"Jangan, jangan lakukan itu," ucap Mas Abraham mulai merendahkan suaranya.
"Kau pikir hanya kau yang bisa poligami dan menghianati kepercayaanku. Aku pun bisa melakukannya," tantangku.
"Aku masih sangat mencintaimu, jangan ceraikan aku," mohonnya.
"Apakah dengan memoligamiku saat kondisi hamil dan menjual tanah warisan orang tuaku disebut cinta?" tanyaku mengejeknya.
"Itu ada alasannya. Aku ingin menjelaskan padamu tapi tak sedikit pun di beri kesempatan. Percayalah, aku melakukan semua itu karena kupikir itulah jalan terbaik bagi kita semua."
"Jalan terbaik? Kita semua? Apakah kau pernah memikirkan perasaanku sedikit saja? Kita semua siapa? Hanya dirimu!"
"Aku tidak tahu soal perasaan wanita. Kupikir poligami diperbolehkan karena hal itu tidak menyakiti wanita. Wanita yang menolak hanya karena serakah ingin menguasai suaminya sendirian. Kupikir kau bukan wan
"Jangan sentuh bahuku." Entah mengapa rasanya kaku menerima perlakuan yang tak pernah kudapatkan. Syaraf-syaraf menegang menolak disentuh.Raga ini memang raga lelaki tapi jiwaku masih perempuan. Bagaiamana rasanya perempuan mendapatkan sentuhan dari sesama perempuan dengan suara yang mendayu seolah merayu? Ya, jijaylah. Aku pun begitu.Mas Abraham menghentikan pijatannya."Aku hanya mencoba menjadi istri yang baik, Mas. Kesempatan yang tadi diberikan agar bisa mendapatkan maaf darimu tidak akan aku sia-siakan. Aku, Ulfa akan memberikan pelayan terbaikku," ujar suamiku masih dengan suara mendayu.Nah, sekarang kisah kami sudah berubah dalam segi panggilan. Sejak hari ini jam segini di rumah sini, ia mungkin akan terus menanggilku Mas hingga maut memisahkan, eh, bukan, tapi hingga kami kembali ke raga masing-masing.Harap fokus, aku akan senantiasa memanggilnya Ulfa, Adek at
Hari itu pikiranku berkecamuk hebat. Dalam satu hari banyak sekali informasi yang kudapat. Sedih, kecewa dan entah apalagi perasaan yang bersarang di hati.Aku kembali ke rumah pukul sebelas malam. Hal itu dikarenakan sikap Mas Abraham yang berubah, sehingga membuatku tak nyaman jika ia masih belum tidur.Soal kunci rumah, kami punya dua. Satu memang selalu ada di rumah, satulagi menyatu dengan kunci motor.Biasanya dulu, jika Mas Abraham pulang larut ia tak perlu membangunkan aku untuk sekedar membukakan pintu.Sebelum sampai rumah, mesin motor sudah kumatikan, sehingga aku menuntunnya untuk masuk ke halaman. Bukan karena hemat bensin tapi agar Mas Abraham tidak terbangun saat aku tiba di rumah.Aku benar-benar berusaha untuk meredam suara. Terutama saat memutar kunci. Sudah kayak maling saja tingkahku. Bahkan saat memasuki rumah, aku berjalan dengan ujung telapak
Pukul lima lebih lima belas menit, aku baru pulang dari masjid. Istriku, eh Mas Abraham sudah menghadang di depan pintu sambil berkacak pinggang, macam warok lagi nantangin duel."Kenapa jam segini baru pulang. Pasti TP di depan Muzakka, ya, 'kan?" tuduhnya.Kalian tahu TP? Kalau tidak tahu mari kuberi tahu. TP itu singkatan dari Tebar Pesona. Nah, kira-kira, nih, dengan ragaku sebagai laki-laki terus aku tebar pesona ke Mas Muza, apa bisa si doi tertarik, 'kan tak mungkin. Ngawur, Mas Abraham itu. Huh!"Deeek! Kalau ngomong dipikir lagi, ya. Muzakka itu normal bukan turunan kaum Luth." Aku membantah tuduhannya."Terus, kenapa baru pulang. Biasanya salat Subuh kurang dari jam lima sudah selesai.""Ada kajian subuh," jawabku sambil meninggalkannya di depan pintu, sedang mulutku tak henti menggerutu, "huh! Gitu aja curiga."Jam tujuh pagi.
