Aku terbangun sambil merengganggkan otot-ototku. Entah kenapa tubuhku terasa lemas sekali, tidak biasanya aku bagun-bangun begini. Saat aku menoleh ke samping, aku terkejut ketika mendapati seorang lelaki sedang tertidur di sebelahku dengan bertelanjang dada. Bagian bawahnya ditutupi selimut.
OH MY GOD! Dia kan Bimo! Tetanggaku yang ganteng dan seksi itu? Kenapa aku tidur dengannya? Dia kan sudah punya istri?
Aku pun membuka selimutku, ternyata aku tidak mengenakan sehelai benang pun. ASTAGAAA! Apa yang kulakukan dengannya? Saat aku mengitari sekeliling kamar, aku baru sadar kalau ini bukan kamarku. TIDAAAK! Kenapa aku bisa di sini? Kemana istrinya?
Aku melihat ada pakaian perempuan yang berserak di atas lantai, segera aku turun dari atas kasur dengan hati-hati lalu buru-buru meraih pakaian di atas lantai dan buru-buru memakainya dengan hati-hati. Aku harus segera kabur dari sini sebelum istrinya melihatku di sini.
Setelah aku selesai memakai pakaian itu, tak sengaja kulihat tubuhku di cermin. Aku terbelalak saat melihat tubuhku berubah menjadi istri Bimo yang masih terlelap. Kenapa aku begini? Apakah jiwaku tertukar? Jika benar, di mana tubuhku sekarang? Apakah jiwa asli yang ada dalam tubuh ini telah bersemayam di tubuh asliku? Kenapa ini bisa terjadi?
Tapi entah kenapa aku senang. Senang karena pria yang sedang tertidur ngorok itu adalah seseorang yang diam-diam aku cintai dan aku impikan selama ini. Selama ini aku menyimpan perasaanku dalam-dalam karena sadar Bimo sudah punya istri. Tapi sekarang? Apakah ini keajaiban? OH! TIDAK!!!
***
Sejak aku bercerai dengan suamiku. Aku pindah ke tempat ini. Sebuah perumahan yang sederhana yang terletak di kawasan Sentul Bogor. Ternyata bercerai bukan hal mudah, aku hidup sendirian dan harus mencari nafkah sendiri. Untung aku belum memiliki anak dengan mantan suamiku. Jika sudah, aku pasti akan lebih kesusahan mengurusnya tanpa ayah.
Penderitaanku semakin lengkap saat sering mendengar suara pertengkaran antara suami istri di sebelah rumahku. Padahal suaminya tampan dan rajin bekerja, harusnya dia sebagai istri mestinya bersyukur memilikinya, tidak diajak ribut melulu. Ya, kudengar yang selalu mengajak ribut adalah istrinya.
Andai aku dulu tidak salah memilih suami. Mungkin aku akan bahagia, tidak akan terjadi perceraian seperti yang aku alami sekarang. Suamiku pemalas. Dia sering mabuk-mabukkan dan selingkuh dengan perempuan lain. Makanya aku meminta diceraikan saja.
Namaku Indah Pratiwi. Umurku saat ini 27 tahun. Rambutku panjang, kulitku putih. Jika kalian pikir aku ini seperti ibu-ibu muda, kalian salah. Malah dikantor tidak ada yang percaya kalau aku pernah menikah. Dulu aku menikah di umur 25 tahun. Sekarang aku bekerja sebagai sekretaris di perusahaan ternama di Jakarta. Tinggal di perumahan ini sebenarnya cukup menyusahkan, karena jarak ke kantor dari sini lumayan jauh. Beruntung aku memiliki mobil sendiri, jadinya meski jauh, aku bisa melewati jalan tol setiap harinya.
Begini ceritaku dimulai.
Suatu pagi, kudapati ban mobilku pecah saat hendak pergi bekerja. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba ban mobilku pecah. Mungkin karena diparkir di depan rumah hingga ada yang iseng memecahkannya. Atau memang dari kemarin pas pulang kerja, aku tidak menyadari kalau ban mobilku sudah pecah. Mungkin terkena paku. Entahlah.
