“Zio’s Furniture, ck, kenapa bisa sih? Harusnya aku lihat dulu kan siapa CEO perusahaan ini, bukan langsung masuk saja. Dan sekarang, bagaimana bisa aku keluar dari ranah hidup yang begitu melelahkan ini? Bagaimana bisa aku hidup dengan tenang jika semuanya ada di bawah kendali dia?”
Jasmine mengacak rambutnya. Saat ini, dia tidak fokus dengan apa yang ada di depannya. Desainnya bahkan tidak tersentuh sama sekali karena memikirkan hidupnya yang semakin rumit. “Stttt, berdiri semua! Pak Zio datang!” pekik salah satu teman kerjanya. Semuanya langsung berdiri dengan memberi hormat ke Zio yang tengah lewat menuju ruangannya. Dia menghentikan langkahnya dan menatap ke arah ruang kerja tim dua. Tatapannya mengarah pada Jasmine dengan senyum miringnya. Sedetik kemudian, dia melangkahkan kakinya menuju ruangannya. Dinda langsung menghembuskan napasnya, menyandarkan tubuhnya ke kursi miliknya. “Aihhh, sumpah Pak Zio tampan sekali sih.” “Sayang sekali dia itu katanya susah disentuh, ya. Dan kata-katanya gak suka sama perempuan,” lirihnya. Para cewek langsung mendekat ke arah Dinda dengan menaikkan sebelah alisnya. “Jadi maksud kamu? Pak Zio...” “Gak homo juga. Mungkin dia trauma akan masa lalu, mungkin. Ya, aku kan juga gak tahu,” jawab Dinda dengan cengiran kuda. Dia menatap ke arah Jasmine yang duduk dengan menekan pelipisnya, lalu langsung membawa kursinya ke arah Jasmine. “Kenapa? Sakit?” “Hah? E-enggak kok.” “Tap...” “Jasmine!” panggil kepala tim sambil menyodorkan sebuah kertas ke arah Jasmine. “Kerjain ini. Sebelum pulang harus sudah selesai dan bawa ke ruangan Pak Zio.” “Hah? Saya? Kenapa gak lewat bapak saja?” Anwar, sebagai kepala tim, memiringkan senyumnya sambil menunjuk ke arah ruangan Zio. “Ini perintah Pak Zio, dan kamu juga disuruh ke ruangannya sekarang. Mungkin masih mau tanya-tanya karena kamu pindahan dari kantor cabang.” Dinda menepuk lengan Jasmine dengan senyum jailnya. “Fighting, jangan lupa tebar pesona, siapa tahu kamu masuk list Pak Zio,” bisiknya. “Gak akan,” jawabnya sambil beranjak berdiri membawa buku yang memang digunakan Jasmine sebagai catatan. Jasmine berdiri di depan pintu kaca ruangan Aldenzio, mencoba mengatur napasnya dengan helaan napas panjang. Ia tahu, bekerja di bawah satu atap dengan pria yang kini menjadi suaminya bukanlah hal mudah—terlebih dengan sikap Zio yang dingin dan penuh dendam. Namun, Jasmine harus tetap profesional dengan apa yang sudah menjadi takdirnya. Setelah menarik napas panjang, ia membentuk senyum tipis di bibirnya. Sambil mengetuk pintu dengan pelan, Jasmine membukanya. Ia melangkah masuk dengan sopan, kepala sedikit tertunduk. "Selamat pagi, Pak. Anda memanggil saya?" tanyanya dengan nada tenang. Aldenzio mendongak dari berkas di tangannya, sejenak memandang Jasmine dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. Mata dinginnya seolah menusuk, namun bibirnya tetap membisu, membuat suasana semakin menekan. "Ya. Duduk," jawab Zio, dengan menutup berkas yang ada di hadapannya. Jasmine menelan ludah, lalu mengangguk kecil sebelum menarik kursi di depan meja besar itu. “Ada yang perlu ditanyakan?” tanya Jasmine. Zio memiringkan senyumnya, dengan tangan dilipat di depan dada. “Saya tahu kamu kaget dengan pemindahan kamu, kan?” Jasmine menggelengkan kepalanya, sedetik kemudian dia mengangguk. “Harusnya saya tahu, karena ini ulah kamu, dan bodohnya saya masuk ke dalam perusahaan kamu.” “Saya sudah bilang, semua ada