"Apa?""Mereka Pak Lurah. Para preman eksekusi kampung sebelah.""Astaghfirullah!""Ayo, Ham. Kita ke sana!""Baik, Pak."Kami berkendara sekitar lima menit. Ketika tiba di tempat, beberapa orang membawa alat pukul menyeret warga di pinggir jalan."Woooy, tunggu!" teriak Pak Lurah."Apa?! Mau menghalangi truk penambang juga?!""Sama sekali tidak, saya mau bicara," seru Pak Lurah setelah memarkir motor.Semakin dekat, aku semakin tak kuat menyaksikan kondisi salah satu warga yang babak belur dianiaya. Mataku berkunang-kunang dan terasa mual.Aku tak bisa melihat pemandangan sadis. Segera kualihkan pandangan dan menarik napas kuat-kuat agar suplay oksigen ke otak cukup sehingga terhindar pingsan.Jika aku tak sadarkan diri ada dua hal yang ditakutkan. Pertama bikin repot
Dari sudut mataku, Arina sepertinya memperhatikanku. Apakah dia menyukai sosok Mas Abraham sedemikian rupa sampai curi-curi pandang. Aku menoleh padanya, ia segera mengalihkan pandangan. Huh, dasar.Sebenarnya, dia punya rasa tidak terhadap Mas Abraham. Aku jadi ingin tahu."Rin, duduk sini," pintaku sambil menunjukkan kursi di depan mejaku."Ada apa, Mas?" tanya Arina sopan."Antara ingat dan tidak aku ingin memastikan padamu, apakah aku pernah memintamu untuk jadi istri keduaku?" tanyaku setenang mungkin padahal jantungku deg-degan takut dia menjawab iya."Oh, yang percakapan dua minggu yang lalu. Pernah, sih. Tapi kupikir Mas Abraham bercanda. Jadi tak kuanggap serius.""Memangnya kamu mau menikah dengan lelaki beristri?""Dari pada menikah dengan preman, Mas. Mending jadi istri kedua Mas Abraham."Sampai sini aku
Usai salat Magrib aku benar-benar mengajak Mas Abraham dan Maryam ke warung Bang Joli.Jika menjelang sore sampai malam. Bang Joli tidak lagi menjual nasi pecel tapi yang ia jual sate dan gulai."Eh, Pak Carik, tumben ngajak Bu Ulfa. Pesen apa?"Kok, Bang Joli bilang gitu, ya. Apa selama ini Mas Abraham sering kemari kalau malam. Pantesan di rumah makan cuma dikit. Ternyata nambahnya di kedai ini."Sate ayam, Bang. Tiga porsi yang satu buat Maryam tampa sambal."Kami bertiga pun duduk di kursi panjang yang tersedia di situ. Maryam duduk di tengah antara aku dan Ulfa. Sementara sebelah kananku kosong.Sementara Bang Joli sedang membakar sate, aku bercakap-cakap dengan Mas Abraham setengah berbisik."Fa, kamu biasanya jajan di sini, ya?" tanyaku."Kadang, Mas. Soalnya porsi makanku sebagai laki-laki banyak, butuh menutr
Pagi ini, tak terdengar suara Ulfa memasak. Ada apa dengan istriku. Untung ini hari minggu jadi aku tak perlu khawatir terlambat.Semenjak raga kami tertukar, aku tak berani tidur di kamar yang sama dengan istriku. Selalu istirahat di kamar almarhum ayah dulu.Jadi, karena kami tidur terpisah, aku bangun untuk memastikan apa yang dilakukannya.Di dapur, ia tak ada. Di ruang tamu dan kamar mandi pun juga tidak terlihat.Pasti di kamar."Fa, sudah jam segini, kok, masih meringkuk. Apa tak masak? Nanti Maryam makan apa?""Aku sakit, Mas. Perutku rasanya begah.""Biasa itu, Fa. Orang hamil muda memang begitu.""Apa dulu kamu pas hamil kayak gini rasanya. Tidur tengkurap tak bisa padahal punggung rasanya mau patah.""Ya, iyalah kayak gini masak kayak gitu. Itu belum seberapa. Tunggulah nanti usia lima
"Tapi, Fa, kurasa wajar mereka enggan pindah. Aku pun kalau jadi mereka tak mau," kataku memberikan argumen padanya."Itulah, dirimu. Keputusan menggunakan perasaan. Tidak memikirkan jangka panjang."Enak saja dia bilang begitu. Aku tak terima, seolah pikiranku cupet cuma mikirin perasaan."Yang tidak memikirkan jangka panjang itu, kamulah!" Sungutku."Iya, iya, semua aku bagian yang jelek-jelek. Yang bagus-bagus hanya perilakumu," ucapnya, sambil mengelus dadanya yang tak lagi rata, lalu melanjutkan perkataannya seolah bicara pada dirinya sendiri, "sabar, sabar."Huh! Aku mencebik sebal dia selalu begitu pura-pura bilang iya padahal maksudnya mengejek. Tidak mau ikhlas kalau ingin memuji. Sudah lah."Mas," panggilnya."Apa?!" bentakku masih sakit hati atas ucapannya tadi."Sabar, sabar," gumamnya lirih.
