Egi menurunkan Afi dari meja wastafel. Tanpa melepaskan pinggang wanitanya, Egi bertanya, “Mau mandi sekarang?”
Afi menggeleng pelan. Sebenarnya dia sedikit takut mendengar pertanyaan semacam itu. Entah kenapa pikirannya menjurus ke hal-hal negatif. Dia takut Egi akan mengajaknya mandi bersama hingga melakukan perbuatan yang ujungnya sudah terduga.
Setelah mengetahui sekelumit sisi keberengsekan pamannya, insting kewaspadaan Afi sedikit meningkat. Dia tidak hanya waspada pada Egi, tapi juga dirinya sendiri.
Afi seorang wanita dewasa dan normal. Hormon yang berhubungan dengan seksualitasnya sudah menumpuk dan terkadang meraung-raung minta dilepaskan. Dia takut kalau hormon ini sewaktu-waktu akan meledak dan tak dapat dikendalikan gara-gara pancingan Egi.
Sebenarnya, tidak hanya Egi yang memiliki sisi hitam yang berhubungan dengan seksualitas. Afi pun sama. Namun, Afi tidak seberani Egi. Dia takut mengungkapkan aib itu. Juga malu dan gengsi. Menurutnya, jika aib itu bisa disimpan sampai mati, kenapa harus dibongkar?
“Kenapa? Kamu takut saya apa-apain?” tanya Egi.
Afi berbohong dengan menggelengkan kepala. Untungnya dia memiliki alibi yang logis. “Saya ke sini enggak bawa pakaian. Baju-baju saya habis terbakar.”
“Aaah, iya, ya.” Egi mengangguk-angguk sambil mendongak. Posisi wajah yang menengadah itu hanya berlangsung beberapa detik sebelum dia memberikan usulan antusias, “Gimana kalau kamu enggak usah pakai baju?”
Usulan gila itu tentu saja membuat Afi melotot shock. Namum, Egi justru sudah menunggu-nunggu ekspresi menggemaskan itu. Egi terbahak dan mengacak-acak rambut Afi. “Bercanda.”
Afi mengembuskan napas. Lega rasanya mendengar kata ‘bercanda’.
“Yuk!” Egi menggiring Afi keluar kamar mandi. Bahkan keluar kamar.
“Ke mana?” tanya Afi saat menuruni tangga.
“Beli baju. Kamu pasti gerah, 'kan, pakai seragam dinas kayak gitu?”
Pertanyaan retoris itu membuat Afi memindai pakaiannya sendiri. Ya, dia masih mengenakan seragam mustard yang penuh dengan lambang pemerintahan dan rumah sakit. Selain itu, noda hitam juga mencoreng kebersihan rok dan atasannya. Afi sangsi noda ini bisa dihilangkan hanya dengan deterjen dan kucekan tangan.
“Tunggu, Om!” Afi berhenti saat kaki mereka menapaki tangga terakhir. “Dompet sama kunci mobil saya ketinggalan di kamar.”
“Kamu meremehkan saya, ya?”
Afi tersentak mendengar pertanyaan itu. Dia benar-benar tidak paham, kenapa dompet dan kunci mobilnya menyinggung perasaan Egi?
“Saya juga punya dompet. So, kamu enggak perlu buang-buang waktu balik ke atas buat ngambil duit. Saya punya banyak.”
“Wah.”
Kata itu lolos begitu saja dari bibir Afi. Dia sedikit kaget dengan kecongkakan Egi.
Tidak memedulikan pandangan nanar si wanita, Egi menariknya menuju meja kecil di samping tangga. Di atasnya terdapat hiasan vas bunga berisi mawar merah sintetis. Egi menarik laci dan mengambil kunci. “Dan satu lagi, saya juga punya kunci beserta mobilnya,” ucapnya sambil mengapungkan kunci itu di depan mata Afi.
Kali ini Afi tertawa sambil menggelengkan kepala. “Selain berengsek, ternyata kamu juga sombong banget, ya.”
Egi mengangguk dan dengan bangga berkata, “Yes. It’s me.”
Keduanya tertawa bersama, lalu meninggalkan rumah tanpa melepaskan tautan tangan. Mereka tidak sadar bahwa sejak tadi ada sepasang mata yang terus memerhatikan gerak-gerik mereka. Siapa lagi kalau bukan Tiara.