di tanganku. Kamu gak akan bisa keluar,” tegas Zio. “Bagaimana sama kejutannya? Kamu suka?” tanya Zio dengan senyum miringnya. Jasmine tahu maksud dari kejutan yang Zio bilang. Memang sejak tadi, Zio sudah bilang jika akan memberikan kejutan dan jawabannya adalah Aldo selingkuh dengan adiknya sendiri. “Jujur aku gak tahu apa mau kamu, Zi. Sebenarnya aku heran sama kamu. Kenapa ada manusia seperti kamu? Apa memang kamu benar-benar tidak punya hati?" Pertanyaan itu membuat Zio tertawa kecil. Sedetik kemudian, dia menajamkan mayatnya. Ia melangkah mendekat, berhenti tepat di hadapan Jasmine. "Hati?" gumamnya, dia mencengkeram kedua pipi Jasmine. "Aku kehilangan itu sejak seseorang menghancurkan hidupku. Dan aku tidak akan mudah melepaskan siapa pun yang sudah melakukannya." Melihat Jasmine yang matanya berkaca-kaca, Zio langsung melepaskan tangan yang ada di pipi Jasmine dan mengalihkan pandangannya. Entah kenapa, kalau melihat mata yang berkaca-kaca, Zio merasa ada yang tidak biasa. Apa karena Zio masih...? Zio menggelengkan kepalanya dengan mengambil dokumen yang ada di depannya. “Tugas kamu, kerjain semuanya! Deadline dua hari.” “Kamu nggak salah? Sebanyak ini, deadline dua hari? Lima desain?” "Enam," koreksi Zio, sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia menyilangkan tangan di dada, tatapan dinginnya tak lepas dari wajah Jasmine. "Aku butuh semua ini selesai dalam dua hari. Presentasinya akan dilakukan langsung olehmu." Mata Jasmine membelalak tak percaya. "Dua hari, Pak? Bukankah biasanya—" "Kau keberatan?" potong Zio dengan nada dingin. Jasmine buru-buru menggeleng, meski dalam hatinya ingin sekali berkata sebaliknya. "Tidak, Pak. Saya akan usahakan," jawabnya dengan suara yang terdengar lebih pelan dari biasanya. “Bagus.” Jawab Zio dengan senyum miringnya. “Ingat ini kantor, jangan bawa urusan pribadi di kantor.” Jasmine memaksakan untuk tetap tersenyum dengan menganggukkan kepalanya. “Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi.” “Ingat, jangan ada yang tahu hubungan kita.” Tegas Zio. “Saya pastikan tidak akan ada yang tahu,” jawabnya sebelum keluar dari ruangan Zio. Sesampainya di luar ruangan, Jasmine meraup wajahnya dengan kasar, bahkan bahunya bergetar berusaha menahan air matanya yang hendak keluar. “Kamu kuat, Jas. Kamu bisa lalui semuanya sendiri,” lirihnya menyemangati dirinya sendiri. Dari balik kaca, Zio memiringkan senyumnya. Sepertinya memang benar keputusannya untuk menjebak Jasmine dalam pengawasannya, dan dia akan membuat hidup Jasmine seperti di neraka. Tok...tok...tok... “Masuk.” James, asisten dari Zio’s Furniture, menghadap ke ruangan Zio dengan beberapa berkas di tangannya. “Permisi, Pak. Ini data yang Bapak mau, dan sesuai perintah Bapak, perusahaan manapun tidak ada yang menerima tawaran kerja sama dengan perusahaan Melda.” “Bagus, satu lagi, unggah perselingkuhan Putri ke media dan sangkutkan dengan nama serta perusahaan milik Melda.” “Baik, Pak.” “Oh iya, bawa nama Jasmine buat seakan hubungan keluarga mereka sangat buruk.” “Baik, Pak. Ada lagi?” Zio menggelengkan kepala dengan mengibaskan tangannya. “Lakukan sekarang.” James menunduk dengan menganggukkan kepalanya, sepertinya benar Zio akan menghancurkan Melda. “Sepertinya kamu tidak tahu jika aku adalah anak dari korban perselingkuhan kamu.” Brakkkk. Jasmine membanting dengan kasar dokumen di atas mejanya, sepertinya memang Zio sengaja membuat dirinya tidak kuat