Hero berdiri di depan pintu, bersandar santai di dinding sambil menyaksikan wajah Veline yang cemberut. Bibirnya sedikit mengerucut, sampai kedua pipinya menggelembung. Pemandangan itu bukannya membuat Hero sebal, tapi justru membuatnya malah menyunggingkan senyum. Tanpa banyak bicara, Hero mendekati Veline, dan dengan santai menjawil kedua pipi gadis itu yang tembem. "Gimana gue bisa ngajak lo kalau lo tidurnya kaya kebo, Vel," ujarnya sambil terkekeh kecil. Veline langsung menepis tangan Hero dengan cepat. "Ya kenapa lo gak bangunin gue, sih?" protesnya. "Gue udah bangunin lo, tapi lo gak bangun-bangun. Mau diapain lagi coba?" "Lo gak bohong, kan?" "Buat apa gue bohong?" Veline menghela napas panjang, sambil mencoba meredam kekesalannya. "Ya udah. Kali ini gue maafin." Ia lalu berbalik dan berjalan menuju tangga. Namun, baru beberapa langkah, ia berhenti lalu berkata, "Jangan lupa tutup pintunya, terus kunci!" Hero hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum ke
Leona memandang Veline yang wajahnya terlihat cengo, seperti tak mendengarkan apa pun. "Kenapa wajah lo kayak gitu? Biasa aja kali," omelnya, merasa kesal dengan ekspresi sahabatnya itu yang menurutnya menyebalkan. Namun, Veline hanya diam, pandangannya kosong menatap rerumputan di sekitarnya seolah mencari sesuatu yang tidak ada. "Vel," panggil Leona lagi, sembari memperhatikan sahabatnya itu yang sedari tadi hanya terdiam. "Hm?" gumam Veline tanpa menoleh. "Lo harus lihat deh bunga-bunga itu. Gue taruh di kamar. Wangi banget dan bunganya cantik-cantik." Leona mencoba mengalihkan perhatian Veline. "Gak ada waktu gue buat urusan begitu," balas Veline datar, tanpa minat sedikit pun. Leona langsung menjitak bahu Veline pelan. "Astaga, lo itu, ya, Vel, suka gak suka lihat sahabatnya senang. Gue tahu lo itu gak suka sama Hero, tapi kan Hero itu juga temen gue udah dari kecil. Masa lo gak bisa sedikit pun menghargai dia?" Leona tahu benar bahwa setiap kali dia menyebut nama
Siang ini, matahari bersinar begitu terang, memantulkan cahaya ke langit yang dihiasi awan tipis. Veline duduk di tepi rooftop, kedua tangannya menyangga besi yang ada di belakang, sementara pandangannya kosong menatap ke arah cakrawala. Pertengkaran dengan Bu Tejo tadi masih terngiang-ngiang di pikirannya. Ia menghela napas panjang, mengusir rasa sesak di dadanya, tapi air mata tak tertahankan mulai membasahi sudut matanya. Ia mengusap pipinya cepat-cepat, berusaha menutupi perasaannya, meskipun tak ada siapa pun di sana. Gadis cantik itu memejamkan matanya sejenak, merasakan sinar matahari yang hangat menyentuh kulit wajahnya. Angin bertiup, menyapu rambut hitam sebahunya yang tergerai. Rasanya seperti jeda kecil di tengah kekacauan pikirannya, meskipun hanya sesaat. Namun, ketenangan itu tak mampu menghapus rasa sesak yang masih mengendap di dadanya. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Namun, ia tetap enggan beranjak. Ia duduk diam, tak ingin turun bersama siswa-s