Awalnya Tiara hendak ke dapur, mencari makanan yang bisa dijadikan pengganjal perut. Dia ingat bahwa Egi sudah mengizinkannya menjarah dapur kapan pun dia mau. Namun, begitu keluar kamar, dia buru-buru masuk lagi karena suara Egi dan Afi.
Tiara bersembunyi di balik pintu. Mengintip di balik celah pintu yang sedikit dibuka. Letak kamar tamu yang dekat dengan tangga membuatnya leluasa memerhatikan keduanya.
Sorot rasa iri terpancar di mata Tiara saat melihat pasangan itu tertawa bersama. Kebahagiaan itu seharusnya miliknya. Tangan yang digenggam itu seharusnya tangannya.
Rasa sesal menyesakkan dadanya. Berkali-kali dia memukul dada, berharap sesak itu dapat terurai dengan sendirinya.
“Sabar, Tiara! Sabar! Egi pasti cuma bikin kamu cemburu. Dia sama perempuan itu enggak serius. Hubungan mereka enggak nyata. Kamu udah tau itu, ‘kan?” ucapnya pada diri sendiri sambil menyandarkan kepala di balik pintu.
Kemunculan Tiara di hari yang sama dengan kepulangan Egi bukanlah sebuah kebetulan. Meskipun terpisah pulau, Tiara selalu memantau pergerakan Egi. Dia berteman dengan teman Egi yang sama-sama merantau ke Kalimantan. Dari orang itulah semua informasi tentang Egi dia dapatkan. Termasuk kepulangan pria itu.
Kehidupan Egi berada dalam radar Tiara. Wanita itu mengetahui dengan rinci, siapa saja teman sepergaulan Egi--termasuk wanita mana saja yang menjadi partner-nya dalam bersenang-senang. Namun, radar ini berada di luar kendali begitu dia menginjakkan kaki di rumah ini.
Fidyana Rosmalina. Tiara tidak pernah memperhitungkan nama itu. Dia tidak menyangka bahwa wanita itu lebih dulu menginjakkan kaki rumah ini. Menyambut kepulangan Egi hingga akhirnya menjadi wanita terpilih.
Awalnya Tiara lupa dengan Afi. Dia merasa familiar dengan wajah Afi, tapi lupa di mana mereka pernah bertemu.
Saat mencari tahu--menelpon sumber terpercaya--Tiara akhirnya mengetahui dan mengingat bahwa Afi adalah anak kakak sepupu Egi. Tiga tahun yang lalu mereka pernah bertemu di acara keluarga.
Berangkat dari informasi ini, Tiara yakin bahwa apa yang dilakukan keduanya hanyalah akting belaka. Dia percaya bahwa Egi meminta keponakannya berpura-pura menjadi pasangannya. Ya, seperti kisah klise yang sering dipertontonkan dalam drama pertelevisian.
“Kamu harus tenang, Tiara. Jangan mudah menyerah! Memang enggak mudah memperbaiki hubungan yang pernah hancur. Tapi, enggak mudah bukan berarti enggak bisa, ‘kan? Enggak ada yang mustahil selama kamu mau berusaha.” Tiara memotivasi diri sendiri.
***
Di mobil, Egi memberikan credit card kepada Afi. Sayangnya, meski sekian lama mengapung di depan wajahnya, Afi tidak memiliki niatan untuk menyambut benda pipih itu.
“Kamu yakin?” tanya Afi pada Egi.
“One hundred percent,” jawab Egi tanpa keraguan.
Afi menghirup dan mengembuskan napas, lalu menyambut kartu itu. “Anggap aja saya kasbon, ya. Nanti saya ganti pas sampai--”
Ucapan Afi terputus gara-gara Egi merebut kartu di tangannya. Sambil melepas sabuk pengaman, pria itu menggelengkan kepala dan berkata, “You’re very-very different. Aneh!” Dia mendorong pintu dan turun dari mobil.
Afi kebingungan melihat tindakan Egi. Apalagi saat pria itu mengitari mobil dan membukakan pintu untuknya.
“Sebenarnya saya punya komitmen, enggak akan pernah menemani perempuan belanja. Ribet! Capek! Ngebosanin! Tapi, gara-gara kamu, saya melanggar komitmen itu hari ini,” papar Egi yang semakin membuat Afi tidak mengerti.
“Kok, saya yang disalahin, sih?” protes Afi.
