Boris baru sadar, suara serak keluar dari tenggorokannya, “Hmm.”Pria itu duduk tegak sambil menatap Zola, lalu bertanya dengan lembut, “Maaf, aku tiba-tiba merasa jantungku sakit, jadi nggak sempat injak rem sehingga tabrak kalian. Nggak buat kamu ketakutan, kan?”Zola menatap pria itu dengan ekspresi rumit. Apakah benar karena dia tidak sempat menghentikan mobilnya sehingga dia menabrak mereka? Bukan karena hal lain?Segera, Zola berhenti berpikir. Boris tidak mencintainya, bagaimana mungkin karena pria itu cemburu?“Aku nggak apa-apa. Jantungmu kenapa?”“Nggak kenapa-kenapa. Mungkin akibat kurang istirahat karena terlalu banyak pekerjaan. Aku hanya perlu istirahat sebentar saja.”Wajah Boris tampak sedikit pucat. Zola berkata, “Kalau begitu cepat masuk ke dalam rumah dan istirahat dulu.”“Kamu bisa bantu aku?”Boris bertanya dengan suara pelan. Matanya menatap Zola dengan penuh harap. Tatapan mata pria itu terlalu lembut, sehingga Zola sama sekali tak kuasa menolak.Zola terdiam sej
Pada akhirnya, Zola memutuskan tidak memanggil dokter. Zola membawa Boris ke kamar tidur di lantai atas. Setelah itu, dia memasak bubur sendiri dan melihat Boris makan.Tidak bisa dipungkiri, pria ini selalu memiliki aura yang luar biasa. Terlebih lagi wajahnya yang tampan itu. Makan bubur pun tetap terlihat elegan.Dulu Zola juga tertarik dengan wajahnya pada pandangan pertama. Saat mengenang kembali masa lalu, seulas senyum tipis spontan merekah di bibir Zola. Dia tiba-tiba merasa penasaran. Oleh karena itu, dia bertanya pada Boris, “Kamu masih ingat pertama kali kita bertemu?”“Ingat, kakekmu bawa kamu ke rumah kami dan bilang ingin menikahkan kamu denganku.”Wajah Boris sedikit pucat mungkin karena sedang tidak enak badan. Namun, hal itu sama sekali tidak mengurangi ketampanannya. Seiring dengan suara beratnya bergema di dalam kamar, adegan hari itu muncul kembali di otak Boris.Sebelum pertemuan itu, Boris sudah mengetahui kalau dia akan menikah dengan putri keluarga Leonarto. Bah
Boris berkata dengan santai, tapi wajah Zola langsung memerah. Sekalipun hubungan paling intim pun pernah mereka lakukan, rasanya sangat memalukan mendengar Boris secara blak-blakan memintanya membantunya mandi.Zola langsung menarik tangan dan menundukkan kepalanya, ingin segera melarikan diri dari sini, “Kamu cepat mandi sana. Aku bawa mangkuk bubur ke bawah biar mereka bisa cuci dulu.”Boris tidak mau melepaskan tangan Zola. Sebaliknya, dia malah bertanya, “Zola, kamu malu, ya?”Tentu saja Zola tidak akan mau mengakuinya. Dia mendongakkan kepala untuk menatap Boris dan bertanya dengan serius, “Kamu benar-benar butuh bantuanku?”“Kita suami istri, bukannya ini hal yang sangat lumrah?”“Oke kalau begitu.” Usai berkata, Zola memutar badan menghadap Boris. Kemudian, dia mulai membuka kancing kemeja pria itu. Jarinya yang dingin sesekali menyentuh kulit pria itu tanpa sengaja. Hal itu membuat suasana yang awalnya biasa saja menjadi sedikit berbeda.Boris berdiri dengan kaku dan diam. Zol
Usai berkata, Zola tidak melihat Boris lagi. Dia berbaring lagi dan menutupi dirinya dengan selimut, lalu memejamkan matanya.Sikap Zola yang acuh tak acuh membuat Boris spontan mengerutkan kening. Dia merasa seolah-olah ada angin dingin bertiup di hatinya, membuatnya hanya bisa diam tercengang. Namun, Boris tidak memikirkannya lebih jauh. Dia bergegas keluar dari kamar setelah selesai berganti pakaian.Begitu mendengar suara pintu ditutup, mata Zola langsung terbuka. Hatinya begitu dingin seperti habis disiram air es. Hanya karena Tyara bilang takut, Boris sampai tidak peduli dengan kesehatannya sendiri lagi. Jadi bagaimana mungkin Zola masih memiliki peluang untuk menang? Sejak awal dia sudah kalah telak.Kelembutan singkat yang pria itu berikan padanya bukan karena memiliki perasaan padanya, tapi karena Zola masih berstatus sebagai istri Boris dan menantu keluarga Morrison. Selain itu, tidak ada alasan lain.Zola berkata pada dirinya sendiri berulang kali. Dia meletakkan tangannya d
