Afi memejamkan mata. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Kegiatan itu diulangi sebanyak tiga kali, barulah pikirannya terasa tenang.
Meski tidak benar-benar merasa plong, setidaknya Afi mendapatkan jalan keluar. Dia bangkit dengan tenang, lalu mengambil tas dan meninggalkan ruangan.
“Jer!” panggilnya saat berhenti di depan meja pria berkacamata. “Hari ini saya enggak jadi masuk. Tolong handle kerjaan yang berhubungan sama saya, ya. Saya harus pulang. Mama saya datang ke tempat tinggal yang baru. Enggak enak kalau saya biarin beliau sendirian,” terangnya tenang tanpa ada yang ditutupi.
Afi telah berhasil mengurangi kadar kepanikan yang sempat menguasai dirinya. Dia tidak ‘gerasa-gerusu’ seperti saat mendengar berita rumahnya terbakar. Dia menyadari bahwa tingkat urgensi situasi kali ini tidak semendesak kemarin. Mamanya hanya berkunjung ke rumah. Bukankah tidak ada yang salah dengan niat baik itu?
Awalnya, hal yang membuat Afi panik adalah keberadaan Tiara. Dia khawatir mamanya akan bertemu wanita itu dan berbincang tentang kepulangan Egi. Afi takut kalau Tiara akan memberi tahu mamanya bahwa tadi malam dia dan Egi tidur bersama. Mamanya pasti akan murka kalau mendengar fakta mengerikan semacam itu.
Setelah berpikir jernih, Afi menyadari bahwa kekhawatirannya sia-sia. Mamanya tidak akan bertemu Tiara karena tadi pagi wanita itu berangkat sangat pagi. Bahkan mendahului Egi dan Afi. Entah ke mana dia pergi. Namun, Afi yakin sekali bahwa dia tidak akan kembali saat masih pagi seperti ini.
Adapun jalan keluar yang dipikirkan Afi adalah; pertama-tama dia harus menelepon Egi. Dia harus memberitahukan kedatangan mamanya. Sayangnya, Afi tidak menyimpan nomor Egi yang baru. Nomor lama yang masih tersimpan di HP-nya sudah tidak aktif.
“Minta ke Abang aja kali, ya?” Afi menggumam saat di lapangan parkir. Dia berhenti di tengah-tengah, lalu menggelengkan kepala. “Mau pakai alasan logis apa?” Dia tidak menemukan alasan yang tepat jika ditanya kenapa meminta nomor Egi.
Afi menggaruk pelipis, lalu menatap ruko yang terlihat jelas di balik tembok parkir. Sepertinya dia tidak punya pilihan lain. Dia harus datang langsung ke tempat itu.
Afi merasa gugup ketika mendatangi resepsionis. Apalagi ketika wanita bertutur lembut itu tidak mengenali nama yang dia sebutkan. Untung saja orang yang dicari muncul dari tangga bersama wanita cantik—cantik sekali sampai membuat Afi minder sendiri. Kulitnya putih, tingginya semampai, langsing, dan rambutnya panjang bergelombang. Sedikit nyentrik karena rambut indah itu dicat kuning emas.
“Eh? Kok, ada di sini?” Egi langsung menyapa dan mendatangi Afi begitu melihatnya. “Perasaan baru pisah sebentar. Masa udah kangen, sih?”
Afi tidak menggubris candaan itu. Dia tersenyum tipis dan mengangguk sopan sebagai bentuk sapaan pada wanita cantik yang ikut menghampirinya. Wanita itu pun membalas dengan cara yang sama.
“Kenalin, Jes—she is mine, Fidyana Rosmalina.” Egi memperkenalkan Afi kepada wanita itu. Kalimatnya hampir serupa saat dia memperkenalkan Afi pada Tiara. Bedanya ada pada tambahan berikut; “Kalau orang-orang biasa manggil dia Afi. Kalau saya lebih suka Rosmalina.”
“Oh, wow! Ada panggilan kesayangan rupanya.” Wanita itu berkomentar dengan nada bercanda, lalu mengulurkan tangan. “Saya Jessica. Hari ini udah resmi partner-an sama Egi.”
