“Zio’s Furniture, ck, kenapa bisa sih? Harusnya aku lihat dulu kan siapa CEO perusahaan ini, bukan langsung masuk saja. Dan sekarang, bagaimana bisa aku keluar dari ranah hidup yang begitu melelahkan ini? Bagaimana bisa aku hidup dengan tenang jika semuanya ada di bawah kendali dia?”
Jasmine mengacak rambutnya. Saat ini, dia tidak fokus dengan apa yang ada di depannya. Desainnya bahkan tidak tersentuh sama sekali karena memikirkan hidupnya yang semakin rumit. “Stttt, berdiri semua! Pak Zio datang!” pekik salah satu teman kerjanya. Semuanya langsung berdiri dengan memberi hormat ke Zio yang tengah lewat menuju ruangannya. Dia menghentikan langkahnya dan menatap ke arah ruang kerja tim dua. Tatapannya mengarah pada Jasmine dengan senyum miringnya. Sedetik kemudian, dia melangkahkan kakinya menuju ruangannya. Dinda langsung menghembuskan napasnya, menyandarkan tubuhnya ke kursi miliknya. “Aihhh, sumpah Pak Zio tampan sekali sih.” “Sayang sekali dia itu katanya susah disentuh, ya. Dan kata-katanya gak suka sama perempuan,” lirihnya. Para cewek langsung mendekat ke arah Dinda dengan menaikkan sebelah alisnya. “Jadi maksud kamu? Pak Zio...” “Gak homo juga. Mungkin dia trauma akan masa lalu, mungkin. Ya, aku kan juga gak tahu,” jawab Dinda dengan cengiran kuda. Dia menatap ke arah Jasmine yang duduk dengan menekan pelipisnya, lalu langsung membawa kursinya ke arah Jasmine. “Kenapa? Sakit?” “Hah? E-enggak kok.” “Tap...” “Jasmine!” panggil kepala tim sambil menyodorkan sebuah kertas ke arah Jasmine. “Kerjain ini. Sebelum pulang harus sudah selesai dan bawa ke ruangan Pak Zio.” “Hah? Saya? Kenapa gak lewat bapak saja?” Anwar, sebagai kepala tim, memiringkan senyumnya sambil menunjuk ke arah ruangan Zio. “Ini perintah Pak Zio, dan kamu juga disuruh ke ruangannya sekarang. Mungkin masih mau tanya-tanya karena kamu pindahan dari kantor cabang.” Dinda menepuk lengan Jasmine dengan senyum jailnya. “Fighting, jangan lupa tebar pesona, siapa tahu kamu masuk list Pak Zio,” bisiknya. “Gak akan,” jawabnya sambil beranjak berdiri membawa buku yang memang digunakan Jasmine sebagai catatan. Jasmine berdiri di depan pintu kaca ruangan Aldenzio, mencoba mengatur napasnya dengan helaan napas panjang. Ia tahu, bekerja di bawah satu atap dengan pria yang kini menjadi suaminya bukanlah hal mudah—terlebih dengan sikap Zio yang dingin dan penuh dendam. Namun, Jasmine harus tetap profesional dengan apa yang sudah menjadi takdirnya. Setelah menarik napas panjang, ia membentuk senyum tipis di bibirnya. Sambil mengetuk pintu dengan pelan, Jasmine membukanya. Ia melangkah masuk dengan sopan, kepala sedikit tertunduk. "Selamat pagi, Pak. Anda memanggil saya?" tanyanya dengan nada tenang. Aldenzio mendongak dari berkas di tangannya, sejenak memandang Jasmine dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. Mata dinginnya seolah menusuk, namun bibirnya tetap membisu, membuat suasana semakin menekan. "Ya. Duduk," jawab Zio, dengan menutup berkas yang ada di hadapannya. Jasmine menelan ludah, lalu mengangguk kecil sebelum menarik kursi di depan meja besar