"Kenapa, Lastri?!" teriak Mas Bimo sambil menggedor pintu kamar.
Suara ketukan dalam lemari semakin kencang. Aku pun langsung membuka pintu kamar. Mas Bimo masuk dengan heran.
"Kamu kenapa?" tanya Mas Bimo khawatir.
"Ada suara aneh dalam lemari, Mas." jawabku dengan cemas.
Mas Bimo heran lalu berjalan menuju lemari dan langsung membukanya.
"Suara apa? Nggak ada apa-apa kok selain pakaian kita." ucap Mas Bimo dengan heran.
Aku pun memeriksa isi lemari, memang tak ada apa-apa. Aku semakin heran. Apakah itu suara arwah Lastri yang kini mengawang? Ah, mungkin ini pikiranku saja yang terlalu banyak menonton film-film fantasy.
"Kok, nggak ada? Tadi beneran ada suara loh, Mas." ucapku heran.
Mas Bimo menghela napas.
"Yaudah tidur saja. Kamu lagi kecapean aja itu," pinta Mas Bimo padaku.
"Iya, Mas." jawabku.
Mas Bimo pun berjalan keluar kamar. Aku yang masih ketakutan akhirnya memanggilnya.
"Mas."
Mas Bimo terhenti dan menoleh padaku.
"Kenapa?" tanya Mas Bimo dengan khawatir.
"Mas tidur sama aku aja," pintaku padanya.
Mas Bimo tampak senang.
"Yaudah," jawab Mas Bimo sambil tersenyum senang.
"Tapi jangan sampe kayak tadi pagi ya, Mas?" ucapku mengingatkannya.
Mas Bimo tampak kecewa.
"Iya," jawabnya terlihat kecewa.
Mas Bimo langsung berbaring di atas kasur dan menyelimuti dirinya sendiri. Aku pun tanpa berpikir lagi langsung naik ke atas kasur dan tidur di sebelah Mas Bimo. Aku tahu, Mas Bimo orang baik. Dia sangat sayang dengan istrinya sampai rela menahan birahinya selama enam bulan karena istrinya tidak mau memberi jatah. Tapi aku kasihan dengannya, istrinya sebenarnya sudah selingkuh dengan lelaki brondong. Akhirnya aku tidak ingin berpikir apa-apa lagi. Aku pun terlelap.
***
Pagi sekali aku terbangun. Tubuhku dipeluk erat dari belakang oleh Mas Bimo. Andai aku istri sahnya, sudah kulayani dia untuk memuaskan birahinya. Tapi aku bukan siapa-siapanya, aku hanya jiwa yang terkurung di dalam tubuh istrinya.
Aku pun langsung beranjak dari kasur dan pergi dari kamar itu. Mas Bimo datang sambil membawa handuk, mungkin dia akan kembali bekerja setelah libur seharian kemarin. Aku pun membuatkan sarapan untuknya, membuat nasi goreng karena nasi yang tersisa masih banyak di rice cooker.
Setelah kami usai sarapan, Mas Bimo pamit untuk berangkat kerja. Aku pun mengantarnya sampai keluar. Saat Mas Bimo sudah pergi, aku pun langsung menuju rumahku, mencari cara untuk bisa masuk ke dalam rumah itu. Aku harus menemukan jawaban kenapa aku bisa masuk ke dalam tubuh itu. Tapi karena rumah itu dikunci dan tak ada jalan masuk lagi, aku pun pasrah. Saat aku masuk ke dalam rumah, pintu rumah mendadak terbuka dan kulihat seorang lelaki yang memakai masker itu mengunci pintu rumah dari dalam dan langsung membuka maskernya - menghadap ke arahku. Aku terkejut saat tahu kalau dia lelaki berondong itu.
"Kita kabur dari di sini sayang, sebelum perempuan itu sadar dan polisi tahu kalau kita yang sudah mencelakainya," pinta lelaki berondong itu padaku.
Aku diam, bingung harus berucap apa. Sesaat aku berpikir, aku harus berpura-pura menjadi Lastri sesungguhnya biar aku tahu apa yang terjadi sebenarnya.
"Sayang, semenjak kejadian itu aku jadi pelupa," ucapku terpaksa berbohong.
