Beranda / Pernikahan / Jiwa Yang Tertukar / Do'a Istri yang Tersakiti

Share

Jiwa Yang Tertukar
Jiwa Yang Tertukar
Penulis: Fikri Mahmud

Do'a Istri yang Tersakiti

Penulis: Fikri Mahmud
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-22 16:40:52

"Aku ingin memberi tahumu bahwa bulan depan akan menikahi Arina anak almarhum Kahunan, mantan lurah," ucap Mas Abraham, suamiku.

Tanganku yang sedang menyuapi si Sulung seketika berhenti di udara.

Lelaki itu sama sekali tak sadar bahwa apa yang baru saja dikatakannya bisa menghancurkan duniaku. Yang dia tahu, istrinya ini sangat mengerti bahwa poligami diperbolehkan. Ya, benar memang boleh, tapi ia tak akan tahu semenyakitkan apa bagiku.

Mungkin ia tak ingin disalahkan jika menikahi Arina secara sirri. Ia takut dibilang tak berakhlak lantaran melakukannya sesuatu yang dihalalkan secara sembunyi-sembunyi. Itu sebabnya Abraham memberi tahu sebelum terlaksana ijab qabul. 

Aku sangat mengerti betul watak suamiku yang selalu menjaga harga diri dan wibawanya di masyarakat umum.

Semua orang mengenalnya lelaki paling baik di kelurahan Walang Sangit ini. 

Jangan tanya seberapa sering tangannya terulur menolong orang, karena dialah yang dikenal masyarakat sebagai carik pemurah. Namun, tak seorang pun yang tau kalau dia memberiku nafkah lima ratus ribu tiap tanggal lima tanpa mau tahu cukup atau tidak untuk kebutuhan selama satu bulan. Berbanding terbalik dengan apa yang diketahui oleh masyarakat di sini.

Dengan tangan gemetar dan hawa panas dalam tubuh yang terasa seolah membakar hati, aku meletekkan mangkuk. Lidah terasa kelu ketika ingin mengatakan betapa tega dirinya.

Tangan ini mengelus perut yang baru saja pagi tadi diketahui bahwa diriku tengah mengandung anak kedua berusia tiga bulan. Aku bahkan belum sempat memberi tahunya.

Semua kepedihan sejenak kusingkirkan untuk bertanya dan bisa mendapat jawaban dari Abraham, ayah anakku.

"Apakah menikahinya itu suatu keharusan? Apa alasannya, Mas?"

"Iya, harus. Itu wasiat dari almarhum Kahunan. Kamu tahu bukan, beliau yang memberikan jabatan carik untukku, sudah sepantasnya aku membalas jasa beliau."

"Oh." Aku mendesah menahan perih di hati. 

Hampir semua wanita akan merasakan sakit luar biasa, jika suami menduakan cintanya apalagi saat sedang mengandung. Itu terlalu dalam menggores rasa. Hancur lebur semua kebahagian yang pernah tercipta sebelumnya.

Embun-embun di mataku mulai berdesakkan ingin keluar. Tahan, aku tak boleh menangis. Aku bisa atasi. 

Dengan susah payah kumenata hati dan berusaha meredam gejolak yang riaknya sanggup menghantam kewarasanku. Harus disampaikan demi janin ini.

"Tapi, Mas, aku hamil tiga bulan. Bisakah pernikahan ditunda hingga lahir anak kita?"

"Kamu hamil lagi?" Abraham bertanya keheranan ia segera meletakkan surat kabar yang sejak tadi dibacanya.

Aku mengangguk lemah. Ia menarik napas berat. Mengapa aku merasa dirinya kecewa? Bukankah seharusnya dia gembira. Ah, sudahlah.

"Setauku seorang suami boleh menikah meskipun istri dalam kondisi hamil. Bukankah begitu?"

Pertanyaan macam apa itu.

Ya, Allah, Aku harap ia mengerti sedikit saja sakit yang kualami di dalam sini, mengapa justru bertanya hal itu seolah aku bukan wanita yang dianugrahi perasaan.

Cukup sudah jawabannya menunjukkan apa pun alasan yang kuajukan sekedar menunda tak akan dikabulkan olehnya. 

Aku segera menyelesaikan suapan terakhir si Sulung.

"Ayo, Maryam ke kamar, tidur siang dulu," ajakku.

Anak perempuanku segera bangkit dan menggendong boneka usang pemberian sepupunya. Aku mengikuti langkahnya.