Seorang pria dewasa berumur 35 tahun lewat di depan rumah. Melihat aku kesusahan mengganti ban serap, dia menghampiriku.
"Perlu bantuan?" katanya sambil tersenyum.
Aku terkejut sekaligus terpana dengan wajah tampannya. Rambutnya cepak, tubuhnya tinggi, lengannya sedikit berotot. Kulitnya agak sawo matang. Ukuran tubuhnya proposional. Tidak kurus dan tidak gemuk. Sekali orang melihatnya pasti mengira dia seorang tentara yang manis. Aku pun dengan senang hati dibantu olehnya. Dia pun membantuku mengganti ban serap mobilku dengan sempurna.
"Baru pindah ke sini?" tanya pria itu menyelidik.
"Iya," jawabku.
"Perkenalkan, saya Bimo. Tetangga sebelah," ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Ternyata dia tetangga sebelahku. Mungkin karena terlalu sibuk bekerja, aku tidak tahu siapa-siapa tetanggaku. Padahal sudah mau seminggu aku tinggal di sini. Aku pun menjabat tangannya. Sepertinya dia masih single. Karena tiap kali melihat rumahnya selalu sepi. Mungkin dia tinggal sendirian. Aku dengan semangat mengenalkan diri padanya.
"Panggil aku, Indah." jawabku.
Dia tersenyum. Senyumnya menawan sekali. Meluluhkan pertahanku yang hampir tidak percaya lagi dengan seorang lelaki.
"Ya sudah, saya pulang dulu," ucapnya lalu pergi ke arah rumahnya. Aku pun langsung naik ke mobil dengan senyum-senyum sendiri. Lalu kulajukan mobilku menuju tempat kerjaku di Jakarta. Saat mobilku melintasi jalanan tol, aku masih senyum-senyum sendiri, rasanya seperti kembali pada masa-masa SMA dulu, saat dimana kita baru mengenal seseorang dan langsung suka padanya pada pandangan pertama. Cinta monyet.
Akan tetapi pada malam harinya, saat aku pulang bekerja dan baru tiba di depan rumah dengan mobilku, kudengar ada teriakan pertengkaran di rumah Mas Bimo. Mobil sudah kuparkirkan di depan rumah. Anehnya aku diam saja di dalam mobil, belum mau turun karena ingin mendengar suara pertengkaran itu . Aku pun berusaha untuk mencuri dengar sebisanya.
"Aku mau pulang kampung aja! Balikin aku ke kampung sekarang!" teriak suara seorang perempuan yang terdengar jelas ditelingaku.
Aku yang masih berada di dalam mobil mendengarnya dengan penasaran.
"Sabar, sayang! Sabar! Kita kumpulin duit dulu biar punya modal buat usaha di kampung halaman!" teriak Mas Bimo pada istrinya.
"Sayang?" pikirku.
Aku terbelalak mendengarnya. Kupikir Mas Bimo masih single, tapi ternyata dia sudah punya seorang istri. Aku benar-benar kecewa mendengarnya.
Aku pun langsung keluar dari mobil, menguncinya lalu masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah kututup telingaku dengan earphone besar agar keributan mereka tak menggangguku. Aku malas mendengarnya lagi setelah aku tahu kalau perempuan yang berteriak pada Mas Bimo itu adalah istrinya.
Rupanya Mas Bimo sudah punya istri. Aku pikir dia masih sendiri. Karena selama pindah ke sini aku tidak pernah melihat istrinya sama sekali. Mungkin dia jarang keluar rumah atau akunya tak punya kesempatan untuk melihatnya karena sibuk bekerja. Jujur aku kecewa karena itu. Aku sudah terlanjur suka pada pandangan pertama sejak dia membantuku memasangkan ban mobil tadi pagi. Ternyata lelaki itu tidak pantas aku cintai.
"Sudahlah, lupakan saja," pikirku.
Besok paginya, aku terbangun dengan tubuh yang lemah, kuperiksa keningku, ternyata suhu tubuhku cukup panas. Rupanya aku demam. Aku pun bergegas menelepon bos di kantor untu izin tidak masuk bekerja dulu. Aku beranjak dari kasur dan langsung memeriksa obat di kotak obat, tak kutemukan obat demam di sana. Akhirnya aku bergegas keluar rumah, mencari warung terdekat untuk membeli obat. Aku tak boleh sakit. Tinggal sendirian akan susah jika sakitku parah.
