Afi tidak habis pikir, kenapa Tuhan menjungkirbalikkan hidupnya semudah ini? Dalam kurun waktu kurang dari 12 jam, kehidupannya berubah drastis. Berawal dari kebakaran, sekarang hidupnya diatur oleh seorang pelobi gila. Sialnya lagi, Afi tidak pernah bisa membantah pria ini.
Jika dahulu Afi akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih pakaian, sekarang tidak sampai 20 menit dia sudah keluar dari satu gerai dan membawa 10 setel pakaian. Bukan dia yang berbelanja, melainkan si pelobi gila. Dia hanya bermodalkan anggukan ketika pria itu memilihkan satu jenis pakaian. Setelah itu, semuanya berakhir di kasir.
Berpindah ke gerai pakaian dalam, barulah Afi bebas memilih sendiri. Pria itu hanya menunggu di depan gerai sambil menjaga tas belanjaan. Bukan Afi yang melarangnya ikut, tapi dia sendiri yang tidak mau masuk.
“Sorry! Haram buat saya masuk ke toko pakaian dalam perempuan.”
Begitu katanya ketika menghentikan langkahnya sendiri. Afi hanya menanggapinya dengan tawa kecil dan gelengan kepala.
Pelobian Egi tidak berhenti sampai di situ. Selesai belanja pakaian dalam dan make up, Afi diminta berganti pakaian detik itu juga. Tidak banyak bicara, Egi langsung menggiringnya ke toilet wanita.
“Saya malu jalan malam-malam sama perempuan berpakaian dinas.”
Begitu katanya sebelum mendorong Afi ke toilet. Dia juga membekali wanita itu dengan empat paper bag berisi satu setel pakaian luar dan dalam, sepatu, serta peralatan make up.
“Kenapa aku diam aja, sih? Kenapa pasrah terus disuruh itu-ini? Padahal usiaku jelas-jelas lebih tua daripada dia.” Afi mendumal dalam toilet sambil membongkar isi paper bag. Dia kesal pada diri sendiri.
Entah apa kharisma yang dimiliki pria itu hingga setiap kata yang keluar dari mulutnya hampir semuanya tidak bisa dibantah. Afi curiga, jangan-jangan pria itu memiliki ilmu pelet, gendam, atau sejenisnya. Namun, kecurigaan itu terasa seperti lelucon bagi Afi sendiri.
Keluar dari toilet, penampilan Afi berubah drastis. Jika dalam balutan seragam dinas dia kelihatan sangat dewasa sesuai usianya, saat ini dia kelihatan jauh lebih muda. Malah sepintas seperti remaja.
Mengenakan kaus putih lengan pendek yang dipadukan dengan jeans blue light, ditambah sneakers putih ber-merk famaous, Afi terlihat seperti ABG stylish. Rambut yang semula tergerai sekarang dikuncir rapi. Sementara poninya dibiarkan menutupi dahi. Make up-nya juga natural. Intinya, penampilannya terlihat fresh.
“Nah, kalau begini baru kamu boleh panggil saya ‘Om’. Jelas, saya kelihatan lebih tua dari sisi penampilan. Malah lebih mirip sugar daddy kali, ya,” ucap Egi dengan nada bercanda.
Setelah itu, Egi membawa wanitanya ke sebuah kafe. “Padahal saya mau dinner di hotel supaya suasananya lebih intim. Biar kalau sudah enggak tahan bisa langsung booking kamar.”
Afi paham bahwa Egi bercanda. Hal itu tergambar jelas dari tawa yang mengiringi kalimatnya. Namun, Afi tetap saja merasa shock sampai membelalakkan mata.
“Tapi, berhubung perut saya udah kosong banget, jadi mending di sini aja, deh. Enggak apa-apa berisik, yang penting ....”
“Yang penting ...?”
Afi menunggu kelanjutannya. Namun, Egi malah diam. Sengaja ingin membuat Afi penasaran.
“Ah! Forget it!” ucap Egi sambil mengibaskan tangan.
