Jasmine membuka pintu kamar hotel dengan hati-hati. Rencananya untuk melarikan diri langsung terhenti begitu melihat dua bodyguard bertubuh besar berdiri tegap di depan pintu. Tatapan mereka dingin, tanpa ekspresi.
"Kalian mau apa? Kenapa kalian masih di sini?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Atas perintah Tuan Zio, Anda harus ikut dengan kami, Nona," jawab salah satu dari mereka dengan suara rendah namun penuh ketegasan.
Jantung Jasmine berdegup kencang, ia mundur selangkah. "Aku nggak mau ikut!"
"Maaf, Nona, ini perintah. Anda harus ikut dengan kami," ujar bodyguard itu lagi, lebih tegas.
"Tidak!" teriak Jasmine, dia membalikan tubuhnya dan langsung berlari.
"Tunggu, Nona! Anda tidak bisa kabur!" seru salah satu bodyguard, langsung mengejarnya.
Jasmine memencet tombol lift dengan panik, sialnya pintu lift tak kunjung terbuka. Melihat bodyguard itu semakin dekat, ia memilih berlari ke tangga darurat. "Aku harus bisa lari dari mereka," gumamnya, napasnya terengah.
"Tunggu, Nona!"
Tangga demi tangga dilaluinya dengan cepat, meski tubuhnya mulai kehabisan tenaga. Tepat di tangga terakhir, napas Jasmine tersengal. Penglihatannya kabur, kepalanya terasa berat.
"Jasmine, kamu nggak boleh pingsan," bisiknya, menenangkan diri.
Namun terlambat. Dua bodyguard itu sudah mengejarnya, dan salah satu dari mereka mencengkeram tangannya dengan kuat. "Maaf, Nona, tapi Anda harus ikut kami," ucapnya dingin.
"Lepaskan aku! Aku nggak mau ikut!" Jasmine meronta, berusaha melepaskan diri. Namun cengkeraman mereka terlalu kuat sedangkan tenaga Jasmine sudah begitu banyak yang terbuang.
"Jangan membuat kami menggunakan kekerasan, Nona. Akan lebih baik jika Anda menurut pada kami dan Tuan Aldenzio," ujar bodyguard yang lain dengan nada tegas.
Jasmine terus meronta, tapi kekuatannya sudah habis. Dengan air mata yang terus mengalir, ia memohon, "Lepasin aku... aku mohon..."
Namun, permohonannya sia-sia. Kedua bodyguard itu menyeretnya menuju mobil yang sudah menunggu di depan hotel. Pintu mobil dibuka, dan Jasmine dipaksa masuk ke dalam. Setelah memastikan pintu terkunci rapat, salah satu bodyguard menatapnya dari kaca spion dengan tatapan tajam.
"Selamat datang di kehidupan barumu," katanya, lalu menyalakan mesin dan membawa mobil melaju menuju rumah Zio.
Di dalam mobil, Jasmine hanya bisa duduk dengan tangan terkepal. Hatinya penuh kebencian dan ketakutan. "Bagaimana bisa hidupku berubah menjadi mimpi buruk seperti ini?" pikirnya, sementara isak tangis terus terdengar dari bibirnya.
Setelah memastikan Jasmine dibawa pulang, Zio melangkah tenang menuju rumah sakit. Namun, begitu memasuki gedung, tatapan dinginnya perlahan berubah menjadi lemah dan sayu. Ia berjalan menuju ruang Unit Gawat Darurat dengan langkah berat, di mana mamanya, Luna, telah terbaring koma selama setahun terakhir. Waktu yang panjang, namun tanpa perubahan.
Pintu ruang UGD terbuka, dan Zio melangkah masuk dengan hati-hati. Di sana, Luna terbaring di atas ranjang rumah sakit, wajahnya pucat, dikelilingi berbagai alat medis yang menopang hidupnya. Zio mendekat, menarik napas dalam-dalam sebelum duduk di sampingnya.
"Mama, aku datang lagi," bisiknya, suaranya nyaris pecah. Mata Zio yang biasanya tajam kini berkaca-kaca, menatap wajah mamanya yang tenang dalam tidur panjangnya.
Dia menggenggam tangan Luna dengan lembut. "Mama tahu? Aku sudah menikah," lanjutnya dengan nada lembut. "Aku menikahi Jasmine... anak dari wanita yang menghancurkan hidup kita. Wanita itu mempermalukan aku waktu itu, Ma."
