Dua pasang mata itu saling pandang. Sorot si pria terlalu sulit dimaknai, sedangkan si wanita tampak berkaca-kaca. Ada luka yang tersirat dari genangan air di dalam sana. Namun, ada harapan yang juga terpancar di sana.
Sunyi. Tidak ada suara yang mengganggu mereka selain embusan napas pribadi. Bahkan tidak ada yang bergerak selain organ dalam tubuh yang tetap beroperasi. Dari luar, penampakan keduanya mirip dengan maneken pria dan wanita yang saling bersitatap.
“Saya jelaskan semuanya satu per satu.” Suara Egi menelan kesunyian. “Tapi, enggak berdiri kayak gini.” Tangan kanannya mengayun dan membelai rambut Afi. “Kamu yang pilih; balik lagi kayak tadi—rebahan di ranjang—atau isi perut? Saya lapar.”
Afi tidak yakin Egi benar-benar lapar. Ekspresi saat mengatakan itu tidak seperti orang yang perutnya keroncongan. Terlalu flat.
“Maaf.” Afi menangkap tangan yang mengelus pipinya. “Saya enggak bisa makan sambil bicara serius.” Dia menurunkan dan menjauhkan tangan pria itu. “Saya juga enggak minat rebahan lagi.” Kakinya mundur selangkah. “Jadi, kalau kamu enggak niat ngasih jawaban, jangan ngasih harapan.”
Egi maju untuk menjangkau wanita itu lagi. Sayangnya, Afi justru semakin mundur. Dia berkelit saat Egi berusaha memegang pundaknya.
“Saya sudah bilang, ‘kan, kalau saya bakal jelasin satu per satu? You can trust me.”
“Saya mau percaya, tapi ....”
Tepat ketika kalimat menggantung itu berhenti, Egi menarik pinggang Afi dalam sekali hentak. Akibat ketidaksiapannya, dada Afi menumbuk perut Egi yang ternyata cukup keras. Tabrakan fisik itu meninggalkan sedikit rasa sakit di dadanya.
“Kalau kamu enggak bisa pilih tempat, okay, saya yang pilih,” kata Egi.
Sejurus kemudian tubuh Afi telah berpindah ke gendongan Egi. Gerakan pria itu sangat tidak terbaca sehingga Afi tak sempat menghindar.
“Kamu mau bawa saya ke mana?” tanya Afi panik.
Awalnya, dia mengira bahwa Egi akan membawanya ke pilihan pertama, yakni kembali ke tempat tidur. Namun, langkah pria itu malah menganyun ke arah sebaliknya. Menuju kamar mandi.
Egi enggan menjawab. Menatap pun tidak. Wajahnya mengeras menahan kekesalan. Lebih tepatnya, dia kehilangan kesabaran.
Egi bukan tipe pria yang sabar menghadapi wanita. Dia tidak pandai membujuk. Satu-satunya yang bisa dilakukan untuk mempermudah keadaan adalah dengan bertindak. Ya, inilah yang dilakukan Egi sekarang.
Afi terkinjat saat Egi menendang pintu kamar mandi. Meski terkesan kasar, Afi paham bahwa pria itu hanya tidak bisa menggunakan tangannya untuk membuka pintu. Maklum, kedua tangan itu sudah penuh untuk menggendongnya. Namun, bukankah Egi bisa menyuruhnya untuk membantu membuka pintu? Apakah pria itu sudah terlalu malas untuk menggunakan mulutnya?
Egi kembali menendang pintu sampai menutup. Suara gebrakan yang ditimbulkan membuat Afi menutup mata dan mengangkat bahunya. Jujur, dia merasa takut.
Afi diturunkan di depan meja wastafel. Awalnya dia mengira bahwa Egi akan berhenti sampai di situ. Ternyata tidak. Egi memeluk pinggangnya, mengangkat tubuhnya, dan mendudukkan di meja wastafel.
Afi merasa was-was. Takut meja itu tidak sanggup menopang bobot tubuhnya. Namun, setelah mengamati meja yang terbuat dari keramik itu, Afi merasa bahwa kekhawatirannya tidak berdasar. Dia hanya terlalu overthinking.
Meja itu menyatu dengan tembok. Tebal dan kokoh. Keramiknya pun tidak akan retak hanya karena diduduki wanita berbobot 45 kilogram. Terlebih lagi Egi masih melingkarkan tangan di pinggangnya. Afi pun masih berpegangan di pundak si pria. Jadi, sekalipun meja itu roboh, Egi masih bisa menyelamatkannya.