Lelaki berondong itu heran.
"Pelupa gimana, sayang?"
"Apa karena waktu itu kepalaku terbentur lantai ya? Aku kayak amnesia," jawabku ngasal.
Lelaki berondong itu tampak panik dan memeriksa kepalaku.
"Tapi kamu masih inget aku, kan?" tanyanya memastikan.
"Masih, tapi aku lupa nama kamu siapa?" jawabku.
Lelaki berondong itu semakin panik.
"Waduh. Aku Ilyas, sayang." ucapnya yang masih khawatir terhadapku, lebih tepatnya terhadap tubuh ini.
Sekarang aku tahu nama lelaki berondong itu adalah Ilyas.
"Ayo sayang, kita pergi dari sini, aku takut polisi mengejar kita," pinta Ilyas dengan panik.
"Pergi kemana?" tanyaku heran.
Aku ingin memastikan di mana tempat tinggalnya berondong ini.
"Di Apartemen baruku, di Jakarta. Di Kalibata," jawabnya.
Sekarang aku tahu, tempat tinggalnya di sana. Aku berpikir, bagaimana caranya untuk memberi alasan kalau aku tidak mau ikut dengannya ke Kalibata.
"Tapi, kamu tenang aja, dia masih koma. Mungkin perempuan itu nggak bakal sadar lagi," ucapku meyakinkannya.
"Kalo dia sadar dan memberitahukan semuanya bagaimana?" tanya Ilyas padaku.
"Biar aku berpikir dulu, jangan sekarang. Pokoknya kamu tenang aja, aku bakal ikut kamu kok," ucapku menenangkannya.
"Yaudah," jawabnya pasrah.
Tak lama kemudian si Ilyas memelukku. Aku pun gugup. Aku ingin melepas pelukan itu, tapi jika itu aku lakukan, dia pasti akan curiga. Akhirnya kubiarkan dia memeluk tubuhku seeratnya. Aroma tubuh lelaki berondong ini benar-benar wangi. Dia sepertinya pandai menjaga kebersihan diri.
"Aku nggak mau kehilangan kamu sayang. Walau selama ini aku udah nyoba menahan cemburuku pada suami kamu, itu bukan masalah, yang buat aku kepikiran banget adalah kalo kita pisah," ucap Ilyas.
Rupanya lelaki berondong yang cukup tampan ini sangat mencintai tubuh ini. Aku tidak tahu bagaimana mereka saling mengenal dan bisa saling jatuh cinta. Apakah setelah Lastri menikah dengan Mas Bimo? Atau Lastri mengenal lelaki berondong ini sebelum Mas Bimo menikah dengan tubuh ini. Entahlah.
Lelaki berondong itu melepas pelukannya lalu dengan cepat menciumku. Astaga, sudah dua lelaki yang menciumku. Aku tak ubahnya seperti pelacur yang memiliki dua pelanggan. Aku pun membiarkan dia melakukan itu, aku masih takut kalau dia curiga kalau dalam tubuh ini ada jiwa yang bukan seorang perempuan yang dicintainya.
Tak lama kemudian dia berhenti menciumku dan menatap mataku dengan penuh hawa nafsu.
"Kamu nggak ngasih jatah kan ke suami kamu?" tanyanya tegas.
"Nggak," jawabku berpura-pura menjadi Lastri.
Ilyas tersenyum senang. Tak lama kemudian Ilyas mendorongku ke dekat dinding, kemudian dia membalikkan tubuhku hingga wajahku menghadap ke arah dinding. Ilyas memegangiku dari belakang dengan erat. Apa yang akan dia lakukan?
"Jangan sekarang?" pintaku padanya dengan takut.
"Aku lagi pengen, sayang." ucapnya memohon.
Aku takut. Dia mengunci tubuhku dengan kuat. Aku tak bisa mengelak. Dia menciumi leher belakangku sambil membuka gesper di celana levis yang sedang dipakainya. Ilyas menyingkap dasterku dan melorotkan celana dalamku kebawah. Sepertinya dia ingin memperkosaku dari belakang. Aku memejamkan mata dan berusaha mendorongnya agar aku bisa kabur dari sana, tapi tubuhnya mengunciku dengan kuat.