Zio menarik nafasnya dengan menghembuskan secara perlahan. "Maafin Zio, Ma. Maaf aku baru menemukan cara ini," lirihnya dengan isak tertahan. "Aku janji, aku akan membalas semua yang mereka lakukan. Jasmine... dia alatku untuk menghancurkan mereka. Aku pastikan dia nggak akan bahagia, Ma. Dia harus menanggung semuanya."
Tatapan Zio yang semula lembut kini berubah tajam. "Aku ragu, Ma. Apa cara ini benar? Apa aku harus mengorbankan hidupku dengan wanita yang sudah membuat kita jadi seperti ini? Tapi aku nggak punya pilihan lain."
Dia menggenggam tangan Luna lebih erat, berharap mamanya memberi tanda, meski hanya sedikit. "Tolong bertahan, Ma. Mama akan dapat keadilan. Aku ingin Mama lihat semuanya dengan mata Mama sendiri."
Zio terdiam sejenak, membiarkan keheningan melingkupi mereka. Suara mesin medis menjadi saksi Aldenzio menceritakan semua misinya. Meski begitu, Zio merasa sedikit tenang di dekat mamanya.
Setelah beberapa saat, ia menghela napas panjang. Melepaskan genggaman tangannya perlahan, Zio berdiri. "Maaf, Ma. Aku nggak bisa lama-lama di sini," katanya pelan. "Aku harus pastikan semuanya berjalan sesuai rencana."
Dengan langkah berat, Zio meninggalkan ruang UGD. Meski tubuhnya keluar dari rumah sakit raganya masih tertinggal di ruangan Luna.
Di sisi lain, Jasmine tiba di rumah Zio, diantar oleh para bodyguard yang mengawasinya dengan ketat. Rumah besar itu menyambutnya dengan suasana dingin dan tak bersahabat.
"Mulai sekarang, ini rumahmu," ujar salah satu bodyguard dengan nada dingin. "Jangan coba-coba kabur." Sambungnya lagi.
Jasmine hanya bisa berdiri di ambang pintu, merasa terjebak dalam situasi yang tidak pernah terlintas difikirannya . Isak tangisnya tertahan, namun air matanya terus mengalir begitu saja di kedua pipinya.
Jasmine tidak merespon, hanya menatap sekitar dengan perasaan campur aduk. Rumah itu megah, dengan dekorasi mewah di setiap sudutnya, tetapi tidak ada kehangatan di dalamnya. Dia merasa seperti burung dalam sangkar emas—terjebak tanpa jalan keluar.
Setelah para bodyguard pergi, Jasmine melangkah perlahan ke ruang tamu. Tubuhnya lelah, tetapi lebih dari itu, pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran dan ketakutan. "Bagaimana aku bisa keluar dari situasi ini?" gumamnya dengan putus asa.
Matanya menelisik bangunan megah di sekitarnya. Rumah ini besar, bahkan terkesan megah, namun sunyi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. "Apa memang sesepi ini? Apa dia tinggal sendirian?" pikir Jasmine.
Saat masih sibuk mengamati dekorasi rumah, langkah kaki terdengar mendekat. Beberapa ART datang ke arah Jasmine, membuyarkan lamunannya. Tidak seperti para bodyguard yang memperlakukannya dengan kasar, pelayan-pelayan ini menyambut Jasmine dengan senyuman ramah.
"Maaf, Nona. Kami ditugaskan oleh Tuan untuk membawa Nona ke kamarnya. Saya Mirna, kepala pelayan di sini," ucap seorang wanita paruh baya dengan penuh sopan santun.
"Mari, Nona. Saya antar ke kamar," lanjutnya dengan nada hangat.
Jasmine menatap Mirna dengan bingung, satu alisnya terangkat. "Maaf, Bi, dia ada di rumah kan? Saya tidak satu kamar dengannya," tanyanya dengan ragu.
Mirna tersenyum lembut. "Kamar Nona bersebelahan dengan kamar Tuan. Kami sudah mengurus kamar Nona dengan baik. Mari ikut."
Jasmine mengangguk pelan dan mengikuti Mirna, meskipun langkahnya masih penuh keraguan. Entah apa yang menantinya ke depan, ia hanya berharap esok hari tidak membawa lebih banyak penderitaan.