‘Partner’. Afi mengulang kata itu dalam hati sampai dua kali. Dia teringat cerita Egi tentang partner kerja di Kalimantan yang juga menjadi partner dalam urusan ranjang. Batinnya bertanya was-was. Mungkinkah Egi akan menjadikan wanita itu berstatus ganda seperti partner-nya yang dulu?
“Afi.” Dia menjabat tangan Jessica sambil tersenyum tipis.
Usai jabatan mereka terurai, Egi meminta waaktu kepada Jessica untuk berbicara dengan Afi. Wanita itu mempersilakan dengan senang hati dan mengatakan bahwa dia akan menunggu di parkiran.
“Kalian mau pergi?” tanya Afi begitu Jessica meninggalkan mereka.
Egi membenarkan sambil menggiring Afi duduk ke salah satu barisan kursi panjang. “Padahal baru hari pertama, tapi saya udah dikasih client. Jadi, Jessica mau kenalin saya ke client itu. Udah bikin janji di kafe,” terangnya tanpa diminta.
Afi mengangguk-angguk, lalu teringat tujuannya datang ke sini. “Maaf banget saya ganggu.”
“No-no-no.” Egi menyanggah. Lengkap dengan gelengan. “You don’t bother me at all. Saya senang kamu ke sini.” Dia menggenggam tangan kanan Afi dan memindahkan ke pangkuannya. “Ada apa?”
Sejujurnya Afi ingin sekali menarik tangannya. Dia malu karena ini tempat umum. Bahkan ada beberapa orang yang berlalu lalang melewati mereka. Namun, Afi urung melakukan itu karena urusannya lebih mendesak daripada hanya sekadar mengurusi pandangaan orang lain.
“Saya mau minta pendapat kamu,” kata Afi.
“Wow! Saya senang banget dengar kayak gini. Tell me now!” Egi tampak antusias.
“Mama on the way ke rumah.”
“Aha. Terus?”
“Saya harus gimana?”
Menyadari pertanyaannya kurang jelas, Afi menambahkan. “Ini soal saya, kamu, dan Tiara. Apa saya harus jujur kalau kita bertiga tinggal serumah?”
“Apa risiko yang kamu takutkan dari kejujuran itu?” tanya Egi serius.
“Mama shock, marah, atau mungkin ... kena serangan jantung.”
“Setau saya Mbak Kikan enggak punya riwayat jantung.”
Kikan Jelita adalah kakak sepupu Egi, sekaligus mamanya Afi. Wanita itu memang sudah berusia 52 tahun. Namun, fisiknya masih sangat bugar dan wajahnya awet muda.
“Tapi, saya takut.”
“Jelasin dulu ke saya, apa yang bikin kamu takut?”
Alih-alih menjawab, Afi justru balik bertanya. “Kamu enggak takut?”
“Dimarahi?” tebak Egi yang disambut anggukan Afi. “Enggaklah. Ngapain takut. Kita, ‘kan, cuma tidur sekamar. Kalau misalkan Mbak Kikan enggak terima terus nyuruh saya tanggung jawab, ya, saya ayo-ayo aja. Disuruh nikahin kamu besok saya juga siap.”
Benarkah semuanya akan sesimpel itu? Jelas tidak! Afi tahu betul bahwa mamanya masih memegang teguh norma dan adat. Beliau pasti kecewa karena anak perempuan satu-satunya melanggar norma dan adat yang masih dihormatinya. Afi tidak sanggup melihat kemarahan dan kekecewaan itu.
Melihat Afi terdiam dalam kegelisahan yang tidak bisa diungkapkan, Egi mengembuskan napas dan mengeratkan genggaman. “Okay. Kalau kamu mau yang gampang, tinggal enggak usah ngomong apa-apa.”
“Terus, gimana kalau Mama menginap? Kamu dan Tiara ...?” Afi menggantungkan pertanyaannya, lalu mengatup bibir. Dia melewati batas. Bukankah rumah itu milik Egi? Tidak seharusnya dia membingungkan alasan terkait keberadaan pria itu.
“Soal Tiara biar saya yang urus. Kalau memang Mbak Kikan mau nginap, silakan. Saya welcome banget. Kamu bisa tidur sama beliau di kamar atas. Biar nanti saya tidur di perpustakaan.”
