Mas Bimo menjatuhkan tubuhku ke atas kasur. Kemudian dia kembali menciumku dengan beringas. Mas Bimo menarik kolornya ke ujung kakinya sambil menciumku hingga dia telanjang bulat. Saat Mas Bimo hendak meloroti pakaianku, aku langsung mendorong tubuh Mas Bimo.
"Jangan, Mas?" pintaku dengan degup nafsu yang masih membuncah.
Mas Bimo yang sedang duduk di hadapanku, di atas kasur, yang sudah telanjang bulat itu, hingga terlihat jelas sesuatu yang tak pantas aku lihat di tubuhnya.
"Kenapa? Aku ini suamimu," ucap Mas Bimo seperti memohon.
Bagaimana pun tubuh ini memang tubuh istri Mas Bimo. Sementara jiwanya adalah jiwaku. aku tidak boleh semena-mena terhadap tubuh ini. Meski tubuh ini adalah istri sahnya Mas Bimo, tapi jiwa aslinya sudah tidak ada. Apalagi aku tidak tahu bagaimana kondisi tubuh asliku saat ini.
"Jangan sekarang!" pintaku sekali lagi pada Mas Bimo.
Aku pun langsung beranjak dari sana dan keluar kamar menuju toilet untuk menjernihkan pikiranku dari hawa nafsu yang menguasaiku.
Di dalam toilet aku duduk di atas closed yang tertutup dengan merasa bersalah. Apa yang sudah aku lakukan? Pintu toilet itu digedor-gedor.
"Lastri!" panggil Mas Bimo di luar sana.
Aku menoleh ke arah pintu.
"Jangan, Mas. Jangan sekarang, aku mohon!" pintaku padanya.
"Yaudah buruan, aku mau ke kamar mandi." ucapnya yang terdengar agak kecewa.
Tak lama kemudian, aku membuka pintu toilet. Kulihat Mas Bimo sedang berdiri telanjang bulat di hadapan toilet. Aku buru-buru pergi dari sana meninggalkannya. Kulirik Mas Bimo sebentar, dia langsung masuk ke toilet. Aku pun keluar rumah dan duduk dengan bingung di teras rumah.
Kenapa semua bisa seperti ini? Kenapa jiwaku bisa berada dalam tubuh ini. Seketika aku teringat saat aku hendak membeli rumah di komplek itu.
Aku mendapatkan rumah itu gara-gara diberitahu Isabel teman kerjaku. Saat pertama kali aku memasuki rumah itu bersama Isabel dan pemilik rumah yang lama bernama Pak Mahmud, aku menemukan ada yang menggantung di ruang tengah. Tepat di dekat bolham lampu ruang tengah. Benda itu mirip tengkorak kepala elang dan ada juga bulu sayap elang berjumlah tujuh yang ikat bersamaan dengan tali hitam.
"Itu benda apa, Pak?" tanyaku pada Pak Mahmud kala itu.
"Itu hadiah dari sodara saya," jawab Pak Mahmud.
"Buat apa digantung di sana?" tanya saya penasaran.
"Katanya sih biar nggak ada orang jahat yang berani masuk ke dalam rumah," jawab Pak Mahmud.
Isabel juga tampak ikut penasaran.
"Maksudnya, Pak?" tanya Isabel pada Pak Mahmud.
"Ya katanya, kalo ada orang yang punya niat jahat, dia bakal langsung berubah jadi baik." Pak Mahmud menambahkan.
Aku dan Isabel saling lihat waktu itu. Kami antara percaya dan tidak percaya dengan hal begitu. Dan saat rumah itu sudah aku beli, Pak Mahmud meninggalkan benda itu, katanya mau dibuang juga tidak apa-apa. Aku malah membiarkannya tergantung di ruang tengah. Apa karena benda itu jiwaku bisa merasuk ke tubuh istri Mas Bimo ini?
Lamunanku terhenti, saat Mas Bimo datang, dia sudah selesai mandi dan sudah memakai kaos oblong dan celana kolor yang baru. Mas Bimo tampak heran melihatku.
"Aku minta maaf," ucap Mas Bimo padaku.