itu. “Ada yang perlu ditanyakan?” tanya Jasmine. Zio memiringkan senyumnya, dengan tangan dilipat di depan dada. “Saya tahu kamu kaget dengan pemindahan kamu, kan?” Jasmine menggelengkan kepalanya, sedetik kemudian dia mengangguk. “Harusnya saya tahu, karena ini ulah kamu, dan bodohnya saya masuk ke dalam perusahaan kamu.” “Saya sudah bilang, semua ada di tanganku. Kamu gak akan bisa keluar,” tegas Zio. “Bagaimana sama kejutannya? Kamu suka?” tanya Zio dengan senyum miringnya. Jasmine tahu maksud dari kejutan yang Zio bilang. Memang sejak tadi, Zio sudah bilang jika akan memberikan kejutan dan jawabannya adalah Aldo selingkuh dengan adiknya sendiri. “Jujur aku gak tahu apa mau kamu, Zi. Sebenarnya aku heran sama kamu. Kenapa ada manusia seperti kamu? Apa memang kamu benar-benar tidak punya hati?" Pertanyaan itu membuat Zio tertawa kecil. Sedetik kemudian, dia menajamkan mayatnya. Ia melangkah mendekat, berhenti tepat di hadapan Jasmine. "Hati?" gumamnya, dia mencengkeram kedua pipi Jasmine. "Aku kehilangan itu sejak seseorang menghancurkan hidupku. Dan aku tidak akan mudah melepaskan siapa pun yang sudah melakukannya." Melihat Jasmine yang matanya berkaca-kaca, Zio langsung melepaskan tangan yang ada di pipi Jasmine dan mengalihkan pandangannya. Entah kenapa, kalau melihat mata yang berkaca-kaca, Zio merasa ada yang tidak biasa. Apa karena Zio masih...? Zio menggelengkan kepalanya dengan mengambil dokumen yang ada di depannya. “Tugas kamu, kerjain semuanya! Deadline dua hari.” “Kamu nggak salah? Sebanyak ini, deadline dua hari? Lima desain?” "Enam," koreksi Zio, sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia menyilangkan tangan di dada, tatapan dinginnya tak lepas dari wajah Jasmine. "Aku butuh semua ini selesai dalam dua hari. Presentasinya akan dilakukan langsung olehmu." Mata Jasmine membelalak tak percaya. "Dua hari, Pak? Bukankah biasanya—" "Kau keberatan?" potong Zio dengan nada dingin. Jasmine buru-buru menggeleng, meski dalam hatinya ingin sekali berkata sebaliknya. "Tidak, Pak. Saya akan usahakan," jawabnya dengan suara yang terdengar lebih pelan dari biasanya. “Bagus.” Jawab Zio dengan senyum miringnya. “Ingat ini kantor, jangan bawa urusan pribadi di kantor.” Jasmine memaksakan untuk tetap tersenyum dengan menganggukkan kepalanya. “Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi.” “Ingat, jangan ada yang tahu hubungan kita.” Tegas Zio. “Saya pastikan tidak akan ada yang tahu,” jawabnya sebelum keluar dari ruangan Zio. Sesampainya di luar ruangan, Jasmine meraup wajahnya dengan kasar, bahkan bahunya bergetar berusaha menahan air matanya yang hendak keluar. “Kamu kuat, Jas. Kamu bisa lalui semuanya sendiri,” lirihnya menyemangati dirinya sendiri. Dari balik kaca, Zio memiringkan senyumnya. Sepertinya memang benar keputusannya untuk menjebak Jasmine dalam pengawasannya, dan dia akan membuat hidup Jasmine seperti di neraka. Tok...tok...tok... “Masuk.” James, asisten dari Zio’s Furniture, menghadap ke ruangan Zio dengan beberapa berkas di tangannya. “Permisi, Pak. Ini data yang Bapak mau, dan