Jeni mengerutkan kening dan bertanya, “Anak itu?”“Anak ini milikku. Tentu saja aku nggak akan lukai anakku dengan alasan apa pun.”Kata-kata Zola membuat hati Jeni mencelos. Zola tidak menyadari wajah Jeni yang sedikit tegang. Dia hanya melanjutkan kata-kata yang belum dia selesai ucapkan. “Dia nggak mencintai aku. Dia juga nggak akan tiba-tiba jadi suka aku hanya karena anak. Sekalipun apa yang dia lakukan seakan-akan dia suka sama aku, itu juga hanya karena kehadiran anak. Aku nggak akan sebodoh itu sampai mengira itu cinta. Aku sudah gunakan waktu selama setahun tetap saja nggak bisa menarik perhatiannya. Itu berarti di antara kami nggak akan pernah ada cinta.”Rasionalisme dan ketenangan Zola juga membuat Jeni memiliki pemahaman dan keputusan yang jelas terhadap beberapa hal di dalam hatinya.Jeni tersenyum tipis lalu mengangguk setuju. “Kamu benar. Zola tetap Zola yang membanggakan, nggak akan mengubah batasan dirinya karena siapa pun.”“Aku curiga kamu sedang tertawakan aku. Tap
Namun, ucapan Zola terdengar agak kasar di telinga Boris. Karena dia telah melewatkan tiga bulan pertama baru tahu kalau Zola hamil. Jadi selama tiga bulan pertama, apakah Zola kesulitan bergerak atau merasa tidak enak badan?Boris mengerutkan kening. Wajahnya sedikit muram. Pada akhirnya, dia hanya berkata, “Aku pergi setelah lihat kamu naik ke atas.”Zola tidak menolak. Dia mengangguk pelan, lalu masuk ke gedung apartemen. Di dalam mobil, Boris berkata dengan acuh tak acuh, “Ke perusahaan.”Jesse menganggukkan kepala lalu menginjak pedal gas. Boris tiba-tiba bertanya, “Kakek kapan baru boleh keluar dari rumah sakit.”“Seharusnya besok pagi sudah bisa keluar. Pak Hartono sudah nggak apa-apa. Pak Dimas yang bersikeras minta Pak Hartono diopname satu hari lagi.”“Hmm. Besok kamu pergi jemput Kakek. Habis itu bawa mamaku ke apartemen Zola.”Jesse sedikit terkejut, tapi dia tidak bertanya lagi. Dia hanya menganggukkan kepala. Tidak lama setelah Boris pergi, Tedy menghentikan mobilnya di
Boris menatap Zola dengan lekat dan berkata dengan lembut, “Aku telepon kamu, tapi kamu nggak angkat. Jadi aku langsung ke sini.”Boris sudah berada di sini selama hampir satu jam. Setelah mengetahui Zola sedang mengawasi pengerjaan di lokasi, dia pun menahan diri untuk tidak masuk dan menunggunya di sini.Saat Zola tidak mengangkat telepon darinya, Boris mengira Zola sedang marah. Karena awalnya Zola sendiri yang mengantarkan sketsa desain, tapi tadi malah asisten Zola yang mengantarkan sketsa desain ke Morrison Group.Setelah mendengar jawaban Boris, Zola segera mengeluarkan ponselnya dan memeriksanya sebentar. Dia mendapati memang ada dua panggilan tidak terjawab. Dua-duanya dari Boris. Zola melihat ponselnya dan menyadari sesuatu.“Maaf, aku nggak tahu sejak kapan jadi mode diam. Aku nggak tahu ada telepon masuk.”Boris terus memperhatikan Zola, tidak melewatkan ekspresi apa pun di wajah perempuan itu. Kemudian, dia membuka pintu mobil dan berkata pada Zola, “Masuk ke dalam mobil d
Lagi pula, betapa melelahkannya menjadi diri yang seperti ini. Selesai makan malam, Boris dan Zola awalnya ingin mengobrol dengan sang nenek. Namun, nenek Zola menolak dan berkata, “Boris, kamu temani Zola jalan-jalan saja. Dia lagi hamil, harus sering gerak.”Zola langsung berdalih, “Nenek, aku sudah jalan di lokasi konstruksi sepanjang sore ini. Sudah mencapai batasnya. Tolong jangan paksa aku jalan lagi.”“Aku nggak lihat, jadi itu nggak termasuk.”“Nenek.”Nenek tidak mau mendengarkan Zola. Dia menoleh ke arah Boris dan berkata, “Wanita hamil suasana hatinya sering berubah-ubah. Maklumi saja, ya.”Boris mengangguk. “Aku mengerti.”Pada akhirnya, mereka berdua keluar di bawah pengawasan sang nenek. Sebenarnya, Zola ingin langsung kembali ke unitnya di seberang. Namun, Boris malah berkata, “Nenek pasti masih awasi kita. Kita turun ke bawah jalan satu putaran saja, oke?”Keduanya pun berjalan-jalan di bawah apartemen. Boris mengambil inisiatif bertanya, “Nenek selalu ceria begitu?”“I
