Aku kembali mendekati ranjangnya.
"Istriku sayang, kamu tidak mau 'kan dimasukkan rumah sakit jiwa gara-gara mengaku sebagai suami? Jika tidak mau, bersikaplah layaknya istri yang berbakti. Oke," kataku sambil menyentuh dagunya. Lalu sebuah ciumam dikeningnya kuberikan.
Ia menggeram kesal.
"Kutinggal dulu, yah. Mau makan apa, Sayang? Biar kubelikan makanan enak berkualitas tinggi kaya protein dan gizi. Kasihan tubuh kurusmu tinggal kulit pembalut tulang, karena kekikiran suamimu ini yang hanya memberi nafkah lima ratus ribu setiap tanggal lima," ucapku sambil mataku menelisik setiap inci tubuhnya terutama pergelangan tangannya.
Bola mata Mas Abraham mengikuti pandangan tajamku lalu ia menyingkap pergelangan tangannya seolah terhipnotis ikut memeriksa tubuhnya. Sepertinya, ia baru menyadari betapa kurus istrinya selama ini.
"Baiklah, kalau enggan menjawab. Biar aku yang pilihkan makanan terbaik untukmu dan bayi dalam kandunganmu."
"Apa?" Ia bertanya tapi seolah menggumam. Lagi-lagi matanya melebar sambil memegang perut.
"Aku? Hamil?" gumamnya tak percaya, "oh, tidaaak." Ia memejamkan mata dengan tangan menakupkan ke wajah menahan perasaan tak terima.
Setelah itu kuberbalik sambil tersenyum penuh kemenangan.
meninggalkan dirinya sendirian agar merenungi sikapnya.
Aku tak bisa buang waktu, selagi suamiku masih di rumah sakit, semua ATM harus diganti PINnya. Tapi, nanti saja ba'da zuhur setelah membeli makanan untuknya. Kasihan jika tubuh kurusku yang dipakai suamiku hanya makan makanan rumah sakit.
Sekarang aku mencari Mbak Fatma Kumala dan Maryam.
Itu mereka.
Oh, rupanya mereka berdua dari kantin.
"Ham, anakmu apa tak lapar?"
"Ayo, kita sama-sama cari makan. Di seberang jalan depan rumah sakit ada bakso sebelahnya lagi rumah makan minang," ajakku.
"Kebetulan sekali, aku dari kemarin ingin makan rendang, Ham. Istrimu tak apa ditinggal?"
"Tidak apa, Mbak."
Kami mampir di rumah makan minang. Rindu sekali dengan masakan nusantara yang cita rasanya melegenda sampai manca negara. Sejak aku menikah, tak lagi pernah tercicip olehku masakan khas Sumatra ini.
Maryam begitu lahap kupesankan menu di sini tanpa sambal.
"Enak, tidak?" tanyaku pada anak perempuanku.
Ia mengangguk kuat-kuat, "Enak."
"Ham, nanti setelah ini aku pulang, ya. Sudah sejak kemarin belum sempat istirahat dan ganti baju." Mbak Fatma berkata padaku dengan mulut yang belum selesai mengunyah.
"Iya, Mbak."
"Terus, Maryam aku bawa sekalian apa gimana? Biar kamu fokus mengurus istrimu."
"Tidak perlu, Mbakyu. Biar ikut aku saja."
"Yo, weslah. Semoga istrimu tidak apa-apa, ya, psikologisnya. Soalnya aku khawatir dengan tingkah lakunya yang tidak biasanya begitu. Setauku dia lemah lembut kalau bicara sopan. Ini tadi aku kayak ndak kenal dengannya."
"Paling besok sudah normal ingatannya, Mbakyu. Mungkin karena syok dan benturannya keras mengenai aspal. Jadi, ya, gitu."
"Iya, bisa jadi itu penyebabnya."
Mbak Fatma sudah selesai makan. Kulihat Maryam belum menghabiskan makannya. Maklum, tadi ia diberi porsi dewasa.
"Bisa habisin tidak Mbak Maryam?" tanyaku.
Mulai sekarang aku akan membiasakannya dengan panggilan Mbak agar jika adiknya terlahir ke dunia ini, ia sudah tahu posisinya sebagai kakak.
