Ascal bersandar. Kepalanya berdenyut mendengar penuturan Jillian dan Bailey. Setelah mengembuskan udara ke sekian kali, ia menatap Bailey.“Kenapa kau ke sini?”Bailey melirik ibunya sesaat sebelum menjawab.“Aku hanya ingin bertanya apa Ayah dan Ibu akan sarapan atau tidak karena aku harus berangkat sekolah.”Jillian membulatkan mata, refleks melihat jam. Ascal pun melihat jam, tidak sadar jarum jam sudah menunjuk angka 7:15.“Ah, Ibu lupa! Ibu tadi ke sini juga untuk mengajak ayahmu sarapan. Ya sudah, ayo, sarapan!” seru Jillian, bangun dari duduknya dan berjalan ke pintu setelah memberi gestur mengajak dengan tangannya.Ascal beranjak dari kursi, merangkul Bailey dan berjalan menyusul Jillian. Bailey terkejut, tetapi tetap melangkah; membiarkan Ascal merangkulnya.Sesuai ucapan pagi buta tadi, Bexter menyiapkan kudanya yang lain sebab kuda yang ia tunggangi semalam masih tertidur. Zander yang mendapat tugas berjaga di depan menutup pintu mansion setelah Ascal keluar. Stein, prajurit
Taeral kembali dengan membawa nampan dan dua gelas cokelat hitam beserta sepiring kue jahe di atasnya, menaruhnya di meja, dan duduk. Ia menoleh, menatap Bexter yang masih mematung.“Bexter, kemari,” serunya, memindahkan gelas cokelat dan piring kue jahe dari nampan.Sungguh pemandangan aneh, masih seringkali terasa aneh tiap kali menyaksikan Taeral mengurus diri sendiri, bahkan menyuguhkan hidangan untuk orang lain seperti sekarang. Jarang Bexter lihati karena bahan makanan dan kebutuhan lain untuk Taeral dikirimkan oleh prajurit. Ia hanya berkunjung sesekali. Walau begitu, tetap terasa aneh mengingat Taeral dahulu adalah seorang raja. Selalu dilayani.Bexter mengangkat kepala, menoleh pada Ascal dan dibalas anggukan.“Ayo!” Ascal menepuk pundak Bexter, lalu menghampiri Taeral dan duduk.“Mencari sampai tubuh tersisa tulang sekalipun, tidak ada yang akan kalian temukan di lantai empat.” Taeral membuka cerita. Ascal yang sedang memakan kue jahe berhenti mengunyah dan menoleh.Taeral te
“Kau jangan terlalu sibuk. Sesekali berbaurlah ... siapa tahu kau bertemu seseorang yang membuatmu ingin terus melihatnya.” Taeral kembali menggoda.Wajah Bexter kian memerah.“Masih ada banyak hal lain yang harus saya utamakan, Tuan.”Bexter terus mengelak. Dirinya sudah lupa kapan terakhir kali memikirkan tentang membangun keluarga. Terlalu mendalami pekerjaan membuat Bexter tidak banyak berbaur dengan orang lain selain yang berhubungan dengan urusannya. Di waktu luang pun ia lebih sering menghabiskannya dengan Cerys dan Dexter, itu pun tetap di mansion Hunt.“Ahaha … ya sudah. Kau yang lebih mengenal dirimu, tahu apa yang lebih penting bagimu saat ini.”Senyum Taeral terus mengembang, menggambarkan betapa sedang senang hatinya. Ia meminum lagi cokelat hitamnya yang sudah mendingin hingga tandas.Di ruang kerja Ascal, lebih dari sepuluh buku sudah keluar dari lemari. Bailey keluar ruangan dengan hati-hati, mengambil meja yang kakinya lebih rendah di kamarnya dan membawa meja tersebut
