Detik demi detik berlalu, tapi Egi tak kunjung memperlihatkan reaksi. Tidak ada senyum tipis seperti sebelumnya. Lensanya masih menyorot ke satu titik, yakni mata Afi.
Sorot tajam dan dalam itu membuat sisa-sisa nyali Afi lenyap. Detik itu juga Afi ingin sekali memuai seperti es, lenyap dari dekapan lelaki itu.
“Okay!”
Satu kata yang keluar dari mulut Egi berhasil menormalkan seluruh sistem operasi tubuh dan saraf Afi. Napas yang semula mengendap di dada akhirnya dapat berembus lega. Tubuh yang semula sekaku besi baja akhirnya melunak bagaikan dilebur dengan bara. Afi nyaris merosot saking leganya. Untung saja dekapan itu begitu kokoh hingga mampu menopang tubuhnya yang meleyot.
Rupanya Egi sengaja. Melihat dan merasakan ketegangan Afi merupakan hiburan tersendiri untuknya. Dia nyaris tidak bisa meredam tawa ketika menahan tubuh Afi yang nyaris tumbang dalam dekapannya.
Untuk menyamarkan senyum yang terus dikulum, Egi berpindah menatap wanita di depan sana—wanita yang sejak tadi menonton keintiman mereka dengan hati yang terluka.
“Boleh katanya,” ucap Egi seolah wanita itu belum mendengar ucapan Afi. “So, you can stay here,” tambahnya santai sambil menggedikkan bahu dan mematahkan kepala.
Alih-alih senang, wanita itu malah mengepalkan tangan. Sorot kekesalan dan kekecewaan tersirat jelas dari matanya. Harga dirinya terluka. Bukankah sebelumnya sudah sangat jelas dia berkata ingin membatalkan niat menginap di rumah ini? Lantas, kenapa Egi bersikap seolah dirinyalah yang memaksa dan memohon tinggal di sini? Apalagi dia sampai meminta izin kepada Afi. Pria itu seolah ingin menunjukkan bahwa keputusannya bergantung pada keputusan ‘mine’-nya.
Wanita itu masih menimbang keputusan. Apakah niat yang sudah dibatalkan akan kembali dibangkitkan setelah mendapat izin Egi dan ‘mine’-nya? Apakah dia lebih baik menyelamatkan harga diri daripada menjalankan misi?
Wanita itu belum selesai dengan kegamangannya. Namun, Egi kembali mengoyak hatinya dengan berkata, “Kamu bisa tinggal di kamar bawah supaya enggak repot mengangkut koper ke atas. Have a good rest. Kalau lapar, kamu bisa langsung ke dapur.”
Setelah mengatakan itu, Egi menggiring Afi dan kopernya ke sebuah kamar. Dia tidak memedulikan sang tamu yang nyaris menitikkan air mata.
“Keterlaluan banget kamu, Gi,” desis wanita itu sambil meremas kedua sisi rok lipitnya.
Tepat ketika Egi menutup pintu kamar, wanita itu berbalik menuruni tangga. Langkahnya terlampau cepat sampai kakinya sedikit tergelincir dan nyaris terjatuh. Untung saja tangannya refleks berpegangan di pagar adegan berguling-guling seperti dalam sinetron tidak terjadi kepadanya.
Sayangnya, momen nyaris terjatuh itu membuat si wanita tak sanggup meredam tangisnya. Air matanya mengucur deras. Isakannya lolos dengan mudah meskipun mulutnya telah dibekap. Sungguh, siapa pun yang melihatnya pasti akan prihatin.
“Apa aku udah nyakitin kamu banget, Gi? Kenapa kamu tega banget mempermalukan aku di hadapan perempuan itu? Apa aku udah seenggak berharga itu di mata kamu?” racaunya sambil terisak pilu.
Berbanding terbalik dengan keadaan si tamu, di kamar, Afi mengembuskan napas lega sampai mengurut dada. Egi tak lagi mendekapnya mesra. Dia berdiri di tengah kamar, berusaha menormalkan siklus pernapasan.
Sementara itu pada jarak satu meter ke depan, Egi justru memerhatikan Afi dengan kedua tangan menyatu di bawah dada. Senyum tipis masih melekat di bibirnya. Wanita itu masih menjadi objek hiburan tersendiri untuknya.