Tentu saja Afi kecewa karena rasa penasarannya tidak terpuaskan. Namun, dia tidak ingin memaksa. Dia memilih menyisir pandangan ke sekeliling. Siapa tahu dari sekian banyak pengunjung, ada wajah-wajah yang dikenal. Dia bisa bertegur sapa agar tidak dibilang sombong.
“Rosmalina!” Egi memanggil. “Matanya tolong dikondisikan. Ingat! You’re mine! Kamu cuma boleh memandang saya. Lagipula objek di hadapan kamu ini lebih menarik. Diajak ngobrol pun enak.”
Afi mengejek dalam hati. Enak dari mana? Pria ini selalu mendominasi percakapan.
“Okay,” Egi memajukan badan dan melipat kedua tangan di meja, “daripada mata kamu jelalatan, let’s talk about us.”
“About us? Like ...?”
“What is you favorite food?”
Afi menarik napas sambil menggumam dan berpikir. Namun, tindakannya dikomentari si pelobi. “Nyebutin makanan favorit aja pakai mikir. Punya enggak, sih?”
Afi menggaruk daun telinga kanannya. “Saya bingung.”
“Apa yang bikin bingung?”
“Kayaknya saya enggak suka semua makanan. Terutama yang berbau ikan.”
Kening Egi berkerut tipis. “Kamu masih enggak doyan ikan?” tanyanya tak percaya.
Afi mengangguk.
“Pantesan aja kurus.”
“Maaf, tolong ngaca, ya, Om.”
“Saya proporsional. Lengan dan dada saya berotot. Perut saya enggak buncit. Coba sebutkan, di mana sisi yang bisa bikin saya disebut kurus?”
Afi mengatup bibirnya rapat-rapat. Dia menyesal sudah membalas perkataan pria itu.
“Enggak bisa nyebutin, ‘kan?” tanya Egi retoris. “Okay, next. Which--” Pertanyaan Egi terputus karena HP dalam saku celananya bergetar. Dia memilih menjawab telepon itu daripada melanjutkan ucapannya.
“Hai, Jes! How are you? Udah. Saya lagi di kafe. Hah? Apa, Jess? Enggak kedengaran. Ooooh, itu. Nanti saya pikirin lagi, ya. Mau nyantai-nyantai dulu soalnya. Apa? Putus-putus. Sinyal kamu jelek banget kayaknya. Oooh. Kalau mau ketemu, ke rumah aja. Saya males keluar. Ya, terserah dia maunya kapan. Saya, mah, stand by aja di rumah. Siap. See you.”
Melihat Egi bicara di telepon rupaya menjadi hiburan yang menyenangkan untuk Afi. Terbukti, sejak awal mendengar sapaan Egi, dia sudah mengulum senyum. Bahkan saat Egi kesulitan mendengar suara lawan bicaranya, Afi malah tertawa. Terutama saat Egi dengan menyalahkan buruknya sinyal si penelepon. Padahal bisa jadi sinyalnyalah yang buruk karena berebut dengan puluhan manusia di kafe ini.
“Kamu enggak mau nanya saya dapat telepon dari siapa?”
Pertanyaan itu kembali mendatangkan senyum di wajah Afi. Wanita itu memajukan badannya, lalu menumpukan siku kanannya di meja untuk menopang dagu. “Teman, ‘kan?”
“Bukan. Cuma rekan sesama profesi. Dia tau kalau saya pulang dari Kalimantan, terus nawarin masuk ke lawfirm-nya.”
“Oh, ya? Bagus, dong! Terus, kamu terima?”
Egi menggeleng. Tepat ketika itu seorang karyawan kafe datang mengantarkan pesanan. “Saya mau memastikan sesuatu dulu.”
“Apa? Gaji?”
“Kalau soal itu saya udah tau. By the way, dalam dunia lawyers enggak ada istilah gaji, ya, Dek Rosmalina. Mungkin ada di beberapa tempat, tapi enggak umum. Pendapatan kami disebut honorarium. Nominalnya enggak menentu. Tergantung kesepakatan sama client. Lawyers yang gajinya tetap itu biasanya bekerja khusus untuk satu perusahaan besar. Kalau kayak saya, ya, nyebutnya royalti.”