Selesai minum, Tedy keluar dari klub bersama Boris. Keduanya bertemu Wina yang baru saja tiba di depan pintu masuk. Begitu melihat Tedy, Wina langsung mendekat dan memegang tangan Tedy.“Kamu mabuk, Ted. Ayo, aku antar kamu pulang.”Wina melihat ke arah Boris. Meskipun Zola telah memberinya pelajaran, dia tidak bisa mengabaikan Boris begitu saja. Oleh karena itu, dia mengambil inisiatif menyapa pria itu.“Boris, kamu juga ada di sini. Sudah malam. Aku panggilkan sopir pengganti untuk kamu, ya.”“Nggak perlu.” Boris tidak minum. Dia menatap Tedy dan berkata, “Aku pulang dulu.”Tedy menepis tangan Wina dan segera mengikuti Boris. “Malam ini aku tidur di rumahmu.”Tedy mengabaikan Wina dengan begitu saja di sana. Wina langsung berkata dengan sedih, “Tedy, aku bela-belain datang jemput kamu. Kalau kamu difoto dalam kondisi seperti ini, besok Kakek pasti akan tahu.”“Jadi kamu mau pakai Kakek untuk ancam aku?” Meskipun mabuk, Tedy masih sangat sadar. Dia menatap Wina dengan dingin dan berka
“Jadi maksud kamu, kamu nggak ingin pindah dan tinggal bersama kami? Kalau kamu pindah, Kakek pasti akan sangat senang.”“Bukannya aku nggak mau, Ma.”“Kalau begitu pindah saja.”Rosita langsung mengambil keputusan. Zola mengatup bibirnya dan terdiam sejenak, lalu berkata, “Aku diskusikan dulu dengan Boris, ya.”“Kenapa harus diskusi dengannya? Dia justru ingin kamu pindah,” gumam Rosita.Zola terkejut. “Mama ngomong apa barusan?”“Aku bilang kamu nggak usah diskusi dengan Boris lagi. Kamu ini perempuan. Kamu yang berhak memutuskan. Kamu yang paling berkuasa.”Rosita sangat pandai membujuk orang. Makanya hubungannya dengan Dimas tetap begitu dekat seperti ketika mereka masih muda.Zola pun dibuat tertawa. Namun, Zola tetap tidak menyerah. “Ma, aku mau diskusi sama Boris dulu, karena kebiasaan hidup kami sangat berbeda dengan Mama, Papa dan Kakek. Aku takut akan ganggu kalian. Kami nggak mau kebiasaan lama diubah karena kami punya anak. Bagaimana menurut Mama?”Rosita tidak memaksa lagi
“Dia yang bilang ke kamu?” tanya Zola.“Dia nggak bilang ke aku. Tapi dari apa yang dia lakukan jelas-jelas sedang kejar kamu. Gawat, Zola. Kamu jadi incarannya.”Zola memutar bola matanya. “Kamu pergi sana.”Jeni memanyunkan bibirnya. “Nggak tahan aku?”“Memangnya kalau aku tahan, kamu akan tinggal?”“Nggak.”“Kalau begitu, untuk apa aku repot-repot buang air liur?”Keduanya bertengkar dengan cepat, berbaikan dengan cepat juga. Zola mengantar Jeni turun ke bawah. Sudah ada mobil yang akan mengantar Jeni ke bandara. Karena Zola sedang hamil, Jeni bersikeras tidak membiarkan Zola mengantarnya ke bandara. Akan tetapi, Zola meminta Caca untuk mengantar Jeni. Dengan begitu, Zola juga merasa tenang.Setelah mengantar Jeni sampai masuk ke mobil, keduanya saling memandang dan melambaikan tangan. “Hati-hati di jalan. Kalau sudah sampai, telepon aku.”“Oke. Kamu juga harus jaga diri dan anak angkatku dengan baik. Nanti aku akan ke sini lagi temani kamu.”“Oke.”Zola melihat mobil yang membawa J
Jarak antara mereka berdua begitu dekat. Di ruangan yang hangat, mereka terlihat sedikit mesra. Zola berusaha untuk tidak melihat Boris. Dia mengerutkan bibirnya dan tetap diam.“Zola, kamu takut banget sama aku?” tanya Boris.“Nggak.”“Lalu kenapa kamu nggak berani lihat aku?”Zola tanpa sadar menaikkan pandangannya. Matanya pun bertemu dengan mata Boris yang hitam, seperti sebuah lubang yang tak berdasar.Zola membuka matanya dan berkata dengan tenang, “Kamu mau ngomong apa?”Boris memandang Zola sebentar. Kemudian, dia mulai membahas hal-hal yang perlu diperhatikan selama kehamilan. “Mulai malam ini, aku akan bacakan dongeng selama setengah jam setiap malam. Itu akan membantu pertumbuhan janin.”Zola tercengang. “Bukannya mendongeng sebaiknya dilakukan pada trimester terakhir?”“Sekarang dia sudah punya kemampuan sensorik. Jadi aku rasa lebih baik dimulai dari sekarang.”Boris bersikeras, jadi Zola pun tidak berkata apa-apa lagi. Biarkan saja kalau Boris ingin membacakan dongeng. Bo
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me