Maryam mengangguk tapi tak lama kemudian menggeleng.
Mungkin karena ia masih suka jadi enggan mengatakan tak bisa habis tapi sebenarnya sudah kenyang.
"Kalau tidak habis jangan dipaksakan. Sore nanti kita beli lagi kalau Mbak Maryam suka. Bagaimana?"
Wajah anakku tersenyum senang dan mengangguk-angguk.
Keluar dari kedai minang, Mbak Fatma segera pamit pulang. Sedang aku dan Maryam kembali ke rumah sakit. Tak lupa sebungkus nasi padang kubawakan untuk istriku tercinta. Ehem, rasanya masih aneh punya istri.
Ketika kami masuk, kulihat Mas Abraham melepas jilbabnya. Tampaknya ia belum terbiasa dengan kain penutup aurot tersebut.
"Dek Ulfa, kenakan jilbabmu! Bagaimana jika tiba-tiba perawat laki-laki masuk?" Aku berusaha mengingatkannya.
Peringatanku dibalas dengan decakan keras.
"Risih pakai jilbab." Ia berkata acuh.
Melihat gelagatnya yang enggan menutup kepala. Ruang ini segera saja kukunci agar tak seorang pun masuk tanpa permisi.
"Ibu ...," rengek Maryam. Mungkin ia sangat merindukanku. Namun, rengekan Maryam dibalas dengan mata melotot oleh Mas Abraham. Ia seolah tak terima dipanggil "Ibu".
Gadis mungilku segera bersembunyi di belakangku.
Segera, Aku mengambil jilbab yang dia taruh di besi bagian tepi ranjangnya lalu memakaikan pada kepalanya.
"Istriku sayang, ini wajib dikenakan tiap muslimah. Jadi mau tak mau kamu harus terbiasa, ya."
Dia menatapku tajam. Entah apa yang dipikirkannya.
"Aku tak akan melepasmu jika nanti kembali ke tubuhku," ucapnya.
Suara ketukan pintu membuatku urung menjawab.
"Tunggu!" teriakku pada si pengetuk. Mungkin perawat.
Dengan sigap, aku merapikan selimut yang dikenakan Mas Abraham karena ia tak peduli dengan betis putihnya yang terlihat. Tentu dikarenakan dirinya tak terbiasa menutup aurot yang seharusnya kewajiban muslimah jika berhadapan dengan ajnabi.
"Aduuh, punya istri manja sekali. Menutup aurot saja harus suaminya yang membenahi. Untung sayang, kalau tidak sudah kupoligami meski dalam kondisi hamil." Aku menggerutu kesal sambil menyindirnya.
Mas Abraham menatapku dengan tatapan yang tak bisa kumengerti.
"Ulfa, kumohon kembalikan tubuhku. Aku tak mau hamil," ucap suamiku lirih.
"Cuma hamil saja mengapa mengeluh, istriku sayang," balasku juga dengan suara rendah.
Setelah itu aku berjalan membukakan pintu kamar. Dua orang perawat membawa sebuah kursi roda untuk memindahkan Mas Abraham.
"Kami pindah dulu, ya, ibunya ke ruang lain. Tadi sudah dicek kondisinya sudah membaik."
"Silakan, Sus."
"Ayo, Bu. Duduk di sini."
Dengan segan, suamiku turun dari ranjang dan duduk di kursi roda dengan kaki terbuka.
Duh, tak pantas amat. Aku sampai malu melihatnya, karena tak tahan melihat tingkah yang tak semestinya, aku mendekat ke telinganya.
"Istriku Sayang, kakinya jangan terbuka seperti itu. Nanti kalau ada katak masuk rok bagaimana?" bisikku.
Suamiku segera merapatkan lututnya.
"Nah, begitu 'kan anggun," bisikku lagi. Lalu aku segera beralih untuk menggendong maryam dan mengikuti dua perawat yang membawa Mas Abraham ke ruang Anggrek.
Selepas kepergian perawat dan meninggalkan kami di kamar pasien kelas satu ini, suami kembali berulah.
"Aku tidak mau jadi perempuan. Kembalikan tubuhku," rengeknya padaku.
"Mengapa, tidak mau? Bukankah dengan jadi perempuan kamu tak perlu cari nafkah," ucapku.