“Dari sekian banyak tempat, kenapa harus kamar mandi?” tanya Afi sambil menatap mata Egi. Kali ini dia tidak perlu repot mendongak. Wajahnya dan Egi sudah sejajar.
“Saya suka tempat yang sempit, dingin, dan banyak air,” jawab Egi yang juga menatap mata lawannya.
Keheningan sempat menghinggap karena keduanya sama-sama tak berucap. Beberapa detik kemudian, barulah Egi menyambung topik sebelumnya.
“Tujuan saya buka aib di hadapan kamu bukan karena saya mau tubuh kamu. Saya enggak menampik kalau saya menyukai seks. Bisa dibilang, saya pecandu. Tapi, saya enggak bermaksud menjadikan kamu seperti perempuan-perempuan yang saya ceritakan. I know you’re different.”
Afi memperhatikan setiap detail ekspresi yang tercipta setiap Egi mengucap kata. Dia mencoba meneliti, adakah kebohongan yang terselip di sana. Hasilnya, tidak ada.
“Tujuan saya cuma satu, saya mau kamu mengetahui sisi buruk kehidupan saya,” lanjutnya.
“Tapi, buat apa?” tanya Afi tak habis pikir.
“You’re mine. Saya mau kamu mengetahui segalanya tentang saya. Dimulai dari sisi hitam dan kotor.”
Afi menggeleng. Logikanya masih tidak menerima tujuan Egi.
“Kamu ingat perempuan di kamar bawah?”
Afi yakin bahwa orang yang dimaksud adalah Tiara. Dia mengangguk.
“Dulu, apa yang saya perlihatkan ke dia cuma sisi baik saya. Saya berhenti merokok, minum, dan balapan—semuanya demi terlihat sempurna di mata dia. Tujuannya apa? Supaya dia enggak punya celah buat mengakhiri hubungan sama saya. Saya enggak mau dicampakkan.”
Afi merasakan kesungguhan dalam kalimat terakhir Egi. Selain itu, ada luka yang ikut dia rasakan. Dia seperti dapat merasakan kepedihan yang menyiksa Egi saat Tiara mencampakkannya.
Ah, sebenarnya Afi tidak tahu siapa yang mencampakkan. Namun, berdasarkan cerita barusan, dia mengambil kesimpulan bahwa ada kemungkinan Tiaralah yang meninggalkan Egi.
“Sekarang saya sadar bahwa apa yang saya lakukan dulu adalah kesalahan. Saya ingin terlihat sempurna agar bisa dicintai. Saya lupa bahwa manusia bisa melupakan seribu kebaikan hanya karena satu kecacatan.”
“Well, intinya, saya enggak mau kesalahan itu terulang lagi. Saya mau wanita yang saya miliki enggak meninggalkan saya karena satu kecacatan. Saya mau—”
“Tunggu-tunggu!” Afi menginterupsi sambil mengangkat tangan kanan. “Kamu ngomong kayak gitu seolah saya bersedia jadi milik kamu.”
“Why not? Kamu memang mau, ‘kan?”
Afi ingin membantah. Namun, ketika mulutnya menganga, suaranya malah tidak keluar. Dia justru lupa mau berkata apa.
“Kenapa? Mau menyangkal?” tebak Egi. “Kamu enggak bisa nolak saya, Rosmalina.”
“Afi. Panggil saya Afi.”
“Enggak. Saya suka Fidyana atau Rosmalina.” Egi menunjukkan sisi egoismenya.
“Intinya, saya enggak kasih kamu pilihan ‘bersedia’ atau ‘enggak’. Saya sudah memilih kamu.”
“Egois!”
“It’s me,” sahutnya bangga. “Makanya saya bilang kamu enggak punya pilihan karena saya sudah menentukan dan kamu enggak bisa nolak.”
Afi tidak tahu lagi harus berkata apa. Dia memang tidak memiliki bakat untuk berdebat dan mempertahankan pendapat.
“Masalah ini udah clear, ‘kan? Kalau udah, saya lanjut ke masalah ke dua tentang definisi masa lalu versi saya.”
Perpindahan topik membuat rasa ketertarikan Afi terisi kembali. Dia mendengarkan dengan antusias.