“Terus salah siapa enggak langsung terima credit card saya? Tau enggak, sikap kamu tadi seolah meminta saya buat nemenin kamu belanja.”
“Enggak kayak gitu, Om! Saya--”
“Kamu juga enggak bawa HP, ‘kan? Kalau kamu belanja sendirian, terus lama, gimana caranya saya mendesak kamu supaya cepat pulang kalau kamu enggak bawa HP? Saya ini orangnya mudah bosan. Kalau kelamaan nunggu, saya bisa mati gaya. Jadi, daripada kamu belanja sendiri terus lupa waktu, mending belanja sama saya.”
Sebenarnya, semua itu hanyalah alasan Egi. Pria itu memang tidak ingin berpisah semenit pun dari Afi. Sebab itulah dia mengarang bermacam-macam alasan yang terkesan menyalahkan agar wanita itu tidak bisa berkutik. Egi paham betul bahwa Afi mudah merasa bersalah dan tidak enak hati. Jadi, jika wanita itu disudutkan, dia tidak akan banyak melawan.
Egi tidak memberikan kesempatan untuk Afi membalas ucapannya. Dia meraih tangan wanita itu dan menariknya turun. Afi diseret masuk ke pusat perbelanjaan modern seperti anak kecil.
“Bisa lepasin tangan saya? Saya bisa jalan sendiri. Enggak perlu diseret kayak gini,” protes Afi. Dia sedikit kesulitan mengimbangi langkah Egi yang lebar dan cepat.
“Permintaan ditolak! Tangan saya enggak bisa ngelepasin tangan kamu. So, siap-siap aja kalau tangan kamu kebas dan keringatan.”
“Tapi, seenggaknya kamu bisa jalan pelan-pelan, ‘kan? Saya enggak suka jalan terbirit-birit kayak gini. Malu-maluin juga dilihat orang.”
Kali ini Egi tidak menjawab. Meski begitu, dia memperlambat ritme ayunan langkahnya hingga Afi berhasil menyelaraskan posisi. Wanita itu mengembuskan napas lega dan berterima kasih karena permintaannya dikabulkan.
Afi tidak habis pikir, kenapa Tuhan menjungkirbalikkan hidupnya semudah ini? Dalam kurun waktu kurang dari 12 jam, kehidupannya berubah drastis. Berawal dari kebakaran, sekarang hidupnya diatur oleh seorang pelobi gila. Sialnya lagi, Afi tidak pernah bisa membantah pria ini.Jika dahulu Afi akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih pakaian, sekarang tidak sampai 20 menit dia sudah keluar dari satu gerai dan membawa 10 setel pakaian. Bukan dia yang berbelanja, melainkan si pelobi gila. Dia hanya bermodalkan anggukan ketika pria itu memilihkan satu jenis pakaian. Setelah itu, semuanya berakhir di kasir.Berpindah ke gerai pakaian dalam, barulah Afi bebas memilih sendiri. Pria itu hanya menunggu di depan gerai sambil menjaga tas belanjaan. Bukan Afi yang melarangnya ikut, tapi dia sendiri yang tidak mau masuk.“Sorry! Haram buat saya masuk ke toko pakaian dalam perempuan.”Begitu katanya ketika menghentikan langkahnya sendiri. Afi hanya me
Kemarin Afi gagal memahami maksud ucapan Egi. Apalagi pria itu juga enggan menjelaskan, sengaja ingin membuat Afi penasaran. Semua teka-teki itu terang benderang pagi ini.“Loh? Kamu mau ke mana? Mau jenguk orang?”Afi heran melihat Egi memarkir mobil di halaman rumah sakit. Bahkan tepat di sebelah mobilnya. Dari rumah, mereka berangkat beriringan. Namun, Afi tidak menyangka bahwa Egi akan mengikutinya sampai ke sini.Ya, Afi memang sempat salah paham. Dia mengira bahwa Egi nekat membuntutinya bekerja agar tidak menyeleweng. Maklum, kemarin pria itu benar-benar menegaskan bahwa Afi adalah miliknya. Bahkan Egi tak sungkan melarang Afi dekat-dekat dengan pria lain.Afi merasa beruntung karena prasangka tadi hanya tersimpan dalam hati. Seandainya tadi mulutnya frontal menuduh Egi membuntuti karena over possesive, maka Afi yakin tidak dapat menanggung malu.“Kantor saya di sana.” Egi menunjuk ruko tiga lantai di sebelah rumah sa