"Rasanya perutku bagian bawah mengeras. Sangat tidak nyaman."
"Betul sekali, terasa tidak nyaman karena ada janin di dalamnya. Tapi nikmati saja ya, Dek Ulfa. Cuma hamil saja, ya, kan." Kutekankan pada kata "cuma" agar ia ingat dulu pernah menggunakan kata itu padaku.
Maaf, Mas. Semua apa yang kau katakan akan kugunakan untuk menyadarkanmu beratnya posisi perempuan. Agar nanti saat Tuhan mengembalikan kita pada raga masing-masing, engkau tahu mana perkataan yang menyakitkan dan mana perkataan yang baik dan menenteramkan. Perlahan akan kuajarkan padamu bagaimana seharusnya seorang suami membahagiakan istrinya.
"Apa kita berdua harus pingsan lagi agar kita kembali ke posisi masing-masing?" tanya suamiku.
Aku pura-pura tak mendengarnya dengan sibuk membukakan nasi bungkus padang yang tadi kubeli untuk Mas Abraham.
"Ini makanlah, Fa."
Tiba-tiba suamiku menutup mulutnya dan memegang perut. Wajahnya memucat.
"Heeg, mmmh!" Suara neg dari gumaman suamiku terdengar.Mas Abraham menutup mulutnya kuat-kuat dan segera berlari ke arah kamar mandi. Akan tetapi, ia menghentikan langkahnya saat selang infus tertarik."Emmm ... emm ... em." Ia mengumamkan sesuatu dengan mulut tertutup digerakan ke sana kemari mengikuti gerak penglihatannya yang ke arahku lalu ke infus.Bisa kupahami, ia menyuruhku dengan bahasa isyarat agar aku membawakan botol infus mengikuti langkahnya. Ia tak bisa membuka mulut lantaran menahan diri agar tak muntah sembarangan. Maklum suamiku hamil muda sedang mengalami morning sicknes yang datangnya bukan morning saja.Kuikuti langkahnya sambil membawa botol infus dari belakang.Sesampai di depan WC ia segera beraksi."Hueeek ..., hueeek!"Ia memuntahkan cairan berwarna putih karena dari kemarin sore belum terisi makanan.&nb
"Permisi, ya, Bu. Tolong, ini dibuka," kata dokter kandungan.Beliau satu-satunya dokter kandungan perempuan di rumah sakit ini. Aku cukup lega, ragaku tidak diperiksa oleh dokter laki-laki, tapi tidak dengan suamiku.Ia tak paham perintah dokter atau bagaimana? Dia justru membuka lengannya hingga bahu. Apa dikira dokter mau melakukan tensi?"Apakah belum diperiksa tensinya?" tanya dokter pada perawat jaga."Sudah, Dok," jawab perawat yang mengiringinya."Maaf, ya, Bu." Perawat itu mengulurkan tangan untuk membantu Mas Abraham menyingkap bagian perutnya."Heh, mau apa?" protes Mas Abraham. sambil beringsut duduk.Seketika tangan perawat mengambang di udara. Ia tak mengira mendapat penolakan dari suamiku."Fa, dokter hendak memeriksa detak jantung bayi. Bukalah bagian perut," ujarku berusaha memberikan pengertian
Keesokan harinya, kami bisa pulang pukul sebelas siang setelah menyelesaikan administrasi. Sebelumnya aku sudah selesai mengurus PIN ATM yang kedua di bank BKI (Bank Kecil Indonesia). Isinya sepuluh juta. Tak begitu mengejutkan seperti ATM BCI. Mungkin karena namanya bank kecil jadi Mas Abraham juga menabung dana kecil di situ.Tinggal ATM yang ketiga belum kuganti PINnya. Nanti saja, saat sudah longgar waktuku.Untuk pulang, kami memesan taxi online. Di dalam mobil inilah, Mas Abraham tak sabar menanyakan ATMnya."Berapa banyak yang kau ambil dalam ATMku?" tanyanya."Siapa bilang ATMmu? Ini ATM atas nama Abraham dan akulah orangnya. Kamu hanya istri tidak perlu tahu isi ATMku," jawabku dingin."Fa, aku malas berdebat. Aku hanya ingin mengatakan bahwa dalam salah satu ATM itu, uangnya bukan milikku. Itu uang penduduk kelurahan Walang Sangit dan menyangkut nyawa seluruh kelurahan