Aku diam saja.
"Aku janji nggak bakal maksa lagi kalo emang kamu belum mau...," ucap Mas Bimo seperti memelas.
Aku masih diam. Mas Bimo duduk di sebelahku.
"Maafin aku ya?" ucapnya tulus.
Aku tiba-tiba mengangguk. Seolah aku ini benar-benar istrinya. Mas Bimo tersenyum.
"Suamimu ini laper. Kamu nggak mau masakin?" ucap Mas Bimo manja.
"Yaudah, aku masakin, tapi habis makan nanti anter aku jenguk Mbak Indah ya, Mas?" pintaku.
Mas Bimo mengangguk. Aku pun masuk ke dalam dan memasak untuk Mas Bimo. Setelah selesai masak kami makan bersama dengan diam. Mas Bimo terus saja memperhatikan tingkahku. Semoga saja dia belum curiga padaku yang merasuki tubuh istrinya ini.
***
Aku dan Mas Bimo akhirnya berangkat menuju rumah sakit dengan motor Mas Bimo. Aku duduk di boncengan dengan gelisah dan masih menyimpan penasaran kenapa semuanya bisa terjadi seperti ini. Sekitar tiga puluh menit kami sampai di rumah sakit, masih di daerah sentul Bogor. Mas Bimo mengajak aku ke ruangan tubuh asliku yang sedang dirawat. Saat kami tiba di depan pintu kamar rawat inap tempat tubuhku dirawat, kulihat ada Mas Raka sedang duduk dengan sedih. Aku diam saja, pura-pura tidak kenal. Jika aku menyapa duluan, Mas Bimo pasti curiga denganku yang merasuki tubuh istrinya ini.
"Mas!" panggil Mas Bimo pada Mas Raka dengan terkejut.
"Iya. Eh, yang kemaren bantuin Indah ya?" tanya Mas Raka memastikan.
"Iya, Mas. Ini istri saya mau jenguk Mbak Indah. Kebetulan dia akrab sama Mbak Indah," ucap Mas Bimo pada Raka.
"Oh, boleh Mas. Ajak masuk ke dalam saja," pinta Mas Raka pada Mas Bimo.
Aku dan Mas Bimo masuk ke ruangan tempat tubuhku dirawat. Saat melihat tubuhku sendiri yang masih koma dan sedang dipakaikan oksigen dihidungnya, tiba-tiba kepalaku sakit, sakit sekali. Mas Bimo tampak cemas dan khawatir terhadapku.
"Kamu kenapa?" tanya Mas Bimo.
Tiba-tiba sakit di kepalaku hilang.
"Nggak kenapa-napa, Mas."
Aku pun duduk di dekat tubuhku yang sedang berbaring koma. Ternyata seperti itu orang-orang melihatku. Aku tampak bingung dan sedih. Jika jiwaku merasuki tubuh istri Mas Bimo ini, kemana jiwa Lastri? Apa sedang bergentayangan dan melihat semua kejadian yang aku lakukan bersama Mas Bimo? Tiba-tiba aku merinding, takut. Tak berapa lama kemudian kudengar suara Isabel di depan ruangan.
"Udah, Mas. Kita pulang yuk," pintaku.
Mas Bimo tampak heran.
"Kok, buru-buru? Baru aja nyampe?" tanya Mas Bimo heran.
"Yang penting aku udah liat kondisinya," jawabku.
"Yaudah, yuk." Mas Bimo akhirnya mengalah.
Lalu kami keluar dari ruangan itu. Benar saja, di depan pintu ruangan kulihat Isabel ada di sana sedang duduk bersama Mas Raka. Saat Isabel melihat kami keluar dari ruangan itu, Isabel langsung masuk ke dalam ruangan dengan sedih. Ingin rasanya aku menyapanya, tapi aku yakin dia tak akan percaya jika jiwaku sedang berada di dalam tubuh perempuan lain? Kami pun pamit pada Mas Raka lalu pergi dari sana.
Malam itu aku gelisah. Aku masih duduk di hadapan televisi. Mas Bimo keluar dari kamar dan duduk di dekatku.