sesuai perintah Bapak, perusahaan manapun tidak ada yang menerima tawaran kerja sama dengan perusahaan Melda.” “Bagus, satu lagi, unggah perselingkuhan Putri ke media dan sangkutkan dengan nama serta perusahaan milik Melda.” “Baik, Pak.” “Oh iya, bawa nama Jasmine buat seakan hubungan keluarga mereka sangat buruk.” “Baik, Pak. Ada lagi?” Zio menggelengkan kepala dengan mengibaskan tangannya. “Lakukan sekarang.” James menunduk dengan menganggukkan kepalanya, sepertinya benar Zio akan menghancurkan Melda. “Sepertinya kamu tidak tahu jika aku adalah anak dari korban perselingkuhan kamu.” Brakkkk. Jasmine membanting dengan kasar dokumen di atas mejanya, sepertinya memang Zio sengaja membuat dirinya tidak kuat dengan kehidupan di dalam pekerjaannya ini. “Aku harus bertahan, aku harus bisa. Jika aku menyerah, aku yakin Zio akan senang dengan kekalahan ini. Apapun yang terjadi, aku nggak akan terlihat lemah di hadapan Zio.” “Dapat tugas langsung dari Pak Bos?” tanya Dinda yang baru saja balik dari pantry membawa satu gelas kopi. Jasmine langsung mengubah ekspresinya dengan menganggukkan kepalanya. “Hem, buat laporan dan juga nyelesain desain buat presentasi dua hari lagi,” jawabnya. “Semangat, aku dengar kamu andalannya kantor cabang kan? Pantas sih kalau kamu direkrut ke kantor pusat karena keahlian kamu.” Jasmine hanya tersenyum kecil, mana mungkin dia bilang kalau dia dibawa ke kantor pusat hanya untuk disiksa oleh Zio saja. Yang ada, mereka akan membenci Jasmine dan berpihak pada Zio sebagai CEO perusahaan.Pranggg....“Arrhhh kenapa bisa seperti ini? siapa yang berani-beraninya mengunggah semua ini?” teriak Putri dengan menepis semua barang-barangnya yang ada diatas meja.“Putri, kamu apa-apaan sih, kenapa seperti ini?” binggung Melda yang baru saja pulang dari kantor.Putri menyodorkan ponselnya dengan menghapus air matanya dengan kasar. “Mama bisa lihat sendiri? Putri yakin ini adalah ulah kak Jasmine, Putri yakin dia yang menyebarkan fitnah ini ma,”Melda menarik ponsel yang ada ditangan Putri, dia mengerutkan keningnya saat melihat pemberitaan yang mana bersisi semua foto-foto Putri, dan bukan hanya di kantor tapi diluar kantor bahkan sebelum Jasmine dan juga Aldo putus.“Mama akan takedown semua pemberitaan ini, dan mama akan kasih pelajaran untuk Jasmine, kamu tenang saja.”Melda menyentuh bahu Putri dengan meletakan ponselnya diatas kasur. “Sepertinya kamu salah merebut Aldo sayang.”“Maksud mama?” binggung Putri dengan menghapus air matanya.Melda menegakakn duduknya dengan mena
Menikah dengan laki-laki yang tidak Jasmine sukai membuat Jasmine merasa seperti tinggal satu atap dengan orang asing, bukan seperti sepasang suami istri. Mereka terlihat seperti dua orang yang tinggal bersama tanpa ikatan apa pun. Tidak ada percakapan antara mereka. Keduanya sibuk dengan urusan masing-masing. Jasmine duduk di ruang tengah dengan laptop di pangkuannya dan beberapa kertas berserakan di sampingnya. Sedangkan Zio, malam ini sudah rapi. Laki-laki itu keluar dari kamarnya, bahkan aroma parfumnya tercium oleh Jasmine dari jarak yang cukup jauh. Gadis cantik itu langsung mendongak saat mendengar suara pintu kamar terbuka. Ia menatap jam di laptopnya sambil mengerutkan kening. “Dia mau ke mana jam segini?” gumamnya pelan. Merasa diperhatikan, Zio yang tengah menuruni tangga sambil sibuk dengan ponselnya, langsung menatap Jasmine. Tatapan itu membuat Jasmine segera memalingkan wajahnya, berpura-pura fokus pada laptopnya.“Kerja yang benar, nggak usah kepo sama urusan orang