Afi berterima kasih karena Egi meluruskan pemahamannya yang salah. Meski begitu, Afi tidak kehilangan fokus dari pembahasan sebelumnya, yakni soal sesuatu yang ingin dipastikan Egi sebelum menerima tawaran pekerjaan.
“Terus apa kalau bukan uang?”
“Kamu dinas di rumah sakit mana?”
Afi mengernyit. Menurutnya, pertanyaan Egi sudah keluar jalur. Bukankah mereka sedang membahas tawaran pekerjaan untuk Egi? Lantas, kenapa sekarang pria itu membahas tempat kerjanya?
Kernyitan di kening Afi terurai dengan sendirinya. Dia mengambil kesimpulan bahwa Egi sedang mengalihkan pembicaraan. Mungkin pria itu merasa tidak nyaman ditodong banyak pertanyaan.
“Citra Husada.” Afi menjawab sambil mengaduk orange juice menggunakan sedotan.
“Good.” Egi menjentikkan jari dan tersenyum puas. “Kalau gitu, besok saya konfirmasi ke Jessica kalau saya bakal gabung di lawfirm-nya.”
“Hah?” Afi mengernyit bingung. “Maksudnya?”
Kemarin Afi gagal memahami maksud ucapan Egi. Apalagi pria itu juga enggan menjelaskan, sengaja ingin membuat Afi penasaran. Semua teka-teki itu terang benderang pagi ini.“Loh? Kamu mau ke mana? Mau jenguk orang?”Afi heran melihat Egi memarkir mobil di halaman rumah sakit. Bahkan tepat di sebelah mobilnya. Dari rumah, mereka berangkat beriringan. Namun, Afi tidak menyangka bahwa Egi akan mengikutinya sampai ke sini.Ya, Afi memang sempat salah paham. Dia mengira bahwa Egi nekat membuntutinya bekerja agar tidak menyeleweng. Maklum, kemarin pria itu benar-benar menegaskan bahwa Afi adalah miliknya. Bahkan Egi tak sungkan melarang Afi dekat-dekat dengan pria lain.Afi merasa beruntung karena prasangka tadi hanya tersimpan dalam hati. Seandainya tadi mulutnya frontal menuduh Egi membuntuti karena over possesive, maka Afi yakin tidak dapat menanggung malu.“Kantor saya di sana.” Egi menunjuk ruko tiga lantai di sebelah rumah sa
“Pagi!” Afi masuk ke markas IT sambil menyapa anak buahnya seperti biasa.“Loh? Udah masuk, Bu?” Salah satu anak magang yang tadinya bermain game mempertanyakan kemunculan Afi.“Iya. Kok, udah masuk?” Pria berkacamata yang berdiri memegang mug beruap ikut bertanya. “Padahal rencananya, nanti sore kita semua mau ke rumah Ibu,” tambahnya. Kemudian melangkah menuju meja yang berada tepat di samping ruangan Afi.“Saya udah enggak punya rumah. Jadi, sekarang udah waktunya ngumpulin pundi-pundi buat beli rumah baru,” jawab Afi sambil berjalan menuju ruangannya. Namun, begitu melewati meja pria berkacamata tadi, Afi mendadak berhenti. Dia menoleh, menatap anak magang yang duduk di samping dispenser. Anak itu kembali fokus bermain game.“Itu namanya siapa? Saya lupa,” tanya Afi pada pria berkacamata sambil menunjuk si anak magang.“Tito,” jawab si pria.Kemudian Afi
Afi memejamkan mata. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Kegiatan itu diulangi sebanyak tiga kali, barulah pikirannya terasa tenang.Meski tidak benar-benar merasa plong, setidaknya Afi mendapatkan jalan keluar. Dia bangkit dengan tenang, lalu mengambil tas dan meninggalkan ruangan.“Jer!” panggilnya saat berhenti di depan meja pria berkacamata. “Hari ini saya enggak jadi masuk. Tolong handle kerjaan yang berhubungan sama saya, ya. Saya harus pulang. Mama saya datang ke tempat tinggal yang baru. Enggak enak kalau saya biarin beliau sendirian,” terangnya tenang tanpa ada yang ditutupi.Afi telah berhasil mengurangi kadar kepanikan yang sempat menguasai dirinya. Dia tidak ‘gerasa-gerusu’ seperti saat mendengar berita rumahnya terbakar. Dia menyadari bahwa tingkat urgensi situasi kali ini tidak semendesak kemarin. Mamanya hanya berkunjung ke rumah. Bukankah tidak ada yang salah dengan niat baik itu?Awalnya, hal yang membuat Afi panik adala