Hari sudah berganti malam, tapi tak membuat kedua gadis yang sedari tadi masih sibuk di supermarket beranjak pergi. Mereka masih sibuk mencari barang-barang yang mereka butuhkan. Leona menggandeng tangan Veline sambil menunjuk ke arah barang lain yang perlu mereka beli. Sementara Hero sedari tadi berjalan di belakang mereka, sambil membawa beberapa paper bag berisi belanjaan kedua gadis itu. Saat sedang asyik berbelanja, Leona tiba-tiba berhenti dan menunjuk ke arah rak di depan mereka. "Eh, itu bukannya Yudha, ya?" serunya sambil menunjuk seorang pria yang sedang berdiri membelakangi mereka. Hero dan Veline spontan menoleh ke arah yang ditunjuk Leona, dan merekapun melihat sesosok pria berjaket hitam tengah sibuk memilih sesuatu. "Yudha!" panggil Leona lantang. Saat mendengar seseorang memanggil namanya, Yudha pun lantas menoleh ke arah sumber suara, ia melihat Leona, Veline, dan juga Hero. Ia melambaikan tangannya, sembari tersenyum, lalu menghampiri mereka. "Lo lagi n
Di dalam mobil, suasana terasa berbeda. Hero mengemudi begitu serius. Ia tetap fokus pada jalan di depannya, tidak memberikan perhatian sedikitpun pada Leona yang duduk di sebelahnya. Leona terus saja bercerita. Ia membahas entah apa—mulai dari rencana persami, gosip teman-teman di sekolah, hingga makanan favoritnya. Namun, dari awal hingga akhir, Hero tidak merespons. Raganya memang ada di sana, tapi pikirannya melayang jauh entah ke mana. Ia masih terbayang-bayang kejadian di supermarket tadi. Saat Veline dengan sabar membantu Yudha memilih kado untuk ulang tahun ibunya. Saat mereka berdiskusi dengan begitu dekat, bahkan terkadang tertawa kecil bersama. Hero menggenggam setir lebih erat. Bayangan Yudha yang menyeka butiran nasi di sudut bibir Veline juga terus membayangi pikirannya. Perasaan asing yang mengganggu dadanya membuatnya gusar, tapi ia tak bisa menjelaskannya. "Ro, lo dengerin gue nggak?" Leona memandang ke arah lelaki yang sedari tadi hanya terdiam. "Ro!"
Hero merasa begitu khawatir, saat sedari tadi tak menemukan keberadaan istrinya. Ia sudah menelusuri seluruh sudut rumah, tapi tak ada penampakan gadis itu sedikitpun. Tanpa membuang waktu, ia merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel, dan langsung mencoba menghubungi Veline. Suara nada sambung terdengar, tapi tidak ada jawaban. "Kenapa nggak diangkat sih?!" gerutunya kesal, sementara ia terus mencoba lagi. Sudah lima kali ia menelepon, lalu delapan, dan bahkan sebelas kali, tapi tetap sama—Veline tidak mengangkat panggilannya. Pikirannya semakin tak tenang, terlebih ia masih teringat bahwa Yudha yang mengantar gadis itu pulang. "Di mana lo, Veline?" gumamnya, merasa begitu frustrasi. Napasnya juga sudah memburu karena rasa khawatir yang terus saja melanda. Ketika akhirnya, pada percobaan ke-12, panggilannya dijawab, Hero langsung bicara tanpa membiarkan Veline menyelesaikan perkataanya. "Halo—" "Lo di mana?! Kenapa dari tadi nggak angkat panggilan gue? Lo nggak li
Kamar berukuran 3x3 meter itu terlihat begitu mungil. Dengan perabotan seadanya, ruangan itu terasa lebih sempit, terutama kasur yang hampir memenuhi separuh ruangan. Hero memperhatikan tempat itu dalam diam, ia bertanya-tanya bagaimana mereka bisa tidur bersama di kasur yang tampak terlalu kecil untuk dua orang. "Lo tidur sebelah sana, gue tidur sebelah sini aja," ujar Veline sambil menunjuk ke sisi kasur. "Hm," gumam Hero singkat, tanpa banyak bicara. Veline mengerutkan kening sejenak, merasa aneh dengan sikap lelaki itu yang begitu berbeda dibandingkan sebelumnya. Ia teringat saat Hero meneleponnya beberapa waktu lalu, ketika lelaki itu marah padanya. Tapi sekarang, Hero malah jadi pendiam. "Lo ngapain sih pake ke sini segala?" Hero menoleh sekilas. "Gue cuma takut." "Takut apaan?" Veline bertanya sambil mengernyit heran. "Takut lo bohongin gue." Veline mendesah pelan, lalu menjawab tanpa menoleh. "Tapi buktinya nggak, kan? Lo aja yang terlalu parno." Tanpa bany
