Aku tak ingat tentang detail yang terjadi sore itu.
Ketika pertama kali membuka mata, yang terlihat olehku hordeng biru menjadi sekat yang mengelilingi ranjang tempat tidur.
"Sudah siuman, Pak?" tanya seseorang berbaju putih khas seragam petugas medis rumah sakit.
Matanya jelas mengarah padaku. Tentu saja aku bingung. Dia memanggil "Pak" kepada siapa?
Di sini hanya ada aku dan dia. Sedang aku bukan seorang bapak. Aneh bukan?
"Apa yang dirasakan, Pak? Apakah kepala pusing?" tanya perawat itu lagi. Seolah ia mengerti aku kebingungan.
"Suster tanya pada saya?" tanyaku menunjuk ke dada.
Eh, tunggu kenapa suaraku berubah seperti lelaki. Ngebas banget.
"Eergh, hem. Haloo, ... tes ...tes." Aku berusaha menghilangkan suara aneh ditenggorokan. Akan tetapi tetap saja yang keluar suara laki-laki.
Perawat itu tersenyum aneh, seperti menganggapku sedang melucu. Padahal sumpah aku sedang bingung.
"Tentu saja saya bertanya pada Bapak. Tidak mungkin ngomong sama tembok, Pak," ucapnya tersenyum cengengesan.
Aku segera memperhatikan kedua tangan ini. Jarinya guede kayak jari suamiku. Tanpa sadar mulutku menganga memperhatikan bagian anggota tubuh yang tak tertutup baju seperti lengan dan kaki. Bulu-bulu yang keriting di betis kaki. Aku bergidik, hiii. Tanganku menyentuh dada, pfff, rata. Di mana gundukan kembarku?
Ternyata, aku bukan perempuan, pemirsa!
"Pak, Bapak kenapa melotot? Apa jantung Bapak terasa sesak?"
"Sus, saya betulan laki-laki?" tanyaku untuk meyakinkan diri sendiri.
"Eh, apa bapak amnesia? Sampai lupa jenis kelamin segala," ucap suster di depanku keheranan.
Mana mungkin aku amnesia.
"Saya masih ingat, kok, Sus. Nama saya Ulfa Khairyah, anak saya Maryam dan suami saya emm ... Abraham."
Suster menahan tawa.
"Nanti saya panggilkan dokter, ya, Pak. Agar diperiksa kejiwaan Bapak."
"Eh, jangan. Saya tidak gila. Saya ingat, kok. Saya hanya bercanda."
Memalukan kalau aku sampai divonis gila. Tidak, itu tidak boleh terjadi.
"Bapak lucu sekali. Bangun dari pingsan langsung melawak. Humoris sekali." Ia tertawa.
"Kalau begitu, nanti jika ada keluhan sampaikan saja pada dokter saat berkunjung kemari," lanjutnya.
Setelah berkata demikian, suster itu segera berlalu meninggalkan aku dalam misteri.
Perlahan aku bangkit. Nyeri luar biasa pada bahu dan pinggangku. Pasti akibat kejadian sore itu. Namun, kupaksakan kaki melangkah menuju wastafel karena ingin melihat wajahku di depan cermin.
"Hah!"
Raut wajah Mas Abraham ada di cermin. Ini benarkah? Terus bagaimana dengan wajahku? Tubuhku ada di mana?
Dengan tertatih aku menyibak hordeng. Tak ada pasien lain di sini. Di mana tubuhku juga anakku.
Demi untuk mengetahui kondisi mereka, aku pergi ke tempat suster jaga.
"Mbak, istri dan anakku ada di mana?" Kali ini aku tidak ingin lagi dikatakan gila jika mengaku mencari suamiku dan ragaku.
"Oh, ada di ruang ICU, karena ternyata kondisinya si Ibu yang sedang hamil jadi ia perlu pemeriksaan ekstra, Pak. Tapi, Alhamdulillah bayi dan ibunya masih bisa diselamatkan. Kalau mau lihat di lorong sebelah sana, lalu belok kiri. Sedangkan anak Bapak tidak ada di sini."
Mendengar penjelasannya, aku tak henti mengucapkan syukur sambil mengelus dadaku yang kini rata karena nyawa anak dalam kandungan selamat. Akan tetapi, aku cemas dengan kondisi Maryam. Ibu mana yang tak khawatir jika tak tahu keberadaan anaknya.
