Maysha Jemma Eveline adalah sosok gadis yang pembangkang, keras kepala, dan tidak mudah diatur. Ia selalu ingin terlihat mencolok di setiap penampilannya. Bahkan, teman-temannya sering menjulukinya 'ratu onar.' Tidak hanya dikenal sebagai gadis barbar, Veline—begitu ia biasa disapa—juga kerap melanggar aturan yang ada.Namun saat ini, bukan perilaku negatifnya yang ia sedang tunjukkan, melainkan perasaan sedih yang menggerogoti hatinya.Hati anak mana yang tak sakit saat kehilangan ayahnya? Ayah yang telah menjaga dan merawatnya selama ini.Begitu juga dengan Veline. Di balik sikap keras kepalanya selama ini yang sering membuat orang lain kesal, sebenarnya hatinya begitu rapuh. Dua tahun yang lalu saat ia berusia 16 tahun, ia harus menerima kenyataan pahit atas kehilangan ibunya. Namun kali ini, ia juga harus kehilangan sosok ayah yang luar biasa dalam hidupnya."Maafin, Veline, Yah. Selama ini Veline selalu berbuat nakal. Selalu tak mendengar nasihat Ayah, jadi anak pembangkang, dan
Veline memperhatikan pemandangan dari kaca jendela mobil, angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya melalui jendela kaca yang terbuka. Gadis itu memegang sebatang dedaunan berwarna merah, yang ia bawa dari pemakaman sang ayah. Wanita yang mengenakan jam tangan berwarna coklat dengan bingkai persegi itu memandang ke arah langit. Langit di atas terlihat mendung, awan kelabu menggantung seakan turut mengerti perasaannya yang masih berduka. Setelah mempertimbangkan dengan cukup matang, Veline akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama Dimas, sahabat dari almarhum ayahnya. Ini memang keputusan yang sulit, terutama setelah melihat pertengkaran yang kerap muncul di antara om dan tantenya saat mereka membahas siapa yang akan merawatnya. Gadis itu tak ingin menjadi beban yang memicu keributan dalam keluarga. Jadi, ia pun terpaksa menerima tawaran Dimas."Kita sudah sampai." Dimas berkata setelah beberapa saat hening. Sepanjang perjalanan, Dimas sesekali mencoba mengajak Veline berbicara, berusaha me
"Ada apa ini?"Dimas segera bergegas naik ke lantai dua saat mendengar suara keributan. Begitu sampai, ia melihat Hero dan Veline yang tengah bersitegang."Kenapa wanita ini ada di sini?" tanya Hero sambil menatap ayahnya dingin."Veline akan tinggal di sini mulai sekarang."Mendengar perkataan ayahnya, Hero merasa kesal. Bagaimana bisa wanita yang selalu membuat Hero naik pitam akan tinggal di rumahnya?Selama ini, mereka berdua memang selalu seperti kucing dan anjing di sekolah. Hero, sebagai ketua OSIS, sudah berkali-kali menghukum Veline karena kenakalannya. Tak terhitung berapa kali gadis itu melanggar aturan, bolos kelas, atau membuat keonaran di sekolah. Namun, alih-alih jera, Veline justru semakin berani menentang setiap kali ia mendapat hukuman. Sikap keras kepala Veline membuat Hero merasa frustrasi dan semakin kesal dengan kehadirannya di rumah."Apa Papa pikir rumah ini yayasan? Baru seminggu yang lalu Papa membawa istri baru ke sini, dan sekarang Papa bawa lagi seorang pe
Veline mengangkat bahu. "Gak ada. Gue cuma ingin bicara aja sama lo."Hero menutup buku dengan kasar, lalu meletakkan buku itu di atas meja. Ia berdiri dari kursi dan mendekat ke arah Veline yang masih berdiri di ambang pintu. Tatapan tajamnya menelusuri wajah Veline. Memang, gadis itu terlihat cantik—wajahnya selalu tampak segar, meskipun kali ini ada sedikit semburat kesedihan yang tak bisa disembunyikan.Namun, kecantikan itu tidak mengubah perasaan Hero sedikit pun. Setiap kali melihat Veline, rasa benci yang ia pendam seolah makin membara, mengingatkannya pada masalah yang ia anggap datang bersamaan dengan kehadirannya di rumah ini."Lo sengaja, kan, datang ke rumah gue cuma buat ngerasain harta keluarga gue? Atau jangan-jangan …." Hero mendekatkan wajahnya ke arah Veline, suaranya menurun sambil berbisik menghina gadis itu. "Jangan-jangan, lo juga selingkuhan bokap gue."Plak!Tamparan keras mendarat di pipi Hero. Hero terkesiap ketika Veline tiba-tiba menamparnya, begitu juga d