Sepasang mata Veline menyipit tatkala sinar matahari yang terik menyilaukan matanya. Ia berdiri di depan kelasnya di lantai tiga, sambil terus memandang ke arah lapangan sekolah yang ada di bawah. Gadis cantik yang rambutnya tergerai indah itu melihat sekelompok siswa terlihat asyik bermain basket, sementara yang lainnya sibuk berbincang di tepi lapangan. Ketika Veline tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dari belakang, sampai membuatnya tersentak kaget. "Hayo, lagi ngapain sendirian di sini?" Veline terkesiap, lantas ia menoleh dengan raut kesal ke arah orang yang ada di belakangnya, saat itu juga, ia melihat Leona tengah tersenyum. "Astaga, Leona! Lo ngagetin gue aja!" Leona hanya terkikik kecil, lalu melirik ke arah lapangan yang ada di bawah. "Hayo, lo lagi mikirin apa sih? Dari tadi gue lihat lo bengong sambil lihatin ke bawah. Ada apa emangnya di sana?" Veline menggeleng pelan. "Gak ada apa-apa. Gue cuma lagi lihat anak-anak yang lagi main
"Apa? Lo bilang apa barusan?!" Serpihan beling yang ada di tangannya semakin erat Leona genggam, hingga darah mengalir lebih deras dari pergelangan tangannya. "Ngebesar-besarin masalah, gue?" Leona menatap Veline nanar. "Lo pikir gue ngebesar-besarin masalah? Vel, lo bahkan gak tahu apa yang gue rasain selama ini! Lo tahu berapa lama gue bertahan nunggu Hero? Sepuluh tahun, Vel! Sepuluh tahun gue pendam perasaan gue ke dia!" Veline menelan ludah, hatinya mencelos mendengar pernyataan itu, tapi ia segera menegarkan diri. "Gue ngerti, Leona. Tapi rasa suka lo itu gak pernah jadi alasan buat lo ngerebut Hero dari gue! Hero sekarang suami gue, dan gue gak akan pernah melepaskan dia, apa pun yang lo lakuin!" "Lo gak ngerti, Vel! Kalau lo ngerti, lo gak akan ngomong kayak gitu!" Napas Leona tersengal, matanya menatap lurus ke arah Veline dengan pandangan yang sulit diartikan. "Hero itu segalanya buat gue!" lanjut Leona. "Dia adalah alasan gue terus bertahan selama ini. Lo gak tah
Tepat saat pintu terbuka, mata Leona membulat sempurna. Tubuhnya menegang ketika melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Alih-alih Hero yang sedang ia tunggu sedari tadi, tapi nyatanya bukan. Leona menggenggam ujung bajunya erat-erat, tanpa sadar kuku-kukunya yang panjang menancap ke kulit tangannya sendiri hingga buku-buku jarinya memutih. Tatapan matanya yang semula teduh kini berubah menjadi dingin, bahkan ada rasa kecewa dan juga benci. "Ngapain lo ke sini?" Ia bertanya dengan dingin, suaranya sedikit bergetar menahan emosi. Bukannya menjawab, orang yang ada di depannya hanya tersenyum smirk. Sebuah senyum yang membuat darah Leona berdesir. "Gue cuma ingin mengunjungi rumah sahabat gue," ujar Veline dengan santai, tapi tatapan matanya begitu tajam seperti seekor serigala yang hendak memangsa mangsanya. Saat melihat notifikasi di ponsel Hero beberapa waktu lalu, Veline sempat tertegun ketika melihat pesan itu dari Leona. Karena penasaran, ia pun langsung melihat p
