karena penasaran, ia pun langsung melihat p
Langit berwarna kelabu menggantung di atas sana. Angin sepoi-sepoi menerpa pepohonan, sampai membuat daun-daun berguguran, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan wangi bunga tabur. Di bawah sebuah pohon rindang, Veline berdiri di depan makam ayahnya, dengan seikat bunga mawar putih. Perlahan, Veline berlutut, meletakkan bunga di atas gundukan tanah yang telah lama menjadi tempat peristirahatan terakhir ayahnya. Tangannya gemetar saat ia merapikan bunga-bunga itu agar terlihat rapi. Di sisi lain, Hero sedang membersihkan makam ibunda Veline. Tangannya cekatan mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar batu nisan, lalu ia menaburkan bunga-bunga di atasnya. Setelah semuanya selesai, Veline menyeka peluh di dahinya. Ia memandang batu nisan ayahnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan—ada kerinduan, kesedihan, dan harapan yang bercampur menjadi satu. Tangannya terulur, menyentuh permukaan dingin batu nisan itu. Jari-jarinya menelusuri nama ayahnya yang terukir di
Beberapa bulan telah berlalu, dan seluruh siswa kelas 12 akhirnya menyelesaikan ujian nasional mereka. Hari-hari panjang yang penuh tekanan, belajar hingga larut malam, dan berlatih soal demi soal kini telah usai. Namun, meskipun perjuangan mereka di ruang ujian sudah selesai, perjalanan mereka masih belum berakhir di sini. Bagi sebagian siswa, ini adalah awal dari babak baru untuk mengejar mimpi mereka, baik itu melanjutkan pendidikan ke universitas impian, mengikuti pelatihan kejuruan, atau bahkan memulai karier lebih awal. Sementara itu, ada juga yang masih bimbang dengan arah yang akan mereka ambil setelah ini. Sekolah yang biasanya dipenuhi suara riuh kini terasa lebih sunyi. Ruang-ruang kelas tampak lengang, meja dan kursi tertata rapi seperti menanti penghuninya kembali. Sementara seorang lelaki tengah berjalan sendirian menuju kantin, langkahnya terus diiringi dengan berbagai hal dalam benaknya. Ujian yang baru saja selesai terasa seperti beban berat yang terangkat. N
"Anjir! Mata gue ternodai," seru Noval kaget. Sontak Veline dan Hero saling menjauh karena kaget juga. Veline langsung terduduk di sofa, wajahnya merah padam karena malu. Sementara Hero masih terlihat santai, kini ia pun duduk di samping Veline dengan wajah masam. "Lo semua gak bisa ketuk pintu dulu apa?" ujar Hero kesal. "Lah, buat apa, anjir? Biasanya juga kita langsung masuk," kilah Noval. Sementara Raka hanya menaruh kantong kresek ke atas meja. "Itu apa?" tanya Veline, sambil menunjuk ke kantong kresek tersebut. "Nasi Padang," jawab Raka, yang langsung membongkar isi di dalam kresek itu. "Cuma beli dua doang?" "Enggak kok, beli banyak." Tangan Raka masih sibuk mengeluarkan bungkus makanan itu satu per satu. "Oh." Raka meluruskan tubuhnya dulu sebelum berkata, "Gue ambil piring dulu." Ia lalu berjalan ke arah dapur. "Ikut, deh." Noval buru-buru mengekor di belakang Raka. "Gue gak mau jadi obat nyamuk di sini." Sebelum pergi, ia menepuk pelan bahu The