dengan kehidupan di dalam pekerjaannya ini. “Aku harus bertahan, aku harus bisa. Jika aku menyerah, aku yakin Zio akan senang dengan kekalahan ini. Apapun yang terjadi, aku nggak akan terlihat lemah di hadapan Zio.” “Dapat tugas langsung dari Pak Bos?” tanya Dinda yang baru saja balik dari pantry membawa satu gelas kopi. Jasmine langsung mengubah ekspresinya dengan menganggukkan kepalanya. “Hem, buat laporan dan juga nyelesain desain buat presentasi dua hari lagi,” jawabnya. “Semangat, aku dengar kamu andalannya kantor cabang kan? Pantas sih kalau kamu direkrut ke kantor pusat karena keahlian kamu.” Jasmine hanya tersenyum kecil, mana mungkin dia bilang kalau dia dibawa ke kantor pusat hanya untuk disiksa oleh Zio saja. Yang ada, mereka akan membenci Jasmine dan berpihak pada Zio sebagai CEO perusahaan.Pranggg....“Arrhhh kenapa bisa seperti ini? siapa yang berani-beraninya mengunggah semua ini?” teriak Putri dengan menepis semua barang-barangnya yang ada diatas meja.“Putri, kamu apa-apaan sih, kenapa seperti ini?” binggung Melda yang baru saja pulang dari kantor.Putri menyodorkan ponselnya dengan menghapus air matanya dengan kasar. “Mama bisa lihat sendiri? Putri yakin ini adalah ulah kak Jasmine, Putri yakin dia yang menyebarkan fitnah ini ma,”Melda menarik ponsel yang ada ditangan Putri, dia mengerutkan keningnya saat melihat pemberitaan yang mana bersisi semua foto-foto Putri, dan bukan hanya di kantor tapi diluar kantor bahkan sebelum Jasmine dan juga Aldo putus.“Mama akan takedown semua pemberitaan ini, dan mama akan kasih pelajaran untuk Jasmine, kamu tenang saja.”Melda menyentuh bahu Putri dengan meletakan ponselnya diatas kasur. “Sepertinya kamu salah merebut Aldo sayang.”“Maksud mama?” binggung Putri dengan menghapus air matanya.Melda menegakakn duduknya dengan mena
“Pakai baju ini. Malam ini juga kamu harus ikut dengan Mama,” tegas Melda sambil melemparkan sebuah paper bag ke arah Jasmine yang berada di kamarnya.“Kita mau ke mana, Ma? Jasmine banyak kerjaan yang harus Jasmine kirimkan besok pagi.”“Gak usah banyak tanya! Jam setengah tujuh kita berangkat. Mama gak mau tahu alasan kamu; pokoknya kamu harus ikut.”BrakkkPintu langsung ditutup dari luar, membuat Jasmine menghela napas dengan kasar. Tangannya meraih paper bag yang dilemparkan oleh mamanya tadi. Di dalamnya, ada sebuah gaun tanpa lengan dan sepatu hak tinggi yang senada.“Apa ada acara malam ini?”Tanpa pikir panjang, Jasmine meletakkan paper bag itu dan bergegas untuk melanjutkan pekerjaannya. Masih ada waktu setengah jam untuk menyelesaikannya.Jujur saja, saat ini Jasmine tidak menyimpan kecurigaan apa pun. Ia menuruti semua keinginan mamanya, mengenakan gaun yang diberikan, dan memakai sepatu itu. Bahkan, keadaan di dalam mobil begitu hening; tak ada yang dibicarakan sepanjang
Jasmine membuka pintu kamar hotel dengan hati-hati. Rencananya untuk melarikan diri langsung terhenti begitu melihat dua bodyguard bertubuh besar berdiri tegap di depan pintu. Tatapan mereka dingin, tanpa ekspresi."Kalian mau apa? Kenapa kalian masih di sini?" tanyanya dengan suara bergetar."Atas perintah Tuan Zio, Anda harus ikut dengan kami, Nona," jawab salah satu dari mereka dengan suara rendah namun penuh ketegasan.Jantung Jasmine berdegup kencang, ia mundur selangkah. "Aku nggak mau ikut!""Maaf, Nona, ini perintah. Anda harus ikut dengan kami," ujar bodyguard itu lagi, lebih tegas."Tidak!" teriak Jasmine, dia membalikan tubuhnya dan langsung berlari."Tunggu, Nona! Anda tidak bisa kabur!" seru salah satu bodyguard, langsung mengejarnya.Jasmine memencet tombol lift dengan panik, sialnya pintu lift tak kunjung terbuka. Melihat bodyguard itu semakin dekat, ia memilih berlari ke tangga darurat. "Aku harus bisa lari dari mereka," gumamnya, napasnya terengah."Tunggu, Nona!"Tan