Afi mencium tangan seorang wanita paruh baya yang baru saja menuruni taksi online. Wanita itu adalah Kikan, mamanya.Meskipun sebagian besar rambutnya sudah memutih, keriput di wajah Kikan tidak terlalu kentara. Tubuhnya tidak gemuk dan tidak kurus. Tidak ada lemak di perut dan lengan atas yang menggelambir. Bisa dibilang masih terlihat kencang. Punggungnya masih tegak dan caranya berjalan tidak menunjukkan masalah persendian di lutut. Bahkan dia masih mengenakan heels lima senti. Dia terlihat sangat bugar untuk ukuran wanita berusia 52 tahun.“Enggak sama Papa?” tanya Afi setelah mengintip kursi belakang taksi yang tidak lagi berpenghuni.“Enggak. Papamu lagi sibuk banget.”Sebenarnya, Afi tidak hanya memeriksa keikutsertaan papanya. Dia was-was menunggu, apakah sopir akan keluar dan mengeluarkan koper dari bagasi atau tidak.Diam-diam, Afi mengembuskan napas lega karena sopir melajukan mobil tanpa mengeluarkan apa pun dari bagasi. Sementara itu, m
Afi dan Egi was-was menunggu keputusan Kikan. Jika Afi memilih pasrah pada apa pun perintah mamanya nanti, Egi justru mempersiapkan diri untuk menentangnya. Tekatnya sudah bulat. Mantap. Dia tidak akan melepaskan Afi, sesulit apa pun keadaannya.Egi belum pernah seingin ini memiliki wanita. Dia tidak tahu, dorongan apa yang membuatnya enggan melepaskan Afi. Padahal Afi bukanlah orang yang baru dikenalnya. Mereka terikat keluarga dan cukup sering berjumpa. Namun, kebersamaan kemarin membawa dampak besar pada kehidupannya. Dia seolah terbelenggu oleh rantai yang tidak kasat mata. Belenggu itu mengikatnya dengan sang keponakan.“Kamu bisa menjaga kepercayaan Mbak?” tanya Kikan pada Egi.Alih-alih menganggukkan kepala agar segalanya lebih mudah, Egi malah menggeleng. “Enggak, Mbak. Saya enggak mau menjaga kepercayaan orang lain. Nyusahin.”Afi berdeham amat pelan karena kerongkongannya kesulitan menelan ludah. Rasanya sudah seperti menelan benda kasat. Haus.
Kikan hendak mendorong pintu mobil, tapi batal karena teringat sesuatu. Dia segera memutar badan menghadap si sopir.“Apa yang mau kamu lakukan?” tanyanya.“Soal?” Sebelah alis Egi terangkat.“Tiara. Kamu enggak berniat menyatukan mantan dan anak Mbak di bawah naungan atap yang sama, ‘kan?” Kikan tidak perlu mendengar soal cinta dari mulut adik sepupu dan putrinya. Melihat bahasa tubuh keduanya sudah cukup untuknya mengambil satu kesimpulan. Keduanya jatuh cinta.Selama 52 tahun, Kikan sudah melewati banyak masa dan bergaul dengan orang-orang yang membawa ragam kisah cinta. Cinta tidak melulu perkara pandangan pertama. Ada cinta yang baru bertumbuh setelah 20 tahun bersahabat karib. Ada pula cinta yang berawal dari kebencian. Dalam kisah Afi dan Egi, mungkin keduanya belum menyadari. Mereka hanya mengikuti dorongan hati. Si pria penuh obsesi dan si wanita tidak ingin melepaskan diri. Keinginan keduanya untuk tetap bersama me