“Buat saya, masa lalu itu identik dengan satu masa, satu kejadian, satu perbuatan di masa lalu yang enggak mau kita ulangi lagi. Kalau kamu tanya, apakah ‘kemarin’ termasuk masa lalu, jawabannya tergantung. Kalau ‘kemarin’ itu membahagiakan, saya enggak mau sebut itu masa lalu.”
“Kalau bukan masa lalu, terus apa?”
“Kenangan.”
“Kenangan, ‘kan, bagian dari masa lalu juga.”
“Kamu tanya versi saya, ‘kan? Ya, beginilah versi saya.”
Afi kembali dibuat tak berkutik. Persoalan perspektif memang sulit diselaraskan.
“Back to topic. Kalau pertanyaan kamu soal ‘kemarin’ itu menyangkut cerita saya soal seks, saya berani bilang kalau itu cuma masa lalu. Saya enggak mau ngelakuin itu lagi.”
Untuk pertama kalinya Afi memutar bola mata di hadapan lawan bicara. Selama ini, Afi selalu mengutamakan sopan santun. Meskipun tidak sependapat, dia akan tetap menghargai orang lain dengan cara menjaga mimik wajahnya.
“Ya, iya, lah, kamu enggak mau ngelakuin itu lagi. Orangnya aja ketinggalan di Kalimantan, ‘kan?”
“For your information, saya bisa bawa perempuan itu kalau saya mau. So, saya enggak mau lagi bukan karena ‘rekan’ saya ketinggalan di Kalimantan, tapi karena komitmen.”
“Komitmen?”
“Ya.” Egi mengangguk. “Komitmen untuk enggak ngancurin akhlak perempuan Kalimantan lagi,” tambahnya dengan nada bercanda.
Kedua bahu Afi merosot spontan. Dia kecewa. Jawaban Egi barusan bukanlah yang dia harapkan.
“Next and last answer. Kamu bingung status kita apa? Status kamu adalah milik saya. Saya pertegas sekali lagi, you ... are ... mine. And for your information, saya orang yang posesif. Saya enggak suka berbagi. So, saya enggak akan membiarkan laki-laki lain mendekati kamu. Sudah jelas?”
“Kalau saya milik kamu, kamu milik siapa?”
“Milik semua perempuan yang menginginkan saya.”
Egi menurunkan Afi dari meja wastafel. Tanpa melepaskan pinggang wanitanya, Egi bertanya, “Mau mandi sekarang?”Afi menggeleng pelan. Sebenarnya dia sedikit takut mendengar pertanyaan semacam itu. Entah kenapa pikirannya menjurus ke hal-hal negatif. Dia takut Egi akan mengajaknya mandi bersama hingga melakukan perbuatan yang ujungnya sudah terduga.Setelah mengetahui sekelumit sisi keberengsekan pamannya, insting kewaspadaan Afi sedikit meningkat. Dia tidak hanya waspada pada Egi, tapi juga dirinya sendiri.Afi seorang wanita dewasa dan normal. Hormon yang berhubungan dengan seksualitasnya sudah menumpuk dan terkadang meraung-raung minta dilepaskan. Dia takut kalau hormon ini sewaktu-waktu akan meledak dan tak dapat dikendalikan gara-gara pancingan Egi.Sebenarnya, tidak hanya Egi yang memiliki sisi hitam yang berhubungan dengan seksualitas. Afi pun sama. Namun, Afi tidak seberani Egi. Dia takut mengungkapkan aib itu. Juga malu dan gengsi. Menurutnya, jika ai
Afi tidak habis pikir, kenapa Tuhan menjungkirbalikkan hidupnya semudah ini? Dalam kurun waktu kurang dari 12 jam, kehidupannya berubah drastis. Berawal dari kebakaran, sekarang hidupnya diatur oleh seorang pelobi gila. Sialnya lagi, Afi tidak pernah bisa membantah pria ini.Jika dahulu Afi akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih pakaian, sekarang tidak sampai 20 menit dia sudah keluar dari satu gerai dan membawa 10 setel pakaian. Bukan dia yang berbelanja, melainkan si pelobi gila. Dia hanya bermodalkan anggukan ketika pria itu memilihkan satu jenis pakaian. Setelah itu, semuanya berakhir di kasir.Berpindah ke gerai pakaian dalam, barulah Afi bebas memilih sendiri. Pria itu hanya menunggu di depan gerai sambil menjaga tas belanjaan. Bukan Afi yang melarangnya ikut, tapi dia sendiri yang tidak mau masuk.“Sorry! Haram buat saya masuk ke toko pakaian dalam perempuan.”Begitu katanya ketika menghentikan langkahnya sendiri. Afi hanya me