"Sudah kubilang aku tidak bisa masak, dipaksa," sungut Mas Abraham. "Tuh, lanjutkan goreng telurnya." Aku berkata tanpa peduli keluhannya. "Fa!" "Panggil aku 'Mas'!" "Kalau aku panggil 'Mas', apakah kamu mau masakin buatku?" "Tidak! Itu pekerjaan perempuan!" tolakku tegas. "Aku lapar," katanya sedikit memelas. "Lanjutkan masaknya agar bisa makan," ucapku. Ia menggeram kesal. Helm yang tadi sempat dilepas sekarng dikenakannya lagi siap tempur di depan wajan. Dari arah kamar terdengar suara Maryam merengek memanggil-manggil ibunya kebiasaan dia ketika bangun tidur. Jiwa keibuanku masih ada dalam diri ini mendorongku untuk menghampirinya. "Ayo, Maryam bangun. Anak shalihah ikut Ayah dulu. Ibu lagi masak." Biarlah saat ini kumandikan Mary
"Jemur baju itu bukan asal gini!"Tak tahan aku, kalau tak menggerutu.Bagaiamana tidak kesal bin sebal, masak jemur baju kayak naruh gombal sembarangan. Hih, gregetan pingin nyubit.Asal nyantol di jemuran tanpa dibentangkan. Kapan mau kering? Sampai Februari tanggal tiga puluh kali. Selain itu airnya masih menetes deras tanda tidak diperas sama sekali."Perhatikan!"Aku memberinya contoh memeras baju dan cara menjemur yang benar."Lanjutkan, ya, Fa," ucap Mas Abraham padaku."Tidak bisa!" Kutarik pergelangan tangannya saat ia berbalik mau masuk rumah."Kalau siang ini ingin tak masak, jemur yang benar!" perintahku."Siang ini aku tak perlu masak lagi? Kita makan apa? Daging ayam, ya?" tanya Mas Abraham dengan senyum sumringah."Bothok buatan Nek Sariyem," jawabku."Calon istri baru
"Pak, apakah istri saya tahu, kalau sebelum terjadi kecelakaan tanah dan rumahnya sudah kujual?" tanyaku pada Pak Lurah dengan perasaan yang kacau."Tidak. Seperti yang kau bilang istrimu tak akan melepaskan tanah warisan orang tuanya. Siapa yang mau kehilangan kenangan dari orang tuanya? Padahal itu berpotensi akan membahayakan nyawanya juga.""Tapi, bagiamana bisa ia menandatangani semua berkas jual beli?""Kita kerja sama waktu itu. Tugasmu mendapatkan cap jempol serta KTPnya sedangkan foto saat melakukan tanda tangan dan cap jempol diperankan oleh Arina dengan menggunakan masker."Oh, begitu rupanya. Kejam sekali mereka bertiga. Aku ingat sekarang suatu malam aku terbangun ingin buang air kecil tapi ibu jariku berwarna ungu. Ia mencuri cap sidik jari saat aku tertidur. Licik sekali kamu Mas.Apa sebenarnya rencanamu, Mas?"Berapa isi uang yang
Tujuanku melajukan motor ke arah Masjid memang sudah tepat. Sebab tak lama kemudian Azan Zuhur berkumandang.Dulu, jika kupunya waktu ke tempat ini, posisiku selalu berada di barisan belakang, di wilayah perempuan. Sekarang, kutempati barisan terdepan di belakang Imam. Bagaiamana rasanya? Jelas berbeda. Dekat dengan Imam seperti orang yang paling beruntung. Salat jadi lebih fokus.Menyenangkan juga jadi lelaki. Apalagi yang jadi imam Pak Haji Ramdan, ayah dari lelaki yang dulu pernah membuatkukesengsem.Anak beliau namanya Muzakka, sekarang gelarmya Lc. Dia lulusan dari Mesir.Waktu aku tsanawi di pesantren Muttaqien, ia juga sedang menimba ilmu di sana, tsanawi juga, beda tingkatan. Bangunan santriwati dan santriwan berbeda, jaraknya seratus meter. Kami tak saling bertemu.Tiap kali pulang liburan, aku dijemput Ayah dan kami selalu diberi tumpangan di mobil Haji Ramdan.&