"Bentar doang, sayang." pintanya yang tahu sedari tadi tubuhku menolaknya.
"Jangan sekarang, pleas." pintaku sekali lagi.
"Dikit doang kok." Dia tak mau mengalah.
Akhirnya aku punya alasan agar dia berhenti melakukan itu.
"Aku lagi haid," ucapku.
Ilyas berhenti melakukan itu. Dia berhenti memegangiku dengan erat. Aku pun berbalik dan melihat wajah kecewanya. Hingga tak sengaja kulihat yang tak pantas kulihat dari tubuhnya yang keluar dari resteling celananya. Segera aku memalingkan wajahku dari itu.
"Maaf," ucapku yang masih berpura-pura menjadi Lastri.
Tak lama kemudian, Ilyas memegang kedua bahuku dan mendudukkan aku hingga aku terduduk di hadapan sesuatu yang tak pantas aku lihat itu. Aku tau apa yang dia inginkan. Tidak, aku tidak akan melakukan itu.
"Ayo buruan! Bentaran aja! " pintanya.
"Jangan sekarang," pintaku.
Aku bisa saja berlari dari sana, tapi satu hal yang menjadi alasanku adalah aku tak mau dia curiga kalau aku sudah merasuki Lastri dan aku masih ingin tahu semuanya kenapa aku bisa koma.
"Buruan, sayang! Biasanya mau?" teriaknya yang sudah dikuasai oleh hawa nafsunya.
Ilyas pun mendorong kepalaku ke arah yang tak pantas. Aku menutup mataku dan mulutku serapat rapatnya.
Apa yang harus aku lakukan? Mengikuti keinginannya kah?
Ilyas masih memegangi kepalaku dan memaksa aku untuk melakukan hal yang terlaknak itu. "Buruan, sayang!" pinta Ilyas padaku,"udah nggak tahan, nih." Aku masih mengunci mulutku dan memejamkan mataku. Aku tak mau melakukan itu. Tak lama kemudian terdengar suara motor. Ilyas melepas tangannya dari kepalaku lalu berjalan ke arah jendela dan mengintip keluar. Aku berdiri dengan heran, siapa yang datang itu? Ilyas buru-buru menarik celana jeansnya ke atas dan mengunci gespernya dengan panik. "Suami kamu pulang! Aku harus pergi dari sini," ucap Ilyas dengan panik. Aku lega. Sesuatu yang tidak aku inginkan terjadi ternyata ada penyelamatnya. Ilyas pun buru-buru berjalan ke arah belakang. Mungkin dia akan keluar melalui pintu belakang. Terdengar suara ketukan pintu. "Lastri!" Itu suara Mas Bimo. Aku pun pergi ke belakang, memastikan Ilyas tidak ada lagi di sana. Ternyata Ilyas sudah pergi. Dia keluar dari pintu belakang. Aku p
Aku dan Isabel yang sedang bersembunyi di kamar tampak bingung mendengarkan teriakan Ilyas di luar sana. "Sayang! Buka, sayang!" teriak Ilyas di luar sana. "Dia mau ngapain sih?" tanya Isabel heran. "Mau ngajak gituan, tadi aku sempet mau diperkosanya sampe dia udah buka celana," bisikku pada Isabel. Isabel tampak shock. "Sekarang kita gimana nih?" tanyaku khawatir pada Isabel dengan bingung. Isabel tampak berpikir. "Gimana ya? Aduh!" Isabel juga tampak bingung,"tapi ngomong-ngomong pas aku intip tadi dia cakep juga sih." Aku menghela napas. "Kok malah bahas dia cakep sih?" tanyaku sedikit ngambek. Isabel tertawa. Aku manyun. Tak lama kemudian Isabel berpikir lagi. "Kamu chat aja dianya pake nomor Lastri, bilang di rumah ada sodara suami kamu," ucap Isabel memberiku solusi. Aku pun mengikuti saran Isabel. Aku langsung mencari nama Ilyas di kontak handphone, setelah menemukannya, aku langs