“Pagi!” Afi masuk ke markas IT sambil menyapa anak buahnya seperti biasa.“Loh? Udah masuk, Bu?” Salah satu anak magang yang tadinya bermain game mempertanyakan kemunculan Afi.“Iya. Kok, udah masuk?” Pria berkacamata yang berdiri memegang mug beruap ikut bertanya. “Padahal rencananya, nanti sore kita semua mau ke rumah Ibu,” tambahnya. Kemudian melangkah menuju meja yang berada tepat di samping ruangan Afi.“Saya udah enggak punya rumah. Jadi, sekarang udah waktunya ngumpulin pundi-pundi buat beli rumah baru,” jawab Afi sambil berjalan menuju ruangannya. Namun, begitu melewati meja pria berkacamata tadi, Afi mendadak berhenti. Dia menoleh, menatap anak magang yang duduk di samping dispenser. Anak itu kembali fokus bermain game.“Itu namanya siapa? Saya lupa,” tanya Afi pada pria berkacamata sambil menunjuk si anak magang.“Tito,” jawab si pria.Kemudian Afi
Afi memejamkan mata. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Kegiatan itu diulangi sebanyak tiga kali, barulah pikirannya terasa tenang.Meski tidak benar-benar merasa plong, setidaknya Afi mendapatkan jalan keluar. Dia bangkit dengan tenang, lalu mengambil tas dan meninggalkan ruangan.“Jer!” panggilnya saat berhenti di depan meja pria berkacamata. “Hari ini saya enggak jadi masuk. Tolong handle kerjaan yang berhubungan sama saya, ya. Saya harus pulang. Mama saya datang ke tempat tinggal yang baru. Enggak enak kalau saya biarin beliau sendirian,” terangnya tenang tanpa ada yang ditutupi.Afi telah berhasil mengurangi kadar kepanikan yang sempat menguasai dirinya. Dia tidak ‘gerasa-gerusu’ seperti saat mendengar berita rumahnya terbakar. Dia menyadari bahwa tingkat urgensi situasi kali ini tidak semendesak kemarin. Mamanya hanya berkunjung ke rumah. Bukankah tidak ada yang salah dengan niat baik itu?Awalnya, hal yang membuat Afi panik adala
Afi mencium tangan seorang wanita paruh baya yang baru saja menuruni taksi online. Wanita itu adalah Kikan, mamanya.Meskipun sebagian besar rambutnya sudah memutih, keriput di wajah Kikan tidak terlalu kentara. Tubuhnya tidak gemuk dan tidak kurus. Tidak ada lemak di perut dan lengan atas yang menggelambir. Bisa dibilang masih terlihat kencang. Punggungnya masih tegak dan caranya berjalan tidak menunjukkan masalah persendian di lutut. Bahkan dia masih mengenakan heels lima senti. Dia terlihat sangat bugar untuk ukuran wanita berusia 52 tahun.“Enggak sama Papa?” tanya Afi setelah mengintip kursi belakang taksi yang tidak lagi berpenghuni.“Enggak. Papamu lagi sibuk banget.”Sebenarnya, Afi tidak hanya memeriksa keikutsertaan papanya. Dia was-was menunggu, apakah sopir akan keluar dan mengeluarkan koper dari bagasi atau tidak.Diam-diam, Afi mengembuskan napas lega karena sopir melajukan mobil tanpa mengeluarkan apa pun dari bagasi. Sementara itu, m
Afi dan Egi was-was menunggu keputusan Kikan. Jika Afi memilih pasrah pada apa pun perintah mamanya nanti, Egi justru mempersiapkan diri untuk menentangnya. Tekatnya sudah bulat. Mantap. Dia tidak akan melepaskan Afi, sesulit apa pun keadaannya.Egi belum pernah seingin ini memiliki wanita. Dia tidak tahu, dorongan apa yang membuatnya enggan melepaskan Afi. Padahal Afi bukanlah orang yang baru dikenalnya. Mereka terikat keluarga dan cukup sering berjumpa. Namun, kebersamaan kemarin membawa dampak besar pada kehidupannya. Dia seolah terbelenggu oleh rantai yang tidak kasat mata. Belenggu itu mengikatnya dengan sang keponakan.“Kamu bisa menjaga kepercayaan Mbak?” tanya Kikan pada Egi.Alih-alih menganggukkan kepala agar segalanya lebih mudah, Egi malah menggeleng. “Enggak, Mbak. Saya enggak mau menjaga kepercayaan orang lain. Nyusahin.”Afi berdeham amat pelan karena kerongkongannya kesulitan menelan ludah. Rasanya sudah seperti menelan benda kasat. Haus.