Zola menggelengkan kepalanya, “Nggak apa-apa, Ma. Ayo kita pergi makan, Ma. Dia lagi sibuk.”Sorot mata Zola menjadi dingin. Bagaimana mungkin Boris bisa menemaninya makan siang? Pria itu hanya ingin menemani pujaan hatinya, siapa lagi kalau bukan Tyara. Apalah artinya Zola baginya?Zola tertawa sinis di dalam hati. Dia merasa dirinya benar-benar rendah. Pria yang tidak mencintai sangatlah tegas. Apakah Zola masih ingin bertahan?Rosita yang membuat reservasi restoran. Restoran itu adalah restoran kelas atas yang tidak jauh dari rumah sakit, juga merupakan restoran yang sudah lama berdiri di Kota Binru.Mereka berdua meminta ruang VIP dan memesan tiga jenis hidangan serta satu sup. Ini pertama kali Zola makan berdua dengan ibu mertuanya. Namun, sama sekali tidak ada rasa canggung atau tidak nyaman. Karena Rosita adalah orang yang sangat lembut dan suka mengobrol.Rosita bertanya pada Zola, “Perusahaan berjalan dengan lancar, nggak? Kalau kamu butuh dana langsung cari Boris. Kalau kamu
Tyara mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dia menarik ujung pakaian Boris dengan wajah memelas, lalu berkata dengan suara pelan, “Boris, Tante benar. Aku yang salah.”Boris mengerutkan kening sambil menatap ibunya, “Ma, kalau ada apa-apa kita ngomong di rumah saja, oke? Tyara masih dalam tahap pemulihan, nggak boleh mengalami gejolak emosi yang terlalu besar. Jangan seperti ini, Ma.”“Ada apa denganku? Memangnya aku salah ngomong apa?” Rosita benar-benar marah. Dia langsung menarik Zola ke depannya dan bertanya, “Ini siapa? Katakan padaku, Zola siapa kamu?”Zola sama sekali tidak sadar. Dia langsung tercengang ketika ditarik ibu mertuanya. Bisa tidak ibu mertuanya jangan begitu terus terang? Zola merasa ditempatkan di posisi yang membuatnya serba salah.Matanya bertemu dengan tatapan pria itu, tatapan yang dingin. Entah karena Zola terlalu banyak berpikir atau bukan, dia merasa pria itu sedang menyalahkannya. Menyalahkannya karena dia tidak seharusnya datang ke restoran ini? Atau menyala
Boris tidak menjawab pertanyaan itu, hanya sikapnya yang terlihat semakin dingin.Boris merenggangkan matanya, kemudian berbicara dengan suara datar, “Tyara, aku antar kamu kembali ke rumah sakit.”“Boris, apa kamu nggak senang? Apa karena Zola marah makanya kamu merasa kasihan sama dia? Bilang saja yang sebenarnya, aku nggak akan menyalahkan kamu. Aku mengerti, kok, setelah setahun kalian menikah, berbagai hal yang seharusnya dan tidak seharusnya terjadi sudah kalian lewati. Kalau kamu bilang sekarang kamu mencintai dia, aku akan pergi, aku nggak akan mengganggumu lagi.”Tyara mulai emosional, matanya menatap Boris seraya menunggu jawabannya. Boris kemudian memandang Tyara dengan tatapan datar dan wajah tanpa emosi apa pun.Boris berkata tenang, “Tyara, kamu khawatirkan apa? Sudah kubilang, aku akan menceraikan dia dan menikahi kamu. Atau kamu ingin aku benar-benar jatuh cinta sama Zola dan meninggalkanmu? Kalau memang itu yang kamu mau, mungkin aku bisa mencobanya, hmm?”“Jangan, Bor
Dimas mengerutkan keningnya dan berkata, "Jangan sembarangan, ah." Pada saat yang bersamaan, telepon pun terhubung. Rosita berkata dengan tegas, "Boris, pulang ke rumah malam ini. Kita perlu mengadakan rapat keluarga. Mama peringatkan, kalau kamu nggak pulang, kamu akan menyesal." "Ma ...." "Apa, ha? Jadi sekarang kamu nggak mengindahkan kata-kata Mama?" potong Rosita dengan sangat emosi.Dimas merebut telepon dan memotong perkataan Boris, "Kamu itu seharusnya bersikap hati-hati. Jangan lupa siapa kamu sekarang. Setiap perkataan dan tindakanmu nggak hanya mewakili dirimu sendiri, tetapi juga keluarga Morrison dan Grup Morrison, juga reputasi kakekmu."Boris dengan wajah datar berkata, "Pa, jangan dengarkan kata-kata Mama. Aku nggak ngapa-ngapain, kok." "Masih berani membantah, heh? Apa kamu mau Papa temui wanita itu?" ancam Dimas."Ya sudah, iya. Aku ngerti. Aku pulang malam ini." Setelah mengucapkan itu, telepon langsung ditutup. Boris tampak pasrah dengan kening berkerut.Tyara,