"Jangan, jangan lakukan itu," ucap Mas Abraham mulai merendahkan suaranya."Kau pikir hanya kau yang bisa poligami dan menghianati kepercayaanku. Aku pun bisa melakukannya," tantangku."Aku masih sangat mencintaimu, jangan ceraikan aku," mohonnya."Apakah dengan memoligamiku saat kondisi hamil dan menjual tanah warisan orang tuaku disebut cinta?" tanyaku mengejeknya."Itu ada alasannya. Aku ingin menjelaskan padamu tapi tak sedikit pun di beri kesempatan. Percayalah, aku melakukan semua itu karena kupikir itulah jalan terbaik bagi kita semua.""Jalan terbaik? Kita semua? Apakah kau pernah memikirkan perasaanku sedikit saja? Kita semua siapa? Hanya dirimu!""Aku tidak tahu soal perasaan wanita. Kupikir poligami diperbolehkan karena hal itu tidak menyakiti wanita. Wanita yang menolak hanya karena serakah ingin menguasai suaminya sendirian. Kupikir kau bukan wan
"Pembukaannya sudah sempurna. Sekarang tarik napas dalam-dalam!"Mas Abraham menarik napas sesuai arahan, pipinya tampak menggelembung besar.Aku menahan tawa dengan menakupkan tangan ke mulut karena ia sampai menyimpan udara di pipi."Kau, ke-ter-laluan mener-ta-wakanku," ucapnya tebata-bata di sela rintihannya yang menyayat jiwa.Mendengar ucapannya, aku segera memasang wajah serius."Mulai! Dorong!" perintah Bu Bidan.Ia mendorong sekuat tenaga seperti orang wasir yang ingin buang hajat tapi kotoran tak kunjung keluar karena kesangkut di ambiennya."Yeah! Dorong, dorong, dorong," kataku dengan mulut komat-kamit tanpa suara di belakang bidan tapi menghadap wajah Mas Abraham. Kedua tangan kuangkat sambil mengepal dan menggerakkan siku ke atas ke bawah seperti yel-yel."Bu, Bi-sa ge- ser, auuuuh!" Ia memohon Bu Bidan geser sambil merintih. Suaranya mirip lolongan serigala, ups.Karena Bu Bidan geser ke bawah aku jadi maju sedikit dekat kakinya. Tak disangka dengan cepat kakinya yang t
Sehari sebelum kelahiran, Mas Abraham memegangi perutnya."Perutku sekit sekali, lihatlah!" keluhnya sambil menunjukkan telapak tangannya yang gemetar, mungkin karena menahan rasa sakit. Tak lama kemudian tangannya menggenggam kencang dengan wajah yang meringis, keringat dahinya bercucuran.Kupikir mungkin ia sedang mengalami kontraksi, tapi aku yakin bahwa ia tak tahu kalau akan segera melahirkan."Sudah berapa lama sakit kayak gitu?" tanyaku santai."Habis subuh tadi pas rakaat kedua. Saking sakitnya aku lanjutkan shalat sambil duduk. Terus waktu salam sakitnya ilang terus sekarang sakit lagi. Ini kenapa, ya. Dalam perut rasanya ada tangan yang meremas-remas bagian dalamnya. Apa janinnya tidak mati remuk.""Hus, remuk-remuk, kayak roti kering diremat saja. Ke bidan, yok. Periksa kenapa bisa gitu. Kali aja dikasih obat pereda sakit," ajakku. Tak ingin kukatakan padanya bahwa ia sudah harus bersiap. Takutnya keluar bandelnya minta di SC.Kalau berdasarkan dengan penuturannya ada jara