Sadar diperhatikan, Afi buru-buru mengendalikan diri. Dia berdeham dan menegakkan punggung. “Maaf. Saya enggak terbiasa akting,” jelasnya.
“Akting?” Egi membeo sambil memiringkan kepala ke kiri. Kedua alisnya yang tebal sempat terangkat rendah. Dia terdiam dalam ekspresi itu sampai beberapa detik sebelum akhirnya mengagguk-angguk mengerti.
Egi mengurai lipatan tangannya, lalu menyimpannya ke saku celana. Dia melangkah santai mendatangi Afi.
Sementara itu, Afi justru melangkah mundur beberapa kali. Pasalnya, pria itu terus melangkah tanpa jarak. Afi baru berhenti mundur saat salah satu tangan kekar itu merengkuh belakang pinggangnya, menarik tubuhnya hingga dadanya menabrak dada si pelaku.
Jantung yang semula beroperasi normal kini berpacu cepat lagi. Afi mengumpat dalam hati. Bagaimana mungkin dalam kurun waktu kurang dari 24 jam dia harus beberapa kali mengalami kegugupan hebat seperti ini? Dosa apa yang sudah diperbuat jantungnya hingga harus mendapat kesialan beruntun seperti saat ini?
Rupanya bukan hanya jantung yang mengalami kesialan, paru-parunya juga. Napasnya tertahan di rongga dada saat wajah pria itu mendekat ke telinganya dan membisikkan kata, “Thanks.”
Nada sensual dan deru napas yang menembus ke sela helaian rambutnya membuat darah Afi memanas. Tidak hanya itu, bulu halusnya pun merasa terganggu. Apalagi saat tangan di belakang pinggangnya berputar lembut. Tubuhnya kembali tegang.
Afi merasa bahwa pamannya sudah keterlaluan. Melampaui batas. Sentuhan fisik ini sudah masuk ke ranah pelecehan.
Sayangnya, ketika Afi berpikir ulang, muncul satu pertanyaan yang membuatnya ragu. Benarkah ini termasuk kategori pelecehan? Sejak awal, dia merasa nyaman meskipun gugup. Dia tidak melawan. Juga tidak memberontak. Dia justru menikmati.
Afi menyadari bahwa otak dan tubuhnya tidak selaras. Kewarasannya mengatakan bahwa hal ini tidak benar, harus dihentikan, harus dihindari. Namun, tubuhnya malah diam, menikmati semua tindakan Egi.
Jika Afi nekat dan bersikeras mengatakan hal ini adalah sebuah pelecehan, bukankah dia akan mempermalukan diri sendiri? Dia hanya akan terlihat seperti wanita bodoh yang suka menyalahkan pria. Dia bukan seorang yang menganut paham ‘wanita selalu benar’.
Afi berdeham dan menelan ludah sebagai upaya mengendalikan diri. “Saya ... boleh tanya sesuatu?”
Egi mengangguk-angguk. “Of course.”
“Perempuan tadi ... mantan, ‘kan?”
Egi mengangguk tanpa keraguan.
“Apa kamu ... enggak merasa keterlaluan?”
Egi mengembuskan napas seolah pertanyaan itu sulit dijawab. Namun, dia tidak menunjukkan kekesalan, kemarahan, atau ketidaknyamanan. Dia malah begitu berani membelai rambut dan memainkan poni Afi.
“Pembalasan memang sudah seharusnya keterlaluan, ‘kan?” tanyanya retoris. “Kalau enggak gitu, efek jeranya enggak ada.”
Tiga tahun yang lalu, Afi mengingat Tiara—wanita tadi—sebagai kekasih yang dikenalkan Egi kepada kakek dan neneknya. Afi masih ingat, momen itu terjadi saat tahun baru. Namun, setahun kemudian—tepatnya sebelum kepergian Egi ke Kalimantan—Afi mendengar kabar bahwa hubungan mereka kandas. Tidak ada yang tahu apa penyebabnya.
Afi tidak pernah peduli dengan asmara orang lain. Namun, melihat kejadian hari ini dia merasa sedikit terganggu.