"Tidur, yuk?" ajak Mas Bimo padaku.
Aku diam saja. Mas Bimo sepertinya mengerti aku masih takut kalau Mas Bimo mengajak aku untuk berhubungan intim lagi.
"Jangan takut, aku nggak akan minta jatah lagi kok, sampe kamu mau sendiri," ucap Mas Bimo menenangkan kekhawatiranku.
"Aku tidur di sofa aja," ucapku.
"Kalo kamu nggak mau tidur sama aku, biar aku aja yang tidur di sofa, kamu yang di kamar," ucap Mas Bimo yang tampak kecewa.
"Yaudah, tapi jangan nyelonong masuk kamar ya?" pintaku.
Mas Bimo mengangguk. Aku langsung beranjak dari sana hingga kudengar Mas Bimo menggumam.
"Sama suami sendiri kok kayak gitu?"
Aku diam saja dan masuk ke dalam kamar. Saat aku sudah berada di dalam kamar, ku kunci kamarnya lalu berbaring di atas kasur. Sesaat kemudian kudengar ada suara aneh dalam lemari yang kudengar. Seperti sebuah tangan yang mengetuk-ngetuk dari dalam lemari. Aku pun langsung merinding. Suara apa itu? Aku langsung bangkit dari kasur dan hendak memeriksa isi lemari, namun suara ketukan dari dalam lemari baju itu semakin kencang. Aku pun tak berani membuka lemarinya dan langsung berteriak.
"Mas!!!"
"Kenapa, Lastri?!" teriak Mas Bimo sambil menggedor pintu kamar. Suara ketukan dalam lemari semakin kencang. Aku pun langsung membuka pintu kamar. Mas Bimo masuk dengan heran. "Kamu kenapa?" tanya Mas Bimo khawatir. "Ada suara aneh dalam lemari, Mas." jawabku dengan cemas. Mas Bimo heran lalu berjalan menuju lemari dan langsung membukanya. "Suara apa? Nggak ada apa-apa kok selain pakaian kita." ucap Mas Bimo dengan heran. Aku pun memeriksa isi lemari, memang tak ada apa-apa. Aku semakin heran. Apakah itu suara arwah Lastri yang kini mengawang? Ah, mungkin ini pikiranku saja yang terlalu banyak menonton film-film fantasy. "Kok, nggak ada? Tadi beneran ada suara loh, Mas." ucapku heran. Mas Bimo menghela napas. "Yaudah tidur saja. Kamu lagi kecapean aja itu," pinta Mas Bimo padaku. "Iya, Mas." jawabku. Mas Bimo pun berjalan keluar kamar. Aku yang masih ketakutan akhirnya memanggilnya. "Mas.
Ilyas masih memegangi kepalaku dan memaksa aku untuk melakukan hal yang terlaknak itu. "Buruan, sayang!" pinta Ilyas padaku,"udah nggak tahan, nih." Aku masih mengunci mulutku dan memejamkan mataku. Aku tak mau melakukan itu. Tak lama kemudian terdengar suara motor. Ilyas melepas tangannya dari kepalaku lalu berjalan ke arah jendela dan mengintip keluar. Aku berdiri dengan heran, siapa yang datang itu? Ilyas buru-buru menarik celana jeansnya ke atas dan mengunci gespernya dengan panik. "Suami kamu pulang! Aku harus pergi dari sini," ucap Ilyas dengan panik. Aku lega. Sesuatu yang tidak aku inginkan terjadi ternyata ada penyelamatnya. Ilyas pun buru-buru berjalan ke arah belakang. Mungkin dia akan keluar melalui pintu belakang. Terdengar suara ketukan pintu. "Lastri!" Itu suara Mas Bimo. Aku pun pergi ke belakang, memastikan Ilyas tidak ada lagi di sana. Ternyata Ilyas sudah pergi. Dia keluar dari pintu belakang. Aku p