Kikan hendak mendorong pintu mobil, tapi batal karena teringat sesuatu. Dia segera memutar badan menghadap si sopir.“Apa yang mau kamu lakukan?” tanyanya.“Soal?” Sebelah alis Egi terangkat.“Tiara. Kamu enggak berniat menyatukan mantan dan anak Mbak di bawah naungan atap yang sama, ‘kan?” Kikan tidak perlu mendengar soal cinta dari mulut adik sepupu dan putrinya. Melihat bahasa tubuh keduanya sudah cukup untuknya mengambil satu kesimpulan. Keduanya jatuh cinta.Selama 52 tahun, Kikan sudah melewati banyak masa dan bergaul dengan orang-orang yang membawa ragam kisah cinta. Cinta tidak melulu perkara pandangan pertama. Ada cinta yang baru bertumbuh setelah 20 tahun bersahabat karib. Ada pula cinta yang berawal dari kebencian. Dalam kisah Afi dan Egi, mungkin keduanya belum menyadari. Mereka hanya mengikuti dorongan hati. Si pria penuh obsesi dan si wanita tidak ingin melepaskan diri. Keinginan keduanya untuk tetap bersama me
Egi dan Afi berjalan bersisian menuju ruang tamu. Keduanya sama-sama diam. Bedanya, Afi menatap lurus ke depan, sedangkan Egi menengok lurus ke samping. Tepatnya, Egi sedang memandang keponakannya. Namun, jenis tatapannya bukan memuja, melainkan tanda tanya.Sadar dipandangi, Afi pun merasa risi. Meski begitu, dia tidak menampakkan sikap kikuk. Tanpa menoleh dia bertanya tenang, “Kenapa, sih? Saya cantik banget, ya?” “Biasa aja.” Egi menolak jujur. Namun, dia enggan merotasi kepala dan memindahkan poros pandangannya. “Terus, kenapa melototin saya terus?”“Saya enggak melotot. Biasa aja.” “To the point aja. Kamu mau ngomong apa?” Afi berhenti dan merotasikan tubuh menghadap Egi.Melakukan hal serupa, Egi menelengkan kepala dan menggumam panjang. “Kalau saya enggak salah ingat, kemarin kamu bilang enggak doyan makanan apa pun, apalagi yang berbahan ikan. Benar enggak?”Afi mengangguk. “Kamu bingung kenapa saya mau makan pempek?” teba
Dalam perjalanan pulang, keheningan melanda keduanya. Afi ingin sekali berterima kasih karena Egi begitu peka dengan keadaan alerginya. Kalau saja pria itu tidak langsung membawanya ke klinik, mungkin obat pun tidak akan mempan. Dia pasti tidak akan bisa beraktifitas dengan tenang karena pengaruh rasa gatal.Sayangnya, niat mengucapkan terima kasih itu urung dilafalkan. Selain karena ekspresi Egi tidak enak dilihat--terlalu flat dan kaku, pria itu juga bungkam sejak di klinik. Afi curiga bahwa pria itu menyimpan kekesalan kepadanya.Sesampainya di rumah, keduanya diserbu Ani dan Yati yang ternyata belum pulang, padahal sekarang sudah jam 7 malam. Mereka disambangi tepat setelah melangkahi pintu masuk.“Kok, baru pulang, sih, Mas-Mbak? Kalian enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Ani sambil memindai Egi dan Afi dari atas ke bawah.Afi tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Kita enggak kenapa-kenapa, ko
“Jangan lama-lama. Kalau udah selesai, cepat pulang. Nanti kalau sakit kamu sendiri yang susah.” Begitulah pesan Egi sebelum meninggalkan warung tenda. Dia telah menandaskan sepiring nasi, ayam penyet dan lalapan, serta teh hangat. Ah, jangan lupakan setengah mangkuk ronde milik Afi. Dia meminta Afi pulang bersamanya. “Soal pembalut, kalau enggak urgent belinya besok aja. Titip ke Bu Ani. Mini marketnya masih jauh, ‘kan? Kamu bisa kebasahan kalau nekat ke sana jalan kaki.” Afi menggeleng, menolak ajakan dan bujuan Egi. “Saya mau ke apotek bentar. Cari obat alergi,” ungkapnya jujur. “Kamu alergi apa?” Pria itu kelihatan cemas dan panik. Memindai Afi dari kepala sampai ujung kaki. Afi menggeleng. “Sekarang belum. Enggak tau nanti.” Jawaban yang diberikan sambil mengunyah itu membuat Egi mengerutkan kening. “Maksudnya?” Tanpa menatap Egi, Afi pun menjawab. “Saya alergi dingin.” Mendengar informasi itu, kerutan di kenin