Saat aku pulang dari warung sehabis membeli obat, ku lihat Mas Bimo sedang naik motor hendak berangkat kerja. dia menggunakan kemeja dan celana dasar, lengkap dengan tas hitam yang disandangnya. Dia hendak melintasiku lalu berhenti di dekatku. Aku heran.
"Nggak kerja?" tanya dia padaku dengan senyumnya yang menawan.
"Hari ini izin dulu, lagi nggak enak badan," jawabku sedikit ketus.
Mas Bimo tampak heran melihat sikapku yang berubah padanya.
"Kalo ada apa-apa, panggil istriku saja," tawarnya padaku dengan nada heran. Mungkin dia tak ingin menelisik lebih dalam lagi soal keketusanku. Karena bagaimana pun kami belum dekat.
"Iya, makasih," ucapku datar.
Mas Bimo lalu pamit berangkat kerja. Aku tidak tahu dia bekerja di mana. Sesaat aku merasa salah tingkah sendiri, merasa menyesal sudah bersikap ketus padanya. Entah kenapa aku senang dengan perhatiannya. Rasa benciku yang dimulai dari semalam mendadak hilang. Dia lelaki yang baik hati. Tapi aku heran, kenapa istrinya sering memarahinya?
Saat hari sudah menjelang siang, aku pergi ke teras untuk duduk-duduk di sana. Kupikir jika sedang dalam kondisi tidak sehat begini, aku harus banyak bergerak, jangan di atas kasur terus. Itu malah akan membuat sakitku bertambah. Saat aku hendak keluar, di kaca jendela depan rumahku, kulihat seorang lelaki brondong keluar dari rumah Mas Bimo. Wajahnya cukup tampan dengan potongan rambut agak gondrong. Tubuhnya agak kurus dan tinggi. Kulitnya putih. Tak lama kemudian istri Mas Bimo ikut keluar. Ternyata istri Mas Bimo sangat cantik. Tubuhnya langsing. Rambutnya panjang, kulitnya putih mulus, tampak seperti sering perawatan ke salon. Lalu sesaat kemudian kulihat lelaki berondong itu mencium kening istri Mas Bimo dengan hangat kemudian bicara padanya. Aku terbelalak.
"Makasih ya, sayang. Aku pulang dulu. Pokoknya jangan kasih suamimu jatah lagi. Awas kalo kasih dia jatah agi."
Aku tercengang melihat itu. Jatah? Apa yang dilakukan oleh mereka? Apakah istri Mas Bimo selingkuh?
"Iya tenang aja. aku udah cari-cari cara kok biar dia menceraikan aku," ucap Istri Mas Bimo pada lelaki berondong itu.
Aku benar-benar terkejut mendengar itu. Sesaat kemudian istri Mas Bimo melihatku. Dia tampak kesal kepadaku.
"He! lo ngapain ngintipin kita?"
Dia menarik tangan lelaki berondong itu menuju rumahku. Aku takut dan buru-buru mengunci pintu rumahku dari dalam. Apa mereka akan mengancamku untuk tidak memberitahu Mas Bimo atas apa yang sudah aku lihat dan dengar? Entahlah...
Tak berapa lama kemudian pintu rumahku digedor-gedor paksa.
"Buka! Buka!" teriak lelaki berondong itu padaku.
Di perumahan ini memang banyak rumah kosong. Di blok kami ini hanya ada dua rumah yang terisi, rumahku dan rumah Mas Bimo.
"Buka! Buka pintunya!" teriak lelaki berondong itu dari luar padaku.
Aku ketakutan.
"Heh! Buka pintunya!"
Kali ini suara istri Mas Bimo yang terdengar. Apa yang harus aku lakukan. Aku pun segera meraih handphoneku dan ingin menelepon polisi, tapi di luar sepertinya pintu rumah sudah di dobrak. Istri Mas Bimo dan lelaki berondong itu tiba-tiba muncul di hadapanku dengan wajah marah.