"Om nggak perlu memilih apa pun, karena Veline yang akan pergi." Veline yang melihat kebingungan di wajah Dimas, hanya membuat dadanya terasa semakin sesak. Ia pun memutuskan untuk pergi dari rumah tersebut.Dimas menarik napas panjang, menatap sedih ke arah gadis yang ada di hadapannya. "Veline ....""Terima kasih, Om, Tante, kalian sudah baik sama Veline."Veline lantas berbalik, sambil menyeret koper. Air mata yang telah ia tahan sedari tadi mulai jatuh lagi saat sudah berada di ambang pintu."Veline, kamu mau pergi ke mana, Sayang? Ini sudah malam, di luar juga sedang hujan deras!" Amanda berteriak, ia terlihat cemas melihat Veline yang pergi begitu saja, apalagi di luar sedang hujan deras. Namun, Veline tak menjawab, ia tetap melangkah tanpa menoleh ke belakang. Ia merasa tak ada tempat baginya di sini. Jadi, lebih baik ia pergi saja.Dimas berbalik menatap Hero dengan rahang yang sudah mengeras, matanya juga sudah menyala merah. "Kamu benar-benar keterlaluan, Hero! Apa kamu ngg
Hero berteriak lantang ketika melihat Veline yang tiba-tiba terjatuh. "Veline ...." Dengan keadaan panik, Hero lantas berlari menghampiri gadis itu yang sudah tak sadarkan diri. Lelaki tampan itu langsung berjongkok dengan lutut ditekuk. Tangan kekarnya langsung meraih kepala Veline dan menepuk wajahnya dengan pelan. "Veline, bangun!" Sudah beberapa kali Hero menepuk wajah gadis itu. Namun, sepertinya Veline tak kunjung sadar. "Veline sadarlah, ayo bangun!" Karena sudah panik dan tidak tahu harus berbuat apa lagi, Hero pun lantas langsung mengangkat tubuh Veline, membawanya ke dalam mobil. Setelah pintu mobil ia buka dengan susah payah, akhirnya Veline berhasil ia letakkan di jok mobil paling depan. Hero menutup pintu mobil, lalu segera mengambil koper Veline yang sudah basah oleh hujan. Ia pun menyimpan koper gadis itu di bagasi mobil, setelah itu, Hero memasuki mobil, meski pakaiannya juga basah kuyup dan tubuhnya menggigil kedinginan, tapi ia tak peduli. Yang penting seka
Hero keluar dari kamar mandi, sembari mengusap rambut basahnya dengan handuk, sampai membuat beberapa helai rambutnya jatuh berantakan di dahi. Setelah libur tengah semester berakhir, akhirnya hari ini ia akan kembali bersekolah. Lelaki tampan itu berjalan menuju lemari, membuka pintu, dan mengambil seragam sekolah yang sudah rapi tergantung di sana. Saat mulai mengenakannya, Hero memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Tubuh tegapnya terlihat semakin berwibawa saat mengenakan seragam putih abu-abu. Tinggi dan wajahnya yang tampan dengan rahang tegas, hidung mancung, serta sepasang mata tajam yang seakan memiliki daya tarik tersendiri, sampai membuatnya digilai oleh banyak siswi di sekolah. Setelah rapi mengenakan seragamnya, Hero mengambil botol parfum dari meja, lalu menyemprotkannya pada tubuh. Aroma maskulin sudah menyeruak menyebar di ruangan tersebut. Sebelum meninggalkan kamar, ia merapikan rambutnya terlebih dulu. Lalu memasang jam tangan di pergelangan tangan kiri dan