Afi merasa sangsi bahwa ini adalah jalan keluar terbaik. Haruskah dia mengorbankan pemilik rumah demi kedamaian hidupnya?
Afi memikirkan hal ini lamat-lamat sambil menunduk dan menutup mata. Sementara itu, Egi tidak mendesaknya. Dia sabar menunggu sampai wanita itu memilih jalan keluar sendiri. Dia hanya menunjukkan jalan. Urusan pilihan, Egi menyerahkan sepenuhnya kepada wanita itu.
Afi menghirup napas dalam-dalam, lalu membuangnya sambil membuka mata. Dia mengangguk-angguk dan mengeluarkan kata ‘okay’, lalu berdiri.
Egi ikut bangkit. Sebenarnya dia penasaran tentang pilihan apa yang diambil Afi. Sepintas, kata ‘okay’ memang menunjukkan persetujuan. Namun, Egi tidak yakin bahwa wanita itu menyetujui usulannya. Jangan-jangan, wanita itu mempunyai jalan keluar lain yang tidak diungkapkan kepadanya. Hal itu membuat Egi was-was, khawatir kalau dugaannya benar.
Afi mencium tangan seorang wanita paruh baya yang baru saja menuruni taksi online. Wanita itu adalah Kikan, mamanya.Meskipun sebagian besar rambutnya sudah memutih, keriput di wajah Kikan tidak terlalu kentara. Tubuhnya tidak gemuk dan tidak kurus. Tidak ada lemak di perut dan lengan atas yang menggelambir. Bisa dibilang masih terlihat kencang. Punggungnya masih tegak dan caranya berjalan tidak menunjukkan masalah persendian di lutut. Bahkan dia masih mengenakan heels lima senti. Dia terlihat sangat bugar untuk ukuran wanita berusia 52 tahun.“Enggak sama Papa?” tanya Afi setelah mengintip kursi belakang taksi yang tidak lagi berpenghuni.“Enggak. Papamu lagi sibuk banget.”Sebenarnya, Afi tidak hanya memeriksa keikutsertaan papanya. Dia was-was menunggu, apakah sopir akan keluar dan mengeluarkan koper dari bagasi atau tidak.Diam-diam, Afi mengembuskan napas lega karena sopir melajukan mobil tanpa mengeluarkan apa pun dari bagasi. Sementara itu, m
Afi dan Egi was-was menunggu keputusan Kikan. Jika Afi memilih pasrah pada apa pun perintah mamanya nanti, Egi justru mempersiapkan diri untuk menentangnya. Tekatnya sudah bulat. Mantap. Dia tidak akan melepaskan Afi, sesulit apa pun keadaannya.Egi belum pernah seingin ini memiliki wanita. Dia tidak tahu, dorongan apa yang membuatnya enggan melepaskan Afi. Padahal Afi bukanlah orang yang baru dikenalnya. Mereka terikat keluarga dan cukup sering berjumpa. Namun, kebersamaan kemarin membawa dampak besar pada kehidupannya. Dia seolah terbelenggu oleh rantai yang tidak kasat mata. Belenggu itu mengikatnya dengan sang keponakan.“Kamu bisa menjaga kepercayaan Mbak?” tanya Kikan pada Egi.Alih-alih menganggukkan kepala agar segalanya lebih mudah, Egi malah menggeleng. “Enggak, Mbak. Saya enggak mau menjaga kepercayaan orang lain. Nyusahin.”Afi berdeham amat pelan karena kerongkongannya kesulitan menelan ludah. Rasanya sudah seperti menelan benda kasat. Haus.