Aku dan Isabel yang sedang bersembunyi di kamar tampak bingung mendengarkan teriakan Ilyas di luar sana. "Sayang! Buka, sayang!" teriak Ilyas di luar sana. "Dia mau ngapain sih?" tanya Isabel heran. "Mau ngajak gituan, tadi aku sempet mau diperkosanya sampe dia udah buka celana," bisikku pada Isabel. Isabel tampak shock. "Sekarang kita gimana nih?" tanyaku khawatir pada Isabel dengan bingung. Isabel tampak berpikir. "Gimana ya? Aduh!" Isabel juga tampak bingung,"tapi ngomong-ngomong pas aku intip tadi dia cakep juga sih." Aku menghela napas. "Kok malah bahas dia cakep sih?" tanyaku sedikit ngambek. Isabel tertawa. Aku manyun. Tak lama kemudian Isabel berpikir lagi. "Kamu chat aja dianya pake nomor Lastri, bilang di rumah ada sodara suami kamu," ucap Isabel memberiku solusi. Aku pun mengikuti saran Isabel. Aku langsung mencari nama Ilyas di kontak handphone, setelah menemukannya, aku langs
Aku terbangun di sebuah kamar. Kamar yang besar dan luas. Aku tau betul ini di mana? Ini rumah kedua orangtuaku di kawasa Pondok Indah Jakarta Selatan. Tapi bagimana bisa aku pulang ke sini? Sementara aku masih di tubuh Lastri. Apa aku sudah berada di tubuhku sendiri? Aku pun beranjak menuju cermin. Aku ingin melihat rupaku kini. Apakah aku masih di tubuh Lastri? Atau aku sudah kembali ke tubuhku sendiri? Saat tiba di sana, aku terbelalak senang. Benar saja aku sudah berada di dalam tubuhku sendiri. Aku senang bukan main. Akhirnya aku bergegas berjalan menuju telepon rumah di atas meja belajarku dulu, lalu segera menghubungi Isabel. "Halo!" sapa Isabel di seberang sana. "Isabel...," lirihku. "Indah?" tanya Isabel dengan terkejut. Dia memang sudah hafal suaraku di telepon. "Iya ini aku." "Kamu sudah kembali ke tubuh kamu?" "Iya, sekarang aku ada di rumah orang tua aku di pondok Indah," jawabku. "Syukurlah kalo kamu u
"Kamu istriku, tolong diam," pinta Mas Bimo. Mas Bimo tidak mendengarku. Dia mengunci tubuhku dari atasku. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah akan apa yang dilakukannya padaku. Setelahnya tanpa ampun dia melampiaskan birahinya padaku hingga puas. Tak lama kemudian kepalaku terasa sakit lalu terbangun di dalam pelukan Mas Bimo. Tubuhku sedang telanjang bulat, Mas Bimo pun begitu. Kami sepertinya baru saja melakukan hubungan intim. Aku bangkit dari atas kasur. Mencubit pipiku, rasanya sakit. Aku bangkit dari atas kasur lalu bercemin. Hah? Kenapa jiwaku berada di tubuh Lastri lagi. Berarti apa yang aku rasakan semalam adalah mimpi? Dan ketika aku tidur jiwaku kembali lagi ke tubuh Lastri? Mas Bimo tampak heran melihatku. "Kamu kenapa sayang?" "Aku nggak mimpi kan?" tanyaku pada Mas Bimo yang masih tanpa busana di atas kasur itu. "Mimpi apa sih sayang?" ucap Mas Bimo heran. Mas Bimo beranjak
Setelah hampir satu jam perjalanan, kami pun tiba di depan rumah Pak Mahmud. Rumahnya terletak di daerah Depok. Setelah kami bergegas turun dari mobil Isabel, kami pun disambut dengan baik oleh Pak Mahmud. Pak Mahmud seperi heran melihatku. "Ada apa repot-repot kemari? Apa rumahnya ada masalah?" tanya Pak Mahmud pada Isabel. Isabel melihat ke arahku dengan bingung. Dia seperti memintaku untuk menjelaskan semuanya pada Pak Mahmud. "Oh ya, mbak Indahnya kemana? Tumben nih, Mbak Lastri ke sini?" tanya Pak Mahmud lagi. Aku pun memberi kode pada Isabel untuk menjelaskannya pada Pak Mahmud. Tampaknya Isabel mengerti. "Kami ada masalah, Pak." ucap Isabel, "mbak Indah mengalami hal aneh di rumah itu." Pak Mahmud terkejut, "Hal aneh apa?" "Mbak Indah bertukar jiwa dengan tetangganya, Pak." ucap Isabel menjelaskannya pada Pak Mahmud. Pak Mahmud tampak tak percaya. "Sekarang," lanjut Isabel,"Mbak Indah lagi ada di dalam tu