"Sabar," jawabku saat ia mengeluh selepas dari kamar mandi."Kapan kita bisa kembali ke raga masing-masing. Sudah enam bulan tak ada titik terangnya." Ia kembali mengeluh."Kau beruntung bisa mengeluh padaku. Dan aku mau mendengarkanmu. Kau ingat dulu, betapa cueknya dirimu saat aku mengaduh.""Iya, aku ingat. Kupikir kau hanya berlebihan. Ternyata memang lelah luar biasa dan bikin stressssss!"Aku tersenyum mendengarnya. Semoga tak ada lagi di dunia ini yang menuduh istrinya di rumah cuma ongkang-ongkang kaki. Apa yang dikerjakan dan dirasakan oleh wanita itu tak terlihat mata hasilnya. Padahal meletihkan.Andaikan semua yang dilakukan oleh wanita dihargai dengan uang. Aku yakin mereka pantas diberi nafkah lebih banyak dari ART yang merangkap sebagai baby sitter sekaligus sebagai koki bahkan lebih dari itu.Usia kandungan mulai menginjak sembilan bulan aku mengajaknya untuk USG terakahir kalinya."Buat apa? Buang-buang uang lagi pula aku malu jika harus dilihat lagi. Ini aurot," tola
Pertanyaan Mbak Ipar soal keramas membuat aku dan Mas Abraham saling pandang, lalu kami tertawa sambil menutup mulut."Kenapa tertawa?" tanya Mbak Fatma Kumala."Kami semalam itu cuma ngobrol saja, Mbak. Tentang urusan desa. Kami tidak nganu, kok. Iya, 'kan, Dek?" Aku mencoba meluruskan serta meminta penguatan pada Mas Abraham."Iya, Mbak. Wong Mas Abraham kuajak ndak mau, kok."Et, dah kenapa pula jawaban Mas Abraham pakai menyudutkan aku."Kamu ndak kangen, Ham? Kasihan istrimu, loh." Mbak Fatma Kumala, kok, tak malu, ya, bilang gitu. Padahal dia 'kan perempuan."Aku capek, Mbak. Mana ada mood." Kujawab saja seperti itu, rasanya mukaku panas kayak kepiting rebus yang baru ditiriskan. "Yang sabar, ya, Fa. Gitu dia mau kawin lagi sama Arina. Satu istri saja ndak kuat." Mbak Fatma berkata menghadap ke Mas Abraham yang menghuni ragaku."Entahlah Mas Abraham itu. Baru jadi carik saja, sok-sokan mau poligami. Ya, kan, Mbak?" Aku tersedak air minum. Mentang-mentang tubuh yang dia pakai
Malam itu, aku, Maryam, Mbak Fatma dan Mas Abraham berkumpul di ruang tamu dengan beralaskan tikar.Mereka berdua bertanya tentang kejadian yang menimpa kami. Tentu kuceritakan menit-menit terjadinya likuifaksi. Juga tentang Pak Lana yang tak sanggup kami selamatkan."Kalau saja Pak Lana tak terlalu sombong, ...." Mas Abraham menyayangkan kejadian itu. "Sudah takdirnya hanya sampai di situ," ucapku.Kami banyak bercerita sampai tak terasa kami berempat, tertidur di ruang tamu beralaskan tikar. Kasur kapuk yang ada di kamar juga di bawa ke depan agar Maryam tidur di situ sekalian. Jarang-jarang Mbakyu Fatma Kumala mau menginap.Jam dua dini hari aku terbangun. Kulihat Mbak Fatma dan juga Maryam tertidur pulas begitu pula Mas Abraham. Kutinggal mereka untuk pergi ke kamar mandi karena kebelet pipis.Sekembaliku, Mas Abraham sudah bangun dan duduk menantiku."Mau ke kamar mandi?" tanyaku padanya."Nanti saja. Aku mau bicara mumpung mereka tidur," jawabnya sambil matanya seolah menunju
"Kalian tunggulah di sini, saya akan pergi meminta bantuan untuk transportasi kita ke pemukiman baru," ujar Pak Lurah."Ham, ayo, ikutlah!" ajak Pak Lurah."Kemana, Pak?" tanyaku."Ke pemesanan travel. Kita pesan bus pariwisata.""Mau tamasya, Pak?"Tiba-tiba Pak Lurah memukul kepalaku dengan dahan ranting kecil.Salahku apa?"Mau ikut tidak?" tanyanya.Kalau di suruh milih ikut atau tidak, pastinya ingin tidak ikut. Lha, di sini ada Muzakka ya, pilih tinggal di sini, nunggu mantan. Andai tak disemat namaku dengan label Pak Carik. Sayangnya karena faktanya aku Pak Carik, suka duka harus mau mendampingi Pak Lurah. Jadi, mau tak mau harus brangkat.Aku naik ke boncengan motor Pak Carik. "Kami cari bantuan, kalian tunggu di sini. Tapi kalau ada bencana cepat pindah ke tempat aman. Jangan lupa terus berzikir!" perintah Pak Lurah."Siap, Pak!" Semua yang ada di situ menjawab bersamaan."Oh, ya. Yang bawa motor boleh melakukan perjalanan lebih dulu, ada yang sudah tahu kan lokasinya? Bus