Pagi ini, Jasmine terbangun dengan harapan bahwa semua kejadian kemarin hanyalah mimpi buruk. Namun, saat membuka matanya dan melihat sekelilingnya—ruangan asing dengan dekorasi yang tidak dikenalnya—semua harapannya sirna begitu saja."Ini nyata," gumamnya, suara lirih penuh penyesalan. Jasmine menghela napas berat, mencoba menyadari kenyataan yang begitu pahit. Tangannya meraih ponsel yang ada di samping tempat tidurnya.Ponselnya mati total semalaman. Dengan malas-malasan, Jasmine mencari charger dan mulai mengisi baterainya. Tak lama setelah ponselnya menyala, banyak pesan yang masuk dari Aldo. Jasmine menepuk keningnya. "Astaga, kenapa aku bisa lupa kalau semalam ada janji sama Aldo?""Apa dia menunggu?" gumamnya pelan.Jasmine hendak menekan tombol untuk menelepon Aldo, tetapi tangannya terhenti ketika matanya menangkap sebuah benda yang tergeletak di atas meja. Buku nikah."Apa mungkin aku bisa melanjutkan hubungan ini? Dan bagaimana caraku bilang kalau aku nggak bisa sama dia
Setelah berdebat dengan Zio dan sedikit membuat moodnya begitu hancur, Jasmine langsung menuju kantornya. Tujuannya hanya satu, mengembalikan moodnya dengan bertemu dengan Aldo. Sejak tadi Aldo dihubungi, tidak diangkat. Sepertinya laki-laki itu tengah marah dengan dirinya karena semalam Jasmine ingkar janjinya, yang mana mereka akan nonton dan juga menghabiskan waktu bersama. Tapi naasnya, Jasmine malah terjerat masalah hingga dirinya harus dinikah paksa dengan Aldenzio, laki-laki yang penuh dengan dendam terhadap keluarganya.Dengan tergesa, Jasmine turun dari taksi yang dia tumpangi. “Aku harus minta maaf sama Aldo. Apapun yang terjadi, Aldo gak boleh marah sama aku. Dia mood booster aku, dia laki-laki yang selalu ada buat aku di saat moodku sedang berantakan,” gumamnya sambil masuk ke dalam kantornya.Dengan langkah cepat, Jasmine melangkah menuju lift, bahkan dia sama sekali tidak menyadari jika mobil Zio terparkir di luar gedung perusahaannya. Yang ada di pikirannya hanyalah waj
Entah kehidupan seperti apa yang Tuhan rencanakan, hingga Jasmine harus diuji seberat ini. Gadis cantik yang baru saja menikah itu menghela napas beberapa kali dengan tatapan kosong ke arah samping jendela. Dia menatap bingung dengan segala hal yang menimpanya akhir-akhir ini.Mamanya yang tiba-tiba bilang kalau dirinya bukan anak kandungnya, Zio datang dengan segala dendamnya, Aldo lebih percaya pada Putri daripada dirinya, dan yang paling tragis, dirinya dijual hanya untuk menutupi hutang papanya, yang mana itu adalah untuk kehidupan mamanya dan juga Putri yang terlalu hedon dan glamor semasa papanya masih hidup.Helaan napas berat mengakhiri sesi melamun Jasmine. “Aku gak tahu rencana apa yang sudah Tuhan susun. Aku hanya berharap semoga Tuhan tidak menguji aku di luar kendaliku. Aku harus bisa keluar dari jeratannya. Apapun yang terjadi, dia harus menceraikanku,” lirih Jasmine.Sang sopir hanya melirik sekilas ke arah Jasmine yang tengah bergumam sendiri. Sepertinya karyawan baru