"Tadi ngapain lo ngintip?" tanya istri Mas Bimo dengan kencang.
"Maaf, tadi aku tidak sengaja liat," ucapku membela diri.
"Kayaknya dia nggak bisa dipercaya deh, yang." ucap lelaki brondong itu memanasi istri Mas Bimo.
Istri Mas Bimo menjambak rambutku lalu mendorong kepalaku ke dinding. Aku pun terduduk di lantai dengan kepala berkunang-kunang. Sakit sekali rasanya.
"Awas kalo kamu kasih tahu suamiku!"
Lelaki berondong itu menarik istri Mas Bimo dengan khawatir,"udah sayang, udah!"
"Nggak bisa!" ucap istri Mas Bimo dengan emosinya.
"Nanti kalo dia kenapa-napa bisa bahaya!" Lelaki berondong itu semakin khawatir.
Aku masih lemas, menahan sakit di kepala.
"Lebih bahaya lagi kalo suamiku tahu tentang perselingkuhan kita?" ucap istri Mas Bimo.
Aku makin lemah tak berdaya. Istri Mas Bimo mendekat lagi padaku, hendak mencelakaiku lagi, tanpa pikir panjang, dengan sisa tenaga yang kupunya, ku tendang kakinya hingga istri Mas Bimo tersungkur ke lantai dan kepalanya mengenai lantai.
"Sayang!" teriak lelaki berondong itu pada istri Mas Bimo yang begitu khawatirnya.
Setelah itu aku pingsan.
Ya, seperti yang aku ceritakan di awal, selanjutnya aku tiba-tiba terbangun dipelukan Mas Bimo, suami tampan dari istri tetanggaku itu. Aku terkejut dan langsung turun dari ranjang. Apa yang kulakukan dengannya? Kuitari pandanganku ke seisi kamar. Ini bukan kamarku. Tak sengaja kulihat wajahku di cermin yang ada di pojok kamar. Betapa kagetnya melihat wajahku berubah menjadi istri dari pria yang masih ngorok di ranjang itu. "Tidak," pikirku. Apakah jiwaku tertukar? Jika benar, di mana tubuhku sekarang? Apakah jiwa asli yang ada dalam tubuh ini telah bersemayam di tubuh asliku? Kenapa ini bisa terjadi? Aku pun langsung keluar dari kamar itu. Aku pun begegas menuju rumahku. Pintu rumah terkunci. Aku menggendor-gedor pintu rumahku sendiri berharap tubuhku ada di dalam sana. "Ada orang di dalam?!" teriakku. Tak lama kemudian Mas Bimo datang, masih menggunakan celana kolor dan bertelanjang dada. "Kamu ngapain ngedor rumah orang sih, Lastri?
Mas Bimo menjatuhkan tubuhku ke atas kasur. Kemudian dia kembali menciumku dengan beringas. Mas Bimo menarik kolornya ke ujung kakinya sambil menciumku hingga dia telanjang bulat. Saat Mas Bimo hendak meloroti pakaianku, aku langsung mendorong tubuh Mas Bimo. "Jangan, Mas?" pintaku dengan degup nafsu yang masih membuncah. Mas Bimo yang sedang duduk di hadapanku, di atas kasur, yang sudah telanjang bulat itu, hingga terlihat jelas sesuatu yang tak pantas aku lihat di tubuhnya. "Kenapa? Aku ini suamimu," ucap Mas Bimo seperti memohon. Bagaimana pun tubuh ini memang tubuh istri Mas Bimo. Sementara jiwanya adalah jiwaku. aku tidak boleh semena-mena terhadap tubuh ini. Meski tubuh ini adalah istri sahnya Mas Bimo, tapi jiwa aslinya sudah tidak ada. Apalagi aku tidak tahu bagaimana kondisi tubuh asliku saat ini. "Jangan sekarang!" pintaku sekali lagi pada Mas Bimo. Aku pun langsung beranjak dari sana dan keluar kamar menuju toilet untuk menj
"Kenapa, Lastri?!" teriak Mas Bimo sambil menggedor pintu kamar. Suara ketukan dalam lemari semakin kencang. Aku pun langsung membuka pintu kamar. Mas Bimo masuk dengan heran. "Kamu kenapa?" tanya Mas Bimo khawatir. "Ada suara aneh dalam lemari, Mas." jawabku dengan cemas. Mas Bimo heran lalu berjalan menuju lemari dan langsung membukanya. "Suara apa? Nggak ada apa-apa kok selain pakaian kita." ucap Mas Bimo dengan heran. Aku pun memeriksa isi lemari, memang tak ada apa-apa. Aku semakin heran. Apakah itu suara arwah Lastri yang kini mengawang? Ah, mungkin ini pikiranku saja yang terlalu banyak menonton film-film fantasy. "Kok, nggak ada? Tadi beneran ada suara loh, Mas." ucapku heran. Mas Bimo menghela napas. "Yaudah tidur saja. Kamu lagi kecapean aja itu," pinta Mas Bimo padaku. "Iya, Mas." jawabku. Mas Bimo pun berjalan keluar kamar. Aku yang masih ketakutan akhirnya memanggilnya. "Mas.