Mirna mulai menjelaskan peraturan rumah sambil berjalan menuju kamar Jasmine. "Tuan Aldenzio tidak suka kebisingan, tidak suka diganggu, dan yang paling penting, tidak ada yang boleh masuk kamarnya tanpa izin."
Jasmine mengangguk tanpa berkata apa-apa. Sesampainya di depan sebuah pintu, Mirna membukanya lebar.
"Ini kamar Nona, dan yang di sebelah itu kamar Tuan" ucap Mirna dengan seulas senyumnya.
Jasmine menghela napas berat sebelum melangkah masuk. Kamarnya luas dan mewah, tetapi tetap saja terasa dingin dan asing. Ia duduk di tepi tempat tidur, matanya menelisik setiap sudut ruangan.
"Kaya zaman dinasti, harus ada peraturan ini-itu," gumamnya dengan tatapan begitu lelah.
Dengan langkah perlahan, Jasmine menuju balkon. Ia membuka pintu kaca, membiarkan angin malam menyentuh wajahnya. Tatapan matanya kosong, pandangannya jauh ke depan, menembus gelapnya malam.
Dia menghela napas panjang. "Aku nggak nyangka, masa laluku membawa masa depanku jadi hancur begini,"
Pagi ini, Jasmine terbangun dengan harapan bahwa semua kejadian kemarin hanyalah mimpi buruk. Namun, saat membuka matanya dan melihat sekelilingnya—ruangan asing dengan dekorasi yang tidak dikenalnya—semua harapannya sirna begitu saja."Ini nyata," gumamnya, suara lirih penuh penyesalan. Jasmine menghela napas berat, mencoba menyadari kenyataan yang begitu pahit. Tangannya meraih ponsel yang ada di samping tempat tidurnya.Ponselnya mati total semalaman. Dengan malas-malasan, Jasmine mencari charger dan mulai mengisi baterainya. Tak lama setelah ponselnya menyala, banyak pesan yang masuk dari Aldo. Jasmine menepuk keningnya. "Astaga, kenapa aku bisa lupa kalau semalam ada janji sama Aldo?""Apa dia menunggu?" gumamnya pelan.Jasmine hendak menekan tombol untuk menelepon Aldo, tetapi tangannya terhenti ketika matanya menangkap sebuah benda yang tergeletak di atas meja. Buku nikah."Apa mungkin aku bisa melanjutkan hubungan ini? Dan bagaimana caraku bilang kalau aku nggak bisa sama dia
Setelah berdebat dengan Zio dan sedikit membuat moodnya begitu hancur, Jasmine langsung menuju kantornya. Tujuannya hanya satu, mengembalikan moodnya dengan bertemu dengan Aldo. Sejak tadi Aldo dihubungi, tidak diangkat. Sepertinya laki-laki itu tengah marah dengan dirinya karena semalam Jasmine ingkar janjinya, yang mana mereka akan nonton dan juga menghabiskan waktu bersama. Tapi naasnya, Jasmine malah terjerat masalah hingga dirinya harus dinikah paksa dengan Aldenzio, laki-laki yang penuh dengan dendam terhadap keluarganya.Dengan tergesa, Jasmine turun dari taksi yang dia tumpangi. “Aku harus minta maaf sama Aldo. Apapun yang terjadi, Aldo gak boleh marah sama aku. Dia mood booster aku, dia laki-laki yang selalu ada buat aku di saat moodku sedang berantakan,” gumamnya sambil masuk ke dalam kantornya.Dengan langkah cepat, Jasmine melangkah menuju lift, bahkan dia sama sekali tidak menyadari jika mobil Zio terparkir di luar gedung perusahaannya. Yang ada di pikirannya hanyalah waj
Entah kehidupan seperti apa yang Tuhan rencanakan, hingga Jasmine harus diuji seberat ini. Gadis cantik yang baru saja menikah itu menghela napas beberapa kali dengan tatapan kosong ke arah samping jendela. Dia menatap bingung dengan segala hal yang menimpanya akhir-akhir ini.Mamanya yang tiba-tiba bilang kalau dirinya bukan anak kandungnya, Zio datang dengan segala dendamnya, Aldo lebih percaya pada Putri daripada dirinya, dan yang paling tragis, dirinya dijual hanya untuk menutupi hutang papanya, yang mana itu adalah untuk kehidupan mamanya dan juga Putri yang terlalu hedon dan glamor semasa papanya masih hidup.Helaan napas berat mengakhiri sesi melamun Jasmine. “Aku gak tahu rencana apa yang sudah Tuhan susun. Aku hanya berharap semoga Tuhan tidak menguji aku di luar kendaliku. Aku harus bisa keluar dari jeratannya. Apapun yang terjadi, dia harus menceraikanku,” lirih Jasmine.Sang sopir hanya melirik sekilas ke arah Jasmine yang tengah bergumam sendiri. Sepertinya karyawan baru