Sampai di dalam kamar semua sesak di dada kutumpahkan tanpa suara, air mataku mengalir deras tak lagi terbendung. 

Maryam menyentuh punggungku.

"Ibuk," panggilnya sedih. 

Aku menoleh melihat wajahnya yang juga mendung dan mata berkaca-kaca, seolah ikut larut dalam kesedihan yang kualami.

"Angan ais," rengek Maryam memintaku untuk tidak menangis. 

Segera kuusap sisa-sisa tetesan air mata di wajah. Lalu tanganku meraih tubuh mungil Maryam dan memeluknya erat. Kuusap punggungnya dan membelai lembut rambut anak gadisku yang masih mungil ini. Setidaknya kehadiran Sulung mampu sedikit menguatkan jiwaku yang merapuh.

Sentuhan tangan kasar ini membuat Maryam perlahan terlelap. Aku sendiri termenung dengan tatapan mata kosong ke arah langit-langit kamar. Mata ini terlalu pedas untuk dipejamkan, beban yang ada dipikirkan terlalu berat menekan mental. Sesakit ini sekedar diberi tahu akan diduakan. Padahal belum terjadi.

Sesaat kudengar pintu depan dibuka dan ditutup lalu suara motor menjauh. Mungkin Bang Abraham keluar. Siapa lagi?

Aku tak bisa menghujat sang Pencipta yang membolehkan poligami. Jadi bagaimana bisa aku mengeluhkan ini pada-Nya.

Azan asar berkumandang. Aku beranjak dari tempat tidur dan menuju ke kamar mandi untuk berwudu.

Usai menunaikan kewajiban pada-Nya, Aku mulai menengadahkan tangan menumpahkan segala resah dan kekalutan.

Air mataku tak tertahan berderai tetes demi tetes membasahi mukena dan satu untaian do'a semoga mengubah jalan hidupku terangkai.

"Wahai, Sang Maha Esa dan Maha Kuasa, atas kekuatan-Mu, aku mohon pertolongan. Berikan posisi dan kondisiku yang memberi rasa sakit begitu dalam kepada suamiku beserta beban berat ini agar ia mengerti. Aku mohon, ya Rabb. Tanpa-Mu, jiwaku rapuh."

Usai semua tertuang dalam keluh kesah dan do'a, hati ini sedikit lapang. Kukosongkan harapan dan perasaan sebisanya agar bisa melanjutkan skenario hidup yang kujalani.

Yah, di dunia ini aku hanya salah satu tokoh yang diciptakan Sang Maha Sutradara. Rupanya aku sedang memerankan karakter istri pertama yang tengah hamil dan akan dipoligami. Baiklah, wahai hati, kita jalani saja peran ini, walau sangat sakit.

Hari-hariku selanjutnya tak lagi sama. Aku lebih banyak diam. Seperti robot tak bernyawa kujalani rutinitas, memasak, menyapu mengepel, mencuci dan menjemur serta mengasuh Maryam.

"Kamu kenapa?" tanya Bang Abraham saat aku mengepel lantai tapi kusodokkan alat pel ke kakinya, tiap kali ia memindahkan langkahnya tak berapa lama kembali kulakukan agar kakinya bergeser.

Entah mengapa, rasanya cara itu membuatku sedikit melampiaskan sakit di hati.

"Cuma lagi ngepel, kok, Mas. Kebetulan Mas berdiri di lantai yang sedang kupel."

"His, aneh-aneh." Ia berkata sambil berjingkat keluar rumah agar tak kena ujung pelku.

"Rasakan!" kataku dalam hati.

"Nanti ikutlah denganku!" teriaknya dari teras.

"Kemana?" tanyaku lesu.

Ya, aku tak bisa lagi semangat jika diajaknya keluar semenjak hari itu. Hari di mana ia mengabarkan akan memaduku.

"Ke rumah calon ibu Maryam yang baru, agar kalian akrab." 

Bagai dihantam godam, aku meremas gagang pel, padahal ia mengatakan tanpa beban sama sekali. Apa semua lelaki tak diberi perasaan sama sekali oleh Allah? Apa kaum Adam hatinya mati sehingga tak segan menyakiti wanita? Ampuni aku, ya,Allah yang tanpa sadar menghujat-Mu. Aku tak bermaksud begitu.

