Drafarn tampak berpikir sejenak, mengetuk-ngetukkan jari telunjuk tangan kanannya ke meja sembari berpikir. Setelah bernala-nala, ia bersua.
"Ah, tidak masalah. Prajurit di selatan adalah yang baru direkrut, juga belum pernah mendengar tentang kita atau bertemu," ujarnya, mengambil cangkir teh. Sang prajurit diam-diam menghela napas lega. Namun, laporannya belum selesai, dan itu membuatnya kembali tegang.
"Peti emas yang dikirim melalui pelabuhan selatan pun hanya beberapa. Tujuan utama adalah barat laut, jadi tidak masalah. Nah, sekarang mari bersulang," ujarnya lagi, mengangkat cangkir di tangan seraya memasang senyum cerah.
Interogasi berjalan lama, diwarnai bising teriakan dari ruangan rustic itu. Mulut yang bungkam pada akhirnya terbuka, tidak tahan ketika cambuk menyentuh tulang punggung mereka.Usai puas dengan semua jawaban, para awak kapal dipindahkan ke dungeon. Ascal dan Bexter kembali dengan kereta-kereta kuda berisi peti-peti di dalamnya beserta para prajurit yang mengawal.Saat melewati kastil, ucapan Emilie terngiang di kepala Bexter. Ia lantas mempercepat laju kudanya, mensejajarkannya dengan kuda Ascal dan memberitahukan perkataan Emilie."Beristirahatlah dulu. Kita ke kastil setelah makan siang," tukas Ascal, menghentak tali kekang dengan lebih kuat.Burung merpati di kandang sudah bangun, mengepakkan sayap seakan menjemput tuannya dari alam mimpi. Bailey perlahan membuka mata, mengerjap dan mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Ia lantas beranjak, mengambil makanan sang merpati dan memberikannya.Derap ramai tapal kuda terdengar berhenti d
Ascal menyandarkan daksanya, menghembuskan napas lelah. Kepalanya berdenyut mendengar penuturan Jill dan Bailey. Setelah menghembuskan napas ke sekian kali, ia menatap Bailey."Kenapa kau ke sini?"Bailey melirik ibunya sesaat sebelum kemudian menjawab."Aku hanya ingin bertanya apakah Ayah dan Ibu akan sarapan atau tidak, karena aku harus berangkat sekolah."Jill membulatkan mata, lalu refleks melihat jam. Ascal pun melihat jam, tidak sadar jarum jam sudah menunjuk angka 7.15."Ah, Ibu lupa! Ibu tadi ke sini juga untuk mengajak ayahmu sarapan. Ya sudah, ayo, sarapan!" seru Jill, bangun dari duduknya dan berjalan ke pintu setelah memberi gestur mengajak dengan tangannya.Ascal beranjak dari kursi, merangkul Bailey dan berjalan menyusul Jill. Bailey terkejut, tapi tetap melangkah; membiarkan Ascal merangkulnya.Sesuai ucapan pagi buta tadi, Bexter menyiapkan kudanya yang lain ... sebab kuda yang ia tunggangi semalam masih tertidu
Orang tua Bexter meninggal dalam pertempuran kedua setelah Hao Yi dan Maru pergi dari Zanwan. Ia masih sangat muda saat itu, mengurung diri beberapa hari sebelum menegarkan dirinya dan kembali pada aktivitasnya. Duka masih terasa, tapi ia menguatkan diri sendiri, berdiri di depan cermin sembari mengatakan tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan ... sebab orang-orang masih membutuhkan dirinya, terutama Dexter dan Cerys. Semenjak itu, Bexter menjadi lebih tertutup dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan pekerjaannya. Untuk menutupi kesedihan dan mengalihkan perhatian.Taeral kembali dengan membawa nampan dan dua gelas cokelat hitam serta sepiring kue jahe di atasnya, menaruhnya di meja dan duduk. Ia menoleh, menatap Bexter yang masih mematung."Bexter, kemari," serunya, memindahkan gelas cokelat dan piring kue jahe dari nampan.Bexter mengangkat kepala, menoleh menatap Ascal dan dibalas anggukan."Ayo!" Ascal menepuk pundak Bexter, lalu meng
"Kau jangan terlalu sibuk. Sesekali berbaurlah ... siapa tahu kau bertemu seseorang yang membuatmu ingin terus melihatnya." Taeral kembali menggoda, membuat wajah Bexter kian memerah."Masih ada banyak hal lain yang harus saya utamakan, Tuan."Bexter terus mengelak. Dirinya sudah lupa kapan terakhir kali memikirkan tentang membangun keluarga. Terlalu mendalami pekerjaan membuat Bexter tidak banyak berbaur dengan orang lain selain yang berhubungan dengan urusannya. Di waktu luang pun ia lebih sering menghabiskannya dengan Cerys dan Dexter ... itupun tetap di mansion Hunt."Ahaha ya sudah ... kau yang lebih mengenal dirimu, tahu apa yang lebih penting bagimu saat ini."Senyum Taeral terus mengembang, menggambarkan betapa sedang senang hatinya. Ia meminum lagi cokelat hitamnya yang sudah mendingin hingga tandas.Di ruang kerja Ascal, lebih dari 10 buku sudah keluar dari lemari. Bailey k