Umumnya, jika hubungan antara pria dan wanita kandas, maka pihak wanitalah yang berubah menjadi pembenci. Hal itu terjadi karena mereka merasa menjadi satu-satunya orang yang tersakiti. Namun—dalam kasus Egi—Afi justru melihat kebalikannya. Egilah yang berubah menjadi sosok sarkastis. Meski tidak frontal, setiap kata dan nada yang terlontar dari mulutnya menyiratkan kebencian. Afi jadi penasaran, masalah apa yang sudah menghancurkan hubungan mereka dan membuat Egi merasa menjadi sosok yang perlu membalas dendam.
“Saya boleh tanya satu hal lagi?” Afi merasa perlu meminta izin. Apalagi topik yang ingin diangkat teramat sensitif.
Tidak seperti sebelumnya, kali ini Egi menggeleng tanpa pikir panjang. “Feeling saya enggak enak. Pertanyaan kamu kayaknya bisa ngancurin mood saya.”
Bibir Afi langsung terkatup. Penolakan Egi tidak hanya membuatnya malu, tapi juga merasa bersalah. Dia merasa sudah terlalu lancang memasuki privacy orang.
“Saya baru pulang dari perjalanan jauh. Kamu juga pasti capek, ‘kan? So, lebih baik kita tidur sebentar sebelum dinner.”
Jika Egi menutup ucapannya dengan senyuman tipis, Afi justru melebarkan mata. “Kita?” beonya seolah kata itu benar-benar asing dan kurang pantas.
Detik berikutnya, Afi mendesiskan umpatan saat teringat ucapan abangnya. Beberapa jam yang lalu, mereka berkeliling melihat-lihat rumah ini. Ketika itu, Dian berkata, “Rumah ini emang gede, tapi kamarnya sedikit.”
Ucapan Dian bukan bualan belaka. Rumah sebesar Istana Disney ini nyatanya memang hanya memiliki dua kamar; satu di lantai bawah, dan sisanya di lantai dua.
Jika kamar bawah sudah ditempati Tiara, Afi tidur di mana?
Afi mengutuk dirinya sendiri. Sekarang dia sadar, kenapa wanita disarankan agar menikah di usia muda. Mungkin inilah sebabnya. Sekian lama tidak merasakan belaian pria, dia malah seperti wanita murahan. Diam saat disentuh. Patuh saat digiring menuju ranjang.Sebenarnya Afi sendiri heran, kenapa dia begitu mudah mematuhi ucapan Egi. Bahkan tidak ada protes dan perlawanan sama sekali. Dia seperti korban sugesti. Mungkin lebih mirip hamba sahaya yang dibeli saudagar penuh kharisma.“Emmm ... kayaknya kita sudah melewati batas,” kata Afi saat Egi merengkuh tubuhnya ke dalam pelukan. Mereka tidak hanya berada di kamar yang sama, tapi ranjang dan selimut yang satu.Afi merasa sesak dalam dekapan pria itu. Namun, rasa hangat dan nyaman justru membuatnya tak ingin berkutik. Dia malah tertarik melihat jakun Egi yang bergerak saat menelan ludah.“Kita mungkin berada di garis keturunan yang sama, tapi saya yakin kamu belum mengenal saya denga
Afi mengatup bibir sangat rapat. Dia sadar bahwa pertanyaan barusan melampaui batas. Terlebih lagi dia mengucapkannya dengan nada yang cukup tinggi. Kentara sekali bahwa dia lepas kendali.Afi menyesali pertanyaannya—pertanyaan yang menggambarkan kekesalan, ketidakterimaan, dan ketidaknyamanan. Dia seperti wanita pecemburu yang naik pitam mendengar sang kekasih ‘menyemai bibit’ di mana-mana.Sekarang pertanyaannya adalah apakah Afi berhak memiliki emosi seperti ini? Egi memang menyebut dirinya sebagai ‘mine’. Namun, bukankah ‘mine’ saja tidak cukup untuk memperbolehkannya bertanya kasar seperti tadi?“Maaf.” Afi berucap lirih. Segenap rasa sesal menyesakkan dadanya.Dalam hal ini, tampaknya Egi tidak satu frekuensi dengan Afi. Alih-alih maraah, tersinggung, atau pun kesal, Egi justru terlihat baik-baik saja. Dia bahkan tertawa kecil, terhibur melihat Afi berkubang dalam rasa sesal.“It&rsq
Dua pasang mata itu saling pandang. Sorot si pria terlalu sulit dimaknai, sedangkan si wanita tampak berkaca-kaca. Ada luka yang tersirat dari genangan air di dalam sana. Namun, ada harapan yang juga terpancar di sana.Sunyi. Tidak ada suara yang mengganggu mereka selain embusan napas pribadi. Bahkan tidak ada yang bergerak selain organ dalam tubuh yang tetap beroperasi. Dari luar, penampakan keduanya mirip dengan maneken pria dan wanita yang saling bersitatap.“Saya jelaskan semuanya satu per satu.” Suara Egi menelan kesunyian. “Tapi, enggak berdiri kayak gini.” Tangan kanannya mengayundan membelai rambut Afi. “Kamu yang pilih; balik lagi kayak tadi—rebahan di ranjang—atau isi perut? Saya lapar.”Afi tidak yakin Egi benar-benar lapar. Ekspresi saat mengatakan itu tidak seperti orang yang perutnya keroncongan. Terlalu flat.“Maaf.” Afi menangkap tangan yang mengelus pipinya. “Saya eng
Egi menurunkan Afi dari meja wastafel. Tanpa melepaskan pinggang wanitanya, Egi bertanya, “Mau mandi sekarang?”Afi menggeleng pelan. Sebenarnya dia sedikit takut mendengar pertanyaan semacam itu. Entah kenapa pikirannya menjurus ke hal-hal negatif. Dia takut Egi akan mengajaknya mandi bersama hingga melakukan perbuatan yang ujungnya sudah terduga.Setelah mengetahui sekelumit sisi keberengsekan pamannya, insting kewaspadaan Afi sedikit meningkat. Dia tidak hanya waspada pada Egi, tapi juga dirinya sendiri.Afi seorang wanita dewasa dan normal. Hormon yang berhubungan dengan seksualitasnya sudah menumpuk dan terkadang meraung-raung minta dilepaskan. Dia takut kalau hormon ini sewaktu-waktu akan meledak dan tak dapat dikendalikan gara-gara pancingan Egi.Sebenarnya, tidak hanya Egi yang memiliki sisi hitam yang berhubungan dengan seksualitas. Afi pun sama. Namun, Afi tidak seberani Egi. Dia takut mengungkapkan aib itu. Juga malu dan gengsi. Menurutnya, jika ai
Afi tidak habis pikir, kenapa Tuhan menjungkirbalikkan hidupnya semudah ini? Dalam kurun waktu kurang dari 12 jam, kehidupannya berubah drastis. Berawal dari kebakaran, sekarang hidupnya diatur oleh seorang pelobi gila. Sialnya lagi, Afi tidak pernah bisa membantah pria ini.Jika dahulu Afi akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih pakaian, sekarang tidak sampai 20 menit dia sudah keluar dari satu gerai dan membawa 10 setel pakaian. Bukan dia yang berbelanja, melainkan si pelobi gila. Dia hanya bermodalkan anggukan ketika pria itu memilihkan satu jenis pakaian. Setelah itu, semuanya berakhir di kasir.Berpindah ke gerai pakaian dalam, barulah Afi bebas memilih sendiri. Pria itu hanya menunggu di depan gerai sambil menjaga tas belanjaan. Bukan Afi yang melarangnya ikut, tapi dia sendiri yang tidak mau masuk.“Sorry! Haram buat saya masuk ke toko pakaian dalam perempuan.”Begitu katanya ketika menghentikan langkahnya sendiri. Afi hanya me
Kemarin Afi gagal memahami maksud ucapan Egi. Apalagi pria itu juga enggan menjelaskan, sengaja ingin membuat Afi penasaran. Semua teka-teki itu terang benderang pagi ini.“Loh? Kamu mau ke mana? Mau jenguk orang?”Afi heran melihat Egi memarkir mobil di halaman rumah sakit. Bahkan tepat di sebelah mobilnya. Dari rumah, mereka berangkat beriringan. Namun, Afi tidak menyangka bahwa Egi akan mengikutinya sampai ke sini.Ya, Afi memang sempat salah paham. Dia mengira bahwa Egi nekat membuntutinya bekerja agar tidak menyeleweng. Maklum, kemarin pria itu benar-benar menegaskan bahwa Afi adalah miliknya. Bahkan Egi tak sungkan melarang Afi dekat-dekat dengan pria lain.Afi merasa beruntung karena prasangka tadi hanya tersimpan dalam hati. Seandainya tadi mulutnya frontal menuduh Egi membuntuti karena over possesive, maka Afi yakin tidak dapat menanggung malu.“Kantor saya di sana.” Egi menunjuk ruko tiga lantai di sebelah rumah sa