Dengan langkah terseok, aku menuju ruang ICU tempat di mana tubuhku mungkin berada.
"Loh, Ham. Sudah siuman?" tanya Mbakyu iparku, Fatma, "tadi kutinggalkan sebentar untuk melihat istrimu yang masih koma."
"Iya, Mbak."
Tak banyak yang bisa kuceritakan tentang iparku. Keluarga suamiku tidak terlalu ikut campur urusan keluarga kami. Akan tetapi, untuk urusan poligami kemarin entahlah. Apakah Mas Abraham sudah meminta restu pada saudara dan ibunya atau belum?
Tiba-tiba terlintas di pikiranku untuk menanyakan apa pendapatnya tentang rencana poligami suamiku.
"Mbak, kami kecelakaan ketika akan pergi ke rumah Arina."
"Arina anak mantan lurah itu?"
Aku mengangguk.
"Ngapain ke sana, Ham?"
Oh, jadi keluarga suamiku tidak tahu kalau saudara laki-lakinya akan menikah lagi.
"Mbak, tempo hari apa aku tak pernah bilang, ya? Kalau aku akan menikahi Arina sebagai istri kedua."
"Kukira bercanda, Ham. Lagi pula kamu kan Carik mana bisa seenaknya punya dua istri."
Jadi mbak iparku sudah diberi tahu. Hanya saja tak mengira kalau Mas Abraham serius.
"Tapi, kalau tujuanmu agar bisa jadi lurah di pemilihan berikutnya, strategi menikahi Arina memang patut diperhitungkan. Lurah yang sekarang 'kan pastinya tak lagi mencalonkan diri. Otomatis kalau kamu ingin jadi lurah Arina bisa jadi batu loncatan."
O, ho. Jadi begitu. Pernikahan politik. Kupikir suamiku menyukai Arina karena ia lebih cantik dari pada diriku yang sudah beranak satu dan akan kedua kalinya.
Satu lagi yang kusadari, Mas Abraham menikahiku bukan karena mencintaiku. Namun karena aku anak tunggal Almarhum Carik di desa Walangsangit ini dan baru sekarang alasan tersebut kuketahui.
Aku yakin seyakin-yakinnya bahwa Mas Abraham gila hormat dan jabatan. Merasa berhasil menjadikanku batu loncatan, ia menggunakan cara yang sama untuk meraih jabatan yang lebih tinggi.
Kelurahan ini memang perangkat desanya masih kental dengan nepotisme. Lurah yang sekarang saja bisa diangkat karena masih saudara laki-laki bapaknya Arina. Begitu pula dengan diriku. Andai kata aku tak menikah dengan Mas Abraham mungkin Ayah akan menyuruhku untuk mengajukan diri sebagai carik berikutnya.
Jika kuingat-ingat, Mas Abraham memang mendekati ayahku semenjak beliau diangkat menjadi sekretaris desa ini. Sedemikian carmuknya dia sampai-sampai Ayah mau menjodohkan aku dengannya.
Aku yang waktu itu lugu dan polos tentu saja tak mengerti ada segerombolan udang dibalik batu. Ada maksud tersembunyi dibalik keinginan Mas Abraham menikahiku. Ia mau jabatan ayahku.
"Ham! Kamu melamun?" tanya Mbak Fatma.
"Eh, mboten, Mbakyu." Aku memang kadang berbahasa halus kepada mbak iparku. Walau tak secara keseluruhan.
"Gaya ngomongmu, kok, kayak Ulfa, to."
Waduh, lupa lagi.
"Wajar Mbakyu, 'kan suami istri kadang saling terpengaruh kebiasaan pasangannya." Aku mencoba memberikan alasan yang kupikir masuk akal.
"Oh, ya, Ham. Biaya rumah sakit kalian berdua pasti besar. Aku cuma bisa bantu sedikit." Mbak Fatma mengeluarkan selembar uang merah lalu memberikannya kepadaku.
Hanya seratus. Bukan aku tak bersyukur tapi aku tak punya tabungan sama sekali, uang yang diberikan Mas Abraham cukup untuk makan saja. Hanya kebun belakang rumah yang menjadi penopang separuh hidupku dan Maryam.
