Ekspresi Boris makin dalam dan bertanya, “Makan bersamaku, ya?” “Nggak perlu. Kamu makan sama Bu Sandra saja. Aku hanya kebetulan lewat saja dan berpikir kalau kamu ada waktu maka kita pulang bersama. Karena kamu ada janji sama Bu Sandra, aku pulang sendiri saja.” Setelah selesai mengatakannya, dia tersenyum tipis, lalu melambaikan tangan kepada Sandra untuk berpamitan dan langsung berbalik pergi. Begitu dia memalingkan wajahnya, senyum di pipinya pun segera lenyap. Boris langsung mengikutinya dan menggenggam tangannya dengan lembut sambil berkata, "Kita turun bersama?"Zola tidak berkata apa pun dan tidak melepaskan tangannya. Dia membiarkan lelaki itu menggandengnya dan ketiganya turun bersama. Boris mengantarkan perempuan itu hingga di samping mobilnya dan membukakan pintu untuk Zola. “Minta Jeni makan malam bersamamu? Kalian mau makan apa? Biar aku yang pesan.” “Nggak perlu. Kamu nggak perlu mengurusku. Bu Sandra masih menunggumu, pergilah. Sampai jumpa.” Dia melambaikan tanga
Zola hanya menyipitkan matanya. Terdengar suara Sandra yang menjelaskan, “Papaku meminta orang untuk untuk bawa daun teh ke sini. Dia sengaja memintaku untuk mewakili dia menemui Kakek. Kalau aku pergi sendiri, sepertinya nggak enak. Kalau sama kalian lebih nggak canggung. Boleh?” Boris terdiam dan raut wajahnya terlihat datar. Keningnya berkerut dalam seakan memikirkan sesuatu. Zola juga ikut terdiam. Telepon mereka masih belum terputus sama sekali. “Nggak enak, ya? Kalau begitu, juga nggak masalah. Aku akan kasih Kakek di lain waktu saja. Aku hanya berpikir kebetulan kamu dan Zola ke sana dan aku juga nggak ada urusan. Dengan begitu, nggak akan menghambat urusan pekerjaan juga. Tapi nggak masalah, aku cari waktu saja.” “Kalau begitu, ke sana bersama saja,” jawab Boris. Ekspresi Sandra terlihat tidak ada perubahan dan hanya bertanya, “Nggak akan mengganggu kalian makan keluarga, ‘kan?” “Nggak.” Setelah Zola mendengar percakapan mereka, dia langsung mematikan sambungan telepon t
Keduanya berbincang dan kemudian pelayan datang memberi tahu jika Boris sudah datang. Setelah itu, terlihat lelaki itu masuk bersama dengan Sandra. Sandra membawa kotak teh yang berbentuk elegan dan mahal. Dengan sopan dan anggun, dia menyapa Kakek serta orang tua Boris, "Kakek, Om, Tante, selamat sore. Maaf mengganggu tiba-tiba." Dengan datar Hartono menjawab, “Nggak perlu sungkan, asal kamu nggak keberatan dengan makanan sederhana, itu sudah cukup.”Karena sikap Sandra yang ramah, mau tidak mau semua orang bersikap sopan dengannya. Setelah itu, Sandra dan Hartono serta Dimas mulai membahas kerja sama Morrison Group. Meski dia adalah perempuan, di hatinya terdapat semangat seorang lelaki. Kelak, Gordi Group akan dikelola oleh dia karena perempuan itu anak tunggal. Sandra bercanda sambil berkata, "Papaku khawatir kalau suami yang aku temui nanti nggak bisa mengelola perusahaan, jadi sekarang hanya aku yang harus bekerja keras."Hartono menjawab, “Di zaman sekarang, lelaki dan peremp
“Nggak perlu repot. Kamu antar Bu Sandra ke hotel saja, aku sendirian jenguk Nenek.” Zola langsung menolak, matanya menatap Boris dengan dingin. Jelas-jelas dia menatap lelaki itu, tetapi tidak terlihat ada interaksi di antara keduanya. Kening Boris berkerut dan berkata, “Zola, sudah malam, aku nggak tenang kamu sendirian.” “Ada supir, kenapa nggak tenang? Selain itu aku juga datang ke sini sendirian, ‘kan?” Zola tersenyum, tetapi matanya tidak menunjukkan sedikit pun senyuman.Sandra juag merasakan keanehan itu dan bertanya, "Zola, apakah kamu marah pada Boris karena aku? Aku datang ke sini hari ini untuk melihat Kakek atas permintaan papaku. Aku nggak bermaksud mengganggu kalian. Kalau ini membuatmu kesal, aku minta maaf. Kamu sedang hamil, nggak baik kalau kamu marah. Ini bisa berdampak buruk pada bayimu.""Terima kasih untuk perhatianmu, Bu Sandra. Bayi ini ada di dalam perutku, jadi tentu aku tahu apa yang baik dan buruk. Bu Sandra belum pernah hamil, juga belum menjadi seoran