Setelah itu antara sadar dan tidak sadar kalau aku dikendalikan emosi, tanganku meraih ember berisi air kotor bekas celupan pel berwarna kecoklatan.

Byuur! 

Emberku terlempar, tepatnya pura-pura terlempar ke arah tempat suamiku berdiri sehingga membuat kemeja dan celana pantofelnya basah.

"Aduuh!" jeritku dengan suara menyayat hati.

Kakiku duduk bersimpuh, kupasang raut muka meringis dan sedikit membungkukkan badan ke depan. Sementara itu, tanganku menekan perut kuat-kuat.

Bersambung ...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mahendra jamil
hallo thor kita ktemu di sini sesuai janji, di apk yg lain... semangat trus tuk berkarya......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Jiwa Yang Tertukar   Berawal dari Hujan Deras

    Sambil meringis pura-pura kesakitan kulirik raut wajahnya yang memerah menahan kejengkelan. Akan tetapi, ia tak bisa melampiaskan kemarahanya. Tentu saja karena kondisi yang kualami."Makanya, hati-hati," ucapnya lalu mengulurkan tangan agar aku berdiri."Perutku, Mas! Aku takut keguguran," rintihku mencoba mencuri belas kasihannya."Sakit? Nanti pergilah ke bidan. Mau diantar atau pergi sendiri?" tanya lelaki mirip Roy Sortin, bintang film tahun sembilan puluhan. Tolong jangan dibantah penialianku, jangan pula salahkan namanya kalau agak meleset."Mana bisa nyetir motor kalau perutku seperti ini," kataku pura-pura lemahLelaki di depanku berdecak kesal."Aku ganti baju dulu. Nanti kuantar. Jalan hati-hati lantai masih basah. Awas jatuh!"Inilah kebaikan yang dimilikinya. Ia masih mau mengantar jika melihatku kondisi darurat.

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-22
  • Jiwa Yang Tertukar   Sadar dari Koma

    Aku tak ingat tentang detail yang terjadi sore itu.Ketika pertama kali membuka mata, yang terlihat olehku hordeng biru menjadi sekat yang mengelilingi ranjang tempat tidur."Sudah siuman, Pak?" tanya seseorang berbaju putih khas seragam petugas medis rumah sakit.Matanya jelas mengarah padaku. Tentu saja aku bingung. Dia memanggil "Pak" kepada siapa?Di sini hanya ada aku dan dia. Sedang aku bukan seorang bapak. Aneh bukan?"Apa yang dirasakan, Pak? Apakah kepala pusing?" tanya perawat itu lagi. Seolah ia mengerti aku kebingungan."Suster tanya pada saya?" tanyaku menunjuk ke dada.Eh, tunggu kenapa suaraku berubah seperti lelaki. Ngebas banget."Eergh, hem. Haloo, ... tes ...tes." Aku berusaha menghilangkan suara aneh ditenggorokan. Akan tetapi tetap saja yang keluar suara laki-laki.

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-22
  • Jiwa Yang Tertukar   PIN ATM

    Dompet Mas Abraham sudah kutemukan di laci meja dekat ranjang pasien, sesuai dengan petunjuk Mbak Fatma Kumala.Kartu ATM suamiku ada tiga. Apa semuanya berisi uang?Yang mana, yang akan kupakai untuk membayar tagihan rumah sakit ini nanti. Aku tercenung menatap isi dompet suamiku.Selembar uang senilai sepuluh ribu ada di tangan. Nanti jika diizinkan pulang oleh dokter aku mau menengok Maryam. Tadi kata Mbak Fatma Maryam dititipkan pada tetanggaku.Setidaknya aku beruntung punya tetangga yang baik hati. Hubungan kami simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Jika darurat, saya bisa titip Maryam padanya dan dia jika butuh sayur mayur segar bisa memetik di kebun belakang rumahku, halal. Apalagi saat harga cabai meroket, dia akan bersyukur sekali kuperbolehkan memetik di kebunku.Aduuh! Aku kebelet pipis. Panggilan alam membuatku menghentikan lamunan.D

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-22
  • Jiwa Yang Tertukar   Amankan Uang Suami