"Pembukaannya sudah sempurna. Sekarang tarik napas dalam-dalam!"Mas Abraham menarik napas sesuai arahan, pipinya tampak menggelembung besar.Aku menahan tawa dengan menakupkan tangan ke mulut karena ia sampai menyimpan udara di pipi."Kau, ke-ter-laluan mener-ta-wakanku," ucapnya tebata-bata di sela rintihannya yang menyayat jiwa.Mendengar ucapannya, aku segera memasang wajah serius."Mulai! Dorong!" perintah Bu Bidan.Ia mendorong sekuat tenaga seperti orang wasir yang ingin buang hajat tapi kotoran tak kunjung keluar karena kesangkut di ambiennya."Yeah! Dorong, dorong, dorong," kataku dengan mulut komat-kamit tanpa suara di belakang bidan tapi menghadap wajah Mas Abraham. Kedua tangan kuangkat sambil mengepal dan menggerakkan siku ke atas ke bawah seperti yel-yel."Bu, Bi-sa ge- ser, auuuuh!" Ia memohon Bu Bidan geser sambil merintih. Suaranya mirip lolongan serigala, ups.Karena Bu Bidan geser ke bawah aku jadi maju sedikit dekat kakinya. Tak disangka dengan cepat kakinya yang t
Sehari sebelum kelahiran, Mas Abraham memegangi perutnya."Perutku sekit sekali, lihatlah!" keluhnya sambil menunjukkan telapak tangannya yang gemetar, mungkin karena menahan rasa sakit. Tak lama kemudian tangannya menggenggam kencang dengan wajah yang meringis, keringat dahinya bercucuran.Kupikir mungkin ia sedang mengalami kontraksi, tapi aku yakin bahwa ia tak tahu kalau akan segera melahirkan."Sudah berapa lama sakit kayak gitu?" tanyaku santai."Habis subuh tadi pas rakaat kedua. Saking sakitnya aku lanjutkan shalat sambil duduk. Terus waktu salam sakitnya ilang terus sekarang sakit lagi. Ini kenapa, ya. Dalam perut rasanya ada tangan yang meremas-remas bagian dalamnya. Apa janinnya tidak mati remuk.""Hus, remuk-remuk, kayak roti kering diremat saja. Ke bidan, yok. Periksa kenapa bisa gitu. Kali aja dikasih obat pereda sakit," ajakku. Tak ingin kukatakan padanya bahwa ia sudah harus bersiap. Takutnya keluar bandelnya minta di SC.Kalau berdasarkan dengan penuturannya ada jara
"Sabar," jawabku saat ia mengeluh selepas dari kamar mandi."Kapan kita bisa kembali ke raga masing-masing. Sudah enam bulan tak ada titik terangnya." Ia kembali mengeluh."Kau beruntung bisa mengeluh padaku. Dan aku mau mendengarkanmu. Kau ingat dulu, betapa cueknya dirimu saat aku mengaduh.""Iya, aku ingat. Kupikir kau hanya berlebihan. Ternyata memang lelah luar biasa dan bikin stressssss!"Aku tersenyum mendengarnya. Semoga tak ada lagi di dunia ini yang menuduh istrinya di rumah cuma ongkang-ongkang kaki. Apa yang dikerjakan dan dirasakan oleh wanita itu tak terlihat mata hasilnya. Padahal meletihkan.Andaikan semua yang dilakukan oleh wanita dihargai dengan uang. Aku yakin mereka pantas diberi nafkah lebih banyak dari ART yang merangkap sebagai baby sitter sekaligus sebagai koki bahkan lebih dari itu.Usia kandungan mulai menginjak sembilan bulan aku mengajaknya untuk USG terakahir kalinya."Buat apa? Buang-buang uang lagi pula aku malu jika harus dilihat lagi. Ini aurot," tola