“Pagi!” Afi masuk ke markas IT sambil menyapa anak buahnya seperti biasa.“Loh? Udah masuk, Bu?” Salah satu anak magang yang tadinya bermain game mempertanyakan kemunculan Afi.“Iya. Kok, udah masuk?” Pria berkacamata yang berdiri memegang mug beruap ikut bertanya. “Padahal rencananya, nanti sore kita semua mau ke rumah Ibu,” tambahnya. Kemudian melangkah menuju meja yang berada tepat di samping ruangan Afi.“Saya udah enggak punya rumah. Jadi, sekarang udah waktunya ngumpulin pundi-pundi buat beli rumah baru,” jawab Afi sambil berjalan menuju ruangannya. Namun, begitu melewati meja pria berkacamata tadi, Afi mendadak berhenti. Dia menoleh, menatap anak magang yang duduk di samping dispenser. Anak itu kembali fokus bermain game.“Itu namanya siapa? Saya lupa,” tanya Afi pada pria berkacamata sambil menunjuk si anak magang.“Tito,” jawab si pria.Kemudian Afi
Afi memejamkan mata. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Kegiatan itu diulangi sebanyak tiga kali, barulah pikirannya terasa tenang.Meski tidak benar-benar merasa plong, setidaknya Afi mendapatkan jalan keluar. Dia bangkit dengan tenang, lalu mengambil tas dan meninggalkan ruangan.“Jer!” panggilnya saat berhenti di depan meja pria berkacamata. “Hari ini saya enggak jadi masuk. Tolong handle kerjaan yang berhubungan sama saya, ya. Saya harus pulang. Mama saya datang ke tempat tinggal yang baru. Enggak enak kalau saya biarin beliau sendirian,” terangnya tenang tanpa ada yang ditutupi.Afi telah berhasil mengurangi kadar kepanikan yang sempat menguasai dirinya. Dia tidak ‘gerasa-gerusu’ seperti saat mendengar berita rumahnya terbakar. Dia menyadari bahwa tingkat urgensi situasi kali ini tidak semendesak kemarin. Mamanya hanya berkunjung ke rumah. Bukankah tidak ada yang salah dengan niat baik itu?Awalnya, hal yang membuat Afi panik adala
Dalam perjalanan pulang, keheningan melanda keduanya. Afi ingin sekali berterima kasih karena Egi begitu peka dengan keadaan alerginya. Kalau saja pria itu tidak langsung membawanya ke klinik, mungkin obat pun tidak akan mempan. Dia pasti tidak akan bisa beraktifitas dengan tenang karena pengaruh rasa gatal.Sayangnya, niat mengucapkan terima kasih itu urung dilafalkan. Selain karena ekspresi Egi tidak enak dilihat--terlalu flat dan kaku, pria itu juga bungkam sejak di klinik. Afi curiga bahwa pria itu menyimpan kekesalan kepadanya.Sesampainya di rumah, keduanya diserbu Ani dan Yati yang ternyata belum pulang, padahal sekarang sudah jam 7 malam. Mereka disambangi tepat setelah melangkahi pintu masuk.“Kok, baru pulang, sih, Mas-Mbak? Kalian enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Ani sambil memindai Egi dan Afi dari atas ke bawah.Afi tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Kita enggak kenapa-kenapa, ko
