Jarak antara mereka berdua begitu dekat. Di ruangan yang hangat, mereka terlihat sedikit mesra. Zola berusaha untuk tidak melihat Boris. Dia mengerutkan bibirnya dan tetap diam.“Zola, kamu takut banget sama aku?” tanya Boris.“Nggak.”“Lalu kenapa kamu nggak berani lihat aku?”Zola tanpa sadar menaikkan pandangannya. Matanya pun bertemu dengan mata Boris yang hitam, seperti sebuah lubang yang tak berdasar.Zola membuka matanya dan berkata dengan tenang, “Kamu mau ngomong apa?”Boris memandang Zola sebentar. Kemudian, dia mulai membahas hal-hal yang perlu diperhatikan selama kehamilan. “Mulai malam ini, aku akan bacakan dongeng selama setengah jam setiap malam. Itu akan membantu pertumbuhan janin.”Zola tercengang. “Bukannya mendongeng sebaiknya dilakukan pada trimester terakhir?”“Sekarang dia sudah punya kemampuan sensorik. Jadi aku rasa lebih baik dimulai dari sekarang.”Boris bersikeras, jadi Zola pun tidak berkata apa-apa lagi. Biarkan saja kalau Boris ingin membacakan dongeng. Bo
Tyara segera menjelaskan, “Aku nggak ancam kamu. Aku hanya terlalu takut. Boris, aku takut mamaku kenapa-napa. Aku juga takut dengan suasana sepi di rumah sakit. Jadi, kamu datang ke sini temani aku, ya?”“Kalau aku nggak mau pergi ke sana, kamu akan ancam aku dengan nyawamu?”“Nggak, aku hanya ....”“Tyara, kalau kamu berharap bisa menemukan jantung yang cocok untuk mamamu secepatnya, dengarkan aku. Aku akan suruh Jesse ke sana. Kalau butuh apa-apa, katakan saja padanya.”Usai berkata, Boris langsung menutup telepon. Dia meletakkan ponselnya dengan wajah tanpa ekspresi. Selang beberapa detik, Zola keluar dari kamar mandi. Keduanya diam saja, tidak ada yang bicara. Zola duduk di tempat tidur, lalu mengangkat selimut dan berbaring.Boris menatap Zola lekat-lekat, melihat wajahnya yang cantik tidak menunjukkan emosi. Hanya raut wajah datar yang terkesan dingin. Sorot mata Boris spontan menjadi gelap.Boris mengirim pesan kepada Jesse dan menyuruhnya pergi ke rumah sakit sebentar. Setelah
Jesse menatap Tyara dengan kesal, tapi dia tidak melakukan apa yang Tyara minta. Melihat Jesse diam saja, Tyara pun bertanya, “Aku suruh kamu telepon Boris. Kamu nggak dengar?”“Bu Tyara terburu-buru pun nggak ada gunanya.”“Apa-apaan kamu ini? Kamu itu hanya seorang bawahan. Ada hak apa kamu bicara seperti itu denganku? Kalau aku suruh kamu telepon ya telepon. Nggak usah banyak bacot. Awas saja kamu, aku akan suruh Boris pecat kamu. Kamu ....”Tyara menunjuk Jesse dengan arogan sembari menaikkan nada suaranya. Namun, sebelum menyelesaikan perkataannya, seseorang membuka pintu kamar pasien dari luar.Wajah Tyara seketika memucat ketika melihat sosok yang berdiri di depan pintu. Dia segera menurunkan tangannya yang sedang menunjuk Jesse. Wajahnya yang penuh amarah seketika berubah menjadi wajah yang lembut dan memelas.“Boris ....”Setelah melihat reaksi Tyara, Jesse ikut menoleh ke belakang dan melihat Boris yang melangkah masuk ke ruangan.“Pak Boris,” sapa Jesse yang tampak sedikit t
Rasa sakit di hati Tyara seperti dihujam bertubi-tubi oleh belati membuatnya tidak bisa bernapas. Tyara sudah bertanya untuk kesekian kalinya kepada Boris apakah dia tidak ingin bercerai. Namun, Boris hanya diam saja, tidak ada niat menjawab pertanyaan Tyara.Namun sekarang, Tyara hanya ingin meminta janji Boris untuk menikahinya diganti menjadi permohonan lain. Entah mengapa, Boris tiba-tiba menjadi antusias untuk menjawab. Lantas, apakah Boris benar-benar tidak memiliki sedikitpun perasaan terhadapnya lagi? Ataukah sedari awal Boris memang menunggu kesempatan ini?Tyara berusaha bersikap tetap tenang. “Iya, aku sudah pikir matang-matang. Jadi Boris, kamu akan penuhi permintaanku?”“Kamu ingin ganti dengan permintaan apa?”“Aku ingin Perusahaan Morrison dukung dan bantu aku sepenuhnya agar aku bisa mendapat gelar Ratu Diva tahun ini.”“Hanya itu?” tanya Boris yang mengangkat salah satu alisnya heran.“Itu saja sudah sangat berarti bagiku. Paling nggak sebelum kita benar-benar nggak a