Kemarin Afi gagal memahami maksud ucapan Egi. Apalagi pria itu juga enggan menjelaskan, sengaja ingin membuat Afi penasaran. Semua teka-teki itu terang benderang pagi ini.“Loh? Kamu mau ke mana? Mau jenguk orang?”Afi heran melihat Egi memarkir mobil di halaman rumah sakit. Bahkan tepat di sebelah mobilnya. Dari rumah, mereka berangkat beriringan. Namun, Afi tidak menyangka bahwa Egi akan mengikutinya sampai ke sini.Ya, Afi memang sempat salah paham. Dia mengira bahwa Egi nekat membuntutinya bekerja agar tidak menyeleweng. Maklum, kemarin pria itu benar-benar menegaskan bahwa Afi adalah miliknya. Bahkan Egi tak sungkan melarang Afi dekat-dekat dengan pria lain.Afi merasa beruntung karena prasangka tadi hanya tersimpan dalam hati. Seandainya tadi mulutnya frontal menuduh Egi membuntuti karena over possesive, maka Afi yakin tidak dapat menanggung malu.“Kantor saya di sana.” Egi menunjuk ruko tiga lantai di sebelah rumah sa
“Pagi!” Afi masuk ke markas IT sambil menyapa anak buahnya seperti biasa.“Loh? Udah masuk, Bu?” Salah satu anak magang yang tadinya bermain game mempertanyakan kemunculan Afi.“Iya. Kok, udah masuk?” Pria berkacamata yang berdiri memegang mug beruap ikut bertanya. “Padahal rencananya, nanti sore kita semua mau ke rumah Ibu,” tambahnya. Kemudian melangkah menuju meja yang berada tepat di samping ruangan Afi.“Saya udah enggak punya rumah. Jadi, sekarang udah waktunya ngumpulin pundi-pundi buat beli rumah baru,” jawab Afi sambil berjalan menuju ruangannya. Namun, begitu melewati meja pria berkacamata tadi, Afi mendadak berhenti. Dia menoleh, menatap anak magang yang duduk di samping dispenser. Anak itu kembali fokus bermain game.“Itu namanya siapa? Saya lupa,” tanya Afi pada pria berkacamata sambil menunjuk si anak magang.“Tito,” jawab si pria.Kemudian Afi
Afi memejamkan mata. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Kegiatan itu diulangi sebanyak tiga kali, barulah pikirannya terasa tenang.Meski tidak benar-benar merasa plong, setidaknya Afi mendapatkan jalan keluar. Dia bangkit dengan tenang, lalu mengambil tas dan meninggalkan ruangan.“Jer!” panggilnya saat berhenti di depan meja pria berkacamata. “Hari ini saya enggak jadi masuk. Tolong handle kerjaan yang berhubungan sama saya, ya. Saya harus pulang. Mama saya datang ke tempat tinggal yang baru. Enggak enak kalau saya biarin beliau sendirian,” terangnya tenang tanpa ada yang ditutupi.Afi telah berhasil mengurangi kadar kepanikan yang sempat menguasai dirinya. Dia tidak ‘gerasa-gerusu’ seperti saat mendengar berita rumahnya terbakar. Dia menyadari bahwa tingkat urgensi situasi kali ini tidak semendesak kemarin. Mamanya hanya berkunjung ke rumah. Bukankah tidak ada yang salah dengan niat baik itu?Awalnya, hal yang membuat Afi panik adala
Afi mencium tangan seorang wanita paruh baya yang baru saja menuruni taksi online. Wanita itu adalah Kikan, mamanya.Meskipun sebagian besar rambutnya sudah memutih, keriput di wajah Kikan tidak terlalu kentara. Tubuhnya tidak gemuk dan tidak kurus. Tidak ada lemak di perut dan lengan atas yang menggelambir. Bisa dibilang masih terlihat kencang. Punggungnya masih tegak dan caranya berjalan tidak menunjukkan masalah persendian di lutut. Bahkan dia masih mengenakan heels lima senti. Dia terlihat sangat bugar untuk ukuran wanita berusia 52 tahun.“Enggak sama Papa?” tanya Afi setelah mengintip kursi belakang taksi yang tidak lagi berpenghuni.“Enggak. Papamu lagi sibuk banget.”Sebenarnya, Afi tidak hanya memeriksa keikutsertaan papanya. Dia was-was menunggu, apakah sopir akan keluar dan mengeluarkan koper dari bagasi atau tidak.Diam-diam, Afi mengembuskan napas lega karena sopir melajukan mobil tanpa mengeluarkan apa pun dari bagasi. Sementara itu, m