Sekali lagi Shaw membolak-balikkan surat, masih tidak menemukan nama di luarnya. Karena penasaran, ia membuka perekat dan membaca suratnya.“Kau melakukan hal bagus, tapi kenapa tas pemberian Daniel belum kau hiraukan?”Glekk!Shaw menelan ludah, diam dengan napas tertahan. Ia menengok kanan kiri sembari mengusap tangan dan tengkuk, merasakan merinding yang menjadi.“Ba … bagaimana bisa tahu kalau aku belum benar-benar melihat isi tas pemberian Kak Daniel? Aku hanya mengeceknya saja saat tas itu tiba-tiba ada di meja yang ternyata dibawa oleh Jubah Hitam.” Suara Shaw sangat lirih. Ia mengitari kamar dengan matanya.“Di ruangan ini tidak ada hantu, 'kan?” tanyanya, entah pada siapa.“Atau mungkin surat ini dari Jubah Hitam? Tapi waktu itu Jubah Hitam sudah pergi meskipun aku tidak melihat kepergiannya, tapi aku ingat tidak ada orang saat aku menyimpan tas dari kak Daniel dan benda yang diberi Jubah Hitam itu.”Shaw membaca lagi kalimat yang tertulis, menyisir surat sampai ke bawah, lalu
“Apa udaranya sangat dingin sampai kau membeku di situ?” Elwanda mengerjap.“Eh? Ah, tidak ....” Bexter menyimpulkan senyum kikuk dan menghampiri. “Ini sudah waktunya tidur. Kenapa di sini?”“Menunggumu pulang.” Elwanda berpaling ke langit.Bexter mematung. Aliran listrik terasa menyengat di dalam tubuhnya.Menunggu Bexter pulang. Tidakkah itu aneh keluar dari mulut orang yang baru dikenal?Bexter berdeham pelan.“Hmm? Menungguku pulang?”Pandangan Elwanda menurun lagi, menengok Bexter dan mengangguk.“Dexter, Cerys, dan Mival sudah makan. Tinggal kau dan aku yang belum makan. Jadi, aku menunggumu pulang.”“Apa hubungannya?”Bexter mengalihkan tatap, memutuskan sumber aliran listrik yang kian menggila dalam dirinya.“Aku ingin makan bersamamu.”“Oh.”Eh?!Dehaman kecil kembali dilakukan Bexter, merasakan aliran listrik yang lagi-lagi datang terasa.Ini tidak bisa dibiarkan. Bexter harus mengendalikan diri. Tidak lucu kalau ada yang melihat dirinya salah tingkah atau mati kutu.Bexter m
Dari ruang tamu hingga dapur, mansion tampak sepi. Hanya ada beberapa prajurit yang berjaga dan beberapa pelayan di dapur.“Bagaimana?” Shaw bertanya.Bailey menggeleng, menutup pintu ruang kerja Ascal.“Tidak ada. Ayah mungkin sedang di kamar.”“Mungkin ayahmu sedang sibuk. Tadi aku melihat Dokter Ed masuk. Kita tunggu saja di tempat lain, bagaimana?”“Kita tunggu di kamarku saja. Ayo!”Kamar Bailey luas, dua atau tiga kali lebih luas dari kamar miliknya, terka Shaw begitu ia masuk. Barang-barang tertata rapi dengan beberapa hiasan menggantung di dinding.“Tidak usah membayangkan ruangan yang sangat nyaman sampai kau tidak ingin keluar. Yaa, kamarku memang nyaman, tapi tidak lebih hidup dari kamarmu.” Bailey seolah-olah tahu apa yang ada di pikiran Shaw. Ia naik ke tempat tidurnya, tetapi turun lagi saat Shaw memilih duduk di lantai.“Sambil menunggu, aku ingin menunjukkan sesuatu.” Shaw melepas tasnya.Buku-buku dari Daniel dan surat misterius dikeluarkan dari tas beserta benda pembe
“Segala hal tentang bunker bukankah sudah ditetapkan sebagai rahasia? Tapi di buku itu dijabarkan dengan detail, mencakup pula beberapa hal yang sepertinya hanya beberapa orang saja yang tahu dan sepertinya informasi itu didapatkan dari luar Zanwan. Mungkin dari seseorang yang mengetahui rencana tersebut atau bahkan mengenal mereka berdua yang notabene memiliki kisah dengan daratan Chamomile,” kata Edvard, lalu beralih tatap kepada Shaw, merasa iba.Ascal mengambil buku yang disodorkan Edvard, membacanya. Ia membaca sangat serius.Shaw bergerak, mengubah posisi tidurnya. Ascal menutup buku di tangan, menaruhnya, lalu mengambil gulungan peta Zanwan.“Dan ada apa dengan peta ini?” tanya Ascal, terfokus pada titik yang ditandai Shaw. Kepalanya bergerak ke samping. “Bailey ....”Bailey kali ini ragu menjawab. Ia bernala-nala apakah baik untuk memberitahu atau tidak. Di dekat Ascal duduk, Edvard kembali hanyut ke dalam bacaan buku lain, tampak begitu menikmati. Namun, tetap memasang telinga