    Kuambil KTP yang tadi dipinta oleh CS Bank. Kuperhatikan tiap detail tanda tangan Mas Abraham. Lumayan rumit. Kusut kayak rambut nenek.Lah, ya, paraf coret-coretan gini aja, bagaiamana bisa diangkat carik. Harusnya kayak tanda tanganku yang simpel dan elegan, tinggal sat set, jadilah mirip logo petir. Sudah keren, mudah pula."Mbak, saya coba dulu dikertas coretan, ya.""Silakan."Setelah berkutat selama bermenit-menit, akhirnya aku bisa meniru tanda tangan suamiku. Dengan bangga kupersembahkan pada CS tanda tangan yang diminta.Tak berapa lama, pegawai bank tersebut menyerahkan padaku alat elektronik mungil entah apa namanya aku lupa. Ia menyuruhku mengetik enam angka sebagai PIN baru."Baik, selanjutnya ketik ulang, ya, Pak."Taraaa, PIN ATM suamiku sudah kurenovasi siap melakukan invasi dana miliknya.Keluar

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-22
  • Jiwa Yang Tertukar   Suami Siuman

    Sejujurnya, aku cukup panik membayangkan apa yang akan terjadi di depan mata.Sambil menggendong Maryam, aku berjalan setengah berlari di koridor rumah sakit. Tak sabar ingin melihat istriku. Ehem, sekarang aku jadi suami, ingat itu.Badan rasanya ringan meski berjalan cepat sambil membawa anakku di pundak. Beda sekali saat aku dalam ragaku sendiri.Sesampainya di depan pintu ruang ICU, aku menurunkan Maryam lalu menghampiri Mbak Fatma Kumala yang tampaknya memang menunggu kedatangan kami."Bagaimana, Mbak. Kondisi istriku?" tanyaku panik."Tadi bangun sebentar, Ham. Terus, dia bertanya 'dimana istriku?', 'kan ya aku jadi bingung."Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak. Pasti dia bingung dengan kondisinya, persis seperti aku kemarin."Terus, Mbak jawab apa?" tanyaku tak sabar."Ya, kubilang, 'kamu itu aneh kok tanya istri, kamu kan istri Abraham!' Eh, dia meraba tubuhnya. Kan lucu.""Hua ... ha ... h

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-24
  • Jiwa Yang Tertukar   Tak Bisa Menerima

    Aku kembali mendekati ranjangnya."Istriku sayang, kamu tidak mau 'kan dimasukkan rumah sakit jiwa gara-gara mengaku sebagai suami? Jika tidak mau, bersikaplah layaknya istri yang berbakti. Oke," kataku sambil menyentuh dagunya. Lalu sebuah ciumam dikeningnya kuberikan.Ia menggeram kesal."Kutinggal dulu, yah. Mau makan apa, Sayang? Biar kubelikan makanan enak berkualitas tinggi kaya protein dan gizi. Kasihan tubuh kurusmu tinggal kulit pembalut tulang, karena kekikiran suamimu ini yang hanya memberi nafkah lima ratus ribu setiap tanggal lima," ucapku sambil mataku menelisik setiap inci tubuhnya terutama pergelangan tangannya.Bola mata Mas Abraham mengikuti pandangan tajamku lalu ia menyingkap pergelangan tangannya seolah terhipnotis ikut memeriksa tubuhnya. Sepertinya, ia baru menyadari betapa kurus istrinya selama ini."Baiklah, kalau enggan menjawab. Biar aku yang pili

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-24
  • Jiwa Yang Tertukar   Suami yang Hamil

    "Heeg, mmmh!" Suara neg dari gumaman suamiku terdengar.Mas Abraham menutup mulutnya kuat-kuat dan segera berlari ke arah kamar mandi. Akan tetapi, ia menghentikan langkahnya saat selang infus tertarik."Emmm ... emm ... em." Ia mengumamkan sesuatu dengan mulut tertutup digerakan ke sana kemari mengikuti gerak penglihatannya yang ke arahku lalu ke infus.Bisa kupahami, ia menyuruhku dengan bahasa isyarat agar aku membawakan botol infus mengikuti langkahnya. Ia tak bisa membuka mulut lantaran menahan diri agar tak muntah sembarangan. Maklum suamiku hamil muda sedang mengalami morning sicknes yang datangnya bukan morning saja.Kuikuti langkahnya sambil membawa botol infus dari belakang.Sesampai di depan WC ia segera beraksi."Hueeek ..., hueeek!"Ia memuntahkan cairan berwarna putih karena dari kemarin sore belum terisi makanan.&nb

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-24
  • Jiwa Yang Tertukar   Memeriksa Detak Jantung Janin