Pranggg....“Arrhhh kenapa bisa seperti ini? siapa yang berani-beraninya mengunggah semua ini?” teriak Putri dengan menepis semua barang-barangnya yang ada diatas meja.“Putri, kamu apa-apaan sih, kenapa seperti ini?” binggung Melda yang baru saja pulang dari kantor.Putri menyodorkan ponselnya dengan menghapus air matanya dengan kasar. “Mama bisa lihat sendiri? Putri yakin ini adalah ulah kak Jasmine, Putri yakin dia yang menyebarkan fitnah ini ma,”Melda menarik ponsel yang ada ditangan Putri, dia mengerutkan keningnya saat melihat pemberitaan yang mana bersisi semua foto-foto Putri, dan bukan hanya di kantor tapi diluar kantor bahkan sebelum Jasmine dan juga Aldo putus.“Mama akan takedown semua pemberitaan ini, dan mama akan kasih pelajaran untuk Jasmine, kamu tenang saja.”Melda menyentuh bahu Putri dengan meletakan ponselnya diatas kasur. “Sepertinya kamu salah merebut Aldo sayang.”“Maksud mama?” binggung Putri dengan menghapus air matanya.Melda menegakakn duduknya dengan mena
“Zio’s Furniture, ck, kenapa bisa sih? Harusnya aku lihat dulu kan siapa CEO perusahaan ini, bukan langsung masuk saja. Dan sekarang, bagaimana bisa aku keluar dari ranah hidup yang begitu melelahkan ini? Bagaimana bisa aku hidup dengan tenang jika semuanya ada di bawah kendali dia?” Jasmine mengacak rambutnya. Saat ini, dia tidak fokus dengan apa yang ada di depannya. Desainnya bahkan tidak tersentuh sama sekali karena memikirkan hidupnya yang semakin rumit. “Stttt, berdiri semua! Pak Zio datang!” pekik salah satu teman kerjanya. Semuanya langsung berdiri dengan memberi hormat ke Zio yang tengah lewat menuju ruangannya. Dia menghentikan langkahnya dan menatap ke arah ruang kerja tim dua. Tatapannya mengarah pada Jasmine dengan senyum miringnya. Sedetik kemudian, dia melangkahkan kakinya menuju ruangannya. Dinda langsung menghembuskan napasnya, menyandarkan tubuhnya ke kursi miliknya. “Aihhh, sumpah Pak Zio tampan sekali sih.” “Sayang sekali dia itu katanya susah disentuh, ya. D
Entah kehidupan seperti apa yang Tuhan rencanakan, hingga Jasmine harus diuji seberat ini. Gadis cantik yang baru saja menikah itu menghela napas beberapa kali dengan tatapan kosong ke arah samping jendela. Dia menatap bingung dengan segala hal yang menimpanya akhir-akhir ini.Mamanya yang tiba-tiba bilang kalau dirinya bukan anak kandungnya, Zio datang dengan segala dendamnya, Aldo lebih percaya pada Putri daripada dirinya, dan yang paling tragis, dirinya dijual hanya untuk menutupi hutang papanya, yang mana itu adalah untuk kehidupan mamanya dan juga Putri yang terlalu hedon dan glamor semasa papanya masih hidup.Helaan napas berat mengakhiri sesi melamun Jasmine. “Aku gak tahu rencana apa yang sudah Tuhan susun. Aku hanya berharap semoga Tuhan tidak menguji aku di luar kendaliku. Aku harus bisa keluar dari jeratannya. Apapun yang terjadi, dia harus menceraikanku,” lirih Jasmine.Sang sopir hanya melirik sekilas ke arah Jasmine yang tengah bergumam sendiri. Sepertinya karyawan baru
Setelah berdebat dengan Zio dan sedikit membuat moodnya begitu hancur, Jasmine langsung menuju kantornya. Tujuannya hanya satu, mengembalikan moodnya dengan bertemu dengan Aldo. Sejak tadi Aldo dihubungi, tidak diangkat. Sepertinya laki-laki itu tengah marah dengan dirinya karena semalam Jasmine ingkar janjinya, yang mana mereka akan nonton dan juga menghabiskan waktu bersama. Tapi naasnya, Jasmine malah terjerat masalah hingga dirinya harus dinikah paksa dengan Aldenzio, laki-laki yang penuh dengan dendam terhadap keluarganya.Dengan tergesa, Jasmine turun dari taksi yang dia tumpangi. “Aku harus minta maaf sama Aldo. Apapun yang terjadi, Aldo gak boleh marah sama aku. Dia mood booster aku, dia laki-laki yang selalu ada buat aku di saat moodku sedang berantakan,” gumamnya sambil masuk ke dalam kantornya.Dengan langkah cepat, Jasmine melangkah menuju lift, bahkan dia sama sekali tidak menyadari jika mobil Zio terparkir di luar gedung perusahaannya. Yang ada di pikirannya hanyalah waj