Pagi ini masih seperti pagi biasanya, tidak ada percakapan antara Aldenzio dan Jasmine. Sepertinya, weekend ini menjadi weekend pertama bagi Jasmine setelah menikah dengan laki-laki yang pernah ia tolak saat SMA.Namun, Jasmine sudah punya rencana untuk mengisi waktu luangnya. Ya, Jasmine bukan tipe orang yang menghabiskan waktu untuk jalan-jalan dan shopping. Dia lebih memilih berdiam diri di dalam kamarnya, menghabiskan waktu membaca buku dan menyelesaikan pekerjaan kantor yang tinggal beberapa langkah lagi.Tapi sepertinya, agendanya hanya sebatas wacana saja, karena tidak semudah itu Aldenzio membiarkan Jasmine hidup enak menikmati kekayaannya. Dia ingin membuat hidup Jasmine menderita, bukan menjadikannya ratu di rumahnya.“Kamu pikir kamu di sini ratu?” ucap Zio, bersidekap di depan pintu kamar Jasmine.Jasmine yang sedang sibuk dengan laptopnya menatap ke arah Aldenzio sambil menghela napas panjang. “Deadline kerjaan yang kamu berikan besok, dan kamu kira aku enak-enakan gak ke
"Itu mobil Zio, kan?" gumam Jasmine sambil menatap ke arah jalanan, di mana mobil Zio melaju dengan kecepatan tinggi. Gadis cantik yang tengah membawa banyak paper bag itu menatap penuh kebingungan saat suaminya keluar dan melaju dengan mobilnya begitu cepat."Aku ikutin nggak ya?" Jasmine langsung memasukkan barang-barangnya ke dalam bagasi mobil. Sepertinya dia ingin mengikuti mobil Zio, tapi setelah berada di dalam mobil dan memakai seatbelt-nya, Jasmine menggelengkan kepalanya, lalu memukul pelan kepalanya. 'Gak boleh, Jas. Bukannya sudah jelas kalau dalam perjanjian itu tidak boleh ikut campur dan melebihi batas soal privasi? Ya walaupun garis besarnya privasi kamu sendiri sudah jadi asumsi Zio, kan?'Sedetik kemudian, Jasmine menyalakan mesin mobilnya, sambil tetap menggelengkan kepalanya. "Gak! Anggap saja dia orang asing yang masuk dalam hidup kamu, Jas. Kamu nggak boleh ikut campur dalam masalah dia," gumamnya pelan.Dari pada ikut campur urusan Zio, alangkah baiknya Jasmine
Jasmine menatap kaget ketika dirinya malah ketiduran di kamar Aldenzio. Matanya berputar menatap ke arah Zio. Untungnya, suami kejam dan tidak punya perasaan itu masih tidur. Sial, gara-gara tengah malam mendengar Zio muntah, Jasmine harus rela berjaga sampai ketiduran di sofa kamar Zio. Gadis cantik itu berjalan dengan kaki berjinjit, jangan sampai Zio bangun dan melihat Jasmine berada di dalam kamarnya.Perlahan tapi pasti, Jasmine membuka handel pintu kamar Zio, berusaha tidak menimbulkan suara sama sekali. Berhasil! Jasmine bisa keluar dengan selamat tanpa ketahuan oleh Zio. “Huhhh, untung selamat,” gumamnya sambil menutup pintu kamarnya.Langkah kakinya menuju sofa di kamarnya. Dia menatap jam yang masih menunjukkan pukul lima pagi. Itu artinya, Jasmine bangun terlalu pagi. Gadis cantik itu menyentilkan jarinya. Sepertinya karena masih pagi, Jasmine bisa membuat sarapan dulu. Sejak menjadi istri Zio, Jasmine memang tidak pernah menginjakkan kaki di dapur. Dulu, saat bersama Putr