Tagihan rumah sakit pasti jutaan. Apalagi tubuhku berada di ruang ICU, entah kapan tersadar.
Eh, tunggu. Yang berada di ICU hanya tubuhku. Artinya dengan raga Mas Abraham aku bisa mengambil uang di ATM.
Ya, benar. Baru kusadari fakta ini.
Dengan senyum mengembang, aku berniat mengambil kartu ATM suamiku.
"Ham, kenapa senyum-senyum sendiri?"
"Eh, anu ... Mbak, tau di mana dompetku?"
"Oh, itu. Ada di laci dekat meja ranjangmu. Carilah. Tapi uangnya tak ada. Kamu pernah bilang tidak mau menyimpan uang di dompet dalam jumlah besar, takut diambil istrimu. Jadi tadi kulihat hanya ada uang sepuluh ribu saja. Aku ndak ngambil sama sekali, loh, ya."
Duh, suamiku keterlaluan kamu, Mas. Masak sama istri sendiri curiga. Kucuri beneran baru tahu rasa.
Dompet Mas Abraham sudah kutemukan di laci meja dekat ranjang pasien, sesuai dengan petunjuk Mbak Fatma Kumala.Kartu ATM suamiku ada tiga. Apa semuanya berisi uang?Yang mana, yang akan kupakai untuk membayar tagihan rumah sakit ini nanti. Aku tercenung menatap isi dompet suamiku.Selembar uang senilai sepuluh ribu ada di tangan. Nanti jika diizinkan pulang oleh dokter aku mau menengok Maryam. Tadi kata Mbak Fatma Maryam dititipkan pada tetanggaku.Setidaknya aku beruntung punya tetangga yang baik hati. Hubungan kami simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Jika darurat, saya bisa titip Maryam padanya dan dia jika butuh sayur mayur segar bisa memetik di kebun belakang rumahku, halal. Apalagi saat harga cabai meroket, dia akan bersyukur sekali kuperbolehkan memetik di kebunku.Aduuh! Aku kebelet pipis. Panggilan alam membuatku menghentikan lamunan.D
Kuambil KTP yang tadi dipinta oleh CS Bank. Kuperhatikan tiap detail tanda tangan Mas Abraham. Lumayan rumit. Kusut kayak rambut nenek.Lah, ya, paraf coret-coretan gini aja, bagaiamana bisa diangkat carik. Harusnya kayak tanda tanganku yang simpel dan elegan, tinggal sat set, jadilah mirip logo petir. Sudah keren, mudah pula."Mbak, saya coba dulu dikertas coretan, ya.""Silakan."Setelah berkutat selama bermenit-menit, akhirnya aku bisa meniru tanda tangan suamiku. Dengan bangga kupersembahkan pada CS tanda tangan yang diminta.Tak berapa lama, pegawai bank tersebut menyerahkan padaku alat elektronik mungil entah apa namanya aku lupa. Ia menyuruhku mengetik enam angka sebagai PIN baru."Baik, selanjutnya ketik ulang, ya, Pak."Taraaa, PIN ATM suamiku sudah kurenovasi siap melakukan invasi dana miliknya.Keluar
Sejujurnya, aku cukup panik membayangkan apa yang akan terjadi di depan mata.Sambil menggendong Maryam, aku berjalan setengah berlari di koridor rumah sakit. Tak sabar ingin melihat istriku. Ehem, sekarang aku jadi suami, ingat itu.Badan rasanya ringan meski berjalan cepat sambil membawa anakku di pundak. Beda sekali saat aku dalam ragaku sendiri.Sesampainya di depan pintu ruang ICU, aku menurunkan Maryam lalu menghampiri Mbak Fatma Kumala yang tampaknya memang menunggu kedatangan kami."Bagaimana, Mbak. Kondisi istriku?" tanyaku panik."Tadi bangun sebentar, Ham. Terus, dia bertanya 'dimana istriku?', 'kan ya aku jadi bingung."Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak. Pasti dia bingung dengan kondisinya, persis seperti aku kemarin."Terus, Mbak jawab apa?" tanyaku tak sabar."Ya, kubilang, 'kamu itu aneh kok tanya istri, kamu kan istri Abraham!' Eh, dia meraba tubuhnya. Kan lucu.""Hua ... ha ... h