Seharian sudah, Veline menghabiskan waktu di dalam kamar. Namun, rasa bosan perlahan mulai menghampiri. Setelah melihat gelas air minumnya kosong, ia memutuskan untuk pergi ke dapur mengambil air. Kondisinya memang sudah jauh lebih baik, terutama berkat perhatian Amanda yang tak pernah lelah merawatnya. Wanita itu selalu memastikan Veline mendapatkan makanan bergizi dan buah-buahan segar sepanjang hari. Amanda memperlakukannya seperti putri kandung sendiri, sampai membuat Veline merasa nyaman. Kehangatan itu menghadirkan kembali sosok ibu yang selama ini ia rindukan dalam diri Amanda. Namun bukan hanya Amanda, Dimas, juga selalu baik padanya. Veline merasa sangat beruntung, karena Tuhan mempertemukannya dengan orang-orang yang tulus dan begitu peduli. Sesampainya di dapur, Veline melihat Amanda sedang menyiapkan makan malam bersama Bi Ranti. "Malam, Tante, Bi Ranti," sapa Veline kepada dua wanita yang sedang sibuk di dapur. Amanda menoleh ke arah Veline yang ada di belakang
Hero berdiri di depan pintu, bersandar santai di dinding sambil menyaksikan wajah Veline yang cemberut. Bibirnya sedikit mengerucut, sampai kedua pipinya menggelembung. Pemandangan itu bukannya membuat Hero sebal, tapi justru membuatnya malah menyunggingkan senyum. Tanpa banyak bicara, Hero mendekati Veline, dan dengan santai menjawil kedua pipi gadis itu yang tembem. "Gimana gue bisa ngajak lo kalau lo tidurnya kaya kebo, Vel," ujarnya sambil terkekeh kecil. Veline langsung menepis tangan Hero dengan cepat. "Ya kenapa lo gak bangunin gue, sih?" protesnya. "Gue udah bangunin lo, tapi lo gak bangun-bangun. Mau diapain lagi coba?" "Lo gak bohong, kan?" "Buat apa gue bohong?" Veline menghela napas panjang, sambil mencoba meredam kekesalannya. "Ya udah. Kali ini gue maafin." Ia lalu berbalik dan berjalan menuju tangga. Namun, baru beberapa langkah, ia berhenti lalu berkata, "Jangan lupa tutup pintunya, terus kunci!" Hero hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum ke
Veline menggeliat perlahan, lalu membuka matanya yang terasa berat. Sesekali, ia mengucek matanya yang masih mengantuk. Pandangannya mengarah ke jendela kamar, dan ia terkejut melihat langit sudah gelap pekat. "Ya ampun, kok gue bisa ketiduran sih?" gerutunya kesal. Dengan cepat, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Mata Veline membelalak saat melihat jam di layar. Jarum pendek sudah menunjuk angka 12. "Astaga, udah jam 12 malam! Gila, gue tidur udah kayak kebo," ujarnya kesal. Ia mengingat-ingat. Terakhir kali ia memejamkan mata, masih sekitar jam dua siang. Kini, ia sudah tidur selama hampir sepuluh jam. Veline menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, lalu melempar boneka beruang ke sudut tempat tidur. Rambut hitamnya yang sebahu terlihat acak-acakan, sebagian poni menutupi dahinya. Ia mengenakan piyama hijau bermotif geometris. Dengan enggan, Veline menyelipkan kakinya ke dalam sandal rumah yang tergeletak di samping tempat tidur. Langkahnya terhuyung kelua
Seorang lelaki tampan tengah berjalan menyusuri lorong menuju ruang terbuka yang biasa digunakan untuk perayaan ulang tahun. Ia membawa seikat bunga indah di tangannya, terdiri dari kombinasi mawar putih, kuning, dan beberapa bunga kecil lainnya yang tersusun rapi dalam kertas pembungkus hijau. Lelaki itu mengenakan kemeja biru muda yang rapi, kontras dengan celana hitam yang dikenakannya. Rambutnya tersisir rapi, yang membuatnya terlihat semakin menawan. Malam ini, Hero berencana merayakan ulang tahun Leona. Di ruang terbuka, Leona sudah menunggu dengan sabar di sebuah meja yang didekorasi cantik. Di atas meja, terdapat kue ulang tahun berlapis krim putih dengan lilin kecil di tengahnya, beberapa gelas minuman, dan vas bunga sebagai hiasan tambahan. Leona tampil memukau malam ini. Ia mengenakan gaun merah anggun dengan potongan sederhana, yang mempertegas siluet tubuhnya. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai, sementara bibirnya dipoles lipstik merah senada dengan gaunnya.