Aku terbangun di sebuah kamar. Kamar yang besar dan luas. Aku tau betul ini di mana? Ini rumah kedua orangtuaku di kawasa Pondok Indah Jakarta Selatan. Tapi bagimana bisa aku pulang ke sini? Sementara aku masih di tubuh Lastri. Apa aku sudah berada di tubuhku sendiri? Aku pun beranjak menuju cermin. Aku ingin melihat rupaku kini. Apakah aku masih di tubuh Lastri? Atau aku sudah kembali ke tubuhku sendiri? Saat tiba di sana, aku terbelalak senang. Benar saja aku sudah berada di dalam tubuhku sendiri. Aku senang bukan main. Akhirnya aku bergegas berjalan menuju telepon rumah di atas meja belajarku dulu, lalu segera menghubungi Isabel. "Halo!" sapa Isabel di seberang sana. "Isabel...," lirihku. "Indah?" tanya Isabel dengan terkejut. Dia memang sudah hafal suaraku di telepon. "Iya ini aku." "Kamu sudah kembali ke tubuh kamu?" "Iya, sekarang aku ada di rumah orang tua aku di pondok Indah," jawabku. "Syukurlah kalo kamu u
"Kamu istriku, tolong diam," pinta Mas Bimo. Mas Bimo tidak mendengarku. Dia mengunci tubuhku dari atasku. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah akan apa yang dilakukannya padaku. Setelahnya tanpa ampun dia melampiaskan birahinya padaku hingga puas. Tak lama kemudian kepalaku terasa sakit lalu terbangun di dalam pelukan Mas Bimo. Tubuhku sedang telanjang bulat, Mas Bimo pun begitu. Kami sepertinya baru saja melakukan hubungan intim. Aku bangkit dari atas kasur. Mencubit pipiku, rasanya sakit. Aku bangkit dari atas kasur lalu bercemin. Hah? Kenapa jiwaku berada di tubuh Lastri lagi. Berarti apa yang aku rasakan semalam adalah mimpi? Dan ketika aku tidur jiwaku kembali lagi ke tubuh Lastri? Mas Bimo tampak heran melihatku. "Kamu kenapa sayang?" "Aku nggak mimpi kan?" tanyaku pada Mas Bimo yang masih tanpa busana di atas kasur itu. "Mimpi apa sih sayang?" ucap Mas Bimo heran. Mas Bimo beranjak
Setelah hampir satu jam perjalanan, kami pun tiba di depan rumah Pak Mahmud. Rumahnya terletak di daerah Depok. Setelah kami bergegas turun dari mobil Isabel, kami pun disambut dengan baik oleh Pak Mahmud. Pak Mahmud seperi heran melihatku. "Ada apa repot-repot kemari? Apa rumahnya ada masalah?" tanya Pak Mahmud pada Isabel. Isabel melihat ke arahku dengan bingung. Dia seperti memintaku untuk menjelaskan semuanya pada Pak Mahmud. "Oh ya, mbak Indahnya kemana? Tumben nih, Mbak Lastri ke sini?" tanya Pak Mahmud lagi. Aku pun memberi kode pada Isabel untuk menjelaskannya pada Pak Mahmud. Tampaknya Isabel mengerti. "Kami ada masalah, Pak." ucap Isabel, "mbak Indah mengalami hal aneh di rumah itu." Pak Mahmud terkejut, "Hal aneh apa?" "Mbak Indah bertukar jiwa dengan tetangganya, Pak." ucap Isabel menjelaskannya pada Pak Mahmud. Pak Mahmud tampak tak percaya. "Sekarang," lanjut Isabel,"Mbak Indah lagi ada di dalam tu
"Emang kalungnya kenapa?" tanya Lastri tampak bingung. Aku melihat ke Lastri. "Itu kalung untuk menyelamatkan kita. Kalung itu bisa ngembaliin jiwa kita ke tubuh kita masing-masing," jelasku pada Lastri. Lastri tampak senang mendengarnya. "Yah, kemana dong kalungnya? Aku beneran nggak tau?" jawab Lastri yang mendadak ikut-ikutan panik. Aku pun terduduk lesu. "Kita cari sampe ketemu. Siapa tau masih ada di sini," pinta Isabel pada kami. Kami pun mencari-cari kalung itu di semua ruangan di dalam rumahku. Lastri pun ikut sibuk mencarinya. Aku tak mau terjebak dalam tubuh ini selamanya. Dan aku tak mau tubuhku dimiliki oleh Lastri selamanya. Kami duduk bertiga dengan bingung di ruang tengah rumahku itu. Kami sudah mencari kalung itu kemana-mana, tapi kami tidak menemukannya. "Gimana, nih?" tanya Lastri dengan panik. "Aku nggak tau," jawabku bingung. Isabel tampak berpikir. "Coba aku tan