Langit berwarna kelabu menggantung di atas sana. Angin sepoi-sepoi menerpa pepohonan, sampai membuat daun-daun berguguran, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan wangi bunga tabur. Di bawah sebuah pohon rindang, Veline berdiri di depan makam ayahnya, dengan seikat bunga mawar putih. Perlahan, Veline berlutut, meletakkan bunga di atas gundukan tanah yang telah lama menjadi tempat peristirahatan terakhir ayahnya. Tangannya gemetar saat ia merapikan bunga-bunga itu agar terlihat rapi. Di sisi lain, Hero sedang membersihkan makam ibunda Veline. Tangannya cekatan mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar batu nisan, lalu ia menaburkan bunga-bunga di atasnya. Setelah semuanya selesai, Veline menyeka peluh di dahinya. Ia memandang batu nisan ayahnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan—ada kerinduan, kesedihan, dan harapan yang bercampur menjadi satu. Tangannya terulur, menyentuh permukaan dingin batu nisan itu. Jari-jarinya menelusuri nama ayahnya yang terukir di
Beberapa bulan telah berlalu, dan seluruh siswa kelas 12 akhirnya menyelesaikan ujian nasional mereka. Hari-hari panjang yang penuh tekanan, belajar hingga larut malam, dan berlatih soal demi soal kini telah usai. Namun, meskipun perjuangan mereka di ruang ujian sudah selesai, perjalanan mereka masih belum berakhir di sini. Bagi sebagian siswa, ini adalah awal dari babak baru untuk mengejar mimpi mereka, baik itu melanjutkan pendidikan ke universitas impian, mengikuti pelatihan kejuruan, atau bahkan memulai karier lebih awal. Sementara itu, ada juga yang masih bimbang dengan arah yang akan mereka ambil setelah ini. Sekolah yang biasanya dipenuhi suara riuh kini terasa lebih sunyi. Ruang-ruang kelas tampak lengang, meja dan kursi tertata rapi seperti menanti penghuninya kembali. Sementara seorang lelaki tengah berjalan sendirian menuju kantin, langkahnya terus diiringi dengan berbagai hal dalam benaknya. Ujian yang baru saja selesai terasa seperti beban berat yang terangkat. N
"Anjir! Mata gue ternodai," seru Noval kaget. Sontak Veline dan Hero saling menjauh karena kaget juga. Veline langsung terduduk di sofa, wajahnya merah padam karena malu. Sementara Hero masih terlihat santai, kini ia pun duduk di samping Veline dengan wajah masam. "Lo semua gak bisa ketuk pintu dulu apa?" ujar Hero kesal. "Lah, buat apa, anjir? Biasanya juga kita langsung masuk," kilah Noval. Sementara Raka hanya menaruh kantong kresek ke atas meja. "Itu apa?" tanya Veline, sambil menunjuk ke kantong kresek tersebut. "Nasi Padang," jawab Raka, yang langsung membongkar isi di dalam kresek itu. "Cuma beli dua doang?" "Enggak kok, beli banyak." Tangan Raka masih sibuk mengeluarkan bungkus makanan itu satu per satu. "Oh." Raka meluruskan tubuhnya dulu sebelum berkata, "Gue ambil piring dulu." Ia lalu berjalan ke arah dapur. "Ikut, deh." Noval buru-buru mengekor di belakang Raka. "Gue gak mau jadi obat nyamuk di sini." Sebelum pergi, ia menepuk pelan bahu The
Dua pria itu kini sudah berdara di balkon yang ada di basecamp, Hero berdiri sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku jaket, pandangannya terpaku pada langit malam yang gelap. Sementara itu, Adrian bersandar pada pagar balkon, matanya menatap kendaraan yang masih ramai berlalu lalang di jalanan yang ada di bawah mereka. "Jadi ... Leona udah tahu dari dulu tentang pernikahan gue sama Veline?" Hero menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada gedung-gedung tinggi di kejauhan. Ketika Adrian memberitahu Hero bahwa Leona sebenarnya sudah mengetahui tentang pernikahannya dengan Veline sudah lama, Hero pun merasa kaget. Pasalnya, selama ini sikap Leona seakan biasa-biasa saja. Adrian juga menjelaskan bahwa waktu itu, Leona mengetahui pernikahan mereka tepat ketika mendengar pertengkaran Hero dan Veline di dalam kelas. Dari pertengkaran itu, Leona mendengar semua hal yang diucapkan oleh mereka. Meskipun Leona sudah mengetahui segalanya, ia berpura-pura tidak tahu dan be