Ilyas masih memegangi kepalaku dan memaksa aku untuk melakukan hal yang terlaknak itu. "Buruan, sayang!" pinta Ilyas padaku,"udah nggak tahan, nih." Aku masih mengunci mulutku dan memejamkan mataku. Aku tak mau melakukan itu. Tak lama kemudian terdengar suara motor. Ilyas melepas tangannya dari kepalaku lalu berjalan ke arah jendela dan mengintip keluar. Aku berdiri dengan heran, siapa yang datang itu? Ilyas buru-buru menarik celana jeansnya ke atas dan mengunci gespernya dengan panik. "Suami kamu pulang! Aku harus pergi dari sini," ucap Ilyas dengan panik. Aku lega. Sesuatu yang tidak aku inginkan terjadi ternyata ada penyelamatnya. Ilyas pun buru-buru berjalan ke arah belakang. Mungkin dia akan keluar melalui pintu belakang. Terdengar suara ketukan pintu. "Lastri!" Itu suara Mas Bimo. Aku pun pergi ke belakang, memastikan Ilyas tidak ada lagi di sana. Ternyata Ilyas sudah pergi. Dia keluar dari pintu belakang. Aku p
Aku dan Isabel yang sedang bersembunyi di kamar tampak bingung mendengarkan teriakan Ilyas di luar sana. "Sayang! Buka, sayang!" teriak Ilyas di luar sana. "Dia mau ngapain sih?" tanya Isabel heran. "Mau ngajak gituan, tadi aku sempet mau diperkosanya sampe dia udah buka celana," bisikku pada Isabel. Isabel tampak shock. "Sekarang kita gimana nih?" tanyaku khawatir pada Isabel dengan bingung. Isabel tampak berpikir. "Gimana ya? Aduh!" Isabel juga tampak bingung,"tapi ngomong-ngomong pas aku intip tadi dia cakep juga sih." Aku menghela napas. "Kok malah bahas dia cakep sih?" tanyaku sedikit ngambek. Isabel tertawa. Aku manyun. Tak lama kemudian Isabel berpikir lagi. "Kamu chat aja dianya pake nomor Lastri, bilang di rumah ada sodara suami kamu," ucap Isabel memberiku solusi. Aku pun mengikuti saran Isabel. Aku langsung mencari nama Ilyas di kontak handphone, setelah menemukannya, aku langs
Aku terbangun di sebuah kamar. Kamar yang besar dan luas. Aku tau betul ini di mana? Ini rumah kedua orangtuaku di kawasa Pondok Indah Jakarta Selatan. Tapi bagimana bisa aku pulang ke sini? Sementara aku masih di tubuh Lastri. Apa aku sudah berada di tubuhku sendiri? Aku pun beranjak menuju cermin. Aku ingin melihat rupaku kini. Apakah aku masih di tubuh Lastri? Atau aku sudah kembali ke tubuhku sendiri? Saat tiba di sana, aku terbelalak senang. Benar saja aku sudah berada di dalam tubuhku sendiri. Aku senang bukan main. Akhirnya aku bergegas berjalan menuju telepon rumah di atas meja belajarku dulu, lalu segera menghubungi Isabel. "Halo!" sapa Isabel di seberang sana. "Isabel...," lirihku. "Indah?" tanya Isabel dengan terkejut. Dia memang sudah hafal suaraku di telepon. "Iya ini aku." "Kamu sudah kembali ke tubuh kamu?" "Iya, sekarang aku ada di rumah orang tua aku di pondok Indah," jawabku. "Syukurlah kalo kamu u