Langkah kaki Veline mendadak berat, seolah tanah yang ada di bawah menahan setiap pergerakannya. Pandangannya sedari tadi tertuju pada sosok Hero yang tengah menyandarkan kepala di bahu Leona. Meski tangan Hero tetap berada di sisi tubuhnya, tapi jelas, pemandangan itu cukup untuk membuat perut Veline terasa melilit. Ia mencoba mengalihkan pandangan, tetapi matanya enggan berpaling. Dada Veline terasa sesak, seperti ada beban tak kasat mata yang menghimpit. Udara di sekitarnya mendadak terasa tipis, dan ia harus menarik napas pelan-pelan untuk meredam gejolak yang tiba-tiba datang. Leona tersenyum, hatinya menghangat saat Hero tampak nyaman menyandarkan kepala di bahunya. Ia tahu lelaki itu sedang lelah—bukan hanya karena rutinitas OSIS yang tak ada habisnya, tetapi juga beban masalah keluarga yang selama ini dipikulnya sendiri. Leona merasa lega bisa menjadi tempat Hero bersandar, seperti Hero yang selalu ada di sisinya ketika ia terjatuh, saat dunia seakan tak berpihak padanya.
Di lantai tiga, seorang pemuda berdiri di depan kelas, pandangannya mengarah ke area parkiran. Sepasang matanya sedari tadi tak pernah lepas dari Veline dan Yudha yang masih berada di sana. Arnold begitu kesal saat melihat Yudha dan Veline terlihat begitu akrab. Terlebih, ia semakin kesal saat kalah tanding basket dengan Yudha, otomatis, ia harus menjauhi Veline, dan membiarkan Yudha mendekatinya. Namun, sungguh, Arnold masih belum rela bila mantannya itu dekat dengan lelaki lain. Namun, tiba-tiba, sebuah tangan menepuk bahunya dari belakang, sampai membuat Arnold tersentak dari lamunannya. "Kenapa lo lihatin mereka terus?" Seorang gadis menyandarkan tubuhnya di dinding, sambil menatap Arnold dengan lekat. Arnold mengalihkan pandangannya sebentar, lalu kembali menatap ke bawah. Diamnya seolah mengungkapkan lebih banyak daripada kata-kata. "Lo cemburu?" Lagi, Freya bertanya saat lelaki itu hanya terdiam. Arnold tetap bungkam, tapi tangannya semakin mengepal erat. Sementara Fre
"Daripada bagi link, mending kita praktek aja," ujar Hero santai, sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. Mulut Veline langsung menganga lebar mendengar kalimat itu. Tubuhnya menegang seketika, bulu kuduknya berdiri seperti kena sengatan listrik. "Praktek?" Hero mengangkat alis, memandang Veline bingung. "Kenapa? Kok lo gugup gitu?" tanya Hero sambil memiringkan kepala. "Kita kan udah nikah. Emang gak boleh praktek?" "Hah?!" Veline semakin terkejut. Pikirannya langsung melayang entah ke mana. "Ih, tapi ... gue belum siap." Hero melipat tangan di dada. "Siap apaan?" "Itu ... praktek." Wajah Veline sudah mulai merah. Hero menyipitkan mata. "Besok kan kita praktek." "Apa? Besok?! Tapi gue masih datang bulan!" Hero mengerutkan kening. "Emang kenapa kalau datang bulan?" "Ya nggak boleh lah, Hero! Kalau datang bulan tuh gak boleh praktek!" Hero hanya menggelengkan kepala pelan, lalu bangkit dari tempat duduknya. Dengan langkah santai, ia berjalan mendekati Veline. Sesam