Pagi-pagi begini, Jasmine sudah sibuk mengurus beberapa laporan pengiriman dan mempersiapkan bahan untuk rapat nanti. Dia tahu, Zio menunjuknya sebagai pemimpin rapat bukan karena percaya akan kemampuannya, tapi untuk mempermalukannya di depan semua orang. Zio yakin Jasmine takkan mampu menyelesaikan tugas itu dengan baik, dan akan menggunakan momen ini untuk membuat Jasmine semakin terpojok.Namun, siapa sangka, Jasmine justru sudah siap dengan semua pekerjaannya hari ini.“Pak Zio sudah datang?” tanya Jasmine pada sekretarisnya, Siska. “Maaf, Jas. Sepertinya belum,” jawab Siska sambil melirik jam di meja kerjanya. “Kamu mau titip bahan untuk rapat? Nanti aku kasih ke Pak Zio.”“Enam desain untuk bahan rapat hari ini sudah selesai,” Jasmine menyerahkan sebuah map. “Salinannya juga sudah aku kirim via email. Nanti, tolong bilang ke Pak Zio kalau aku sudah menyelesaikan semuanya.”Siska tertegun. “Enam desain? Kamu gak salah, Jas? Kalau gak salah, kemarin Pak Zio bilang cuma butuh dua
PlakkkJasmine mematung sejenak setelah bunyi tamparan keras mendarat di pipinya. Kepalanya berputar cepat, tangan kanannya memegang pipi yang masih terasa panas, dan matanya berkaca-kaca. Melda menatapnya dengan penuh emosi."Kenapa kamu bersusah-susah menghancurkan perusahaan Mama, ha? Apa karena Mama sudah memaksamu menikah?" tanya Melda dengan suara penuh amarah. "Atau mungkin ini balas dendammu, huh? Anak yang tidak tahu diri, hanya bisa menyusahkan, dan sekarang malah semakin keterlaluan, kamu, Jasmine!" ucap Melda dengan napas yang memburu.Jasmine hanya bisa menatap Melda dengan tatapan kosong. Bibirnya bergetar tanpa suara. Semua tuduhan yang dilayangkan Melda terasa begitu menghantam, membuat Jasmine terdiam dan terpaku.Setelah cukup tenang, Jasmine mendongak dan menghapus air matanya dengan kasar. "Apa belum cukup Mama menghancurkan hidup Jasmine? Apa Mama tidak merasa kalau ini adalah hukuman buat Mama selama ini?"Melda tertawa sumbang sambil menarik rambut Jasmine. "Bi
Aldenzio memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Mataku fokus pada jalan, tapi pikiranku nggak tenang. Sesekali, Zio melirik ke arah Jasmine yang terbaring tak sadar di kursi penumpang. Darah yang mengalir dari luka di dahinya bikin Zio makin panik. Entah kenapa, Zio malah teringat kejadian di mana mamanya juga mengalami hal seperti ini dulu saat hampir saja bunuh diri. Dan ini malah terjadi pada Jasmine.“Apa kamu mau bunuh diri, Jas?” gumamnya pelan. Sedetik kemudian, Zio menggelengkan kepalanya. “Gak mungkin! Dia gak mungkin lakuin hal senekat ini.”Tatapan Zio kembali ke arah Jasmine yang masih memejamkan matanya dengan tidur tenangnya. "Kamu tahan ya," gumamnya, meskipun Zio tahu kata-katanya nggak akan sampai ke telinga Jasmine. Setidaknya dia memiliki kata-kata penengang untuk dirinya. Entah apa yang dilakukan Jasmine hingga bisa jatuh di kamar mandi dan sampai seperti sekarang ini. "Jangan mati dulu, Jasmine. Aku masih butuh kamu."Tiba-tiba hujan turun begitu deras, membuat Zi