"Emang kalungnya kenapa?" tanya Lastri tampak bingung. Aku melihat ke Lastri. "Itu kalung untuk menyelamatkan kita. Kalung itu bisa ngembaliin jiwa kita ke tubuh kita masing-masing," jelasku pada Lastri. Lastri tampak senang mendengarnya. "Yah, kemana dong kalungnya? Aku beneran nggak tau?" jawab Lastri yang mendadak ikut-ikutan panik. Aku pun terduduk lesu. "Kita cari sampe ketemu. Siapa tau masih ada di sini," pinta Isabel pada kami. Kami pun mencari-cari kalung itu di semua ruangan di dalam rumahku. Lastri pun ikut sibuk mencarinya. Aku tak mau terjebak dalam tubuh ini selamanya. Dan aku tak mau tubuhku dimiliki oleh Lastri selamanya. Kami duduk bertiga dengan bingung di ruang tengah rumahku itu. Kami sudah mencari kalung itu kemana-mana, tapi kami tidak menemukannya. "Gimana, nih?" tanya Lastri dengan panik. "Aku nggak tau," jawabku bingung. Isabel tampak berpikir. "Coba aku tan
Malamnya aku gelisah sendiri di kamar. Tubuhku yang dirasuki jiwa Lastri, mungkin sudah tidur juga. Aku tak tahu bagaimana selanjutnya. Apa kah aku akan berada di tubuh ini selama-lamanya? Tidak, aku tidak mau itu. Aku tidur. Tengah malam itu aku terbangun saat mendengar suara derik pintu yang terbuka sedikit. Aku bangun dengan heran. Apa itu Mas Bimo? "Mas?" tanyaku memastikan. Tak berapa lama kemudian kulihat Ilyas masuk ke kamarku. Dia memakai topi, berjaket hitam dan menggunakan celana jeans belel. Di tangannya ada sebuah kayu balok yang tak begitu panjang. Aku terbelalak. Kenapa dia membawa kayuk balok itu ke sini? Bagaimana caranya dia bisa masuk ke rumah ini? "Ilyas?" Ilyas menghampiriku dengan cepat dan langsung memukul kepalaku dengan kayu balok itu, tanpa sempat aku berteriak. Setelahnya aku pusing dan tidak sadarkan diri lagi. Aku tersadar di atas kasur tipis tanpa ranjang itu. Sakit dikepalaku masih terasa. Kupandangi sekitar, kini
“Apa harus aku lakukan ketika menghadapnya?” tanyaku. “Kau akan mendapatkan kekuatan yang luar bisa. Kau akan mengurus mereka-mereka yang menjadi pengikut setia Tuan Raja di alammu. Kau akan menjadi dukun yang sangat sakti,” ucapnya. “Apa yang harus aku lakukan jika aku menjadi dukun sakti?” tanyaku penasaran. “Nanti kau akan tahu sendiri jika sudah menghadap Tuan Raja,” ucapnya. Lalu kuda yang membawa kereta kencana yang kunaiki perlahan mendekati sebuah gerbang istana. Di sana kulihat banyak pengawal seram yang menjaga gerbang itu. Pengawal itu langsung membuka gerbang istana untuk kami. Kami pun masuk ke dalam gerbang itu. Kulihat istananya begitu megah terbuat dari batu. Aku seperti melihat banyak candi di sana. Peri-peri kulihat beterbangan di atasnya. Tak lama kemudian kuda itu berhenti. “Turunlah dan masuklah ke dalam istana itu,” pinta perempuan yang sangat meny