Egi dan Afi berjalan bersisian menuju ruang tamu. Keduanya sama-sama diam. Bedanya, Afi menatap lurus ke depan, sedangkan Egi menengok lurus ke samping. Tepatnya, Egi sedang memandang keponakannya. Namun, jenis tatapannya bukan memuja, melainkan tanda tanya.Sadar dipandangi, Afi pun merasa risi. Meski begitu, dia tidak menampakkan sikap kikuk. Tanpa menoleh dia bertanya tenang, “Kenapa, sih? Saya cantik banget, ya?” “Biasa aja.” Egi menolak jujur. Namun, dia enggan merotasi kepala dan memindahkan poros pandangannya. “Terus, kenapa melototin saya terus?”“Saya enggak melotot. Biasa aja.” “To the point aja. Kamu mau ngomong apa?” Afi berhenti dan merotasikan tubuh menghadap Egi.Melakukan hal serupa, Egi menelengkan kepala dan menggumam panjang. “Kalau saya enggak salah ingat, kemarin kamu bilang enggak doyan makanan apa pun, apalagi yang berbahan ikan. Benar enggak?”Afi mengangguk. “Kamu bingung kenapa saya mau makan pempek?” teba
Suasana di rumah ruang tamu mendadak hening. Afi menjadi pusat perhatian karena menunduk terlalu dalam.“Kenapa diam?” tanyanya. Wanita itu membunuh keheningan dalam keadaan menunduk.Berhubung tidak ada jawaban, Afi berupaya keras menormalkan ekspresi wajahnya. Dia juga tidak lupa memasang senyum terbaik sebelum mendongak.“Lanjutkan aja. Saya enggak apa-apa,” ucapnya seolah baik-baik saja.Egi tidak bodoh. Dia paham betul bahwa Afi berbohong. Binar mata yang menyiratkan luka itu membuatnya dirundung perasaan bersalah.Ingin rasanya Egi berlutut pada detik itu juga. Memohon maaf dan meluruskan maksud yang sebenarnya. Namun, egonya terlalu tinggi. Menistakan harga diri di depan mantan yang pernah menyakiti bukanlah pilihan satu-satunya. Egi memilih untuk melanjutkan misinya mengusir Tiara.“Baju-baju kamu sudah dikemasi. Cek aja. Siapa tau ada yang belum dimasukkan,” ucapnya dingin.Tidak ada lagi n
Dalam perjalanan pulang, keheningan melanda keduanya. Afi ingin sekali berterima kasih karena Egi begitu peka dengan keadaan alerginya. Kalau saja pria itu tidak langsung membawanya ke klinik, mungkin obat pun tidak akan mempan. Dia pasti tidak akan bisa beraktifitas dengan tenang karena pengaruh rasa gatal.Sayangnya, niat mengucapkan terima kasih itu urung dilafalkan. Selain karena ekspresi Egi tidak enak dilihat--terlalu flat dan kaku, pria itu juga bungkam sejak di klinik. Afi curiga bahwa pria itu menyimpan kekesalan kepadanya.Sesampainya di rumah, keduanya diserbu Ani dan Yati yang ternyata belum pulang, padahal sekarang sudah jam 7 malam. Mereka disambangi tepat setelah melangkahi pintu masuk.“Kok, baru pulang, sih, Mas-Mbak? Kalian enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Ani sambil memindai Egi dan Afi dari atas ke bawah.Afi tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Kita enggak kenapa-kenapa, ko
“Jangan lama-lama. Kalau udah selesai, cepat pulang. Nanti kalau sakit kamu sendiri yang susah.” Begitulah pesan Egi sebelum meninggalkan warung tenda. Dia telah menandaskan sepiring nasi, ayam penyet dan lalapan, serta teh hangat. Ah, jangan lupakan setengah mangkuk ronde milik Afi. Dia meminta Afi pulang bersamanya. “Soal pembalut, kalau enggak urgent belinya besok aja. Titip ke Bu Ani. Mini marketnya masih jauh, ‘kan? Kamu bisa kebasahan kalau nekat ke sana jalan kaki.” Afi menggeleng, menolak ajakan dan bujuan Egi. “Saya mau ke apotek bentar. Cari obat alergi,” ungkapnya jujur. “Kamu alergi apa?” Pria itu kelihatan cemas dan panik. Memindai Afi dari kepala sampai ujung kaki. Afi menggeleng. “Sekarang belum. Enggak tau nanti.” Jawaban yang diberikan sambil mengunyah itu membuat Egi mengerutkan kening. “Maksudnya?” Tanpa menatap Egi, Afi pun menjawab. “Saya alergi dingin.” Mendengar informasi itu, kerutan di kenin