Afi dan Egi was-was menunggu keputusan Kikan. Jika Afi memilih pasrah pada apa pun perintah mamanya nanti, Egi justru mempersiapkan diri untuk menentangnya. Tekatnya sudah bulat. Mantap. Dia tidak akan melepaskan Afi, sesulit apa pun keadaannya.Egi belum pernah seingin ini memiliki wanita. Dia tidak tahu, dorongan apa yang membuatnya enggan melepaskan Afi. Padahal Afi bukanlah orang yang baru dikenalnya. Mereka terikat keluarga dan cukup sering berjumpa. Namun, kebersamaan kemarin membawa dampak besar pada kehidupannya. Dia seolah terbelenggu oleh rantai yang tidak kasat mata. Belenggu itu mengikatnya dengan sang keponakan.“Kamu bisa menjaga kepercayaan Mbak?” tanya Kikan pada Egi.Alih-alih menganggukkan kepala agar segalanya lebih mudah, Egi malah menggeleng. “Enggak, Mbak. Saya enggak mau menjaga kepercayaan orang lain. Nyusahin.”Afi berdeham amat pelan karena kerongkongannya kesulitan menelan ludah. Rasanya sudah seperti menelan benda kasat. Haus.
Kikan hendak mendorong pintu mobil, tapi batal karena teringat sesuatu. Dia segera memutar badan menghadap si sopir.“Apa yang mau kamu lakukan?” tanyanya.“Soal?” Sebelah alis Egi terangkat.“Tiara. Kamu enggak berniat menyatukan mantan dan anak Mbak di bawah naungan atap yang sama, ‘kan?” Kikan tidak perlu mendengar soal cinta dari mulut adik sepupu dan putrinya. Melihat bahasa tubuh keduanya sudah cukup untuknya mengambil satu kesimpulan. Keduanya jatuh cinta.Selama 52 tahun, Kikan sudah melewati banyak masa dan bergaul dengan orang-orang yang membawa ragam kisah cinta. Cinta tidak melulu perkara pandangan pertama. Ada cinta yang baru bertumbuh setelah 20 tahun bersahabat karib. Ada pula cinta yang berawal dari kebencian. Dalam kisah Afi dan Egi, mungkin keduanya belum menyadari. Mereka hanya mengikuti dorongan hati. Si pria penuh obsesi dan si wanita tidak ingin melepaskan diri. Keinginan keduanya untuk tetap bersama me
Dalam perjalanan pulang, keheningan melanda keduanya. Afi ingin sekali berterima kasih karena Egi begitu peka dengan keadaan alerginya. Kalau saja pria itu tidak langsung membawanya ke klinik, mungkin obat pun tidak akan mempan. Dia pasti tidak akan bisa beraktifitas dengan tenang karena pengaruh rasa gatal.Sayangnya, niat mengucapkan terima kasih itu urung dilafalkan. Selain karena ekspresi Egi tidak enak dilihat--terlalu flat dan kaku, pria itu juga bungkam sejak di klinik. Afi curiga bahwa pria itu menyimpan kekesalan kepadanya.Sesampainya di rumah, keduanya diserbu Ani dan Yati yang ternyata belum pulang, padahal sekarang sudah jam 7 malam. Mereka disambangi tepat setelah melangkahi pintu masuk.“Kok, baru pulang, sih, Mas-Mbak? Kalian enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Ani sambil memindai Egi dan Afi dari atas ke bawah.Afi tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Kita enggak kenapa-kenapa, ko