"Kamu istriku, tolong diam," pinta Mas Bimo. Mas Bimo tidak mendengarku. Dia mengunci tubuhku dari atasku. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah akan apa yang dilakukannya padaku. Setelahnya tanpa ampun dia melampiaskan birahinya padaku hingga puas. Tak lama kemudian kepalaku terasa sakit lalu terbangun di dalam pelukan Mas Bimo. Tubuhku sedang telanjang bulat, Mas Bimo pun begitu. Kami sepertinya baru saja melakukan hubungan intim. Aku bangkit dari atas kasur. Mencubit pipiku, rasanya sakit. Aku bangkit dari atas kasur lalu bercemin. Hah? Kenapa jiwaku berada di tubuh Lastri lagi. Berarti apa yang aku rasakan semalam adalah mimpi? Dan ketika aku tidur jiwaku kembali lagi ke tubuh Lastri? Mas Bimo tampak heran melihatku. "Kamu kenapa sayang?" "Aku nggak mimpi kan?" tanyaku pada Mas Bimo yang masih tanpa busana di atas kasur itu. "Mimpi apa sih sayang?" ucap Mas Bimo heran. Mas Bimo beranjak
Setelah hampir satu jam perjalanan, kami pun tiba di depan rumah Pak Mahmud. Rumahnya terletak di daerah Depok. Setelah kami bergegas turun dari mobil Isabel, kami pun disambut dengan baik oleh Pak Mahmud. Pak Mahmud seperi heran melihatku. "Ada apa repot-repot kemari? Apa rumahnya ada masalah?" tanya Pak Mahmud pada Isabel. Isabel melihat ke arahku dengan bingung. Dia seperti memintaku untuk menjelaskan semuanya pada Pak Mahmud. "Oh ya, mbak Indahnya kemana? Tumben nih, Mbak Lastri ke sini?" tanya Pak Mahmud lagi. Aku pun memberi kode pada Isabel untuk menjelaskannya pada Pak Mahmud. Tampaknya Isabel mengerti. "Kami ada masalah, Pak." ucap Isabel, "mbak Indah mengalami hal aneh di rumah itu." Pak Mahmud terkejut, "Hal aneh apa?" "Mbak Indah bertukar jiwa dengan tetangganya, Pak." ucap Isabel menjelaskannya pada Pak Mahmud. Pak Mahmud tampak tak percaya. "Sekarang," lanjut Isabel,"Mbak Indah lagi ada di dalam tu
“Apa harus aku lakukan ketika menghadapnya?” tanyaku. “Kau akan mendapatkan kekuatan yang luar bisa. Kau akan mengurus mereka-mereka yang menjadi pengikut setia Tuan Raja di alammu. Kau akan menjadi dukun yang sangat sakti,” ucapnya. “Apa yang harus aku lakukan jika aku menjadi dukun sakti?” tanyaku penasaran. “Nanti kau akan tahu sendiri jika sudah menghadap Tuan Raja,” ucapnya. Lalu kuda yang membawa kereta kencana yang kunaiki perlahan mendekati sebuah gerbang istana. Di sana kulihat banyak pengawal seram yang menjaga gerbang itu. Pengawal itu langsung membuka gerbang istana untuk kami. Kami pun masuk ke dalam gerbang itu. Kulihat istananya begitu megah terbuat dari batu. Aku seperti melihat banyak candi di sana. Peri-peri kulihat beterbangan di atasnya. Tak lama kemudian kuda itu berhenti. “Turunlah dan masuklah ke dalam istana itu,” pinta perempuan yang sangat meny
Saat Mobil itu melaju kencang di jalanan. Kulihat Mas Bimo menangis. Aku ikut menangis melihatnya.“Terima kasih, Mas. Terima kasih kamu masih setia sama aku,” ucapku.Sekarang aku benar-benar yakin kalau Mas Bimo memang sangat mencintaiku. Lelaki mana yang masih setia pada istrinya yang sudah gila dan akan menunggunya sampai sembuh, meski tak ada yang tahu apakah istrinya itu benar-benar bisa sembuh atau tidak?Mobil yang kami naiki tiba-tiba berhenti di depan rumahku. Aku heran kenapa Mas Bimo ke sini. Aku pun turun bersama Mas Bimo lalu masuk ke dalam rumah. Papah dan Mamahku menyambut Mas Bimo dengan hangat. Aku kembali menangis melihat mereka. Mereka pasti sangat sedih melihatku kini sudah gila.“Apapun yang terjadi, aku akan tetap cinta sama Indah, Mah, Pah,” ucap Mas Bimo pada mereka.Mamah dan Papah menangis mendengarnya.&ldqu