Malamnya aku gelisah sendiri di kamar. Tubuhku yang dirasuki jiwa Lastri, mungkin sudah tidur juga. Aku tak tahu bagaimana selanjutnya. Apa kah aku akan berada di tubuh ini selama-lamanya? Tidak, aku tidak mau itu. Aku tidur. Tengah malam itu aku terbangun saat mendengar suara derik pintu yang terbuka sedikit. Aku bangun dengan heran. Apa itu Mas Bimo? "Mas?" tanyaku memastikan. Tak berapa lama kemudian kulihat Ilyas masuk ke kamarku. Dia memakai topi, berjaket hitam dan menggunakan celana jeans belel. Di tangannya ada sebuah kayu balok yang tak begitu panjang. Aku terbelalak. Kenapa dia membawa kayuk balok itu ke sini? Bagaimana caranya dia bisa masuk ke rumah ini? "Ilyas?" Ilyas menghampiriku dengan cepat dan langsung memukul kepalaku dengan kayu balok itu, tanpa sempat aku berteriak. Setelahnya aku pusing dan tidak sadarkan diri lagi. Aku tersadar di atas kasur tipis tanpa ranjang itu. Sakit dikepalaku masih terasa. Kupandangi sekitar, kini
Entah siapa yang menggedor-gedor itu. Sesaat kemudian Ilyas buru-buru memakai kolor dan menutup setengah telanjangku dengan selimut yang ada di sana. "Buka pintunya! Buka pintunya!" Suara itu terdengar jelas. Ilyas tampak panik, bingung dan gelisah. Sementara aku semakin lemas, pandangan mataku tiba-tiba buram, kepalaku terasa sakit sekali. Lalu setelahnya semuanya menjadi gelap. Mendadak aku tersadar sudah berada di dalam mobil bersama Mas Bimo. Aku sudah berada di dalam tubuhku sendiri. Mobil itu dikemudikan oleh Mas Bimo dengan ngebut. Aku menoleh pada Mas Bimo. Dia tampak panik dan gelisah. Kenapa aku bisa bersamanya? Pikirku. Lastri? Iya, Lastri! Pikirku. Aku panik, Lastri dalam keadaan bahaya saat ini, aku harus memberitahukannya pada Mas Bimo. Tiba-tiba terlintas sebuah ingatan di kepalaku. "Mas! Tolong, Mas. Lastri dalam bahaya, Mas!" pintaku ditelepon pada Mas Bimo. "Bahanya gimana?" tanya Mas Bimo panik di
“Apa harus aku lakukan ketika menghadapnya?” tanyaku. “Kau akan mendapatkan kekuatan yang luar bisa. Kau akan mengurus mereka-mereka yang menjadi pengikut setia Tuan Raja di alammu. Kau akan menjadi dukun yang sangat sakti,” ucapnya. “Apa yang harus aku lakukan jika aku menjadi dukun sakti?” tanyaku penasaran. “Nanti kau akan tahu sendiri jika sudah menghadap Tuan Raja,” ucapnya. Lalu kuda yang membawa kereta kencana yang kunaiki perlahan mendekati sebuah gerbang istana. Di sana kulihat banyak pengawal seram yang menjaga gerbang itu. Pengawal itu langsung membuka gerbang istana untuk kami. Kami pun masuk ke dalam gerbang itu. Kulihat istananya begitu megah terbuat dari batu. Aku seperti melihat banyak candi di sana. Peri-peri kulihat beterbangan di atasnya. Tak lama kemudian kuda itu berhenti. “Turunlah dan masuklah ke dalam istana itu,” pinta perempuan yang sangat meny