“Zio’s Furniture, ck, kenapa bisa sih? Harusnya aku lihat dulu kan siapa CEO perusahaan ini, bukan langsung masuk saja. Dan sekarang, bagaimana bisa aku keluar dari ranah hidup yang begitu melelahkan ini? Bagaimana bisa aku hidup dengan tenang jika semuanya ada di bawah kendali dia?” Jasmine mengacak rambutnya. Saat ini, dia tidak fokus dengan apa yang ada di depannya. Desainnya bahkan tidak tersentuh sama sekali karena memikirkan hidupnya yang semakin rumit. “Stttt, berdiri semua! Pak Zio datang!” pekik salah satu teman kerjanya. Semuanya langsung berdiri dengan memberi hormat ke Zio yang tengah lewat menuju ruangannya. Dia menghentikan langkahnya dan menatap ke arah ruang kerja tim dua. Tatapannya mengarah pada Jasmine dengan senyum miringnya. Sedetik kemudian, dia melangkahkan kakinya menuju ruangannya. Dinda langsung menghembuskan napasnya, menyandarkan tubuhnya ke kursi miliknya. “Aihhh, sumpah Pak Zio tampan sekali sih.” “Sayang sekali dia itu katanya susah disentuh, ya. D
Pranggg....“Arrhhh kenapa bisa seperti ini? siapa yang berani-beraninya mengunggah semua ini?” teriak Putri dengan menepis semua barang-barangnya yang ada diatas meja.“Putri, kamu apa-apaan sih, kenapa seperti ini?” binggung Melda yang baru saja pulang dari kantor.Putri menyodorkan ponselnya dengan menghapus air matanya dengan kasar. “Mama bisa lihat sendiri? Putri yakin ini adalah ulah kak Jasmine, Putri yakin dia yang menyebarkan fitnah ini ma,”Melda menarik ponsel yang ada ditangan Putri, dia mengerutkan keningnya saat melihat pemberitaan yang mana bersisi semua foto-foto Putri, dan bukan hanya di kantor tapi diluar kantor bahkan sebelum Jasmine dan juga Aldo putus.“Mama akan takedown semua pemberitaan ini, dan mama akan kasih pelajaran untuk Jasmine, kamu tenang saja.”Melda menyentuh bahu Putri dengan meletakan ponselnya diatas kasur. “Sepertinya kamu salah merebut Aldo sayang.”“Maksud mama?” binggung Putri dengan menghapus air matanya.Melda menegakakn duduknya dengan mena
“Pakai baju ini. Malam ini juga kamu harus ikut dengan Mama,” tegas Melda sambil melemparkan sebuah paper bag ke arah Jasmine yang berada di kamarnya.“Kita mau ke mana, Ma? Jasmine banyak kerjaan yang harus Jasmine kirimkan besok pagi.”“Gak usah banyak tanya! Jam setengah tujuh kita berangkat. Mama gak mau tahu alasan kamu; pokoknya kamu harus ikut.”BrakkkPintu langsung ditutup dari luar, membuat Jasmine menghela napas dengan kasar. Tangannya meraih paper bag yang dilemparkan oleh mamanya tadi. Di dalamnya, ada sebuah gaun tanpa lengan dan sepatu hak tinggi yang senada.“Apa ada acara malam ini?”Tanpa pikir panjang, Jasmine meletakkan paper bag itu dan bergegas untuk melanjutkan pekerjaannya. Masih ada waktu setengah jam untuk menyelesaikannya.Jujur saja, saat ini Jasmine tidak menyimpan kecurigaan apa pun. Ia menuruti semua keinginan mamanya, mengenakan gaun yang diberikan, dan memakai sepatu itu. Bahkan, keadaan di dalam mobil begitu hening; tak ada yang dibicarakan sepanjang