Aku kembali mendekati ranjangnya."Istriku sayang, kamu tidak mau 'kan dimasukkan rumah sakit jiwa gara-gara mengaku sebagai suami? Jika tidak mau, bersikaplah layaknya istri yang berbakti. Oke," kataku sambil menyentuh dagunya. Lalu sebuah ciumam dikeningnya kuberikan.Ia menggeram kesal."Kutinggal dulu, yah. Mau makan apa, Sayang? Biar kubelikan makanan enak berkualitas tinggi kaya protein dan gizi. Kasihan tubuh kurusmu tinggal kulit pembalut tulang, karena kekikiran suamimu ini yang hanya memberi nafkah lima ratus ribu setiap tanggal lima," ucapku sambil mataku menelisik setiap inci tubuhnya terutama pergelangan tangannya.Bola mata Mas Abraham mengikuti pandangan tajamku lalu ia menyingkap pergelangan tangannya seolah terhipnotis ikut memeriksa tubuhnya. Sepertinya, ia baru menyadari betapa kurus istrinya selama ini."Baiklah, kalau enggan menjawab. Biar aku yang pili
"Heeg, mmmh!" Suara neg dari gumaman suamiku terdengar.Mas Abraham menutup mulutnya kuat-kuat dan segera berlari ke arah kamar mandi. Akan tetapi, ia menghentikan langkahnya saat selang infus tertarik."Emmm ... emm ... em." Ia mengumamkan sesuatu dengan mulut tertutup digerakan ke sana kemari mengikuti gerak penglihatannya yang ke arahku lalu ke infus.Bisa kupahami, ia menyuruhku dengan bahasa isyarat agar aku membawakan botol infus mengikuti langkahnya. Ia tak bisa membuka mulut lantaran menahan diri agar tak muntah sembarangan. Maklum suamiku hamil muda sedang mengalami morning sicknes yang datangnya bukan morning saja.Kuikuti langkahnya sambil membawa botol infus dari belakang.Sesampai di depan WC ia segera beraksi."Hueeek ..., hueeek!"Ia memuntahkan cairan berwarna putih karena dari kemarin sore belum terisi makanan.&nb
"Permisi, ya, Bu. Tolong, ini dibuka," kata dokter kandungan.Beliau satu-satunya dokter kandungan perempuan di rumah sakit ini. Aku cukup lega, ragaku tidak diperiksa oleh dokter laki-laki, tapi tidak dengan suamiku.Ia tak paham perintah dokter atau bagaimana? Dia justru membuka lengannya hingga bahu. Apa dikira dokter mau melakukan tensi?"Apakah belum diperiksa tensinya?" tanya dokter pada perawat jaga."Sudah, Dok," jawab perawat yang mengiringinya."Maaf, ya, Bu." Perawat itu mengulurkan tangan untuk membantu Mas Abraham menyingkap bagian perutnya."Heh, mau apa?" protes Mas Abraham. sambil beringsut duduk.Seketika tangan perawat mengambang di udara. Ia tak mengira mendapat penolakan dari suamiku."Fa, dokter hendak memeriksa detak jantung bayi. Bukalah bagian perut," ujarku berusaha memberikan pengertian
Keesokan harinya, kami bisa pulang pukul sebelas siang setelah menyelesaikan administrasi. Sebelumnya aku sudah selesai mengurus PIN ATM yang kedua di bank BKI (Bank Kecil Indonesia). Isinya sepuluh juta. Tak begitu mengejutkan seperti ATM BCI. Mungkin karena namanya bank kecil jadi Mas Abraham juga menabung dana kecil di situ.Tinggal ATM yang ketiga belum kuganti PINnya. Nanti saja, saat sudah longgar waktuku.Untuk pulang, kami memesan taxi online. Di dalam mobil inilah, Mas Abraham tak sabar menanyakan ATMnya."Berapa banyak yang kau ambil dalam ATMku?" tanyanya."Siapa bilang ATMmu? Ini ATM atas nama Abraham dan akulah orangnya. Kamu hanya istri tidak perlu tahu isi ATMku," jawabku dingin."Fa, aku malas berdebat. Aku hanya ingin mengatakan bahwa dalam salah satu ATM itu, uangnya bukan milikku. Itu uang penduduk kelurahan Walang Sangit dan menyangkut nyawa seluruh kelurahan