Saat Mobil itu melaju kencang di jalanan. Kulihat Mas Bimo menangis. Aku ikut menangis melihatnya.“Terima kasih, Mas. Terima kasih kamu masih setia sama aku,” ucapku.Sekarang aku benar-benar yakin kalau Mas Bimo memang sangat mencintaiku. Lelaki mana yang masih setia pada istrinya yang sudah gila dan akan menunggunya sampai sembuh, meski tak ada yang tahu apakah istrinya itu benar-benar bisa sembuh atau tidak?Mobil yang kami naiki tiba-tiba berhenti di depan rumahku. Aku heran kenapa Mas Bimo ke sini. Aku pun turun bersama Mas Bimo lalu masuk ke dalam rumah. Papah dan Mamahku menyambut Mas Bimo dengan hangat. Aku kembali menangis melihat mereka. Mereka pasti sangat sedih melihatku kini sudah gila.“Apapun yang terjadi, aku akan tetap cinta sama Indah, Mah, Pah,” ucap Mas Bimo pada mereka.Mamah dan Papah menangis mendengarnya.&ldqu
Tak lama kemudian, tubuhku keluar bersama tiga perawat itu dari dalam ruangan itu. Dia tampak diam dengan tatap kosong. Dia juga tidak bisa melihat kehadiranku. Lalu tubuhku dibawa kembali oleh mereka ke ruangan tempat tubuhku tadi. Ketika kami sudah sampai di sana, kulihat Mas Bimo datang membawa makanan, mendekati tubuhku yang tersenyum-senyum sendiri.“Itu siapa?” tanya arwah perempuan itu padaku.“Itu suamiku,” jawabku.Arwah perempuan itu tampak heran.“Suamimu tampan!” pujinya.Mas Bimo duduk di dekat tubuhku.“Sayang, ini aku bawain kamu makanan. Kamu makan ya?” pinta Mas Bimo pada tubuhku.Aku menangis haru melihat itu. Rupanya Mas Bimo masih sayang padaku meski tubuhku sekarang sudah sudah gila.Tubuhku melihat ke arah Mas Bimo dengan marah.
Bus yang aku naiki tiba di sebuah halte dekat apartemenku. Aku turun dari sana. Tak ada satupun manusia yang bisa melihatku. Aku pun memasuki lobby apartemen dan berdiri di depan lift, menunggu mereka yang naik ke lantai yang sama dengan apartemenku. Saat ada dua sepasang kekasih memencet lantai yang sama dengan apartemenku, aku buru-buru masuk ke dalam. Dua sepasang kekasih itu saling melihat.“Kok aku merinding ya, yang?” tanya perempuan itu pada lelakinya.“Aku juga sama, kayaknya emang angker apartemen ini,” jawabnya.Aku diam saja. Aku tak peduli obrolan mereka. Saat pintu lift itu terbuka. Aku ikut keluar dan segera menembus pintu apartemenku. Aku mencari-cari Mas Bimo di dalam sana. Di dua kamar yang aku masuki aku tak menemukan Mas Bimo. Tiba-tiba aku mendengar kucuran air di dalam kamar mandi. Aku masuk ke dalam sana. Aku menangis saat mendapati Mas Bimo sedang telanjang menyandar di dind
Aku mengangguk. Ya, aku tak tahu sudah berapa lama aku di sana. Setipa kali pintu sering terbuka dan dua lelaki seram datang menyuruh kami kerja paksa untuk membangun istana mereka. Entah sudah berapa bulan lamanya hingga tubuhku sangat kurus dan rambutku terlihat acak-acakan. Tapi suatu hari, keajaiban datang. Kudengar di luar sana seperti terjadi peperangan. Lelaki itu berdiri dengan senang.“Mereka sudah datang!” ucapnya.Aku pun berdiri. Kami menempelkan telinga ke arah pintu gua yang tertutup. Sekarang terdengar jelas suara pedang yang beradu dan suara teriakan kesakitan. Tak lama kemudian, pintu gua terbuka. Benar saja, makhluk berjubah putih yang bercahaya terang itu masuk ke dalam gua dan menyuruh kami keluar dari sana. Aku dan lelaki itu pun keluar. Di depan gua, kulihat banyak sekali makhluk-makhluk yang menyeramkan terkapar di atas tanah dengan bersimbah darah. Burung-burung besar dan bersayap itu berdatangan. Mereka m