“Hari ini Mama sudah bisa keluar dari rumah sakit, Ma,” ucap Zio sambil merapikan barang-barang mamanya. “Tapi maaf, Zio harus keluar kota malam ini juga karena kerjaan, Ma, dan Zio gak tahu akan pulang kapan.”“Kerjaan atau kamu mencari Jasmine yang kabur dari kamu?”Tangan Zio langsung berhenti saat mamanya menyebut nama istrinya. Bukankah sang suster sudah melarang mamanya menonton TV?“Gak usah kamu tutupi, Zi. Mama tahu semuanya. Mama tahu kalau kamu menikah dengan anak dari Melda, wanita yang sudah menghancurkan hidup Mama, kan? Kenapa harus kamu tutupi?”“Mama tahu dari mana?” tanya Zio dengan menatap ke arah Luna.“Mama tahu karena Mama lihat siaran kamu di TV. Kalau Mama gak diam-diam menonton, Mama gak akan tahu sosok istri kamu. Mama tidak akan melarang semua kebahagiaan kamu. Jasmine gadis baik-baik. Mama masih ingat jelas bagaimana Jasmine minta maaf sama Mama dan nangis-nangis karena Papanya juga jadi korban dari perselingkuhan Mamanya.”Zio makin tidak bisa berkata-kata
Melda tidak menyangka jika ternyata Aldenzio adalah putra dari wanita yang sudah dia rusak rumah tangganya. Dan yang paling tidak dia sangka, ternyata dia menjual Jasmine ke Aldenzio, bukan kepada laki-laki tua seperti yang ada di angan-angannya.Sekarang, Melda hanya bisa menerima semuanya. Mau menangis darah pun, Aldenzio tidak akan pernah melepaskannya, apalagi semua bukti sudah Aldenzio kantongi dan diserahkan ke pihak yang berwajib.Hanya tinggal Putri saja yang bisa menyelesaikan semuanya. Entah Putri bisa menolong Melda atau tidak, tapi setidaknya Putri bisa mencari pengacara untuk meringankan hukumannya.Berita penangkapan Melda ternyata diketahui oleh Luna. Wanita paruh baya itu menonton berita penangkapan tersebut sambil menghela napas panjang dengan kasar.“Jadi selama ini dia masih berkeliaran di luar? Dan apa sebenarnya yang terjadi? Zio, kenapa dia menyebut nama Jasmine, istrinya? Apa mereka ada hubungan di balik semua ini?”Saat hendak melihat berita lain, sang suster m
Melda menggigit kukunya, panik merayapi pikirannya. Bagaimana Zio bisa tahu rahasia besarnya? Jangan-jangan, memang benar jika Zio tahu segalanya tentang hidupnya. Wanita paruh baya itu mondar-mandir di ruangannya dengan tatapan penuh kecemasan. Rahasia yang sudah ia kubur dalam-dalam dan percaya tak akan pernah ada yang mengetahuinya ternyata kini terancam terungkap. Jasmine sudah membongkar semuanya sebelum ia pergi meninggalkan segala huru-hara ini.“Tidak, aku harus cari Jasmine. Dia pusat masalahnya. Kalau dia tidak cerita pada Zio, mana mungkin Zio tahu semua ini,” desis Melda, mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja.Baru saja ia hendak menghubungi orang kepercayaannya, tiba-tiba pintu ruangannya diketuk dari luar oleh asistennya.“Apa ada info soal yang saya minta tadi?” tanyanya cepat.Pria itu mengangguk, lalu menyerahkan beberapa berkas ke hadapan Melda.“Sepertinya, Bu Melda melewatkan sesuatu. Baru-baru ini ada kabar yang menyangkut soal Aldenzio dan Jasmine.”Me