Pranggg....“Arrhhh kenapa bisa seperti ini? siapa yang berani-beraninya mengunggah semua ini?” teriak Putri dengan menepis semua barang-barangnya yang ada diatas meja.“Putri, kamu apa-apaan sih, kenapa seperti ini?” binggung Melda yang baru saja pulang dari kantor.Putri menyodorkan ponselnya dengan menghapus air matanya dengan kasar. “Mama bisa lihat sendiri? Putri yakin ini adalah ulah kak Jasmine, Putri yakin dia yang menyebarkan fitnah ini ma,”Melda menarik ponsel yang ada ditangan Putri, dia mengerutkan keningnya saat melihat pemberitaan yang mana bersisi semua foto-foto Putri, dan bukan hanya di kantor tapi diluar kantor bahkan sebelum Jasmine dan juga Aldo putus.“Mama akan takedown semua pemberitaan ini, dan mama akan kasih pelajaran untuk Jasmine, kamu tenang saja.”Melda menyentuh bahu Putri dengan meletakan ponselnya diatas kasur. “Sepertinya kamu salah merebut Aldo sayang.”“Maksud mama?” binggung Putri dengan menghapus air matanya.Melda menegakakn duduknya dengan mena
“Zio’s Furniture, ck, kenapa bisa sih? Harusnya aku lihat dulu kan siapa CEO perusahaan ini, bukan langsung masuk saja. Dan sekarang, bagaimana bisa aku keluar dari ranah hidup yang begitu melelahkan ini? Bagaimana bisa aku hidup dengan tenang jika semuanya ada di bawah kendali dia?” Jasmine mengacak rambutnya. Saat ini, dia tidak fokus dengan apa yang ada di depannya. Desainnya bahkan tidak tersentuh sama sekali karena memikirkan hidupnya yang semakin rumit. “Stttt, berdiri semua! Pak Zio datang!” pekik salah satu teman kerjanya. Semuanya langsung berdiri dengan memberi hormat ke Zio yang tengah lewat menuju ruangannya. Dia menghentikan langkahnya dan menatap ke arah ruang kerja tim dua. Tatapannya mengarah pada Jasmine dengan senyum miringnya. Sedetik kemudian, dia melangkahkan kakinya menuju ruangannya. Dinda langsung menghembuskan napasnya, menyandarkan tubuhnya ke kursi miliknya. “Aihhh, sumpah Pak Zio tampan sekali sih.” “Sayang sekali dia itu katanya susah disentuh, ya. D
Entah kehidupan seperti apa yang Tuhan rencanakan, hingga Jasmine harus diuji seberat ini. Gadis cantik yang baru saja menikah itu menghela napas beberapa kali dengan tatapan kosong ke arah samping jendela. Dia menatap bingung dengan segala hal yang menimpanya akhir-akhir ini.Mamanya yang tiba-tiba bilang kalau dirinya bukan anak kandungnya, Zio datang dengan segala dendamnya, Aldo lebih percaya pada Putri daripada dirinya, dan yang paling tragis, dirinya dijual hanya untuk menutupi hutang papanya, yang mana itu adalah untuk kehidupan mamanya dan juga Putri yang terlalu hedon dan glamor semasa papanya masih hidup.Helaan napas berat mengakhiri sesi melamun Jasmine. “Aku gak tahu rencana apa yang sudah Tuhan susun. Aku hanya berharap semoga Tuhan tidak menguji aku di luar kendaliku. Aku harus bisa keluar dari jeratannya. Apapun yang terjadi, dia harus menceraikanku,” lirih Jasmine.Sang sopir hanya melirik sekilas ke arah Jasmine yang tengah bergumam sendiri. Sepertinya karyawan baru
Setelah berdebat dengan Zio dan sedikit membuat moodnya begitu hancur, Jasmine langsung menuju kantornya. Tujuannya hanya satu, mengembalikan moodnya dengan bertemu dengan Aldo. Sejak tadi Aldo dihubungi, tidak diangkat. Sepertinya laki-laki itu tengah marah dengan dirinya karena semalam Jasmine ingkar janjinya, yang mana mereka akan nonton dan juga menghabiskan waktu bersama. Tapi naasnya, Jasmine malah terjerat masalah hingga dirinya harus dinikah paksa dengan Aldenzio, laki-laki yang penuh dengan dendam terhadap keluarganya.Dengan tergesa, Jasmine turun dari taksi yang dia tumpangi. “Aku harus minta maaf sama Aldo. Apapun yang terjadi, Aldo gak boleh marah sama aku. Dia mood booster aku, dia laki-laki yang selalu ada buat aku di saat moodku sedang berantakan,” gumamnya sambil masuk ke dalam kantornya.Dengan langkah cepat, Jasmine melangkah menuju lift, bahkan dia sama sekali tidak menyadari jika mobil Zio terparkir di luar gedung perusahaannya. Yang ada di pikirannya hanyalah waj