    "Permisi, ya, Bu. Tolong, ini dibuka," kata dokter kandungan.Beliau satu-satunya dokter kandungan perempuan di rumah sakit ini. Aku cukup lega, ragaku tidak diperiksa oleh dokter laki-laki, tapi tidak dengan suamiku.Ia tak paham perintah dokter atau bagaimana? Dia justru membuka lengannya hingga bahu. Apa dikira dokter mau melakukan tensi?"Apakah belum diperiksa tensinya?" tanya dokter pada perawat jaga."Sudah, Dok," jawab perawat yang mengiringinya."Maaf, ya, Bu." Perawat itu mengulurkan tangan untuk membantu Mas Abraham menyingkap bagian perutnya."Heh, mau apa?" protes Mas Abraham. sambil beringsut duduk.Seketika tangan perawat mengambang di udara. Ia tak mengira mendapat penolakan dari suamiku."Fa, dokter hendak memeriksa detak jantung bayi. Bukalah bagian perut," ujarku berusaha memberikan pengertian

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-24

Bab terbaru

  • Jiwa Yang Tertukar   Kunci Utama

    "Pembukaannya sudah sempurna. Sekarang tarik napas dalam-dalam!"Mas Abraham menarik napas sesuai arahan, pipinya tampak menggelembung besar.Aku menahan tawa dengan menakupkan tangan ke mulut karena ia sampai menyimpan udara di pipi."Kau, ke-ter-laluan mener-ta-wakanku," ucapnya tebata-bata di sela rintihannya yang menyayat jiwa.Mendengar ucapannya, aku segera memasang wajah serius."Mulai! Dorong!" perintah Bu Bidan.Ia mendorong sekuat tenaga seperti orang wasir yang ingin buang hajat tapi kotoran tak kunjung keluar karena kesangkut di ambiennya."Yeah! Dorong, dorong, dorong," kataku dengan mulut komat-kamit tanpa suara di belakang bidan tapi menghadap wajah Mas Abraham. Kedua tangan kuangkat sambil mengepal dan menggerakkan siku ke atas ke bawah seperti yel-yel."Bu, Bi-sa ge- ser, auuuuh!" Ia memohon Bu Bidan geser sambil merintih. Suaranya mirip lolongan serigala, ups.Karena Bu Bidan geser ke bawah aku jadi maju sedikit dekat kakinya. Tak disangka dengan cepat kakinya yang t

  • Jiwa Yang Tertukar   Detik-detik Melahirkan

    Sehari sebelum kelahiran, Mas Abraham memegangi perutnya."Perutku sekit sekali, lihatlah!" keluhnya sambil menunjukkan telapak tangannya yang gemetar, mungkin karena menahan rasa sakit. Tak lama kemudian tangannya menggenggam kencang dengan wajah yang meringis, keringat dahinya bercucuran.Kupikir mungkin ia sedang mengalami kontraksi, tapi aku yakin bahwa ia tak tahu kalau akan segera melahirkan."Sudah berapa lama sakit kayak gitu?" tanyaku santai."Habis subuh tadi pas rakaat kedua. Saking sakitnya aku lanjutkan shalat sambil duduk. Terus waktu salam sakitnya ilang terus sekarang sakit lagi. Ini kenapa, ya. Dalam perut rasanya ada tangan yang meremas-remas bagian dalamnya. Apa janinnya tidak mati remuk.""Hus, remuk-remuk, kayak roti kering diremat saja. Ke bidan, yok. Periksa kenapa bisa gitu. Kali aja dikasih obat pereda sakit," ajakku. Tak ingin kukatakan padanya bahwa ia sudah harus bersiap. Takutnya keluar bandelnya minta di SC.Kalau berdasarkan dengan penuturannya ada jara

  • Jiwa Yang Tertukar   Ingin SC

    "Sabar," jawabku saat ia mengeluh selepas dari kamar mandi."Kapan kita bisa kembali ke raga masing-masing. Sudah enam bulan tak ada titik terangnya." Ia kembali mengeluh."Kau beruntung bisa mengeluh padaku. Dan aku mau mendengarkanmu. Kau ingat dulu, betapa cueknya dirimu saat aku mengaduh.""Iya, aku ingat. Kupikir kau hanya berlebihan. Ternyata memang lelah luar biasa dan bikin stressssss!"Aku tersenyum mendengarnya. Semoga tak ada lagi di dunia ini yang menuduh istrinya di rumah cuma ongkang-ongkang kaki. Apa yang dikerjakan dan dirasakan oleh wanita itu tak terlihat mata hasilnya. Padahal meletihkan.Andaikan semua yang dilakukan oleh wanita dihargai dengan uang. Aku yakin mereka pantas diberi nafkah lebih banyak dari ART yang merangkap sebagai baby sitter sekaligus sebagai koki bahkan lebih dari itu.Usia kandungan mulai menginjak sembilan bulan aku mengajaknya untuk USG terakahir kalinya."Buat apa? Buang-buang uang lagi pula aku malu jika harus dilihat lagi. Ini aurot," tola