Lelaki itu tersenyum tidak berdaya karena tidak bisa berbuat apa pun dengan Zola. Namun, yang tidak dia ketahui adalah bahwa alasan mengapa Zola bersikap seperti itu hanya karena dia tidak ingin merendahkan diri, dan perempuan itu tidak ingin kehilangan harga diri dan kebanggaannya sebagai seorang perempuan.Sandra datang sekitar setengah bulan. Dia dan Boris bekerja bersama dan tentu bukan rahasia. Tyara juga mengetahui hal itu tanpa sengaja. Tentu saja Tyara juga kenal dengan Sandra. Dulu, dia sering memperlihatkan sikap tidak ramah pada Sandra. Sekarang Sandra datang lagi untuk mendekati Boris dan hal itu membuatnya makin marah.Tyara langsung mendatangi rumah sakit untuk menghadang Zola, lalu dengan penuh amarah berkata, "Kenapa kamu nggak berguna sekali? Boris begitu dekat dengan Sandra dan kamu nggak melakukan apa-apa? Apa kamu nggak tahu kalau Sandra punya niat buruk terhadap Boris?"Zola tertawa. Dia tidak tahu dari mana datangnya keberanian Tyara untuk datang menanyakan perta
Setelah menyebutkan alamat, Zola bertanya, "Ada apa? Apa ada urusan?"“Kamu ketemu dengan Sandra?” tanya Boris. Tanpa ada emosi yang jelas, tetapi membuat Zola merasa tidak nyaman. Seolah-olah sedang diinterogasi bahkan mungkin disalahkan.“Iya, barusan aku bertemu dengannya.” Boris dengan suara lembut berkata, "Zola, kalau ada yang ingin kamu ketahui, kamu bisa tanya aku. Aku dan Sandra hanya teman dan rekan kerja, dan karena proyek ini, kami sering bertemu. Kalau kamu merasa nggak nyaman, aku bisa menyerahkan urusan ini pada orang lain, oke?"Zola mengerutkan kening, sedikit tidak yakin dan bertanya, "Boris, kamu sedang menjelaskan padaku?"“Lalu apa maksud ucapanku?” “Kamu merasa kalau aku ketemu dengan Sandra karena marah? Kamu takut emosiku bisa memengaruhi bayi?” “Zola! Jadi kenapa kamu ketemu Zola?” tanya Boris dengan nada penuh peringatan. "Kami hanya minum teh dan mengobrol, nggak ada yang lebih dari itu. Kamu pikir kami bisa melakukan apa?" ujar Zola dengan santai. Bori
Zola mengetuk pintunya dan masuk sambil mendorong Nenek. Di dalam ruangan tersebut masih ada orang lain. Di bagian tengahnya hanya dibatasi oleh sebuah tirai saja. Nenek dibantu oleh perawat untuk berbaring di tempat tidur lalu mulai proses penarikan darah.Di waktu yang sama, terdengar suara perawat yang ada di sampingnya berkata, “Kenapa putri Anda nggak datang menemani Anda?”“Dia lagi sibuk dengan persiapan konsernya dan nggak ada waktu datang.”Zola langsung tahu jika suara itu adalah milik ibunya Tyara. Dia mengerutkan keningnya karena ternyata Tyara memang tidak datang ke rumah sakit untuk menemani ibunya. Zola memutuskan untuk tidak memikirkannya dan melupakannya.Setelah neneknya selesai menarik darah, dia mendorong neneknya kembali ke kamarnya. Di belakangnya, ada ibu dan ayahnya Tyara. Karena Zola diminta oleh neneknya untuk mengenakan masker, sehingga mereka tidak mengenalinya.Saat Zola ragu apakah dia harus berjalan lebih cepat untuk menjaga jarak, dari belakang terdengar
Boris menyipitkan matanya dan senyuman tipis yang menghiasi bibirnya memperlihatkan sedikit kesan dingin. Dengan suara rendah dan tenang, dia bertanya, “Siapa yang memberitahumu kalau aku mencintai Tyara? Apa kamu berpikir aku nggak peduli karena aku mencintainya?”Zola tertegun sejenak. Menghadapi pertanyaannya yang jelas-jelas sudah mengetahui jawabannya, hatinya seolah disentuh oleh sesuatu dan menimbulkan perasaan yang sedikit tidak nyaman. Namun, dia tetap menatap mata lelaki itu dengan tenang, lalu menjawab, "Bukankah begitu?"“Tentu saja nggak!” jawab Boris dengan tegas. Tangan lelaki itu meraih tangan Zola dan dengan lembut berkata, “Zola, aku tidak pernah bilang kalau aku mencintai Tyara. Jadi, dari mana datangnya pemikiran seperti itu?”“Tapi semua yang kamu lakukan menunjukkan bahwa kamu mencintainya,” jawabnya dengan bibir sedikit terkatup, sementara tangan satunya secara naluriah mengepal. Sebenarnya, dia sangat ingin mengatakan pada Boris bahwa lelaki itu sangat kejam. Je