“Jangan lama-lama. Kalau udah selesai, cepat pulang. Nanti kalau sakit kamu sendiri yang susah.” Begitulah pesan Egi sebelum meninggalkan warung tenda. Dia telah menandaskan sepiring nasi, ayam penyet dan lalapan, serta teh hangat. Ah, jangan lupakan setengah mangkuk ronde milik Afi. Dia meminta Afi pulang bersamanya. “Soal pembalut, kalau enggak urgent belinya besok aja. Titip ke Bu Ani. Mini marketnya masih jauh, ‘kan? Kamu bisa kebasahan kalau nekat ke sana jalan kaki.” Afi menggeleng, menolak ajakan dan bujuan Egi. “Saya mau ke apotek bentar. Cari obat alergi,” ungkapnya jujur. “Kamu alergi apa?” Pria itu kelihatan cemas dan panik. Memindai Afi dari kepala sampai ujung kaki. Afi menggeleng. “Sekarang belum. Enggak tau nanti.” Jawaban yang diberikan sambil mengunyah itu membuat Egi mengerutkan kening. “Maksudnya?” Tanpa menatap Egi, Afi pun menjawab. “Saya alergi dingin.” Mendengar informasi itu, kerutan di kenin
“Yaaaah ....” Kedua bahu Afi merosot lesu ketika membuka pintu. “Hujan ternyata.” Wajahnya berubah cemberut.Afi tidak tahu, material apa yang digunakan untuk membangun rumah megah ini sampai bunyi hujan deras pun tidak terdengar di lantai dua.“Duh, mana lagi lapar banget ini,” keluhnya sambil melangkah ke ujung teras. Memeriksa lebih dekat, seberapa besar intensitas air yang berguguran di bumi.Puas dengan tidur tambahan sampai jam 5 sore, perut Afi pun terasa amat sangat kosong. Dia heran, seberapa keras kerja metabolisme tubuhnya saat tidur sampai bangun-bangun sudah lapar lagi.Sebenarnya wajar, sih, kalau dia lapar. Dia, ‘kan, melewatkan makan siang.Sayangnya, ketika bangun tadi, baik teh ataupun kudapan ringan di meja sudah tidak ada. Mungkin dibereskan oleh Ani.Afi ingin makan nasi, tapi khawatir lauk pauknya belum tersedia. Ini, ‘kan, belum jam makan malam. Dia menebak kalau Ani dan
“Jadinya nonton apa, nih, Mbak?” tanya Ani yang menyuguhkan sepiring pastel panas, potongan buah melon, dan teh panas ke meja.“Korea, Bu,” jawab Afi yang kini mengatur channel TV melalui remote di HP-nya.“Waduuuh. Enggak India aja, Mbak? Biar bisa nyanyi sama joget-joget.”Afi tertawa. “Emangnya Ibu punya rekomendasi film India apa?”“Chori-chori aja, Mbak. Rame, tuh. Cerita suami setia, tapi disuruh ‘asoy-geboy’ sama perempuan nakal.”Afi semakin tergelak. Sedikit tidak menyangka kalau wanita paruh baya yang lebih suka pakai daster itu mengetahui berbagai macam istilah yang menjurus ke arah seks bebas.“Oh, iya, Mbak. Mas Egi udah pulang, tuh.”Tawa Afi langsung berhenti. “Enggak nyariin saya, ‘kan?”“Nyariin, lah. Saya bilang aja lagi di sini.”Afi menghela napas, lalu meningkatkan volume TV. Mendengar na
Sepertinya Egi benar-benar kesal. Saat bangun tidur, dia tidak menyapa ataupun melirik Afi. Meloyor begitu saja ke kamar mandi.Seolah belum cukup, Egi pun enggan sarapan bersama, padahal Afi sudah menunggunya di kitchen island. Egi hanya menyeruput kopi sambil berdiri, menjumput sandwich, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.“Lagi berantem, ya, Mbak?” tanya Ani yang menyaksikan dinginnya hubungan Afi dan Egi.Afi hanya merespons dengan senyum seadanya. Menurutnya, pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Ani bisa mengambil kesimpulan sendiri.“Bu Ani hari ini ke pasar enggak?” tanyanya, mengalihkan topik.Rencananya, jika Ani ke pasar, Afi ingin ikut. Refreshing. Dia malas nonton ke bioskop sendirian.“Kayaknya enggak, deh. Bahan di dapur masih lengkap,” jawab Ani sembari mengambil cangkir kopi bekas Egi. “Ini saya minum aja, ya, Mbak. Sayang kalau dibuang. Mubazir,” ucapnya sambil memperlihatkan i