  • Jiwa Yang Tertukar   Belum Terpecahkan

    Pertanyaan Mbak Ipar soal keramas membuat aku dan Mas Abraham saling pandang, lalu kami tertawa sambil menutup mulut."Kenapa tertawa?" tanya Mbak Fatma Kumala."Kami semalam itu cuma ngobrol saja, Mbak. Tentang urusan desa. Kami tidak nganu, kok. Iya, 'kan, Dek?" Aku mencoba meluruskan serta meminta penguatan pada Mas Abraham."Iya, Mbak. Wong Mas Abraham kuajak ndak mau, kok."Et, dah kenapa pula jawaban Mas Abraham pakai menyudutkan aku."Kamu ndak kangen, Ham? Kasihan istrimu, loh." Mbak Fatma Kumala, kok, tak malu, ya, bilang gitu. Padahal dia 'kan perempuan."Aku capek, Mbak. Mana ada mood." Kujawab saja seperti itu, rasanya mukaku panas kayak kepiting rebus yang baru ditiriskan. "Yang sabar, ya, Fa. Gitu dia mau kawin lagi sama Arina. Satu istri saja ndak kuat." Mbak Fatma berkata menghadap ke Mas Abraham yang menghuni ragaku."Entahlah Mas Abraham itu. Baru jadi carik saja, sok-sokan mau poligami. Ya, kan, Mbak?" Aku tersedak air minum. Mentang-mentang tubuh yang dia pakai

  • Jiwa Yang Tertukar   Pengakuan Mas Abraham

    Malam itu, aku, Maryam, Mbak Fatma dan Mas Abraham berkumpul di ruang tamu dengan beralaskan tikar.Mereka berdua bertanya tentang kejadian yang menimpa kami. Tentu kuceritakan menit-menit terjadinya likuifaksi. Juga tentang Pak Lana yang tak sanggup kami selamatkan."Kalau saja Pak Lana tak terlalu sombong, ...." Mas Abraham menyayangkan kejadian itu. "Sudah takdirnya hanya sampai di situ," ucapku.Kami banyak bercerita sampai tak terasa kami berempat, tertidur di ruang tamu beralaskan tikar. Kasur kapuk yang ada di kamar juga di bawa ke depan agar Maryam tidur di situ sekalian. Jarang-jarang Mbakyu Fatma Kumala mau menginap.Jam dua dini hari aku terbangun. Kulihat Mbak Fatma dan juga Maryam tertidur pulas begitu pula Mas Abraham. Kutinggal mereka untuk pergi ke kamar mandi karena kebelet pipis.Sekembaliku, Mas Abraham sudah bangun dan duduk menantiku."Mau ke kamar mandi?" tanyaku padanya."Nanti saja. Aku mau bicara mumpung mereka tidur," jawabnya sambil matanya seolah menunju

  • Jiwa Yang Tertukar   Kami Bertemu Keluarga

    "Kalian tunggulah di sini, saya akan pergi meminta bantuan untuk transportasi kita ke pemukiman baru," ujar Pak Lurah."Ham, ayo, ikutlah!" ajak Pak Lurah."Kemana, Pak?" tanyaku."Ke pemesanan travel. Kita pesan bus pariwisata.""Mau tamasya, Pak?"Tiba-tiba Pak Lurah memukul kepalaku dengan dahan ranting kecil.Salahku apa?"Mau ikut tidak?" tanyanya.Kalau di suruh milih ikut atau tidak, pastinya ingin tidak ikut. Lha, di sini ada Muzakka ya, pilih tinggal di sini, nunggu mantan. Andai tak disemat namaku dengan label Pak Carik. Sayangnya karena faktanya aku Pak Carik, suka duka harus mau mendampingi Pak Lurah. Jadi, mau tak mau harus brangkat.Aku naik ke boncengan motor Pak Carik. "Kami cari bantuan, kalian tunggu di sini. Tapi kalau ada bencana cepat pindah ke tempat aman. Jangan lupa terus berzikir!" perintah Pak Lurah."Siap, Pak!" Semua yang ada di situ menjawab bersamaan."Oh, ya. Yang bawa motor boleh melakukan perjalanan lebih dulu, ada yang sudah tahu kan lokasinya? Bus