Kikan hendak mendorong pintu mobil, tapi batal karena teringat sesuatu. Dia segera memutar badan menghadap si sopir.“Apa yang mau kamu lakukan?” tanyanya.“Soal?” Sebelah alis Egi terangkat.“Tiara. Kamu enggak berniat menyatukan mantan dan anak Mbak di bawah naungan atap yang sama, ‘kan?” Kikan tidak perlu mendengar soal cinta dari mulut adik sepupu dan putrinya. Melihat bahasa tubuh keduanya sudah cukup untuknya mengambil satu kesimpulan. Keduanya jatuh cinta.Selama 52 tahun, Kikan sudah melewati banyak masa dan bergaul dengan orang-orang yang membawa ragam kisah cinta. Cinta tidak melulu perkara pandangan pertama. Ada cinta yang baru bertumbuh setelah 20 tahun bersahabat karib. Ada pula cinta yang berawal dari kebencian. Dalam kisah Afi dan Egi, mungkin keduanya belum menyadari. Mereka hanya mengikuti dorongan hati. Si pria penuh obsesi dan si wanita tidak ingin melepaskan diri. Keinginan keduanya untuk tetap bersama me
Egi dan Afi berjalan bersisian menuju ruang tamu. Keduanya sama-sama diam. Bedanya, Afi menatap lurus ke depan, sedangkan Egi menengok lurus ke samping. Tepatnya, Egi sedang memandang keponakannya. Namun, jenis tatapannya bukan memuja, melainkan tanda tanya.Sadar dipandangi, Afi pun merasa risi. Meski begitu, dia tidak menampakkan sikap kikuk. Tanpa menoleh dia bertanya tenang, “Kenapa, sih? Saya cantik banget, ya?” “Biasa aja.” Egi menolak jujur. Namun, dia enggan merotasi kepala dan memindahkan poros pandangannya. “Terus, kenapa melototin saya terus?”“Saya enggak melotot. Biasa aja.” “To the point aja. Kamu mau ngomong apa?” Afi berhenti dan merotasikan tubuh menghadap Egi.Melakukan hal serupa, Egi menelengkan kepala dan menggumam panjang. “Kalau saya enggak salah ingat, kemarin kamu bilang enggak doyan makanan apa pun, apalagi yang berbahan ikan. Benar enggak?”Afi mengangguk. “Kamu bingung kenapa saya mau makan pempek?” teba
Suasana di rumah ruang tamu mendadak hening. Afi menjadi pusat perhatian karena menunduk terlalu dalam.“Kenapa diam?” tanyanya. Wanita itu membunuh keheningan dalam keadaan menunduk.Berhubung tidak ada jawaban, Afi berupaya keras menormalkan ekspresi wajahnya. Dia juga tidak lupa memasang senyum terbaik sebelum mendongak.“Lanjutkan aja. Saya enggak apa-apa,” ucapnya seolah baik-baik saja.Egi tidak bodoh. Dia paham betul bahwa Afi berbohong. Binar mata yang menyiratkan luka itu membuatnya dirundung perasaan bersalah.Ingin rasanya Egi berlutut pada detik itu juga. Memohon maaf dan meluruskan maksud yang sebenarnya. Namun, egonya terlalu tinggi. Menistakan harga diri di depan mantan yang pernah menyakiti bukanlah pilihan satu-satunya. Egi memilih untuk melanjutkan misinya mengusir Tiara.“Baju-baju kamu sudah dikemasi. Cek aja. Siapa tau ada yang belum dimasukkan,” ucapnya dingin.Tidak ada lagi n
Hanya mengenakan pakaian dalam, Afi berdiri di bawah guyuran air shower. Dia menikmati aktivitas ini dalam diam. Dia menyukai suara pantulan air yang menghantam tubuh dan lantai.Sayangnya, ketenangan yang dirasakan Afi tidak bertahan lama. Semuanya raib dalam sekejap ketika seseorang membuka pintu tanpa permisi. Afi refleks memekik terkejut dan menutupi badan sebisa mungkin menggunakan tangan.“Ups! Kaget, ya?”Tidak ada ekspresi bersalah. Justru pria yang baru masuk dan mengunci pintu itu melenggang tenang sambil tersenyum.“Ngapain ke sini?” tanya Afi dengan mata melotot. Langkahnya bergerak mundur ke sudut kamar mandi. Dia masih berusaha menutupi badan yang setengah telanjang.“Ngapain lagi? Ya, mandi, lah.” Egi menjawab sambil membuka kancing kemeja.“Hah?”Afi semakin terbelalak. Bola matanya seakan hendak melompat dari kelopak yang sempit itu.“Pakai kamar mandi di bawah, ‘kan, bisa. Kenapa harus di sini? Saya belum se
Masih mengenakan bathrobe dan rambut yang basah, Afi menuruni tangga sebelah kanan. Langkahnya tergesa-gesa. Beberapa kali dia nyaris tergelincir karena kakinya yang basah tidak memakai alas.“Tadi aku dengar suara kayak benda jatuh. Ada apa?” tanya Tiara dari bawah tangga. Sebenarnya dia sudah keluar sejak mendengar suara itu. Dia bahkan yakin bahwa suara itu berasal dari kamar Egi. Dia tidak kembali keluar, menunggu sampai ada seseorang yang keluar dari kamar atas.“Egi kepeleset di kamar mandi,” jawab Afi. Dia masih di pertengahan tangga.“Hah? Kok, bisa?” Tiara ikut panik. “Terus gimana keadaannya?”“Kamu bisa cek sendiri. Saya mau cariin obat dan tukang urut dulu,” kata Afi sambil berlalu menuju dapur. Dia tidak berhenti sedetik pun, barang untuk berbicara dengan Tiara. Sementara itu, Tiara pun bergegas ke lantai atas tanpa bertanya lebih lanjut.“Bu Ani!” Afi memanggil pa
Afi menggendong kardus paket ke kamar. Ketika membuka pintu dia terpegun melihat Egi duduk bersila dengan muka mengeras. Kedua tangannya mengepal di atas paha. Sorot tajam yang menghunus ke arahnya membuat Afi gemetaran.Apa yang membuat mata itu menyiratkan amarah? Apakah Afi berbuat salah?“Masuk!” titahnya dingin.Tersugesti, Afi langsung menutup pintu dan mendatangi pria itu. Dia meletakkan kardus paket di atas nakas, lalu duduk perlahan di bibir ranjang. Sepanjang pergerakannya, mata itu terus mengekorinya dengan ketajaman yang sama.“Masih sa--”“Selain kamu, Bu Ani, dan Bu Yati, saya enggak pernah kasih izin perempuan mana pun masuk kamar ini.” Egi memotong tegas. Sorot matanya belum melembut.Kini Afi menelan ludah. Dia sudah menyadari inti kesalahannya.Sekarang permasalahannya adalah bagaimana cara meminta maaf kepada Egi? Apakah pria itu akan memaafkannya dengan mudah? Melihat sorot kemar
Dalam perjalanan pulang, keheningan melanda keduanya. Afi ingin sekali berterima kasih karena Egi begitu peka dengan keadaan alerginya. Kalau saja pria itu tidak langsung membawanya ke klinik, mungkin obat pun tidak akan mempan. Dia pasti tidak akan bisa beraktifitas dengan tenang karena pengaruh rasa gatal.Sayangnya, niat mengucapkan terima kasih itu urung dilafalkan. Selain karena ekspresi Egi tidak enak dilihat--terlalu flat dan kaku, pria itu juga bungkam sejak di klinik. Afi curiga bahwa pria itu menyimpan kekesalan kepadanya.Sesampainya di rumah, keduanya diserbu Ani dan Yati yang ternyata belum pulang, padahal sekarang sudah jam 7 malam. Mereka disambangi tepat setelah melangkahi pintu masuk.“Kok, baru pulang, sih, Mas-Mbak? Kalian enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Ani sambil memindai Egi dan Afi dari atas ke bawah.Afi tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Kita enggak kenapa-kenapa, ko