Setelah racauan Afi berakhir, suasana kamar sempat disinggahi keheningan. Egi yang masih berbaring menatap wanita itu sambil mengerjap. Cukip lama pria itu terpaku hingga beberapa saat kemudian, tawanya meledak sampai terpingkal-pingkal.Melihat Egi tertawa begitu lepas, Afi pun mengernyit. Bingung. Otaknya berpikir keras. Menebak satu per satu kata yang sebelumnya dia ucapkan. Di mana letak kelucuannya?Sebelum Afi sempat bertanya, pria itu bangun dan duduk menghadap dirinya. Setelah tawanya reda, Egi pun bertanya, “Jadi, kamu mau menikah sama saya?”Kerutan di kening Afi semakin bertambah. Kali ini bukan karena bingung, melainkan tersinggung.Jadi, pria itu hanya bercanda dalam menyematkan gelar ‘calon istri saya’ saat bicara dengan Tiara di telepon tadi? Jadi, pria itu hanya ingin membuat Tiara cermburu? Pria itu ingin mempermainkannya?Rasanya Afi ingin meledak saat itu juga. Dia ingin meminta klarifikasi dengan cara yan
Jam digital di nakas sudah menunjukkan pukul 01:15. Seharusnya, pemilik ruangan sudah melayang ke negeri mimpi. Kenyataannya, sepasang penghuninya malah sibuk bersitatap. Berbaring miring di ranjang, saling berhadapan.“Kenapa harus pegangan tangan, sih?” tanya si wanita. Matanya tak mengerjap sedetik pun, terus menelisik lensa pekat di depannya.“Kamu mau yang lebih?” goda si pria sambil mengerling jail.“Enggak!” tegas si wanita sambil melotot ringan. Membuat si pria tertawa pelan.Saat ini, jemari keduanya saling bertaut di atas guling yang menjadi pembatas wilayah masing-masing. Guling itu tadinya diletakkan karena si pria terus saja menyerang wanitanya dengan ciuman menggebu. Kata si wanita, si pria tidak boleh melewati batas jika ingin dirinya menetap di kamar itu.“Besok mau ke mana?”“Tadinya, sih, mau nonton bioskop. Mumpung kamu enggak ada.”Si pria mengerutkan keni
“Egi, please ....”Afi berupaya keras menarik kepala dan mendorong dada Egi. Gila! Dia nyaris kehilangan napas. Egi benar-benar menghukumnya!Sekitar jam setengah sepuluh malam, Egi tiba di rumah. Sempat menengok Afi ke kamar tamu, pria itu keluar lagi untuk menepati janji pada Tiara.Entah apa yang mereka bicarakan, tapi durasinya tidaklah lama. Mungkin tidak sampai sejam, Egi sudah kembali ke kamar tamu, menjemput Afi.Ya, menjemput! Pria itu menggendong Afi ke kamar atas, lalu mencium bibirnya secara brutal. Katanya, itu adalah hukuman karena membuatnya khawatir selama di Riau.“Kamu tau, gara-gara kamu, saya enggak keruan selama di bandara. HP saya sampai kececer,” ucap Egi dengan napas terengah sebelumkembali membubuhkan kecupan menggebu.Sebenarya bukan hanya Afi yang mengalami defisit oksigen dalam paru-paru, Egi pun sama. Namun, gejolak rindu yang begitu kuat membuatnya enggan melepaskan bibir itu barang
Afi merapatkan punggung ke sandaran. Napasnya dihela dengan pelan dan cukup dalam. Rasanya, ada satu beban besar yang menyesakkan dadanya. Entah apa.“Pertama, saya mau tanya dulu sama kamu. Boleh?”Tiara mengangguk. Kemudian mengambil piring puding. Bicara panjang lebar ternyata tidak hanya membuat kerongkongannya kering, tapi isi perutnya juga ikut terkuras.“Apa selama pacaran, kalian pernah berhubungan badan?”Pertanyaan Afi membuat puding yang ditelan Tiara keluar dari saluran pencernaan. Bahkan sepertinya tersesat ke saluran pernapasan. Wanita itu tersedak cukup parah sampai harus memukul-mukul dadanya.Anehnya, Afi tidak panik sedikit pun melihat reaksi tubuh Tiara. Dia diam saja melihat wanita itu terbatuk-batuk. Bahkan dia sudah bisa menarik satu kesimpulan dari reaksi itu.“Okay, enggak usah dijawab,” kata Afi setelah Tiara minum. “Saya udah dapat jawabannya.”Tiara menelan lud