Pagi ini, Jasmine terbangun dengan harapan bahwa semua kejadian kemarin hanyalah mimpi buruk. Namun, saat membuka matanya dan melihat sekelilingnya—ruangan asing dengan dekorasi yang tidak dikenalnya—semua harapannya sirna begitu saja."Ini nyata," gumamnya, suara lirih penuh penyesalan. Jasmine menghela napas berat, mencoba menyadari kenyataan yang begitu pahit. Tangannya meraih ponsel yang ada di samping tempat tidurnya.Ponselnya mati total semalaman. Dengan malas-malasan, Jasmine mencari charger dan mulai mengisi baterainya. Tak lama setelah ponselnya menyala, banyak pesan yang masuk dari Aldo. Jasmine menepuk keningnya. "Astaga, kenapa aku bisa lupa kalau semalam ada janji sama Aldo?""Apa dia menunggu?" gumamnya pelan.Jasmine hendak menekan tombol untuk menelepon Aldo, tetapi tangannya terhenti ketika matanya menangkap sebuah benda yang tergeletak di atas meja. Buku nikah."Apa mungkin aku bisa melanjutkan hubungan ini? Dan bagaimana caraku bilang kalau aku nggak bisa sama dia
Jasmine membuka pintu kamar hotel dengan hati-hati. Rencananya untuk melarikan diri langsung terhenti begitu melihat dua bodyguard bertubuh besar berdiri tegap di depan pintu. Tatapan mereka dingin, tanpa ekspresi."Kalian mau apa? Kenapa kalian masih di sini?" tanyanya dengan suara bergetar."Atas perintah Tuan Zio, Anda harus ikut dengan kami, Nona," jawab salah satu dari mereka dengan suara rendah namun penuh ketegasan.Jantung Jasmine berdegup kencang, ia mundur selangkah. "Aku nggak mau ikut!""Maaf, Nona, ini perintah. Anda harus ikut dengan kami," ujar bodyguard itu lagi, lebih tegas."Tidak!" teriak Jasmine, dia membalikan tubuhnya dan langsung berlari."Tunggu, Nona! Anda tidak bisa kabur!" seru salah satu bodyguard, langsung mengejarnya.Jasmine memencet tombol lift dengan panik, sialnya pintu lift tak kunjung terbuka. Melihat bodyguard itu semakin dekat, ia memilih berlari ke tangga darurat. "Aku harus bisa lari dari mereka," gumamnya, napasnya terengah."Tunggu, Nona!"Tan
“Pakai baju ini. Malam ini juga kamu harus ikut dengan Mama,” tegas Melda sambil melemparkan sebuah paper bag ke arah Jasmine yang berada di kamarnya.“Kita mau ke mana, Ma? Jasmine banyak kerjaan yang harus Jasmine kirimkan besok pagi.”“Gak usah banyak tanya! Jam setengah tujuh kita berangkat. Mama gak mau tahu alasan kamu; pokoknya kamu harus ikut.”BrakkkPintu langsung ditutup dari luar, membuat Jasmine menghela napas dengan kasar. Tangannya meraih paper bag yang dilemparkan oleh mamanya tadi. Di dalamnya, ada sebuah gaun tanpa lengan dan sepatu hak tinggi yang senada.“Apa ada acara malam ini?”Tanpa pikir panjang, Jasmine meletakkan paper bag itu dan bergegas untuk melanjutkan pekerjaannya. Masih ada waktu setengah jam untuk menyelesaikannya.Jujur saja, saat ini Jasmine tidak menyimpan kecurigaan apa pun. Ia menuruti semua keinginan mamanya, mengenakan gaun yang diberikan, dan memakai sepatu itu. Bahkan, keadaan di dalam mobil begitu hening; tak ada yang dibicarakan sepanjang