Kamar Hero tampak redup, hanya diterangi oleh cahaya biru dari lampu LED di sudut ruangan. Di atas meja, sebuah monitor menyala terang, memancarkan kilatan cahaya dari permainan yang sedang berlangsung. Malam ini, Hero mengenakan hoodie putih yang terlihat kontras dengan suasana kamar yang gelap. Di kepalanya terpasang headphone berwarna putih yang menutupi telinganya dengan sempurna. Tangannya begitu cekatan menggerakkan mouse dan menekan keyboard, sementara matanya fokus menatap layar monitor. Sesekali, bibirnya bergerak, mungkin memberikan perintah kepada rekan timnya melalui mikrofon. Di tengah intensitas permainan, Hero meraih cangkir putih di sampingnya. Ia menyesap isinya perlahan, membiarkan cairan hangat itu melewati tenggorokannya sebelum meletakkan cangkir itu kembali di meja. Wajahnya tetap fokus, meskipun matanya sedikit menyipit. Di belakangnya, beberapa poster tergantung di dinding. Sebuah rak kecil di pojok kamar menampung koleksi figure dan game favoritnya. Mes
Veline terkejut saat Leona tiba-tiba menepuk tangannya ketika mereka baru saja keluar dari cafe. "Ada apa sih, Le?" tanya Veline yang terlihat bingung. "Vel, lihat ke sana!" jawab Leona sambil menunjuk ke arah salah satu sudut area cafe. Veline mengikuti arah yang ditunjuk Leona, ia seketika menghela napas panjang. Matanya menangkap sosok adik sepupunya, Theo, yang sedang duduk santai bersama teman-temannya. Yang membuat suasana semakin menyebalkan, Theo mulai berdiri dan berjalan menghampiri mereka. "Eh, ada kakak-kakakku yang cantik," sapa Theo sambil tersenyum lebar. Leona membalas dengan senyum ramah, sementara Veline memutar matanya jengah. Bertemu Theo di saat seperti ini? Veline sudah siap-siap untuk naik darah. "Lo ngapain di sini, bocil?" tanya Veline ketus. Theo langsung cemberut. "Jangan panggil gue bocil dong, Kak. Gue udah SMA." "Yaelah, baru juga SMA kelas satu. Tetep aja masih bocil," balas Veline sambil melipat tangan di dada. Theo menyeringai licik.
"Emang lo sama dia mau ketemuan di mana?" tanya Hero saat melihat Veline yang cemberut "Di halte." "Rumah dia kan jauh dari halte. Kita pasti nyampe duluan. Gue cuma nganter sampe halte, kok." Veline menghela napas panjang, ia akhirnya mengangguk. "Ya udah deh." Akhirnya, dengan sedikit enggan, Veline menerima tawaran Hero. Ia mengambil helm dari motor lelaki itu, lalu mengenakannya. Hero sudah lebih dulu naik ke motor, menyalakan mesin, lalu menoleh ke Veline. "Yuk, naik." Veline menaiki motor dengan hati-hati, duduk agak jauh dari Hero. Tapi begitu motor mulai melaju, ia terpaksa memegang pinggiran jaket Hero agar tidak kehilangan keseimbangan. Sepanjang jalan, Veline menggerutu dalam hati, merasa ini situasi paling canggung yang pernah ia alami. Namun, di sisi lain, ia juga tak bisa memungkiri bahwa ada sedikit rasa aman ketika berada di dekat Hero, meskipun ia takkan pernah mengakuinya. Beberapa saat kemudian, mereka tiba di halte. Veline segera turun dari motor Hero