Sang nenek tersenyum tipis, tapi cukup untuk membungkam Boris. Boris selalu merasa ada sesuatu yang ditutupi oleh sang nenek, tapi dia tidak yakin. Jadi dia tidak banyak bertanya lagi.Sementara di unit seberang, Zola juga sudah bangun. Dia langsung menyadari kalau Boris tidak pulang semalaman. Ada rasa kesal yang mengganjal di hatinya. Pada saat yang sama, dia juga mengingatkan dirinya untuk tidak membiarkan siapa pun memengaruhi suasana hatinya. Setelah itu, Zola pergi mencari neneknya.Zola agak terkejut ketik melihat Boris sedang bersama neneknya. Boris meniup bubur yang masih mengepulkan asap itu. Dia juga membantu sang nenek duduk sembari berkata, “Waktu aku pulang dan sampai di sini, ternyata sudah jam tiga subuh. Aku takut bangunkan kamu, jadi aku tidur saja di mobil.”Zola spontan mengerutkan kening, tidak mengerti maksud perkataan Boris. Apakah Boris sedang memberikan penjelasan kepadanya?Zola menatap Boris dalam diam, kemudian duduk dan mulai menyantap sarapan. Selesai sa
Saat Zola hendak membuka pintu dan masuk ke mobil, seorang pria datang dan bertanya padanya, “Bu Zola, malam-malam begini baru pulang?”Zola tidak kenal pria itu. Namun, pria itu tahu namanya. Mungkin salah satu karyawan di lokasi. Jadi Zola pun mengangguk sopan. Sebelum Zola sempat bicara, Zola tiba-tiba merasa kepalanya ditutup dengan sesuatu.Semua cahaya di depan Zola tiba-tiba menghilang. Zola sudah dibawa ke dalam sebuah mobil tanpa sempat bereaksi.Dari suara langkah kaki, Zola tahu ada dua orang pria. Setelah masuk ke dalam mobil, tangan Zola langsung diikat ke pegangan di dalam mobil.Saat ini, dia mendengar pria yang menyapanya tadi bertanya, “Kita langsung bawa dia ke tempat Pak Juan?”“Nggak usah banyak tahu. Kamu akan tahu saat kita sampai di sana.”Zola telah mendengar kata “Pak Juan”. Satu-satunya orang bernama Juan yang dia kenal adalah Juan dari Stonerise, yang kebetulan memiliki konflik dengannya soal proyek. Zola justru menjadi lebih tenang.Dia tetap diam dan tidak
Juan seperti kerasukan iblis. Dia mengangkat ponselnya untuk mengambil foto Zola. Setelah melihat Juan yang seperti itu, Zola tahu kalau Juan tidak main-main atau mencoba menakut-nakutinya. Pria itu benar-benar akan melakukannya.Zola terus meronta, tapi tak berdaya melawan kekuatan dua pria. Dia hanya bisa terus berteriak, “Juan, aku akan telepon. Aku telepon Boris. Aku akan bujuk Boris.”“Huh, bukannya tadi kamu bilang kamu nggak bisa apa-apa? Aku rasa kamu sengaja permainkan aku.”Juan tidak mau berhenti. Zola pun semakin panik. Tiba-tiba ponsel Zola berdering. Mata semua orang tertuju pada benda berbentuk segi panjang yang tergeletak di atas meja itu. Juan melihat sekilas, lalu mengambil ponsel itu. “Telepon dari Pak Boris. Tapi sayang sekali, dia nggak tahu kalau kamu ada di sini,” kata Juan.Kemudian, Boris langsung mematikan ponsel Zola. Pakaian Zola ditarik hingga memperlihatkan bahunya. Zola menggertakkan gigi dan berteriak panik, “Juan, kamu akan bayar harga atas semua perbua
Juan dipukuli begitu keras oleh Boris sehingga tidak bisa melawan. Sedangkan kedua anak buahnya juga sudah dilumpuhkan oleh Jesse.Juan ingin meminta ampun, tapi Boris sama sekali tidak mau mendengarkannya, apalagi memberinya kessempatan. Pada akhirnya, Juan terbaring di lantai tak bergerak seperti orang mati.Boris keluar dari vila sambil menggendong Zola dan berkata dengan dingin, “Besok pagi aku mau lihat Stonerise menghilang dari Kota Binru. Kalau dia, cari alasan yang masuk akal untuk buat dia nggak bisa bangkit lagi selamanya.”Jesse menganggukkan kepala. “Mengerti.”Adapun alasannya, besok juga akan tahu.***Boris langsung membawa Zola ke rumah sakit. Saat sadarkan diri, Zola mendapati dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Ini sudah kedua kalinya dia masuk rumah sakit hanya dalam beberapa hari terakhir. Mungkin karena akhir-akhir ini dia sedang sial.Zola menoleh dan melihat Boris duduk di samping. Belum sempat dia berkata apa-apa, pria itu sudah bertanya dengan suara pelan
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me