“Jangan lama-lama. Kalau udah selesai, cepat pulang. Nanti kalau sakit kamu sendiri yang susah.” Begitulah pesan Egi sebelum meninggalkan warung tenda. Dia telah menandaskan sepiring nasi, ayam penyet dan lalapan, serta teh hangat. Ah, jangan lupakan setengah mangkuk ronde milik Afi. Dia meminta Afi pulang bersamanya. “Soal pembalut, kalau enggak urgent belinya besok aja. Titip ke Bu Ani. Mini marketnya masih jauh, ‘kan? Kamu bisa kebasahan kalau nekat ke sana jalan kaki.” Afi menggeleng, menolak ajakan dan bujuan Egi. “Saya mau ke apotek bentar. Cari obat alergi,” ungkapnya jujur. “Kamu alergi apa?” Pria itu kelihatan cemas dan panik. Memindai Afi dari kepala sampai ujung kaki. Afi menggeleng. “Sekarang belum. Enggak tau nanti.” Jawaban yang diberikan sambil mengunyah itu membuat Egi mengerutkan kening. “Maksudnya?” Tanpa menatap Egi, Afi pun menjawab. “Saya alergi dingin.” Mendengar informasi itu, kerutan di kenin
“Yaaaah ....” Kedua bahu Afi merosot lesu ketika membuka pintu. “Hujan ternyata.” Wajahnya berubah cemberut.Afi tidak tahu, material apa yang digunakan untuk membangun rumah megah ini sampai bunyi hujan deras pun tidak terdengar di lantai dua.“Duh, mana lagi lapar banget ini,” keluhnya sambil melangkah ke ujung teras. Memeriksa lebih dekat, seberapa besar intensitas air yang berguguran di bumi.Puas dengan tidur tambahan sampai jam 5 sore, perut Afi pun terasa amat sangat kosong. Dia heran, seberapa keras kerja metabolisme tubuhnya saat tidur sampai bangun-bangun sudah lapar lagi.Sebenarnya wajar, sih, kalau dia lapar. Dia, ‘kan, melewatkan makan siang.Sayangnya, ketika bangun tadi, baik teh ataupun kudapan ringan di meja sudah tidak ada. Mungkin dibereskan oleh Ani.Afi ingin makan nasi, tapi khawatir lauk pauknya belum tersedia. Ini, ‘kan, belum jam makan malam. Dia menebak kalau Ani dan
“Jadinya nonton apa, nih, Mbak?” tanya Ani yang menyuguhkan sepiring pastel panas, potongan buah melon, dan teh panas ke meja.“Korea, Bu,” jawab Afi yang kini mengatur channel TV melalui remote di HP-nya.“Waduuuh. Enggak India aja, Mbak? Biar bisa nyanyi sama joget-joget.”Afi tertawa. “Emangnya Ibu punya rekomendasi film India apa?”“Chori-chori aja, Mbak. Rame, tuh. Cerita suami setia, tapi disuruh ‘asoy-geboy’ sama perempuan nakal.”Afi semakin tergelak. Sedikit tidak menyangka kalau wanita paruh baya yang lebih suka pakai daster itu mengetahui berbagai macam istilah yang menjurus ke arah seks bebas.“Oh, iya, Mbak. Mas Egi udah pulang, tuh.”Tawa Afi langsung berhenti. “Enggak nyariin saya, ‘kan?”“Nyariin, lah. Saya bilang aja lagi di sini.”Afi menghela napas, lalu meningkatkan volume TV. Mendengar na
Sepertinya Egi benar-benar kesal. Saat bangun tidur, dia tidak menyapa ataupun melirik Afi. Meloyor begitu saja ke kamar mandi.Seolah belum cukup, Egi pun enggan sarapan bersama, padahal Afi sudah menunggunya di kitchen island. Egi hanya menyeruput kopi sambil berdiri, menjumput sandwich, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.“Lagi berantem, ya, Mbak?” tanya Ani yang menyaksikan dinginnya hubungan Afi dan Egi.Afi hanya merespons dengan senyum seadanya. Menurutnya, pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Ani bisa mengambil kesimpulan sendiri.“Bu Ani hari ini ke pasar enggak?” tanyanya, mengalihkan topik.Rencananya, jika Ani ke pasar, Afi ingin ikut. Refreshing. Dia malas nonton ke bioskop sendirian.“Kayaknya enggak, deh. Bahan di dapur masih lengkap,” jawab Ani sembari mengambil cangkir kopi bekas Egi. “Ini saya minum aja, ya, Mbak. Sayang kalau dibuang. Mubazir,” ucapnya sambil memperlihatkan i