“Maaf, Pak. Ada tamu yang bersikeras ingin bertemu dengan Bapak. Saya tidak bisa melarangnya, dia sedang berada di ruang tamu kantor,” ucap sang sekretaris sambil menundukkan kepala.“Dan berita tentang Bapak semakin menyebar luas ke mana-mana, jadi asumsi publik terus berkembang. Saya juga sudah melihat ini sangat berpengaruh pada perusahaan. Apa Bapak mau saya bantu untuk take down berita ini? Biar nanti saya dan asisten Bapak yang mengatasinya.”Aldenzio menggelengkan kepalanya dengan tatapan datar. “Saya sudah punya cara sendiri. Take down atau tidak, beritanya akan tetap mengalir begitu saja karena pasti ada oknum yang berpihak pada penyebar berita.”“Tapi itu nggak benar, kan, Pak?” tanya Rika memastikan. “Eh, maaf kalau saya lancang.”Aldenzio tidak menjawab, hanya melirik sekilas sang sekretaris. “Nggak perlu saya klarifikasi, nanti kamu tahu sendiri,” jawabnya sambil berjalan ke arah ruang tamu kantornya.Dia sudah cukup hafal siapa yang datang. Pasti Melda dan Putri yang aka
Pagi ini, kabar pengunduran diri Jasmine sekaligus video Jasmine kencan malam itu dengan Zio sudah ramai jadi perbincangan di seluruh penjuru kantor. Banyak sekali yang menduga-duga jika Jasmine mengundurkan diri karena memang Jasmine ketahuan selingkuh dengan CEO dari perusahaannya sendiri. Apalagi kabarnya Jasmine memang sudah melakukan pernikahan secara diam-diam. Sosok suami Jasmine saja tidak ada yang tahu bagaimana, dan jelas ini menyimpan banyak pertanyaan dari rekan kerjanya. Apalagi Zio hari ini juga tidak masuk kerja.“Gila, nggak nyangka jika Jasmine ternyata seperti itu.” “Parahnya lagi Pak Zio, harusnya dia tahu kan status kontrak kerjaan Jasmine seperti apa. Dan kenapa kalau sudah bersuami dia malah deketin Jasmine, sampai buat dinner romantis segala?”“Ck, nggak lupa kan kalau Jasmine itu pindahan dari kantor cabang? Jadi aku yakin Jasmine status saat ngelamar kerja belum menikah. Apalagi katanya nikahnya diam-diam, kan?” “Jangan-jangan ini yang membuat Jasmine hidup
“Kenapa bisa kecolongan seperti ini? Kalian bisa kerja nggak sih!” teriak Zio memarahi beberapa pengawal yang sedang berdiri berjejer di depannya. “Saya nggak mau, sekarang juga cari Jasmine sampai ketemu. Kalau belum ketemu, tidak ada yang boleh kembali ke rumah ini, ngerti?” “Ba-baik, tuan.” Gugup mereka. “Tunggu apa lagi? Cari sekarang!” teriak Zio, sambil menunjuk ke arah luar. Beberapa pengawal itu langsung keluar dari ruangan tengah. Zio meraup wajahnya dengan frustrasi. Padahal, kabar bahagia sedang menyelimutinya, malah dia harus mendapatkan kabar buruk bahwa istrinya kabur lewat balkon. Zio menatap ke arah atas, dia beranjak berdiri dan menaiki anak tangga, tapi sebelum naik, suara Bi Mirna membuat Zio berhenti. “Maaf, tuan. Tadi saya menemukan ini di kamar Nona Jasmine.” Ucap Mirna, dengan menyodorkan selembar kertas yang dilipat kecil. “Maaf, kami sudah teledor menjaga Nona Jasmine.” Zio tidak menjawab, dia hanya mengibaskan tangannya dan beranjak menaiki anak tang