  • Jiwa Yang Tertukar   Ada yang Berjuang Hidup tapi Mati

    Semua mungkin sepertiku, terkesiap dengan mata terbelalak. Hujan pun seolah tiba-tibw berhenti meski suara guntur masih terdengar bersahutan di ujung bukit Andai. Tuh, orang baru datang langsung aja main nyelonong mau nyeberang langsung. Akibatnya pohon bergerak hebat. Muzakka langsung tiarap dan dan merambat cepat untuk menggapai ranting. Sementara Pak Lana yang sama sekali tak tahu kondisi hanya terburu nafsu ingin cepat sampai sempat tiba-tiba oleh untungnya ia sempat berbalik arah dan melompat mundur. Wajahnya memutih pucat pasi. Ia bingung. Abaikan, orang menyebalkan itu. Aku mau fokus tentang perjuangan Muzakka dulu. Salah Pak Lana sendiri disuruh pergi saat kloter pertama, sok-sokan kayak gak butuh orang. Sakit hatiku mengingat datang ke rumahnya dicuekin gak dibukain pintu. Jika kalian lupa sikapnya, kalian bisa baca lagi di bab dua puluh sembilan. Kali ini Muzakka masih merambat tapi si Pengganggu maksudku Pak Lana kembali ingin menapakkan kakinya ke batang. Ia ikutan ca

  • Jiwa Yang Tertukar   Berjuang untuk Selamat

    Orang-orang yang ada bersama kami saling menyemangati agar mereka bisa melewati lubang memanjang itu.Beberapa lelaki melompati tanah terbelah dan berhasil mendarat di tempat aku dan Pak Lurah berada.Yang membawa mobil, dengan sangat terpaksa meninggalkan mobilnya di sana begitu saja. Mereka semua melompati lubang dalam yang lebarnya semeter lebih.Sekarang hanya tersisa keluarga Muzakka. Aku tahu mengapa Muzakka dan Pak Haji tak segera melompat. Sebagai seorang suami, Pak Haji tak mungkin meninggalkan istrinya di situ, begitu pula Muzakka, sebagai anak lelaki akan sangat keterlaluan jika ia membiarkan ibunya sendirian. Jadilah mereka bertiga mondar-mandir mencari solusi.Di sini area hutan jati. Kiri dan kanan jalan tak ada rumah penduduk yang ada hanya batang pokok jati. Beberapa pohon menjadi doyong bahkan ada dua atau tiga yang roboh dikarenakan tanah yang tidak stabil.Tampaknya Muzakka ingin memanfaatkan pohon yang roboh. Ia dan abinya berusaha menyeret pohon tumbang tapi tent

  • Jiwa Yang Tertukar   Bencana yang Sesungguhnya

    "Jadi kamu diculik? Dan barang-barang di rumahmu dirampok?" tanya Pak Lurah terkejut.Aku hanya menjawab dengan anggukan.Pak Lurah menggelengkan kepala. Ia sepertinya prihatin dengan apa yang menimpaku. Yah, beginilah nasibku."Begitulah, Pak. Nasib orang jelek seperti saya." Jelek perilaku Mas Abraham maksudku."Ya, Allah, Ham. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Seperti apa temanmu itu sebenarnya sampai melakukan hal yang mengerikan seperti itu."Tak ada yang bisa kurespon selain memasang wajah sedih. Siapa yang tak galau punya musuh bebuyutan tapi tak mengenalnya.Untuk beberapa saat kami hening. Aku sendiri sibuk berpikir tentang bagaimana keadaan Mas Abraham dan Maryam di sana. Kira-kira dia panik tidak mengingat dirinya semula berhadapan dengan musuh dan setelahnya aku yang menghuni raga. Kalau dia masih ada hati harusnya kebingungan.Di luar terdengar rintik hujan makin lama makin deras. Tampaknya musim hujan sudah dimulai hari ini. Aku dan pak lurah saling berpandangan. Apa yang

DMCA.com Protection Status