“Jangan lama-lama. Kalau udah selesai, cepat pulang. Nanti kalau sakit kamu sendiri yang susah.” Begitulah pesan Egi sebelum meninggalkan warung tenda. Dia telah menandaskan sepiring nasi, ayam penyet dan lalapan, serta teh hangat. Ah, jangan lupakan setengah mangkuk ronde milik Afi. Dia meminta Afi pulang bersamanya. “Soal pembalut, kalau enggak urgent belinya besok aja. Titip ke Bu Ani. Mini marketnya masih jauh, ‘kan? Kamu bisa kebasahan kalau nekat ke sana jalan kaki.” Afi menggeleng, menolak ajakan dan bujuan Egi. “Saya mau ke apotek bentar. Cari obat alergi,” ungkapnya jujur. “Kamu alergi apa?” Pria itu kelihatan cemas dan panik. Memindai Afi dari kepala sampai ujung kaki. Afi menggeleng. “Sekarang belum. Enggak tau nanti.” Jawaban yang diberikan sambil mengunyah itu membuat Egi mengerutkan kening. “Maksudnya?” Tanpa menatap Egi, Afi pun menjawab. “Saya alergi dingin.” Mendengar informasi itu, kerutan di kenin
“Yaaaah ....” Kedua bahu Afi merosot lesu ketika membuka pintu. “Hujan ternyata.” Wajahnya berubah cemberut.Afi tidak tahu, material apa yang digunakan untuk membangun rumah megah ini sampai bunyi hujan deras pun tidak terdengar di lantai dua.“Duh, mana lagi lapar banget ini,” keluhnya sambil melangkah ke ujung teras. Memeriksa lebih dekat, seberapa besar intensitas air yang berguguran di bumi.Puas dengan tidur tambahan sampai jam 5 sore, perut Afi pun terasa amat sangat kosong. Dia heran, seberapa keras kerja metabolisme tubuhnya saat tidur sampai bangun-bangun sudah lapar lagi.Sebenarnya wajar, sih, kalau dia lapar. Dia, ‘kan, melewatkan makan siang.Sayangnya, ketika bangun tadi, baik teh ataupun kudapan ringan di meja sudah tidak ada. Mungkin dibereskan oleh Ani.Afi ingin makan nasi, tapi khawatir lauk pauknya belum tersedia. Ini, ‘kan, belum jam makan malam. Dia menebak kalau Ani dan
“Jadinya nonton apa, nih, Mbak?” tanya Ani yang menyuguhkan sepiring pastel panas, potongan buah melon, dan teh panas ke meja.“Korea, Bu,” jawab Afi yang kini mengatur channel TV melalui remote di HP-nya.“Waduuuh. Enggak India aja, Mbak? Biar bisa nyanyi sama joget-joget.”Afi tertawa. “Emangnya Ibu punya rekomendasi film India apa?”“Chori-chori aja, Mbak. Rame, tuh. Cerita suami setia, tapi disuruh ‘asoy-geboy’ sama perempuan nakal.”Afi semakin tergelak. Sedikit tidak menyangka kalau wanita paruh baya yang lebih suka pakai daster itu mengetahui berbagai macam istilah yang menjurus ke arah seks bebas.“Oh, iya, Mbak. Mas Egi udah pulang, tuh.”Tawa Afi langsung berhenti. “Enggak nyariin saya, ‘kan?”“Nyariin, lah. Saya bilang aja lagi di sini.”Afi menghela napas, lalu meningkatkan volume TV. Mendengar na
Sepertinya Egi benar-benar kesal. Saat bangun tidur, dia tidak menyapa ataupun melirik Afi. Meloyor begitu saja ke kamar mandi.Seolah belum cukup, Egi pun enggan sarapan bersama, padahal Afi sudah menunggunya di kitchen island. Egi hanya menyeruput kopi sambil berdiri, menjumput sandwich, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.“Lagi berantem, ya, Mbak?” tanya Ani yang menyaksikan dinginnya hubungan Afi dan Egi.Afi hanya merespons dengan senyum seadanya. Menurutnya, pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Ani bisa mengambil kesimpulan sendiri.“Bu Ani hari ini ke pasar enggak?” tanyanya, mengalihkan topik.Rencananya, jika Ani ke pasar, Afi ingin ikut. Refreshing. Dia malas nonton ke bioskop sendirian.“Kayaknya enggak, deh. Bahan di dapur masih lengkap,” jawab Ani sembari mengambil cangkir kopi bekas Egi. “Ini saya minum aja, ya, Mbak. Sayang kalau dibuang. Mubazir,” ucapnya sambil memperlihatkan i