Melda menatap tak percaya dengan hasil video yang terekam di ponsel Putri. Dia melihat sendiri bagaimana Zio mengungkapkan perasaannya dan juga seberapa effort dia memberikan kejutan untuk Jasmine.“Mama kaget kan? Sepertinya Zio memang tertipu dengan muka polosnya. Dan asal Mama tahu, Kak Jasmine ternyata tidak dikeluarkan dari kantor cabang Zio. Dia malah ditarik ke perusahaan besar Zio, dan mungkin Kak Jasmine menggoda Zio hingga dia terjerat sama sifat manipulatif Zio,” ucap Putri sambil duduk tenang di sofa.“Jasmine gak boleh bahagia. Dia harus menderita, seperti dulu Mama menderita karena hadirnya gadis pembawa sial itu,” ucap Melda dengan tangan yang mengepal kuat.Putri yang tadinya asyik memainkan kuku-kukunya langsung mendongak dengan senyum miring. “Bukannya ini kesempatan yang bagus ya, Ma?”“Maksud kamu?”“Mama butuh perusahaan Zio untuk melancarkan usaha Mama, kan? Tinggal ancam Zio dengan video ini dan buat Zio harus meninggalkan Jasmine. Lalu, Zio jadi kekasih Putri.
“Lembur lagi, Jas?” tanya salah satu temannya yang sedang bersiap-siap untuk pulang.Jasmine mengangguk sambil menatap Tika yang hendak pulang. “Mau pulang?”“Iyalah, doi sudah jemput di depan. Baik-baik di sini ya, ingat jaga kesehatan. Baru sembuh malah lembur lagi kamu.”“Yang sakit kaki, bukan kepala, sayang,” jawab Jasmine sambil mengangkat beberapa berkasnya. “Apalagi kerjaan numpuk, jadi harus siap lembur. Tadi juga ada tambahan tugas dari kepala tim, dan itu harus diselesaikan hari ini. Besok harus sudah siap dikirim ke Pak CEO.”“Fighting! Aku pamit dulu ya.”“Hem, hati-hati,” ucap Jasmine sambil melambaikan tangannya.Tika langsung keluar kantor, meninggalkan Jasmine sendirian.Dari ruangannya, Zio menatap CCTV, melihat Jasmine sendirian di ruangannya. Laki-laki itu mengukir senyum. “Sepertinya Rika memang benar-benar bisa diandalkan,” gumamnya pelan.Baru juga diomongin, Rika sudah menjulurkan kepalanya. “Maaf, Pak, semuanya sudah selesai. Apa saya boleh pulang?”“Hem,” jaw
Sepertinya siang ini Rika dibuat pusing dengan kemauan CEO-nya. Entah kenapa tiba-tiba Zio memintanya untuk mencarikan cara agar bisa meminta maaf pada seorang wanita. Dan yang jadi pertanyaan Rika adalah, memangnya atasannya ini sedang dekat dengan seorang gadis? Kalaupun iya, siapa? Sepertinya hari ini akan menjadi perbincangan para karyawan, karena saat jam istirahat, Rika berkumpul dengan tim desain sambil membicarakan kalau desain Jasmine sudah di-ACC oleh sang CEO dan akan diluncurkan minggu depan. “Kenapa sih kelihatan pusing banget? Tugas dari pak bos numpuk ya?” tanya Rangga sambil menyerahkan kopi cup yang baru saja diambil dari lobi bawah, menemani mereka ngobrol. Rika mengangguk pelan. “Sebenarnya hari ini aku nggak ada kerjaan, tapi...” “Bagus dong, masa nggak ada kerjaan malah pusing? Mau tukaran sama aku?” sahut Jasmine sambil menunjuk laptopnya. “Kerjaan aku numpuk banget karena beberapa hari kemarin aku nggak datang ke kantor.” Masalahnya bukan itu. Masalahn