Sekali lagi Shaw membolak-balikkan surat, masih tidak menemukan nama di luarnya. Karena penasaran, ia membuka perekat dan membaca suratnya.“Kau melakukan hal bagus, tapi kenapa tas pemberian Daniel belum kau indahkan?’’GREKK!Shaw menelan ludah, diam dengan napas tertahan. Ia menengok kanan kiri sembari mengusap tangan dan tengkuknya, merasakan merinding yang menjadi."B-bagaimana bisa tahu kalau aku belum benar-benar melihat isi tas pemberian kak Daniel? Aku hanya mengeceknya saja saat tas itu tiba-tiba ada di meja yang ternyata dibawa oleh Jubah Hitam." Shaw berujar sangat lirih, mengitari kamar dengan matanya."Di ruangan ini tidak ada hantu, 'kan?" tanyanya, entah pada siapa."Atau mungkin surat ini dari Jubah Hitam? Tapi waktu itu Jubah Hitam sudah pergi ... meskipun aku tidak melihat kepergiannya, tapi aku ingat tidak ada orang saat aku meny
"Apa udaranya sangat dingin sampai membuatmu membeku di situ?" Emilie bertanya dengan nada datar, mengerjap lalu menaikkan alisnya."Eh? Ah, tidak ...." Bexter tersenyum kikuk, berjalan menghampiri."Ini sudah waktunya tidur. Kenapa kau di sini?" tanya Bexter, berdiri di samping Emilie."Menunggumu pulang," jawab Emilie dengan nada polos, memandangi nabastala. Sedangkan Bexter kembali mematung; terhenyak, merasa ada aliran listrik di dalam daksanya.Bexter berdehem pelan, menstabilkan dirinya."Hmm? Menungguku pulang?"Pandangan Emilie menurun lagi, menatap ke samping dan mengangguk."Dexter, Cerys, dan Mival sudah makan. Tinggal kau dan aku yang belum makan ... jadi aku menunggumu pulang.""Apa hubungannya?"Bexter mengalihkan pandangannya, memutuskan sumber aliran listrik yang terasa menjalar dalam daksanya."Aku ingin makan bersamamu," sahut Emilie, masih dengan nada polosnya.Deheman kecil kembali
"Bagaimana?"Dari ruang tamu hingga dapur, mansion tampak sepi. Hanya ada beberapa prajurit yang berjaga dan beberapa pelayan di dapur.Bailey menggeleng, menutup pintu ruang kerja Ascal."Tidak ada. Ayah mungkin sedang di kamar.""Mungkin ayahmu sedang sibuk, tadi aku melihat Dokter Ed masuk. Kita tunggu saja di tempat lain. Bagaimana?" saran Shaw, melihat-lihat sekeliling."Kita tunggu di kamarku saja. Ayo," sahut Bailey seraya berjalan ke kamarnya.Kamar Bailey luas, dua atau tiga kali lebih luas dari kamar miliknya, terka Shaw. Barang-barang tertata rapi dengan beberapa hiasan menggantung di dinding."Tidak usah membayangkan ruangan yang sangat nyaman sampai kau tidak ingin keluar. Yaa ... kamarku memang nyaman, tapi tidak lebih hidup dari kamarmu." Bailey menyahut, seakan tahu apa yang ada di pikiran Shaw. Ia naik ke tempat tidurnya, tapi kemudian turun lagi saat Shaw memilih duduk di lantai."Sambil menunggu, aku ingi
"Segala hal tentang bunker bukankah sudah ditetapkan sebagai rahasia? Tapi di buku itu dijabarkan dengan detail, mencakup pula beberapa hal yang sepertinya hanya beberapa orang saja yang tahu. Dan sepertinya, informasi itu didapatkan dari luar Zanwan. Mungkin dari seseorang yang mengetahui rencana tersebut, atau bahkan mengenal Tuan Hao Yi dan Nona Maru, yang notabene memiliki kisah dengan daratan chamomile."Lalu mata Edvard beralih menatap Shaw, merasa iba.Ascal mengambil buku yang disodorkan Edvard; membacanya. Lalu ia terdiam, tampak membaca dengan serius dan serius.Shaw bergerak, mengubah posisi tidurnya. Ascal menutup buku di tangan, menaruhnya dan mengambil gulungan peta Zanwan."Dan ada apa dengan peta ini?" Ascal bertanya, terfokus pada titik yang ditandai Shaw. Lalu kepalanya bergerak menoleh ke samping. "Bailey ...."Bailey kali ini ragu menjawab. Ia bernala-nala, apakah baik untuk memberitahu atau tidak. Di dekat Ascal duduk, Ed
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau pikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. “Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidak―""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah itu—" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang