Juan dipukuli begitu keras oleh Boris sehingga tidak bisa melawan. Sedangkan kedua anak buahnya juga sudah dilumpuhkan oleh Jesse.Juan ingin meminta ampun, tapi Boris sama sekali tidak mau mendengarkannya, apalagi memberinya kessempatan. Pada akhirnya, Juan terbaring di lantai tak bergerak seperti orang mati.Boris keluar dari vila sambil menggendong Zola dan berkata dengan dingin, “Besok pagi aku mau lihat Stonerise menghilang dari Kota Binru. Kalau dia, cari alasan yang masuk akal untuk buat dia nggak bisa bangkit lagi selamanya.”Jesse menganggukkan kepala. “Mengerti.”Adapun alasannya, besok juga akan tahu.***Boris langsung membawa Zola ke rumah sakit. Saat sadarkan diri, Zola mendapati dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Ini sudah kedua kalinya dia masuk rumah sakit hanya dalam beberapa hari terakhir. Mungkin karena akhir-akhir ini dia sedang sial.Zola menoleh dan melihat Boris duduk di samping. Belum sempat dia berkata apa-apa, pria itu sudah bertanya dengan suara pelan
Pikiran Tyara sedang kacau. Semakin memikirkannya semakin kacau. Dia mengerutkan kening, lalu duduk tegak dan menjauh sedikit dari Samuel.“Apa benar semua yang kamu katakan barusan? Kamu dengar dari siapa?” tanya Tyara dengan berbagai perasaan berkecamuk di dadanya.Awalnya Samuel juga hanya berniat menguji apakah Tyara benar-benar tidak tahu. Setelah memastikan perempuan itu memang tidak tahu, dia baru menjawab dengan jujur, “Boris langsung bawa Zola ke rumah sakit. Aku suruh orang cari info dan sudah dipastikan Zola lagi hamil. Selain itu, Boris jelas bukan baru tahu soal itu.”Tyara mengatupkan bibir rapat-rapat. Wajahnya sepucat kertas. Samuel berkata lagi, “Tyara, dia nggak akan nikahi kamu lagi. Jadi, kamu tetap mau terus tunggu dia? Kamu lihat saja, sekarang dia bahkan sudah punya anak dengan Zola. Ini sudah jelas kalau di hatinya nggak ada kamu. Untuk apa kamu masih tunggu dia?”Tyara menggertakkan giginya dengan keras. Seiring dengan ucapan yang terlontar dari mulut Samuel, s
Mata Boris menatap Zola dengan dalam, tapi mulut berkata dengan acuh tak acuh, “Zola, kamu benar-benar nggak punya hati nurani.”Usai berkata, pria itu berdiri dan berjalan ke arah pintu, meninggalkan Zola yang masih terpelongo sendirian. Zola bertanya-tanya dalam hati, kenapa Boris mengatainya tidak punya hati nurani?Zola merasa tak berdaya. Namun, setelah apa yang terjadi tadi malam, dia harus lebih berhati-hati. Setidaknya begini lebih aman. Zola juga mempertimbangkan keselamatan anaknya.Setelah Boris pergi ke perusahaan, Zola sendirian di apartemen. Namun, masih ada bekas tamparan di pipinya. Jadi, dia mencari alasan untuk tidak pergi ke unit seberang menemani neneknya. Dia tidak ingin neneknya melihat bekas tamparan di wajahnya.Zola baring di sofa sambil memainkan ponselnya. Caca tiba-tiba mengirimkan beberapa hasil screenshot padanya. Zola hanya melihat sekilas. Belum sempat mengerti apa yang terjadi, ponselnya sudah berdering. Telepon dari Caca.“Bu Zola sudah lihat? Stoneris
Zola menggelengkan kepala. “Nggak, kok. Mungkin karena telat makan siang. Jadi aku belum terlalu lapar.”Mahendra terdiam sejenak. Tatapannya menjadi kosong. Sesaat kemudian, dia baru bertanya dengan tenang, “Oh ya, gimana kamu dan Boris? Hubungan kalian jadi lebih baik, nggak?”“Masih sama seperti dulu.”“Jadi, kamu masih tetap mau cerai?”Kali ini, giliran Zola yang terdiam. Dia mengangkat wajahnya dan menatap Mahendra, tapi lebih terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu.Zola tidak menjawab, Mahendra pun bertanya lagi, “Zola, aku nggak ada maksud mau desak kamu. Aku hanya ingin ingatkan kamu. Kalau kamu benar-benar ingin cerai, lebih baik cepat-cepat cerai. Mengingat sifat keluarga Morrison, kalau sampai kamu hamil, rasanya kamu akan sangat sulit untuk jauhkan diri dari mereka.”Zola tanpa sadar mengerutkan kening. Sebenarnya, bukan rahasia lagi kalau dia hamil. Awalnya dia memang merasa sudah seharusnya dia memberitahu Mahendra. Namun entah mengapa, ucapan Mahendra barusan membua