Semua mungkin sepertiku, terkesiap dengan mata terbelalak. Hujan pun seolah tiba-tibw berhenti meski suara guntur masih terdengar bersahutan di ujung bukit Andai. Tuh, orang baru datang langsung aja main nyelonong mau nyeberang langsung. Akibatnya pohon bergerak hebat. Muzakka langsung tiarap dan dan merambat cepat untuk menggapai ranting. Sementara Pak Lana yang sama sekali tak tahu kondisi hanya terburu nafsu ingin cepat sampai sempat tiba-tiba oleh untungnya ia sempat berbalik arah dan melompat mundur. Wajahnya memutih pucat pasi. Ia bingung. Abaikan, orang menyebalkan itu. Aku mau fokus tentang perjuangan Muzakka dulu. Salah Pak Lana sendiri disuruh pergi saat kloter pertama, sok-sokan kayak gak butuh orang. Sakit hatiku mengingat datang ke rumahnya dicuekin gak dibukain pintu. Jika kalian lupa sikapnya, kalian bisa baca lagi di bab dua puluh sembilan. Kali ini Muzakka masih merambat tapi si Pengganggu maksudku Pak Lana kembali ingin menapakkan kakinya ke batang. Ia ikutan ca
Orang-orang yang ada bersama kami saling menyemangati agar mereka bisa melewati lubang memanjang itu.Beberapa lelaki melompati tanah terbelah dan berhasil mendarat di tempat aku dan Pak Lurah berada.Yang membawa mobil, dengan sangat terpaksa meninggalkan mobilnya di sana begitu saja. Mereka semua melompati lubang dalam yang lebarnya semeter lebih.Sekarang hanya tersisa keluarga Muzakka. Aku tahu mengapa Muzakka dan Pak Haji tak segera melompat. Sebagai seorang suami, Pak Haji tak mungkin meninggalkan istrinya di situ, begitu pula Muzakka, sebagai anak lelaki akan sangat keterlaluan jika ia membiarkan ibunya sendirian. Jadilah mereka bertiga mondar-mandir mencari solusi.Di sini area hutan jati. Kiri dan kanan jalan tak ada rumah penduduk yang ada hanya batang pokok jati. Beberapa pohon menjadi doyong bahkan ada dua atau tiga yang roboh dikarenakan tanah yang tidak stabil.Tampaknya Muzakka ingin memanfaatkan pohon yang roboh. Ia dan abinya berusaha menyeret pohon tumbang tapi tent
"Jadi kamu diculik? Dan barang-barang di rumahmu dirampok?" tanya Pak Lurah terkejut.Aku hanya menjawab dengan anggukan.Pak Lurah menggelengkan kepala. Ia sepertinya prihatin dengan apa yang menimpaku. Yah, beginilah nasibku."Begitulah, Pak. Nasib orang jelek seperti saya." Jelek perilaku Mas Abraham maksudku."Ya, Allah, Ham. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Seperti apa temanmu itu sebenarnya sampai melakukan hal yang mengerikan seperti itu."Tak ada yang bisa kurespon selain memasang wajah sedih. Siapa yang tak galau punya musuh bebuyutan tapi tak mengenalnya.Untuk beberapa saat kami hening. Aku sendiri sibuk berpikir tentang bagaimana keadaan Mas Abraham dan Maryam di sana. Kira-kira dia panik tidak mengingat dirinya semula berhadapan dengan musuh dan setelahnya aku yang menghuni raga. Kalau dia masih ada hati harusnya kebingungan.Di luar terdengar rintik hujan makin lama makin deras. Tampaknya musim hujan sudah dimulai hari ini. Aku dan pak lurah saling berpandangan. Apa yang