“Haaa?”Ini kali ketiga Shaw melongo mengetahui harga ikan yang dikatakan penjual.“Harga ikan-ikan di sini meningkat dari terakhir kali aku beli bersama Kakek,” gumam Shaw, tidak jadi membeli ikan, tetapi Weizhe justru membayari.Setelah bahan makanan yang dicari didapatkan semua, Shaw, Bailey, dan Weizhe bergegas keluar, tidak nyaman dengan pandangan orang-orang. Bukan hanya para gadis remaja hingga dewasa yang terus menaruh atensi, tetapi juga para gadis dengan usia yang lebih muda. Mereka entah bagaimana mengenal Bailey, lalu bagai melihat idola, mereka terus mencuri pandang pada Bailey membuat sang tuan muda tidak nyaman. Shaw, sih, merasa biasa saja karena tidak memedulikan. Namun, ia juga tidak tega. Jadilah mereka bertiga mempercepat belanja. Weizhe yang membayari semuanya, memaksa.“Tuan Guru akan langsung kembali?” Shaw bertanya sambil membenarkan posisi belanjaannya di atas kuda.“Hmm ....” Weizhe berpikir. “Bagaimana kalau aku berkunjung? Aku ingin tahu bagaimana masakannya
Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d
Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto
Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.
“Kau mendengarnya?” Otto bertanya dengan wajah memucat. Suaranya amat pelan sampai nyaris tidak terdengar.Milo mengangguk kecil dalam gerakan patah-patah dan sarat keraguan. Ekspresi pada wajahnya tidak jauh berbeda.Kepala mereka kemudian bergerak bersamaan, berpaling tatap ke baris terdepan, lalu mereka melihat Bailey beranjak dari duduknya, pergi keluar.“Apa Tuan Muda mendengar pembicaraan kita?” Milo bertanya dalam suara lebih rendah, serupa bisik-bisik yang mungkin saja akan hanyut terbawa angin.Otto menggeleng. Bukan jawaban meyakinkan, hanya harapan bahwa itu adalah kenyataan yang terjadi.“Kalau benar, semesta mungkin tidak akan berpihak pada kita setelah ini,” kata Otto.Cemas menyerang Otto. Kalau Bailey benar mendengar pembicaraan mereka, apakah kali ini Bailey akan tersinggung? Kesal? Emosi dan apa pun yang lebih buruk?“Kurasa kita sebaiknya bergegas?” Milo melirik Otto.“Itu keputusan paling baik.” Otto berdiri.Milo memasukkan buku catatan yang baru sebentar ia baca
“Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela
“Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara
“Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan
“Ada rencana untuk keluar lagi di sisa hari ini, Tuan Muda?” Wilton bertanya seturunnya ia dari kuda, memegangi tali setelah Bailey turun. Mereka baru sampai di mansion, pulang dari sekolah.“Kurasa tidak. Sepertinya aku akan habiskan waktu di meja belajar.”“Baik. Saya akan ada di pos malam ini kalau Tuan Muda butuh sesuatu.”“Ya. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini, Wilton.”Bailey pergi, masuk ke mansion. Wilton mengiringi kepergian Bailey dengan anggukan penuh hormat. Bibirnya melengkung membentuk senyum. Usai Bailey tidak lagi terlihat, Wilton membawa kuda ke kandang.Sampai kamar, Bailey menyalakan penerangan, melepaskan ransel, dan bersih-bersih. Ia melanjutkan dengan menekuri buku-buku mata pelajaran sampai pelayan memanggil namanya dari luar pintu.Makan malam tiba, Bailey berseri-seri menemukan Jillian di meja makan. Canda tawa Jillian serupa bunga-bunga di musim semi dan keceriaan Bariela adalah penyempurna. Jillian telah kembali dengan warna cerahnya, tidak lagi ber