"Sudah kubilang aku tidak bisa masak, dipaksa," sungut Mas Abraham. "Tuh, lanjutkan goreng telurnya." Aku berkata tanpa peduli keluhannya. "Fa!" "Panggil aku 'Mas'!" "Kalau aku panggil 'Mas', apakah kamu mau masakin buatku?" "Tidak! Itu pekerjaan perempuan!" tolakku tegas. "Aku lapar," katanya sedikit memelas. "Lanjutkan masaknya agar bisa makan," ucapku. Ia menggeram kesal. Helm yang tadi sempat dilepas sekarng dikenakannya lagi siap tempur di depan wajan. Dari arah kamar terdengar suara Maryam merengek memanggil-manggil ibunya kebiasaan dia ketika bangun tidur. Jiwa keibuanku masih ada dalam diri ini mendorongku untuk menghampirinya. "Ayo, Maryam bangun. Anak shalihah ikut Ayah dulu. Ibu lagi masak." Biarlah saat ini kumandikan Mary
"Pembukaannya sudah sempurna. Sekarang tarik napas dalam-dalam!"Mas Abraham menarik napas sesuai arahan, pipinya tampak menggelembung besar.Aku menahan tawa dengan menakupkan tangan ke mulut karena ia sampai menyimpan udara di pipi."Kau, ke-ter-laluan mener-ta-wakanku," ucapnya tebata-bata di sela rintihannya yang menyayat jiwa.Mendengar ucapannya, aku segera memasang wajah serius."Mulai! Dorong!" perintah Bu Bidan.Ia mendorong sekuat tenaga seperti orang wasir yang ingin buang hajat tapi kotoran tak kunjung keluar karena kesangkut di ambiennya."Yeah! Dorong, dorong, dorong," kataku dengan mulut komat-kamit tanpa suara di belakang bidan tapi menghadap wajah Mas Abraham. Kedua tangan kuangkat sambil mengepal dan menggerakkan siku ke atas ke bawah seperti yel-yel."Bu, Bi-sa ge- ser, auuuuh!" Ia memohon Bu Bidan geser sambil merintih. Suaranya mirip lolongan serigala, ups.Karena Bu Bidan geser ke bawah aku jadi maju sedikit dekat kakinya. Tak disangka dengan cepat kakinya yang t
Sehari sebelum kelahiran, Mas Abraham memegangi perutnya."Perutku sekit sekali, lihatlah!" keluhnya sambil menunjukkan telapak tangannya yang gemetar, mungkin karena menahan rasa sakit. Tak lama kemudian tangannya menggenggam kencang dengan wajah yang meringis, keringat dahinya bercucuran.Kupikir mungkin ia sedang mengalami kontraksi, tapi aku yakin bahwa ia tak tahu kalau akan segera melahirkan."Sudah berapa lama sakit kayak gitu?" tanyaku santai."Habis subuh tadi pas rakaat kedua. Saking sakitnya aku lanjutkan shalat sambil duduk. Terus waktu salam sakitnya ilang terus sekarang sakit lagi. Ini kenapa, ya. Dalam perut rasanya ada tangan yang meremas-remas bagian dalamnya. Apa janinnya tidak mati remuk.""Hus, remuk-remuk, kayak roti kering diremat saja. Ke bidan, yok. Periksa kenapa bisa gitu. Kali aja dikasih obat pereda sakit," ajakku. Tak ingin kukatakan padanya bahwa ia sudah harus bersiap. Takutnya keluar bandelnya minta di SC.Kalau berdasarkan dengan penuturannya ada jara