“Yaaaah ....” Kedua bahu Afi merosot lesu ketika membuka pintu. “Hujan ternyata.” Wajahnya berubah cemberut.Afi tidak tahu, material apa yang digunakan untuk membangun rumah megah ini sampai bunyi hujan deras pun tidak terdengar di lantai dua.“Duh, mana lagi lapar banget ini,” keluhnya sambil melangkah ke ujung teras. Memeriksa lebih dekat, seberapa besar intensitas air yang berguguran di bumi.Puas dengan tidur tambahan sampai jam 5 sore, perut Afi pun terasa amat sangat kosong. Dia heran, seberapa keras kerja metabolisme tubuhnya saat tidur sampai bangun-bangun sudah lapar lagi.Sebenarnya wajar, sih, kalau dia lapar. Dia, ‘kan, melewatkan makan siang.Sayangnya, ketika bangun tadi, baik teh ataupun kudapan ringan di meja sudah tidak ada. Mungkin dibereskan oleh Ani.Afi ingin makan nasi, tapi khawatir lauk pauknya belum tersedia. Ini, ‘kan, belum jam makan malam. Dia menebak kalau Ani dan
“Jadinya nonton apa, nih, Mbak?” tanya Ani yang menyuguhkan sepiring pastel panas, potongan buah melon, dan teh panas ke meja.“Korea, Bu,” jawab Afi yang kini mengatur channel TV melalui remote di HP-nya.“Waduuuh. Enggak India aja, Mbak? Biar bisa nyanyi sama joget-joget.”Afi tertawa. “Emangnya Ibu punya rekomendasi film India apa?”“Chori-chori aja, Mbak. Rame, tuh. Cerita suami setia, tapi disuruh ‘asoy-geboy’ sama perempuan nakal.”Afi semakin tergelak. Sedikit tidak menyangka kalau wanita paruh baya yang lebih suka pakai daster itu mengetahui berbagai macam istilah yang menjurus ke arah seks bebas.“Oh, iya, Mbak. Mas Egi udah pulang, tuh.”Tawa Afi langsung berhenti. “Enggak nyariin saya, ‘kan?”“Nyariin, lah. Saya bilang aja lagi di sini.”Afi menghela napas, lalu meningkatkan volume TV. Mendengar na
Sepertinya Egi benar-benar kesal. Saat bangun tidur, dia tidak menyapa ataupun melirik Afi. Meloyor begitu saja ke kamar mandi.Seolah belum cukup, Egi pun enggan sarapan bersama, padahal Afi sudah menunggunya di kitchen island. Egi hanya menyeruput kopi sambil berdiri, menjumput sandwich, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.“Lagi berantem, ya, Mbak?” tanya Ani yang menyaksikan dinginnya hubungan Afi dan Egi.Afi hanya merespons dengan senyum seadanya. Menurutnya, pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Ani bisa mengambil kesimpulan sendiri.“Bu Ani hari ini ke pasar enggak?” tanyanya, mengalihkan topik.Rencananya, jika Ani ke pasar, Afi ingin ikut. Refreshing. Dia malas nonton ke bioskop sendirian.“Kayaknya enggak, deh. Bahan di dapur masih lengkap,” jawab Ani sembari mengambil cangkir kopi bekas Egi. “Ini saya minum aja, ya, Mbak. Sayang kalau dibuang. Mubazir,” ucapnya sambil memperlihatkan i