Tak lama kemudian, tubuhku keluar bersama tiga perawat itu dari dalam ruangan itu. Dia tampak diam dengan tatap kosong. Dia juga tidak bisa melihat kehadiranku. Lalu tubuhku dibawa kembali oleh mereka ke ruangan tempat tubuhku tadi. Ketika kami sudah sampai di sana, kulihat Mas Bimo datang membawa makanan, mendekati tubuhku yang tersenyum-senyum sendiri.“Itu siapa?” tanya arwah perempuan itu padaku.“Itu suamiku,” jawabku.Arwah perempuan itu tampak heran.“Suamimu tampan!” pujinya.Mas Bimo duduk di dekat tubuhku.“Sayang, ini aku bawain kamu makanan. Kamu makan ya?” pinta Mas Bimo pada tubuhku.Aku menangis haru melihat itu. Rupanya Mas Bimo masih sayang padaku meski tubuhku sekarang sudah sudah gila.Tubuhku melihat ke arah Mas Bimo dengan marah.
Bus yang aku naiki tiba di sebuah halte dekat apartemenku. Aku turun dari sana. Tak ada satupun manusia yang bisa melihatku. Aku pun memasuki lobby apartemen dan berdiri di depan lift, menunggu mereka yang naik ke lantai yang sama dengan apartemenku. Saat ada dua sepasang kekasih memencet lantai yang sama dengan apartemenku, aku buru-buru masuk ke dalam. Dua sepasang kekasih itu saling melihat.“Kok aku merinding ya, yang?” tanya perempuan itu pada lelakinya.“Aku juga sama, kayaknya emang angker apartemen ini,” jawabnya.Aku diam saja. Aku tak peduli obrolan mereka. Saat pintu lift itu terbuka. Aku ikut keluar dan segera menembus pintu apartemenku. Aku mencari-cari Mas Bimo di dalam sana. Di dua kamar yang aku masuki aku tak menemukan Mas Bimo. Tiba-tiba aku mendengar kucuran air di dalam kamar mandi. Aku masuk ke dalam sana. Aku menangis saat mendapati Mas Bimo sedang telanjang menyandar di dind
Aku mengangguk. Ya, aku tak tahu sudah berapa lama aku di sana. Setipa kali pintu sering terbuka dan dua lelaki seram datang menyuruh kami kerja paksa untuk membangun istana mereka. Entah sudah berapa bulan lamanya hingga tubuhku sangat kurus dan rambutku terlihat acak-acakan. Tapi suatu hari, keajaiban datang. Kudengar di luar sana seperti terjadi peperangan. Lelaki itu berdiri dengan senang.“Mereka sudah datang!” ucapnya.Aku pun berdiri. Kami menempelkan telinga ke arah pintu gua yang tertutup. Sekarang terdengar jelas suara pedang yang beradu dan suara teriakan kesakitan. Tak lama kemudian, pintu gua terbuka. Benar saja, makhluk berjubah putih yang bercahaya terang itu masuk ke dalam gua dan menyuruh kami keluar dari sana. Aku dan lelaki itu pun keluar. Di depan gua, kulihat banyak sekali makhluk-makhluk yang menyeramkan terkapar di atas tanah dengan bersimbah darah. Burung-burung besar dan bersayap itu berdatangan. Mereka m