Zola membuka mulut hendak menjelaskan. Namun, begitu kata-kata itu sudah berada di ujung bibirnya, dia mengubah apa yang ingin dia katakan.“Aku nggak ada maksud lain. Aku hanya merasa nggak terbiasa dengan perubahanmu yang mendadak begini. Sebenarnya, kita nggak perlu menjadi orang lain hanya demi anak.”Karena kebaikan Boris akan membuat Zola salah paham kalau pria itu mulai jatuh cinta padanya. Namun di saat yang sama, Zola tahu betul kalau hal itu tidak akan pernah terjadi. Baginya, pemikiran seperti itu sangat menyedihkan.Zola mengerutkan bibirnya sambil menatap mata Boris. Keduanya hanya saling memandang dalam diam. Pada akhirnya, tak ada yang bicara.Setelah kembali ke apartemen, Zola langsung pergi mandi dan ganti baju. Saat mematut dirinya di depan kaca, dia menyibakkan rambutnya, sengaja menutupi pipinya dengan rambut. Kemudian, dia baru pergi ke unit seberang menemui neneknya.Zola sama sekali tidak menyangka, neneknya akan terlihat seperti merasa risih ketika melihatnya da
Zola merasa tidak pantas untuk tinggal lebih lama lagi di sana. Dia berdiri sambil menunjuk ke arah pintu, sebagai isyarat kepada Mahendra kalau dia akan keluar. Mahendra menganggukkan kepala dengan pelan, lalu melihat Zola pergi sekaligus menutup pintu ruangannya.Sepanjang proses, Mahendra tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya diam dan mendengarkan semua ocehan Audy yang tidak masuk akal.Setelah Audy selesai bicara, Mahendra baru bertanya, “Audy, apa yang kamu janjikan padaku sebelum datang ke Kota Binru? Kalau kamu terus seperti ini, aku akan antar kamu pulang.”Audy segera berkata, “Aku tahu aku salah, Kak. Tapi apa yang aku lakukan juga demi kamu. Aku ....”“Sudah, aku mau kerja.”Mahendra langsung menutup telepon dan melempar ponselnya ke meja kerjanya. Raut wajahnya sangat dingin, terlihat sangat kesal dan frustrasi. Setelah menata kembali emosinya, Mahendra baru mengambil dokumen di atas mejanya dan pergi ke ruangan Zola. Dokumen itu berisi tentang proyek baru yang tad
Zola langsung berbalik ketika mendengar suara mesin mobil yang keras. Kemudian, dia melihat sebuah mobil putih yang sedang melaju ke arahnya dengan cepat. Zola secara naluriah menghindar ke samping. Saat ini sedang jam istirahat kerja, ada banyak orang di sekitarnya. Perbuatan Audy menimbulkan kegemparan besar.Karena tidak berhasil menabrak Zola, Audy memutar setir mobilnya dan melaju ke arah Zola lagi. Dia benar-benar telah kehilangan akal sehatnya. Sekarang hanya ada satu hal di dalam pikirannya, yaitu membuat Zola menghilang dari dunia ini selamanya.Tepat saat ini, mobil Boris tiba. Di dalam mobil, dia melihat banyak orang di depan sana melarikan diri dengan panik. Dia pun bergegas keluar dari mobilnya. Pada detik berikutnya, dia menemukan Zola di tengah kerumunan.Boris berjalan cepat ke arah Zola, lalu memegang tangan Zola tepat ketika Zola tidak tahu harus berbuat apa. Zola spontan berteriak ketakutan, “Argh ....”“Ini aku.” Suara pria yang familiar seketika memberikan sedikit
Audy langsung dibawa pergi oleh polisi. Mahendra berusaha menjelaskan kepada Boris. Namun, Boris hanya menanggapi dengan acuh tak acuh, “Tindakan adikmu barusan sudah merupakan tindakan melukai yang disengaja, bahkan ditujukan ke kamu juga. Jadi, Pak Mahendra ingin aku lepaskan dia atau ingin dia benar-benar dijatuhi hukuman sesuai tindakannya barusan?”Boris tersenyum sinis. Sorot mata Boris membuat wajah Mahendra seketika menjadi pucat. Keduanya saling memandang sesaat. Pada detik berikutnya, Boris meraih tangan Zola dan membawa Zola ke mobilnya.“Temukan saksi dan bukti rekaman CCTV. Serahkan semuanya ke polisi. Biar masalah ini ditangani sesuai aturan normal,” perintah Boris kepada Jesse.Jesse menganggukkan kepala lalu pergi. Boris baru melihat ke arah perempuan yang duduk di sampingnya dan bertanya, “Kenapa kamu nggak bicara?”Zola sadar dari lamunannya dan melihat ke arah Boris. Sejak tadi dia diam saja. Sebenarnya, bukan karena dia ingin diam saja, tapi dia tidak pernah dapat k
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me