“Yaaaah ....” Kedua bahu Afi merosot lesu ketika membuka pintu. “Hujan ternyata.” Wajahnya berubah cemberut.Afi tidak tahu, material apa yang digunakan untuk membangun rumah megah ini sampai bunyi hujan deras pun tidak terdengar di lantai dua.“Duh, mana lagi lapar banget ini,” keluhnya sambil melangkah ke ujung teras. Memeriksa lebih dekat, seberapa besar intensitas air yang berguguran di bumi.Puas dengan tidur tambahan sampai jam 5 sore, perut Afi pun terasa amat sangat kosong. Dia heran, seberapa keras kerja metabolisme tubuhnya saat tidur sampai bangun-bangun sudah lapar lagi.Sebenarnya wajar, sih, kalau dia lapar. Dia, ‘kan, melewatkan makan siang.Sayangnya, ketika bangun tadi, baik teh ataupun kudapan ringan di meja sudah tidak ada. Mungkin dibereskan oleh Ani.Afi ingin makan nasi, tapi khawatir lauk pauknya belum tersedia. Ini, ‘kan, belum jam makan malam. Dia menebak kalau Ani dan
“Jadinya nonton apa, nih, Mbak?” tanya Ani yang menyuguhkan sepiring pastel panas, potongan buah melon, dan teh panas ke meja.“Korea, Bu,” jawab Afi yang kini mengatur channel TV melalui remote di HP-nya.“Waduuuh. Enggak India aja, Mbak? Biar bisa nyanyi sama joget-joget.”Afi tertawa. “Emangnya Ibu punya rekomendasi film India apa?”“Chori-chori aja, Mbak. Rame, tuh. Cerita suami setia, tapi disuruh ‘asoy-geboy’ sama perempuan nakal.”Afi semakin tergelak. Sedikit tidak menyangka kalau wanita paruh baya yang lebih suka pakai daster itu mengetahui berbagai macam istilah yang menjurus ke arah seks bebas.“Oh, iya, Mbak. Mas Egi udah pulang, tuh.”Tawa Afi langsung berhenti. “Enggak nyariin saya, ‘kan?”“Nyariin, lah. Saya bilang aja lagi di sini.”Afi menghela napas, lalu meningkatkan volume TV. Mendengar na
Sepertinya Egi benar-benar kesal. Saat bangun tidur, dia tidak menyapa ataupun melirik Afi. Meloyor begitu saja ke kamar mandi.Seolah belum cukup, Egi pun enggan sarapan bersama, padahal Afi sudah menunggunya di kitchen island. Egi hanya menyeruput kopi sambil berdiri, menjumput sandwich, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.“Lagi berantem, ya, Mbak?” tanya Ani yang menyaksikan dinginnya hubungan Afi dan Egi.Afi hanya merespons dengan senyum seadanya. Menurutnya, pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Ani bisa mengambil kesimpulan sendiri.“Bu Ani hari ini ke pasar enggak?” tanyanya, mengalihkan topik.Rencananya, jika Ani ke pasar, Afi ingin ikut. Refreshing. Dia malas nonton ke bioskop sendirian.“Kayaknya enggak, deh. Bahan di dapur masih lengkap,” jawab Ani sembari mengambil cangkir kopi bekas Egi. “Ini saya minum aja, ya, Mbak. Sayang kalau dibuang. Mubazir,” ucapnya sambil memperlihatkan i