Setelah racauan Afi berakhir, suasana kamar sempat disinggahi keheningan. Egi yang masih berbaring menatap wanita itu sambil mengerjap. Cukip lama pria itu terpaku hingga beberapa saat kemudian, tawanya meledak sampai terpingkal-pingkal.Melihat Egi tertawa begitu lepas, Afi pun mengernyit. Bingung. Otaknya berpikir keras. Menebak satu per satu kata yang sebelumnya dia ucapkan. Di mana letak kelucuannya?Sebelum Afi sempat bertanya, pria itu bangun dan duduk menghadap dirinya. Setelah tawanya reda, Egi pun bertanya, “Jadi, kamu mau menikah sama saya?”Kerutan di kening Afi semakin bertambah. Kali ini bukan karena bingung, melainkan tersinggung.Jadi, pria itu hanya bercanda dalam menyematkan gelar ‘calon istri saya’ saat bicara dengan Tiara di telepon tadi? Jadi, pria itu hanya ingin membuat Tiara cermburu? Pria itu ingin mempermainkannya?Rasanya Afi ingin meledak saat itu juga. Dia ingin meminta klarifikasi dengan cara yan
Jam digital di nakas sudah menunjukkan pukul 01:15. Seharusnya, pemilik ruangan sudah melayang ke negeri mimpi. Kenyataannya, sepasang penghuninya malah sibuk bersitatap. Berbaring miring di ranjang, saling berhadapan.“Kenapa harus pegangan tangan, sih?” tanya si wanita. Matanya tak mengerjap sedetik pun, terus menelisik lensa pekat di depannya.“Kamu mau yang lebih?” goda si pria sambil mengerling jail.“Enggak!” tegas si wanita sambil melotot ringan. Membuat si pria tertawa pelan.Saat ini, jemari keduanya saling bertaut di atas guling yang menjadi pembatas wilayah masing-masing. Guling itu tadinya diletakkan karena si pria terus saja menyerang wanitanya dengan ciuman menggebu. Kata si wanita, si pria tidak boleh melewati batas jika ingin dirinya menetap di kamar itu.“Besok mau ke mana?”“Tadinya, sih, mau nonton bioskop. Mumpung kamu enggak ada.”Si pria mengerutkan keni
“Egi, please ....”Afi berupaya keras menarik kepala dan mendorong dada Egi. Gila! Dia nyaris kehilangan napas. Egi benar-benar menghukumnya!Sekitar jam setengah sepuluh malam, Egi tiba di rumah. Sempat menengok Afi ke kamar tamu, pria itu keluar lagi untuk menepati janji pada Tiara.Entah apa yang mereka bicarakan, tapi durasinya tidaklah lama. Mungkin tidak sampai sejam, Egi sudah kembali ke kamar tamu, menjemput Afi.Ya, menjemput! Pria itu menggendong Afi ke kamar atas, lalu mencium bibirnya secara brutal. Katanya, itu adalah hukuman karena membuatnya khawatir selama di Riau.“Kamu tau, gara-gara kamu, saya enggak keruan selama di bandara. HP saya sampai kececer,” ucap Egi dengan napas terengah sebelumkembali membubuhkan kecupan menggebu.Sebenarya bukan hanya Afi yang mengalami defisit oksigen dalam paru-paru, Egi pun sama. Namun, gejolak rindu yang begitu kuat membuatnya enggan melepaskan bibir itu barang
Afi merapatkan punggung ke sandaran. Napasnya dihela dengan pelan dan cukup dalam. Rasanya, ada satu beban besar yang menyesakkan dadanya. Entah apa.“Pertama, saya mau tanya dulu sama kamu. Boleh?”Tiara mengangguk. Kemudian mengambil piring puding. Bicara panjang lebar ternyata tidak hanya membuat kerongkongannya kering, tapi isi perutnya juga ikut terkuras.“Apa selama pacaran, kalian pernah berhubungan badan?”Pertanyaan Afi membuat puding yang ditelan Tiara keluar dari saluran pencernaan. Bahkan sepertinya tersesat ke saluran pernapasan. Wanita itu tersedak cukup parah sampai harus memukul-mukul dadanya.Anehnya, Afi tidak panik sedikit pun melihat reaksi tubuh Tiara. Dia diam saja melihat wanita itu terbatuk-batuk. Bahkan dia sudah bisa menarik satu kesimpulan dari reaksi itu.“Okay, enggak usah dijawab,” kata Afi setelah Tiara minum. “Saya udah dapat jawabannya.”Tiara menelan lud