Langit malam ini begitu gelap. Namun, gelapnya malam ini terlihat begitu indah saat berbagai bintang menghiasi langit. Gedung-gedung tinggi berdiri megah, dikelilingi lampu-lampu yang berkelip seperti berlian. Udara malam ini memang begitu dingin, tapi dinginnya tak mampu membuat dua insan yang berdiri di atas jembatan tak urung pergi. Hanya sebuah pagar jembatan yang kini mampu menopang tubuh Leona, ia bersandar di sana, seakan hanya itu yang ia miliki untuk bersandar saat ini. Pemandangan dari atas jembatan terlihat begitu cantik, ia dapat melihat kendaraan yang berlalu lalang di bawah. Sesekali ia menyesap soda dari kaleng yang ada di tangannya. Sementara itu, seorang lelaki tengah berdiri di sampingnya. Ia juga tengah termenung memikirkan sesuatu yang ada dalam benaknya. Adrian menyanggah tubuh, menggenggam pembatas jembatan dengan erat sambil memcoba menghela napas dalam sebelum berkata, "Gue lihat malam ini, lo nggak baik-baik saja." Mendengar perkataan itu, Leon
Hero yang sedari tadi duduk diam sambil menatap buku di tangannya, akhirnya berkata, "Kita mau mulai belajar kapan?" "Ah, sekarang aja, Ro. Ngapain nunggu tahun depan, kelamaan," sahut Raka. Tentu saja, hal itu mendapatkan cibiran dari Noval. "Anjir, tahun depan tinggal beberapa jam lagi, pea! Lagian, ngapain sih kita harus belajar di tahun baru? Yang ada, tuh, ya, yang lain pada asyik tahun baruan. Lah, kita? Masa belajar." Adrian yang mendengar ocehan Noval langsung meremas sebuah tisu dan memasukannya ke mulut lelaki itu. "Anjir!" Noval gegas membuang tisu yang ada di mulutnya. "Somplak, lo!" hardiknya kesal, menatap ke arah Adrian dengan tajam. Helaan napas Hero terdengar berat ketika melihat temannya selalu saja bertengkar. "Ya udah, mau mulai dari pelajaran apa dulu?" Raka yang duduk santai dengan tangan disandarkan di belakang kepala, menyahut tanpa terburu-buru. "Yang gampang-gampang dulu aja, Ro. Jangan yang bikin pusing kepala." "Yang gampang gimana maksudnya?"
Napas Veline memburu hebat saat tangan Hero terus bergerak perlahan di pinggangnya. Sentuhan itu begitu lembut, sampai membuat bulu kuduk Veline meremang. Jari-jari kekar Hero dengan mahir menjelajahi sisi tubuhnya, terus bergerak hingga menyentuh ujung kain lingerie yang Veline kenakan. Kain tipis itu sedikit terangkat ketika Hero terus menggesernya ke atas, sampai memperlihatkan paha mulus Veline yang begitu indah di pandang. Bibir Hero tidak tinggal diam. Ia membiarkan bibirnya menelusuri leher Veline. Ciuman yang awalnya lembut berubah menjadi lebih intens, sampai meninggalkan bekas kemerahan—jejak kepemilikan yang sengaja ia tinggalkan di sana. Napas Veline tercekat, dadanya naik turun seiring sensasi yang mengalir dari sentuhan Hero. Veline menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan desahan yang hampir lolos. Tangannya melingkar di leher kokoh Hero, sampai tubuh Hero tertarik lebih dekat ke arahnya. Rambut hitam Veline berantakan di atas bantal, dan wajahnya memerah