Setelah racauan Afi berakhir, suasana kamar sempat disinggahi keheningan. Egi yang masih berbaring menatap wanita itu sambil mengerjap. Cukip lama pria itu terpaku hingga beberapa saat kemudian, tawanya meledak sampai terpingkal-pingkal.Melihat Egi tertawa begitu lepas, Afi pun mengernyit. Bingung. Otaknya berpikir keras. Menebak satu per satu kata yang sebelumnya dia ucapkan. Di mana letak kelucuannya?Sebelum Afi sempat bertanya, pria itu bangun dan duduk menghadap dirinya. Setelah tawanya reda, Egi pun bertanya, “Jadi, kamu mau menikah sama saya?”Kerutan di kening Afi semakin bertambah. Kali ini bukan karena bingung, melainkan tersinggung.Jadi, pria itu hanya bercanda dalam menyematkan gelar ‘calon istri saya’ saat bicara dengan Tiara di telepon tadi? Jadi, pria itu hanya ingin membuat Tiara cermburu? Pria itu ingin mempermainkannya?Rasanya Afi ingin meledak saat itu juga. Dia ingin meminta klarifikasi dengan cara yan
Jam digital di nakas sudah menunjukkan pukul 01:15. Seharusnya, pemilik ruangan sudah melayang ke negeri mimpi. Kenyataannya, sepasang penghuninya malah sibuk bersitatap. Berbaring miring di ranjang, saling berhadapan.“Kenapa harus pegangan tangan, sih?” tanya si wanita. Matanya tak mengerjap sedetik pun, terus menelisik lensa pekat di depannya.“Kamu mau yang lebih?” goda si pria sambil mengerling jail.“Enggak!” tegas si wanita sambil melotot ringan. Membuat si pria tertawa pelan.Saat ini, jemari keduanya saling bertaut di atas guling yang menjadi pembatas wilayah masing-masing. Guling itu tadinya diletakkan karena si pria terus saja menyerang wanitanya dengan ciuman menggebu. Kata si wanita, si pria tidak boleh melewati batas jika ingin dirinya menetap di kamar itu.“Besok mau ke mana?”“Tadinya, sih, mau nonton bioskop. Mumpung kamu enggak ada.”Si pria mengerutkan keni
“Egi, please ....”Afi berupaya keras menarik kepala dan mendorong dada Egi. Gila! Dia nyaris kehilangan napas. Egi benar-benar menghukumnya!Sekitar jam setengah sepuluh malam, Egi tiba di rumah. Sempat menengok Afi ke kamar tamu, pria itu keluar lagi untuk menepati janji pada Tiara.Entah apa yang mereka bicarakan, tapi durasinya tidaklah lama. Mungkin tidak sampai sejam, Egi sudah kembali ke kamar tamu, menjemput Afi.Ya, menjemput! Pria itu menggendong Afi ke kamar atas, lalu mencium bibirnya secara brutal. Katanya, itu adalah hukuman karena membuatnya khawatir selama di Riau.“Kamu tau, gara-gara kamu, saya enggak keruan selama di bandara. HP saya sampai kececer,” ucap Egi dengan napas terengah sebelumkembali membubuhkan kecupan menggebu.Sebenarya bukan hanya Afi yang mengalami defisit oksigen dalam paru-paru, Egi pun sama. Namun, gejolak rindu yang begitu kuat membuatnya enggan melepaskan bibir itu barang
Afi merapatkan punggung ke sandaran. Napasnya dihela dengan pelan dan cukup dalam. Rasanya, ada satu beban besar yang menyesakkan dadanya. Entah apa.“Pertama, saya mau tanya dulu sama kamu. Boleh?”Tiara mengangguk. Kemudian mengambil piring puding. Bicara panjang lebar ternyata tidak hanya membuat kerongkongannya kering, tapi isi perutnya juga ikut terkuras.“Apa selama pacaran, kalian pernah berhubungan badan?”Pertanyaan Afi membuat puding yang ditelan Tiara keluar dari saluran pencernaan. Bahkan sepertinya tersesat ke saluran pernapasan. Wanita itu tersedak cukup parah sampai harus memukul-mukul dadanya.Anehnya, Afi tidak panik sedikit pun melihat reaksi tubuh Tiara. Dia diam saja melihat wanita itu terbatuk-batuk. Bahkan dia sudah bisa menarik satu kesimpulan dari reaksi itu.“Okay, enggak usah dijawab,” kata Afi setelah Tiara minum. “Saya udah dapat jawabannya.”Tiara menelan lud