Aku pun terpaksa bersimpuh di hadapannya.“Tolong aku! Aku janji akan membantumu asal kembalikan aku ke tubuhku!” pintaku lagi.Makhluk seram itu tidak menggubrisku. Dia melihat ke dua lelaki seram yang berdiri di belakangku.“Kurung dia sekarang juga!” pintanya pada mereka.Akupun di tarik oleh dua lelaki yang menyeramkan itu.“Tolong! Aku janji akan menuruti kemauanmu! Aku janji tak akan berniat lagi untuk mengeluarkan ilmuku! Jangan kurung aku!” isakku.Makhluk menyeramkan dan memiliki dua tanduk itu tak menggubris permohanku. Dua lelaki itu terus saja menyeretku, lalu aku dimasukkan ke dalam gua yang sempit dan berpintu.“Keluarkan aku! Aku mau kembali ke tubuhku! Jangan kurung aku!” teriakku sambil terisak. Aku pun teruduk menyandar di dinding gua. Aku tak menyangka kalau akhirnya nasib
Kami pun tiba di rumah sakit. Mas bimo menggotong bibi Sarinah. Beberapa perawat langsung mengurus bibi Sarinah dan membawanya ke ruang ICU. Aku dan Mas Bimo duduk menunggu di depan ruang ICU. Mas Bimo menoleh padaku lalu memegangi tanganku.“Sabar, ya. Mas yakin bibi nggak akan kenapa-napa,” ucap Mas Bimo menenangkanku.Aku mengangguk. Mas Bimo memelukku.“Kamu tenang, aku yakin pasti ada jalannya untuk mengeluarkan ilmu di dalam tubuhmu,” ucap Mas Bimo.“Iya, Mas,” jawabku mencoba untuk tenang.Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruang ICU. Aku dan Mas Bimo langsung menghampiri dokter itu.“Gimana keadaan bibi Sarinah, dok?” tanyaku sedikit khawatir.Dokter itu tersenyum padaku.“Dia sudah sadar, sekarang kalian sudah boleh kalau mau menjenguknya,” jawab
“Nggak apa-apa, biar aku aja,” ucapku lalu berjalan ke arah dapur. Bibi Sarinah mengikutiku.Saat aku sudah memasukkan makanan itu ke dalam kulkas, aku menoleh pada bibi Sarinah yang berdiri di dekatku.“Bi,” panggilku.Bibi Sarinah menatapku dengan heran.“Kenapa?” tanyanya.“Aku minta maaf,” ucapku.Bibi Sarinah semakin heran.“Minta maaf kenapa?”“Ternyata ucapan bibi bener,”“Ucapan yang mana?”Aku menangis. Bibi Sarinah semakin penasaran padaku.“Ada apa, Non. Cerita ke bibi,” pintanya.“Kakek yang aku temuin itu ternyata iblis,” ucapku.Bibi Sarinah tercengang mendengarnya.“A
“Kenapa?” tanyanya.Tiba-tiba kudengar suara arwah pengantin perempuan itu.“Jangan khawatir! Aku tak akan melihat kalian bermesraan. Itu malah akan membuatku sial jika melihatnya,” ucap arwah pengantin perempuan itu. Entah sekarang dia berada di mana. Aku lega mendengarnya. Akhirnya kutarik tangan Mas Bimo ke dalam kamar.Sesampainya kami di dalam kamar. Mas Bimo hendak menciumku. Aku menghindar.“Nanti aja, Mas,” ucapku.Mas Bimo heran, “Kenapa?”“Aku harus menemui kakek lagi. Aku harus mengakhiri semua ini,” ucapku.“Yaudah,” ucap Mas Bimo sedikit kecewa.Akhirnya aku duduk di atas kasur. Seperti biasa aku meminta Mas Bimo menjagaku. Akupun memejamkan mata. Akhirnya aku kembali berada di pinggir sungai itu. Sekarang aku lega sudah melihat kakek