Pagi ini, Jasmine terbangun dengan harapan bahwa semua kejadian kemarin hanyalah mimpi buruk. Namun, saat membuka matanya dan melihat sekelilingnya—ruangan asing dengan dekorasi yang tidak dikenalnya—semua harapannya sirna begitu saja."Ini nyata," gumamnya, suara lirih penuh penyesalan. Jasmine menghela napas berat, mencoba menyadari kenyataan yang begitu pahit. Tangannya meraih ponsel yang ada di samping tempat tidurnya.Ponselnya mati total semalaman. Dengan malas-malasan, Jasmine mencari charger dan mulai mengisi baterainya. Tak lama setelah ponselnya menyala, banyak pesan yang masuk dari Aldo. Jasmine menepuk keningnya. "Astaga, kenapa aku bisa lupa kalau semalam ada janji sama Aldo?""Apa dia menunggu?" gumamnya pelan.Jasmine hendak menekan tombol untuk menelepon Aldo, tetapi tangannya terhenti ketika matanya menangkap sebuah benda yang tergeletak di atas meja. Buku nikah."Apa mungkin aku bisa melanjutkan hubungan ini? Dan bagaimana caraku bilang kalau aku nggak bisa sama dia
Jasmine membuka pintu kamar hotel dengan hati-hati. Rencananya untuk melarikan diri langsung terhenti begitu melihat dua bodyguard bertubuh besar berdiri tegap di depan pintu. Tatapan mereka dingin, tanpa ekspresi."Kalian mau apa? Kenapa kalian masih di sini?" tanyanya dengan suara bergetar."Atas perintah Tuan Zio, Anda harus ikut dengan kami, Nona," jawab salah satu dari mereka dengan suara rendah namun penuh ketegasan.Jantung Jasmine berdegup kencang, ia mundur selangkah. "Aku nggak mau ikut!""Maaf, Nona, ini perintah. Anda harus ikut dengan kami," ujar bodyguard itu lagi, lebih tegas."Tidak!" teriak Jasmine, dia membalikan tubuhnya dan langsung berlari."Tunggu, Nona! Anda tidak bisa kabur!" seru salah satu bodyguard, langsung mengejarnya.Jasmine memencet tombol lift dengan panik, sialnya pintu lift tak kunjung terbuka. Melihat bodyguard itu semakin dekat, ia memilih berlari ke tangga darurat. "Aku harus bisa lari dari mereka," gumamnya, napasnya terengah."Tunggu, Nona!"Tan
“Pakai baju ini. Malam ini juga kamu harus ikut dengan Mama,” tegas Melda sambil melemparkan sebuah paper bag ke arah Jasmine yang berada di kamarnya.“Kita mau ke mana, Ma? Jasmine banyak kerjaan yang harus Jasmine kirimkan besok pagi.”“Gak usah banyak tanya! Jam setengah tujuh kita berangkat. Mama gak mau tahu alasan kamu; pokoknya kamu harus ikut.”BrakkkPintu langsung ditutup dari luar, membuat Jasmine menghela napas dengan kasar. Tangannya meraih paper bag yang dilemparkan oleh mamanya tadi. Di dalamnya, ada sebuah gaun tanpa lengan dan sepatu hak tinggi yang senada.“Apa ada acara malam ini?”Tanpa pikir panjang, Jasmine meletakkan paper bag itu dan bergegas untuk melanjutkan pekerjaannya. Masih ada waktu setengah jam untuk menyelesaikannya.Jujur saja, saat ini Jasmine tidak menyimpan kecurigaan apa pun. Ia menuruti semua keinginan mamanya, mengenakan gaun yang diberikan, dan memakai sepatu itu. Bahkan, keadaan di dalam mobil begitu hening; tak ada yang dibicarakan sepanjang