Setelah racauan Afi berakhir, suasana kamar sempat disinggahi keheningan. Egi yang masih berbaring menatap wanita itu sambil mengerjap. Cukip lama pria itu terpaku hingga beberapa saat kemudian, tawanya meledak sampai terpingkal-pingkal.Melihat Egi tertawa begitu lepas, Afi pun mengernyit. Bingung. Otaknya berpikir keras. Menebak satu per satu kata yang sebelumnya dia ucapkan. Di mana letak kelucuannya?Sebelum Afi sempat bertanya, pria itu bangun dan duduk menghadap dirinya. Setelah tawanya reda, Egi pun bertanya, “Jadi, kamu mau menikah sama saya?”Kerutan di kening Afi semakin bertambah. Kali ini bukan karena bingung, melainkan tersinggung.Jadi, pria itu hanya bercanda dalam menyematkan gelar ‘calon istri saya’ saat bicara dengan Tiara di telepon tadi? Jadi, pria itu hanya ingin membuat Tiara cermburu? Pria itu ingin mempermainkannya?Rasanya Afi ingin meledak saat itu juga. Dia ingin meminta klarifikasi dengan cara yan
Jam digital di nakas sudah menunjukkan pukul 01:15. Seharusnya, pemilik ruangan sudah melayang ke negeri mimpi. Kenyataannya, sepasang penghuninya malah sibuk bersitatap. Berbaring miring di ranjang, saling berhadapan.“Kenapa harus pegangan tangan, sih?” tanya si wanita. Matanya tak mengerjap sedetik pun, terus menelisik lensa pekat di depannya.“Kamu mau yang lebih?” goda si pria sambil mengerling jail.“Enggak!” tegas si wanita sambil melotot ringan. Membuat si pria tertawa pelan.Saat ini, jemari keduanya saling bertaut di atas guling yang menjadi pembatas wilayah masing-masing. Guling itu tadinya diletakkan karena si pria terus saja menyerang wanitanya dengan ciuman menggebu. Kata si wanita, si pria tidak boleh melewati batas jika ingin dirinya menetap di kamar itu.“Besok mau ke mana?”“Tadinya, sih, mau nonton bioskop. Mumpung kamu enggak ada.”Si pria mengerutkan keni
“Egi, please ....”Afi berupaya keras menarik kepala dan mendorong dada Egi. Gila! Dia nyaris kehilangan napas. Egi benar-benar menghukumnya!Sekitar jam setengah sepuluh malam, Egi tiba di rumah. Sempat menengok Afi ke kamar tamu, pria itu keluar lagi untuk menepati janji pada Tiara.Entah apa yang mereka bicarakan, tapi durasinya tidaklah lama. Mungkin tidak sampai sejam, Egi sudah kembali ke kamar tamu, menjemput Afi.Ya, menjemput! Pria itu menggendong Afi ke kamar atas, lalu mencium bibirnya secara brutal. Katanya, itu adalah hukuman karena membuatnya khawatir selama di Riau.“Kamu tau, gara-gara kamu, saya enggak keruan selama di bandara. HP saya sampai kececer,” ucap Egi dengan napas terengah sebelumkembali membubuhkan kecupan menggebu.Sebenarya bukan hanya Afi yang mengalami defisit oksigen dalam paru-paru, Egi pun sama. Namun, gejolak rindu yang begitu kuat membuatnya enggan melepaskan bibir itu barang
Afi merapatkan punggung ke sandaran. Napasnya dihela dengan pelan dan cukup dalam. Rasanya, ada satu beban besar yang menyesakkan dadanya. Entah apa.“Pertama, saya mau tanya dulu sama kamu. Boleh?”Tiara mengangguk. Kemudian mengambil piring puding. Bicara panjang lebar ternyata tidak hanya membuat kerongkongannya kering, tapi isi perutnya juga ikut terkuras.“Apa selama pacaran, kalian pernah berhubungan badan?”Pertanyaan Afi membuat puding yang ditelan Tiara keluar dari saluran pencernaan. Bahkan sepertinya tersesat ke saluran pernapasan. Wanita itu tersedak cukup parah sampai harus memukul-mukul dadanya.Anehnya, Afi tidak panik sedikit pun melihat reaksi tubuh Tiara. Dia diam saja melihat wanita itu terbatuk-batuk. Bahkan dia sudah bisa menarik satu kesimpulan dari reaksi itu.“Okay, enggak usah dijawab,” kata Afi setelah Tiara minum. “Saya udah dapat jawabannya.”Tiara menelan lud