Pertanyaan Mbak Ipar soal keramas membuat aku dan Mas Abraham saling pandang, lalu kami tertawa sambil menutup mulut."Kenapa tertawa?" tanya Mbak Fatma Kumala."Kami semalam itu cuma ngobrol saja, Mbak. Tentang urusan desa. Kami tidak nganu, kok. Iya, 'kan, Dek?" Aku mencoba meluruskan serta meminta penguatan pada Mas Abraham."Iya, Mbak. Wong Mas Abraham kuajak ndak mau, kok."Et, dah kenapa pula jawaban Mas Abraham pakai menyudutkan aku."Kamu ndak kangen, Ham? Kasihan istrimu, loh." Mbak Fatma Kumala, kok, tak malu, ya, bilang gitu. Padahal dia 'kan perempuan."Aku capek, Mbak. Mana ada mood." Kujawab saja seperti itu, rasanya mukaku panas kayak kepiting rebus yang baru ditiriskan. "Yang sabar, ya, Fa. Gitu dia mau kawin lagi sama Arina. Satu istri saja ndak kuat." Mbak Fatma berkata menghadap ke Mas Abraham yang menghuni ragaku."Entahlah Mas Abraham itu. Baru jadi carik saja, sok-sokan mau poligami. Ya, kan, Mbak?" Aku tersedak air minum. Mentang-mentang tubuh yang dia pakai
Malam itu, aku, Maryam, Mbak Fatma dan Mas Abraham berkumpul di ruang tamu dengan beralaskan tikar.Mereka berdua bertanya tentang kejadian yang menimpa kami. Tentu kuceritakan menit-menit terjadinya likuifaksi. Juga tentang Pak Lana yang tak sanggup kami selamatkan."Kalau saja Pak Lana tak terlalu sombong, ...." Mas Abraham menyayangkan kejadian itu. "Sudah takdirnya hanya sampai di situ," ucapku.Kami banyak bercerita sampai tak terasa kami berempat, tertidur di ruang tamu beralaskan tikar. Kasur kapuk yang ada di kamar juga di bawa ke depan agar Maryam tidur di situ sekalian. Jarang-jarang Mbakyu Fatma Kumala mau menginap.Jam dua dini hari aku terbangun. Kulihat Mbak Fatma dan juga Maryam tertidur pulas begitu pula Mas Abraham. Kutinggal mereka untuk pergi ke kamar mandi karena kebelet pipis.Sekembaliku, Mas Abraham sudah bangun dan duduk menantiku."Mau ke kamar mandi?" tanyaku padanya."Nanti saja. Aku mau bicara mumpung mereka tidur," jawabnya sambil matanya seolah menunju
"Kalian tunggulah di sini, saya akan pergi meminta bantuan untuk transportasi kita ke pemukiman baru," ujar Pak Lurah."Ham, ayo, ikutlah!" ajak Pak Lurah."Kemana, Pak?" tanyaku."Ke pemesanan travel. Kita pesan bus pariwisata.""Mau tamasya, Pak?"Tiba-tiba Pak Lurah memukul kepalaku dengan dahan ranting kecil.Salahku apa?"Mau ikut tidak?" tanyanya.Kalau di suruh milih ikut atau tidak, pastinya ingin tidak ikut. Lha, di sini ada Muzakka ya, pilih tinggal di sini, nunggu mantan. Andai tak disemat namaku dengan label Pak Carik. Sayangnya karena faktanya aku Pak Carik, suka duka harus mau mendampingi Pak Lurah. Jadi, mau tak mau harus brangkat.Aku naik ke boncengan motor Pak Carik. "Kami cari bantuan, kalian tunggu di sini. Tapi kalau ada bencana cepat pindah ke tempat aman. Jangan lupa terus berzikir!" perintah Pak Lurah."Siap, Pak!" Semua yang ada di situ menjawab bersamaan."Oh, ya. Yang bawa motor boleh melakukan perjalanan lebih dulu, ada yang sudah tahu kan lokasinya? Bus