Saat Mobil itu melaju kencang di jalanan. Kulihat Mas Bimo menangis. Aku ikut menangis melihatnya.“Terima kasih, Mas. Terima kasih kamu masih setia sama aku,” ucapku.Sekarang aku benar-benar yakin kalau Mas Bimo memang sangat mencintaiku. Lelaki mana yang masih setia pada istrinya yang sudah gila dan akan menunggunya sampai sembuh, meski tak ada yang tahu apakah istrinya itu benar-benar bisa sembuh atau tidak?Mobil yang kami naiki tiba-tiba berhenti di depan rumahku. Aku heran kenapa Mas Bimo ke sini. Aku pun turun bersama Mas Bimo lalu masuk ke dalam rumah. Papah dan Mamahku menyambut Mas Bimo dengan hangat. Aku kembali menangis melihat mereka. Mereka pasti sangat sedih melihatku kini sudah gila.“Apapun yang terjadi, aku akan tetap cinta sama Indah, Mah, Pah,” ucap Mas Bimo pada mereka.Mamah dan Papah menangis mendengarnya.&ldqu
Tak lama kemudian, tubuhku keluar bersama tiga perawat itu dari dalam ruangan itu. Dia tampak diam dengan tatap kosong. Dia juga tidak bisa melihat kehadiranku. Lalu tubuhku dibawa kembali oleh mereka ke ruangan tempat tubuhku tadi. Ketika kami sudah sampai di sana, kulihat Mas Bimo datang membawa makanan, mendekati tubuhku yang tersenyum-senyum sendiri.“Itu siapa?” tanya arwah perempuan itu padaku.“Itu suamiku,” jawabku.Arwah perempuan itu tampak heran.“Suamimu tampan!” pujinya.Mas Bimo duduk di dekat tubuhku.“Sayang, ini aku bawain kamu makanan. Kamu makan ya?” pinta Mas Bimo pada tubuhku.Aku menangis haru melihat itu. Rupanya Mas Bimo masih sayang padaku meski tubuhku sekarang sudah sudah gila.Tubuhku melihat ke arah Mas Bimo dengan marah.
Bus yang aku naiki tiba di sebuah halte dekat apartemenku. Aku turun dari sana. Tak ada satupun manusia yang bisa melihatku. Aku pun memasuki lobby apartemen dan berdiri di depan lift, menunggu mereka yang naik ke lantai yang sama dengan apartemenku. Saat ada dua sepasang kekasih memencet lantai yang sama dengan apartemenku, aku buru-buru masuk ke dalam. Dua sepasang kekasih itu saling melihat.“Kok aku merinding ya, yang?” tanya perempuan itu pada lelakinya.“Aku juga sama, kayaknya emang angker apartemen ini,” jawabnya.Aku diam saja. Aku tak peduli obrolan mereka. Saat pintu lift itu terbuka. Aku ikut keluar dan segera menembus pintu apartemenku. Aku mencari-cari Mas Bimo di dalam sana. Di dua kamar yang aku masuki aku tak menemukan Mas Bimo. Tiba-tiba aku mendengar kucuran air di dalam kamar mandi. Aku masuk ke dalam sana. Aku menangis saat mendapati Mas Bimo sedang telanjang menyandar di dind
Aku mengangguk. Ya, aku tak tahu sudah berapa lama aku di sana. Setipa kali pintu sering terbuka dan dua lelaki seram datang menyuruh kami kerja paksa untuk membangun istana mereka. Entah sudah berapa bulan lamanya hingga tubuhku sangat kurus dan rambutku terlihat acak-acakan. Tapi suatu hari, keajaiban datang. Kudengar di luar sana seperti terjadi peperangan. Lelaki itu berdiri dengan senang.“Mereka sudah datang!” ucapnya.Aku pun berdiri. Kami menempelkan telinga ke arah pintu gua yang tertutup. Sekarang terdengar jelas suara pedang yang beradu dan suara teriakan kesakitan. Tak lama kemudian, pintu gua terbuka. Benar saja, makhluk berjubah putih yang bercahaya terang itu masuk ke dalam gua dan menyuruh kami keluar dari sana. Aku dan lelaki itu pun keluar. Di depan gua, kulihat banyak sekali makhluk-makhluk yang menyeramkan terkapar di atas tanah dengan bersimbah darah. Burung-burung besar dan bersayap itu berdatangan. Mereka m