"Sabar," jawabku saat ia mengeluh selepas dari kamar mandi."Kapan kita bisa kembali ke raga masing-masing. Sudah enam bulan tak ada titik terangnya." Ia kembali mengeluh."Kau beruntung bisa mengeluh padaku. Dan aku mau mendengarkanmu. Kau ingat dulu, betapa cueknya dirimu saat aku mengaduh.""Iya, aku ingat. Kupikir kau hanya berlebihan. Ternyata memang lelah luar biasa dan bikin stressssss!"Aku tersenyum mendengarnya. Semoga tak ada lagi di dunia ini yang menuduh istrinya di rumah cuma ongkang-ongkang kaki. Apa yang dikerjakan dan dirasakan oleh wanita itu tak terlihat mata hasilnya. Padahal meletihkan.Andaikan semua yang dilakukan oleh wanita dihargai dengan uang. Aku yakin mereka pantas diberi nafkah lebih banyak dari ART yang merangkap sebagai baby sitter sekaligus sebagai koki bahkan lebih dari itu.Usia kandungan mulai menginjak sembilan bulan aku mengajaknya untuk USG terakahir kalinya."Buat apa? Buang-buang uang lagi pula aku malu jika harus dilihat lagi. Ini aurot," tola
Pertanyaan Mbak Ipar soal keramas membuat aku dan Mas Abraham saling pandang, lalu kami tertawa sambil menutup mulut."Kenapa tertawa?" tanya Mbak Fatma Kumala."Kami semalam itu cuma ngobrol saja, Mbak. Tentang urusan desa. Kami tidak nganu, kok. Iya, 'kan, Dek?" Aku mencoba meluruskan serta meminta penguatan pada Mas Abraham."Iya, Mbak. Wong Mas Abraham kuajak ndak mau, kok."Et, dah kenapa pula jawaban Mas Abraham pakai menyudutkan aku."Kamu ndak kangen, Ham? Kasihan istrimu, loh." Mbak Fatma Kumala, kok, tak malu, ya, bilang gitu. Padahal dia 'kan perempuan."Aku capek, Mbak. Mana ada mood." Kujawab saja seperti itu, rasanya mukaku panas kayak kepiting rebus yang baru ditiriskan. "Yang sabar, ya, Fa. Gitu dia mau kawin lagi sama Arina. Satu istri saja ndak kuat." Mbak Fatma berkata menghadap ke Mas Abraham yang menghuni ragaku."Entahlah Mas Abraham itu. Baru jadi carik saja, sok-sokan mau poligami. Ya, kan, Mbak?" Aku tersedak air minum. Mentang-mentang tubuh yang dia pakai
Malam itu, aku, Maryam, Mbak Fatma dan Mas Abraham berkumpul di ruang tamu dengan beralaskan tikar.Mereka berdua bertanya tentang kejadian yang menimpa kami. Tentu kuceritakan menit-menit terjadinya likuifaksi. Juga tentang Pak Lana yang tak sanggup kami selamatkan."Kalau saja Pak Lana tak terlalu sombong, ...." Mas Abraham menyayangkan kejadian itu. "Sudah takdirnya hanya sampai di situ," ucapku.Kami banyak bercerita sampai tak terasa kami berempat, tertidur di ruang tamu beralaskan tikar. Kasur kapuk yang ada di kamar juga di bawa ke depan agar Maryam tidur di situ sekalian. Jarang-jarang Mbakyu Fatma Kumala mau menginap.Jam dua dini hari aku terbangun. Kulihat Mbak Fatma dan juga Maryam tertidur pulas begitu pula Mas Abraham. Kutinggal mereka untuk pergi ke kamar mandi karena kebelet pipis.Sekembaliku, Mas Abraham sudah bangun dan duduk menantiku."Mau ke kamar mandi?" tanyaku padanya."Nanti saja. Aku mau bicara mumpung mereka tidur," jawabnya sambil matanya seolah menunju
"Kalian tunggulah di sini, saya akan pergi meminta bantuan untuk transportasi kita ke pemukiman baru," ujar Pak Lurah."Ham, ayo, ikutlah!" ajak Pak Lurah."Kemana, Pak?" tanyaku."Ke pemesanan travel. Kita pesan bus pariwisata.""Mau tamasya, Pak?"Tiba-tiba Pak Lurah memukul kepalaku dengan dahan ranting kecil.Salahku apa?"Mau ikut tidak?" tanyanya.Kalau di suruh milih ikut atau tidak, pastinya ingin tidak ikut. Lha, di sini ada Muzakka ya, pilih tinggal di sini, nunggu mantan. Andai tak disemat namaku dengan label Pak Carik. Sayangnya karena faktanya aku Pak Carik, suka duka harus mau mendampingi Pak Lurah. Jadi, mau tak mau harus brangkat.Aku naik ke boncengan motor Pak Carik. "Kami cari bantuan, kalian tunggu di sini. Tapi kalau ada bencana cepat pindah ke tempat aman. Jangan lupa terus berzikir!" perintah Pak Lurah."Siap, Pak!" Semua yang ada di situ menjawab bersamaan."Oh, ya. Yang bawa motor boleh melakukan perjalanan lebih dulu, ada yang sudah tahu kan lokasinya? Bus