Dua pria itu kini sudah berdara di balkon yang ada di basecamp, Hero berdiri sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku jaket, pandangannya terpaku pada langit malam yang gelap. Sementara itu, Adrian bersandar pada pagar balkon, matanya menatap kendaraan yang masih ramai berlalu lalang di jalanan yang ada di bawah mereka. "Jadi ... Leona udah tahu dari dulu tentang pernikahan gue sama Veline?" Hero menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada gedung-gedung tinggi di kejauhan. Ketika Adrian memberitahu Hero bahwa Leona sebenarnya sudah mengetahui tentang pernikahannya dengan Veline sudah lama, Hero pun merasa kaget. Pasalnya, selama ini sikap Leona seakan biasa-biasa saja. Adrian juga menjelaskan bahwa waktu itu, Leona mengetahui pernikahan mereka tepat ketika mendengar pertengkaran Hero dan Veline di dalam kelas. Dari pertengkaran itu, Leona mendengar semua hal yang diucapkan oleh mereka. Meskipun Leona sudah mengetahui segalanya, ia berpura-pura tidak tahu dan be
Langit malam ini begitu gelap. Namun, gelapnya malam ini terlihat begitu indah saat berbagai bintang menghiasi langit. Gedung-gedung tinggi berdiri megah, dikelilingi lampu-lampu yang berkelip seperti berlian. Udara malam ini memang begitu dingin, tapi dinginnya tak mampu membuat dua insan yang berdiri di atas jembatan tak urung pergi. Hanya sebuah pagar jembatan yang kini mampu menopang tubuh Leona, ia bersandar di sana, seakan hanya itu yang ia miliki untuk bersandar saat ini. Pemandangan dari atas jembatan terlihat begitu cantik, ia dapat melihat kendaraan yang berlalu lalang di bawah. Sesekali ia menyesap soda dari kaleng yang ada di tangannya. Sementara itu, seorang lelaki tengah berdiri di sampingnya. Ia juga tengah termenung memikirkan sesuatu yang ada dalam benaknya. Adrian menyanggah tubuh, menggenggam pembatas jembatan dengan erat sambil memcoba menghela napas dalam sebelum berkata, "Gue lihat malam ini, lo nggak baik-baik saja." Mendengar perkataan itu, Leon
Hero yang sedari tadi duduk diam sambil menatap buku di tangannya, akhirnya berkata, "Kita mau mulai belajar kapan?" "Ah, sekarang aja, Ro. Ngapain nunggu tahun depan, kelamaan," sahut Raka. Tentu saja, hal itu mendapatkan cibiran dari Noval. "Anjir, tahun depan tinggal beberapa jam lagi, pea! Lagian, ngapain sih kita harus belajar di tahun baru? Yang ada, tuh, ya, yang lain pada asyik tahun baruan. Lah, kita? Masa belajar." Adrian yang mendengar ocehan Noval langsung meremas sebuah tisu dan memasukannya ke mulut lelaki itu. "Anjir!" Noval gegas membuang tisu yang ada di mulutnya. "Somplak, lo!" hardiknya kesal, menatap ke arah Adrian dengan tajam. Helaan napas Hero terdengar berat ketika melihat temannya selalu saja bertengkar. "Ya udah, mau mulai dari pelajaran apa dulu?" Raka yang duduk santai dengan tangan disandarkan di belakang kepala, menyahut tanpa terburu-buru. "Yang gampang-gampang dulu aja, Ro. Jangan yang bikin pusing kepala." "Yang gampang gimana maksudnya?"
Napas Veline memburu hebat saat tangan Hero terus bergerak perlahan di pinggangnya. Sentuhan itu begitu lembut, sampai membuat bulu kuduk Veline meremang. Jari-jari kekar Hero dengan mahir menjelajahi sisi tubuhnya, terus bergerak hingga menyentuh ujung kain lingerie yang Veline kenakan. Kain tipis itu sedikit terangkat ketika Hero terus menggesernya ke atas, sampai memperlihatkan paha mulus Veline yang begitu indah di pandang. Bibir Hero tidak tinggal diam. Ia membiarkan bibirnya menelusuri leher Veline. Ciuman yang awalnya lembut berubah menjadi lebih intens, sampai meninggalkan bekas kemerahan—jejak kepemilikan yang sengaja ia tinggalkan di sana. Napas Veline tercekat, dadanya naik turun seiring sensasi yang mengalir dari sentuhan Hero. Veline menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan desahan yang hampir lolos. Tangannya melingkar di leher kokoh Hero, sampai tubuh Hero tertarik lebih dekat ke arahnya. Rambut hitam Veline berantakan di atas bantal, dan wajahnya memerah