Aku pun terpaksa bersimpuh di hadapannya.“Tolong aku! Aku janji akan membantumu asal kembalikan aku ke tubuhku!” pintaku lagi.Makhluk seram itu tidak menggubrisku. Dia melihat ke dua lelaki seram yang berdiri di belakangku.“Kurung dia sekarang juga!” pintanya pada mereka.Akupun di tarik oleh dua lelaki yang menyeramkan itu.“Tolong! Aku janji akan menuruti kemauanmu! Aku janji tak akan berniat lagi untuk mengeluarkan ilmuku! Jangan kurung aku!” isakku.Makhluk menyeramkan dan memiliki dua tanduk itu tak menggubris permohanku. Dua lelaki itu terus saja menyeretku, lalu aku dimasukkan ke dalam gua yang sempit dan berpintu.“Keluarkan aku! Aku mau kembali ke tubuhku! Jangan kurung aku!” teriakku sambil terisak. Aku pun teruduk menyandar di dinding gua. Aku tak menyangka kalau akhirnya nasib
Kami pun tiba di rumah sakit. Mas bimo menggotong bibi Sarinah. Beberapa perawat langsung mengurus bibi Sarinah dan membawanya ke ruang ICU. Aku dan Mas Bimo duduk menunggu di depan ruang ICU. Mas Bimo menoleh padaku lalu memegangi tanganku.“Sabar, ya. Mas yakin bibi nggak akan kenapa-napa,” ucap Mas Bimo menenangkanku.Aku mengangguk. Mas Bimo memelukku.“Kamu tenang, aku yakin pasti ada jalannya untuk mengeluarkan ilmu di dalam tubuhmu,” ucap Mas Bimo.“Iya, Mas,” jawabku mencoba untuk tenang.Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruang ICU. Aku dan Mas Bimo langsung menghampiri dokter itu.“Gimana keadaan bibi Sarinah, dok?” tanyaku sedikit khawatir.Dokter itu tersenyum padaku.“Dia sudah sadar, sekarang kalian sudah boleh kalau mau menjenguknya,” jawab
“Nggak apa-apa, biar aku aja,” ucapku lalu berjalan ke arah dapur. Bibi Sarinah mengikutiku.Saat aku sudah memasukkan makanan itu ke dalam kulkas, aku menoleh pada bibi Sarinah yang berdiri di dekatku.“Bi,” panggilku.Bibi Sarinah menatapku dengan heran.“Kenapa?” tanyanya.“Aku minta maaf,” ucapku.Bibi Sarinah semakin heran.“Minta maaf kenapa?”“Ternyata ucapan bibi bener,”“Ucapan yang mana?”Aku menangis. Bibi Sarinah semakin penasaran padaku.“Ada apa, Non. Cerita ke bibi,” pintanya.“Kakek yang aku temuin itu ternyata iblis,” ucapku.Bibi Sarinah tercengang mendengarnya.“A
“Kenapa?” tanyanya.Tiba-tiba kudengar suara arwah pengantin perempuan itu.“Jangan khawatir! Aku tak akan melihat kalian bermesraan. Itu malah akan membuatku sial jika melihatnya,” ucap arwah pengantin perempuan itu. Entah sekarang dia berada di mana. Aku lega mendengarnya. Akhirnya kutarik tangan Mas Bimo ke dalam kamar.Sesampainya kami di dalam kamar. Mas Bimo hendak menciumku. Aku menghindar.“Nanti aja, Mas,” ucapku.Mas Bimo heran, “Kenapa?”“Aku harus menemui kakek lagi. Aku harus mengakhiri semua ini,” ucapku.“Yaudah,” ucap Mas Bimo sedikit kecewa.Akhirnya aku duduk di atas kasur. Seperti biasa aku meminta Mas Bimo menjagaku. Akupun memejamkan mata. Akhirnya aku kembali berada di pinggir sungai itu. Sekarang aku lega sudah melihat kakek