Semua mungkin sepertiku, terkesiap dengan mata terbelalak. Hujan pun seolah tiba-tibw berhenti meski suara guntur masih terdengar bersahutan di ujung bukit Andai. Tuh, orang baru datang langsung aja main nyelonong mau nyeberang langsung. Akibatnya pohon bergerak hebat. Muzakka langsung tiarap dan dan merambat cepat untuk menggapai ranting. Sementara Pak Lana yang sama sekali tak tahu kondisi hanya terburu nafsu ingin cepat sampai sempat tiba-tiba oleh untungnya ia sempat berbalik arah dan melompat mundur. Wajahnya memutih pucat pasi. Ia bingung. Abaikan, orang menyebalkan itu. Aku mau fokus tentang perjuangan Muzakka dulu. Salah Pak Lana sendiri disuruh pergi saat kloter pertama, sok-sokan kayak gak butuh orang. Sakit hatiku mengingat datang ke rumahnya dicuekin gak dibukain pintu. Jika kalian lupa sikapnya, kalian bisa baca lagi di bab dua puluh sembilan. Kali ini Muzakka masih merambat tapi si Pengganggu maksudku Pak Lana kembali ingin menapakkan kakinya ke batang. Ia ikutan ca
Orang-orang yang ada bersama kami saling menyemangati agar mereka bisa melewati lubang memanjang itu.Beberapa lelaki melompati tanah terbelah dan berhasil mendarat di tempat aku dan Pak Lurah berada.Yang membawa mobil, dengan sangat terpaksa meninggalkan mobilnya di sana begitu saja. Mereka semua melompati lubang dalam yang lebarnya semeter lebih.Sekarang hanya tersisa keluarga Muzakka. Aku tahu mengapa Muzakka dan Pak Haji tak segera melompat. Sebagai seorang suami, Pak Haji tak mungkin meninggalkan istrinya di situ, begitu pula Muzakka, sebagai anak lelaki akan sangat keterlaluan jika ia membiarkan ibunya sendirian. Jadilah mereka bertiga mondar-mandir mencari solusi.Di sini area hutan jati. Kiri dan kanan jalan tak ada rumah penduduk yang ada hanya batang pokok jati. Beberapa pohon menjadi doyong bahkan ada dua atau tiga yang roboh dikarenakan tanah yang tidak stabil.Tampaknya Muzakka ingin memanfaatkan pohon yang roboh. Ia dan abinya berusaha menyeret pohon tumbang tapi tent
"Jadi kamu diculik? Dan barang-barang di rumahmu dirampok?" tanya Pak Lurah terkejut.Aku hanya menjawab dengan anggukan.Pak Lurah menggelengkan kepala. Ia sepertinya prihatin dengan apa yang menimpaku. Yah, beginilah nasibku."Begitulah, Pak. Nasib orang jelek seperti saya." Jelek perilaku Mas Abraham maksudku."Ya, Allah, Ham. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Seperti apa temanmu itu sebenarnya sampai melakukan hal yang mengerikan seperti itu."Tak ada yang bisa kurespon selain memasang wajah sedih. Siapa yang tak galau punya musuh bebuyutan tapi tak mengenalnya.Untuk beberapa saat kami hening. Aku sendiri sibuk berpikir tentang bagaimana keadaan Mas Abraham dan Maryam di sana. Kira-kira dia panik tidak mengingat dirinya semula berhadapan dengan musuh dan setelahnya aku yang menghuni raga. Kalau dia masih ada hati harusnya kebingungan.Di luar terdengar rintik hujan makin lama makin deras. Tampaknya musim hujan sudah dimulai hari ini. Aku dan pak lurah saling berpandangan. Apa yang