Aku pun terpaksa bersimpuh di hadapannya.“Tolong aku! Aku janji akan membantumu asal kembalikan aku ke tubuhku!” pintaku lagi.Makhluk seram itu tidak menggubrisku. Dia melihat ke dua lelaki seram yang berdiri di belakangku.“Kurung dia sekarang juga!” pintanya pada mereka.Akupun di tarik oleh dua lelaki yang menyeramkan itu.“Tolong! Aku janji akan menuruti kemauanmu! Aku janji tak akan berniat lagi untuk mengeluarkan ilmuku! Jangan kurung aku!” isakku.Makhluk menyeramkan dan memiliki dua tanduk itu tak menggubris permohanku. Dua lelaki itu terus saja menyeretku, lalu aku dimasukkan ke dalam gua yang sempit dan berpintu.“Keluarkan aku! Aku mau kembali ke tubuhku! Jangan kurung aku!” teriakku sambil terisak. Aku pun teruduk menyandar di dinding gua. Aku tak menyangka kalau akhirnya nasib
Kami pun tiba di rumah sakit. Mas bimo menggotong bibi Sarinah. Beberapa perawat langsung mengurus bibi Sarinah dan membawanya ke ruang ICU. Aku dan Mas Bimo duduk menunggu di depan ruang ICU. Mas Bimo menoleh padaku lalu memegangi tanganku.“Sabar, ya. Mas yakin bibi nggak akan kenapa-napa,” ucap Mas Bimo menenangkanku.Aku mengangguk. Mas Bimo memelukku.“Kamu tenang, aku yakin pasti ada jalannya untuk mengeluarkan ilmu di dalam tubuhmu,” ucap Mas Bimo.“Iya, Mas,” jawabku mencoba untuk tenang.Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruang ICU. Aku dan Mas Bimo langsung menghampiri dokter itu.“Gimana keadaan bibi Sarinah, dok?” tanyaku sedikit khawatir.Dokter itu tersenyum padaku.“Dia sudah sadar, sekarang kalian sudah boleh kalau mau menjenguknya,” jawab
“Nggak apa-apa, biar aku aja,” ucapku lalu berjalan ke arah dapur. Bibi Sarinah mengikutiku.Saat aku sudah memasukkan makanan itu ke dalam kulkas, aku menoleh pada bibi Sarinah yang berdiri di dekatku.“Bi,” panggilku.Bibi Sarinah menatapku dengan heran.“Kenapa?” tanyanya.“Aku minta maaf,” ucapku.Bibi Sarinah semakin heran.“Minta maaf kenapa?”“Ternyata ucapan bibi bener,”“Ucapan yang mana?”Aku menangis. Bibi Sarinah semakin penasaran padaku.“Ada apa, Non. Cerita ke bibi,” pintanya.“Kakek yang aku temuin itu ternyata iblis,” ucapku.Bibi Sarinah tercengang mendengarnya.“A
“Kenapa?” tanyanya.Tiba-tiba kudengar suara arwah pengantin perempuan itu.“Jangan khawatir! Aku tak akan melihat kalian bermesraan. Itu malah akan membuatku sial jika melihatnya,” ucap arwah pengantin perempuan itu. Entah sekarang dia berada di mana. Aku lega mendengarnya. Akhirnya kutarik tangan Mas Bimo ke dalam kamar.Sesampainya kami di dalam kamar. Mas Bimo hendak menciumku. Aku menghindar.“Nanti aja, Mas,” ucapku.Mas Bimo heran, “Kenapa?”“Aku harus menemui kakek lagi. Aku harus mengakhiri semua ini,” ucapku.“Yaudah,” ucap Mas Bimo sedikit kecewa.Akhirnya aku duduk di atas kasur. Seperti biasa aku meminta Mas Bimo menjagaku. Akupun memejamkan mata. Akhirnya aku kembali berada di pinggir sungai itu. Sekarang aku lega sudah melihat kakek