Semua mungkin sepertiku, terkesiap dengan mata terbelalak. Hujan pun seolah tiba-tibw berhenti meski suara guntur masih terdengar bersahutan di ujung bukit Andai. Tuh, orang baru datang langsung aja main nyelonong mau nyeberang langsung. Akibatnya pohon bergerak hebat. Muzakka langsung tiarap dan dan merambat cepat untuk menggapai ranting. Sementara Pak Lana yang sama sekali tak tahu kondisi hanya terburu nafsu ingin cepat sampai sempat tiba-tiba oleh untungnya ia sempat berbalik arah dan melompat mundur. Wajahnya memutih pucat pasi. Ia bingung. Abaikan, orang menyebalkan itu. Aku mau fokus tentang perjuangan Muzakka dulu. Salah Pak Lana sendiri disuruh pergi saat kloter pertama, sok-sokan kayak gak butuh orang. Sakit hatiku mengingat datang ke rumahnya dicuekin gak dibukain pintu. Jika kalian lupa sikapnya, kalian bisa baca lagi di bab dua puluh sembilan. Kali ini Muzakka masih merambat tapi si Pengganggu maksudku Pak Lana kembali ingin menapakkan kakinya ke batang. Ia ikutan ca
Orang-orang yang ada bersama kami saling menyemangati agar mereka bisa melewati lubang memanjang itu.Beberapa lelaki melompati tanah terbelah dan berhasil mendarat di tempat aku dan Pak Lurah berada.Yang membawa mobil, dengan sangat terpaksa meninggalkan mobilnya di sana begitu saja. Mereka semua melompati lubang dalam yang lebarnya semeter lebih.Sekarang hanya tersisa keluarga Muzakka. Aku tahu mengapa Muzakka dan Pak Haji tak segera melompat. Sebagai seorang suami, Pak Haji tak mungkin meninggalkan istrinya di situ, begitu pula Muzakka, sebagai anak lelaki akan sangat keterlaluan jika ia membiarkan ibunya sendirian. Jadilah mereka bertiga mondar-mandir mencari solusi.Di sini area hutan jati. Kiri dan kanan jalan tak ada rumah penduduk yang ada hanya batang pokok jati. Beberapa pohon menjadi doyong bahkan ada dua atau tiga yang roboh dikarenakan tanah yang tidak stabil.Tampaknya Muzakka ingin memanfaatkan pohon yang roboh. Ia dan abinya berusaha menyeret pohon tumbang tapi tent
"Jadi kamu diculik? Dan barang-barang di rumahmu dirampok?" tanya Pak Lurah terkejut.Aku hanya menjawab dengan anggukan.Pak Lurah menggelengkan kepala. Ia sepertinya prihatin dengan apa yang menimpaku. Yah, beginilah nasibku."Begitulah, Pak. Nasib orang jelek seperti saya." Jelek perilaku Mas Abraham maksudku."Ya, Allah, Ham. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Seperti apa temanmu itu sebenarnya sampai melakukan hal yang mengerikan seperti itu."Tak ada yang bisa kurespon selain memasang wajah sedih. Siapa yang tak galau punya musuh bebuyutan tapi tak mengenalnya.Untuk beberapa saat kami hening. Aku sendiri sibuk berpikir tentang bagaimana keadaan Mas Abraham dan Maryam di sana. Kira-kira dia panik tidak mengingat dirinya semula berhadapan dengan musuh dan setelahnya aku yang menghuni raga. Kalau dia masih ada hati harusnya kebingungan.Di luar terdengar rintik hujan makin lama makin deras. Tampaknya musim hujan sudah dimulai hari ini. Aku dan pak lurah saling berpandangan. Apa yang