Setelah racauan Afi berakhir, suasana kamar sempat disinggahi keheningan. Egi yang masih berbaring menatap wanita itu sambil mengerjap. Cukip lama pria itu terpaku hingga beberapa saat kemudian, tawanya meledak sampai terpingkal-pingkal.Melihat Egi tertawa begitu lepas, Afi pun mengernyit. Bingung. Otaknya berpikir keras. Menebak satu per satu kata yang sebelumnya dia ucapkan. Di mana letak kelucuannya?Sebelum Afi sempat bertanya, pria itu bangun dan duduk menghadap dirinya. Setelah tawanya reda, Egi pun bertanya, “Jadi, kamu mau menikah sama saya?”Kerutan di kening Afi semakin bertambah. Kali ini bukan karena bingung, melainkan tersinggung.Jadi, pria itu hanya bercanda dalam menyematkan gelar ‘calon istri saya’ saat bicara dengan Tiara di telepon tadi? Jadi, pria itu hanya ingin membuat Tiara cermburu? Pria itu ingin mempermainkannya?Rasanya Afi ingin meledak saat itu juga. Dia ingin meminta klarifikasi dengan cara yan
Jam digital di nakas sudah menunjukkan pukul 01:15. Seharusnya, pemilik ruangan sudah melayang ke negeri mimpi. Kenyataannya, sepasang penghuninya malah sibuk bersitatap. Berbaring miring di ranjang, saling berhadapan.“Kenapa harus pegangan tangan, sih?” tanya si wanita. Matanya tak mengerjap sedetik pun, terus menelisik lensa pekat di depannya.“Kamu mau yang lebih?” goda si pria sambil mengerling jail.“Enggak!” tegas si wanita sambil melotot ringan. Membuat si pria tertawa pelan.Saat ini, jemari keduanya saling bertaut di atas guling yang menjadi pembatas wilayah masing-masing. Guling itu tadinya diletakkan karena si pria terus saja menyerang wanitanya dengan ciuman menggebu. Kata si wanita, si pria tidak boleh melewati batas jika ingin dirinya menetap di kamar itu.“Besok mau ke mana?”“Tadinya, sih, mau nonton bioskop. Mumpung kamu enggak ada.”Si pria mengerutkan keni
“Egi, please ....”Afi berupaya keras menarik kepala dan mendorong dada Egi. Gila! Dia nyaris kehilangan napas. Egi benar-benar menghukumnya!Sekitar jam setengah sepuluh malam, Egi tiba di rumah. Sempat menengok Afi ke kamar tamu, pria itu keluar lagi untuk menepati janji pada Tiara.Entah apa yang mereka bicarakan, tapi durasinya tidaklah lama. Mungkin tidak sampai sejam, Egi sudah kembali ke kamar tamu, menjemput Afi.Ya, menjemput! Pria itu menggendong Afi ke kamar atas, lalu mencium bibirnya secara brutal. Katanya, itu adalah hukuman karena membuatnya khawatir selama di Riau.“Kamu tau, gara-gara kamu, saya enggak keruan selama di bandara. HP saya sampai kececer,” ucap Egi dengan napas terengah sebelumkembali membubuhkan kecupan menggebu.Sebenarya bukan hanya Afi yang mengalami defisit oksigen dalam paru-paru, Egi pun sama. Namun, gejolak rindu yang begitu kuat membuatnya enggan melepaskan bibir itu barang
Afi merapatkan punggung ke sandaran. Napasnya dihela dengan pelan dan cukup dalam. Rasanya, ada satu beban besar yang menyesakkan dadanya. Entah apa.“Pertama, saya mau tanya dulu sama kamu. Boleh?”Tiara mengangguk. Kemudian mengambil piring puding. Bicara panjang lebar ternyata tidak hanya membuat kerongkongannya kering, tapi isi perutnya juga ikut terkuras.“Apa selama pacaran, kalian pernah berhubungan badan?”Pertanyaan Afi membuat puding yang ditelan Tiara keluar dari saluran pencernaan. Bahkan sepertinya tersesat ke saluran pernapasan. Wanita itu tersedak cukup parah sampai harus memukul-mukul dadanya.Anehnya, Afi tidak panik sedikit pun melihat reaksi tubuh Tiara. Dia diam saja melihat wanita itu terbatuk-batuk. Bahkan dia sudah bisa menarik satu kesimpulan dari reaksi itu.“Okay, enggak usah dijawab,” kata Afi setelah Tiara minum. “Saya udah dapat jawabannya.”Tiara menelan lud