Jasmine menatap kaget ketika dirinya malah ketiduran di kamar Aldenzio. Matanya berputar menatap ke arah Zio. Untungnya, suami kejam dan tidak punya perasaan itu masih tidur. Sial, gara-gara tengah malam mendengar Zio muntah, Jasmine harus rela berjaga sampai ketiduran di sofa kamar Zio. Gadis cantik itu berjalan dengan kaki berjinjit, jangan sampai Zio bangun dan melihat Jasmine berada di dalam kamarnya.Perlahan tapi pasti, Jasmine membuka handel pintu kamar Zio, berusaha tidak menimbulkan suara sama sekali. Berhasil! Jasmine bisa keluar dengan selamat tanpa ketahuan oleh Zio. “Huhhh, untung selamat,” gumamnya sambil menutup pintu kamarnya.Langkah kakinya menuju sofa di kamarnya. Dia menatap jam yang masih menunjukkan pukul lima pagi. Itu artinya, Jasmine bangun terlalu pagi. Gadis cantik itu menyentilkan jarinya. Sepertinya karena masih pagi, Jasmine bisa membuat sarapan dulu. Sejak menjadi istri Zio, Jasmine memang tidak pernah menginjakkan kaki di dapur. Dulu, saat bersama Putr
Pagi-pagi begini, Jasmine sudah sibuk mengurus beberapa laporan pengiriman dan mempersiapkan bahan untuk rapat nanti. Dia tahu, Zio menunjuknya sebagai pemimpin rapat bukan karena percaya akan kemampuannya, tapi untuk mempermalukannya di depan semua orang. Zio yakin Jasmine takkan mampu menyelesaikan tugas itu dengan baik, dan akan menggunakan momen ini untuk membuat Jasmine semakin terpojok.Namun, siapa sangka, Jasmine justru sudah siap dengan semua pekerjaannya hari ini.“Pak Zio sudah datang?” tanya Jasmine pada sekretarisnya, Siska. “Maaf, Jas. Sepertinya belum,” jawab Siska sambil melirik jam di meja kerjanya. “Kamu mau titip bahan untuk rapat? Nanti aku kasih ke Pak Zio.”“Enam desain untuk bahan rapat hari ini sudah selesai,” Jasmine menyerahkan sebuah map. “Salinannya juga sudah aku kirim via email. Nanti, tolong bilang ke Pak Zio kalau aku sudah menyelesaikan semuanya.”Siska tertegun. “Enam desain? Kamu gak salah, Jas? Kalau gak salah, kemarin Pak Zio bilang cuma butuh dua
PlakkkJasmine mematung sejenak setelah bunyi tamparan keras mendarat di pipinya. Kepalanya berputar cepat, tangan kanannya memegang pipi yang masih terasa panas, dan matanya berkaca-kaca. Melda menatapnya dengan penuh emosi."Kenapa kamu bersusah-susah menghancurkan perusahaan Mama, ha? Apa karena Mama sudah memaksamu menikah?" tanya Melda dengan suara penuh amarah. "Atau mungkin ini balas dendammu, huh? Anak yang tidak tahu diri, hanya bisa menyusahkan, dan sekarang malah semakin keterlaluan, kamu, Jasmine!" ucap Melda dengan napas yang memburu.Jasmine hanya bisa menatap Melda dengan tatapan kosong. Bibirnya bergetar tanpa suara. Semua tuduhan yang dilayangkan Melda terasa begitu menghantam, membuat Jasmine terdiam dan terpaku.Setelah cukup tenang, Jasmine mendongak dan menghapus air matanya dengan kasar. "Apa belum cukup Mama menghancurkan hidup Jasmine? Apa Mama tidak merasa kalau ini adalah hukuman buat Mama selama ini?"Melda tertawa sumbang sambil menarik rambut Jasmine. "Bi
Aldenzio memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Mataku fokus pada jalan, tapi pikiranku nggak tenang. Sesekali, Zio melirik ke arah Jasmine yang terbaring tak sadar di kursi penumpang. Darah yang mengalir dari luka di dahinya bikin Zio makin panik. Entah kenapa, Zio malah teringat kejadian di mana mamanya juga mengalami hal seperti ini dulu saat hampir saja bunuh diri. Dan ini malah terjadi pada Jasmine.“Apa kamu mau bunuh diri, Jas?” gumamnya pelan. Sedetik kemudian, Zio menggelengkan kepalanya. “Gak mungkin! Dia gak mungkin lakuin hal senekat ini.”Tatapan Zio kembali ke arah Jasmine yang masih memejamkan matanya dengan tidur tenangnya. "Kamu tahan ya," gumamnya, meskipun Zio tahu kata-katanya nggak akan sampai ke telinga Jasmine. Setidaknya dia memiliki kata-kata penengang untuk dirinya. Entah apa yang dilakukan Jasmine hingga bisa jatuh di kamar mandi dan sampai seperti sekarang ini. "Jangan mati dulu, Jasmine. Aku masih butuh kamu."Tiba-tiba hujan turun begitu deras, membuat Zi
Jasmine sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Dia sendirian di ruang itu, entah ke mana Aldenzio. Setelah Jasmine sadar, laki-laki itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Namun, bukannya Jasmine khawatir, dia hanya menggelengkan kepalanya. Dia sudah cukup tahu bagaimana suaminya memperlakukan dirinya.Tiba-tiba saja Jasmine merasakan panggilan alam. Gadis itu menghela napas, berusaha bangkit dari tidurnya. "Argh, kenapa masih sakit sih," gumamnya pelan sambil mencoba mencari pegangan.Namun, tiba-tiba saja pegangannya meleset. Hampir saja kepala Jasmine kembali menghantam sudut meja kalau saja tidak ada seseorang yang sigap menolongnya. "Kalau sakit, hati-hati," ucap orang itu.Jasmine langsung mendongak, ingin melihat siapa yang datang. Napasnya langsung tercekat ketika melihat Aldo berada di ruangannya sendirian.Buru-buru Jasmine menghempaskan tangan Aldo yang ada di pinggangnya. "Gak usah sentuh aku." "Jas..." "Apa? Mau ngetawain hidup aku? Mau bilang kalau aku gadis g
Kata-kata Jasmine barusan masih terngiang di kepalanya. Dia duduk di ruang tunggu dengan berulang kali meraup wajahnya. Sesekali, dia menatap pintu ruangan Jasmine. Sepertinya memang benar-benar ada yang dilewatkan oleh Zio. Tangan laki-laki itu langsung mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang.“Cari data Jasmine, apakah benar jika Jasmine itu bukan anak dari Melda.”“Baik, Tuan. Akan segera aku carikan datanya dan aku kirim ke Tuan sesegera mungkin.”“Baik, malam ini harus sudah dapat.”“Siap, Tuan.”Zio berjalan merunduk sambil memainkan ponselnya hingga dia tidak sadar menabrak seseorang. Refleks, Zio menahan pinggangnya. Putri menatap tanpa kedip laki-laki yang ada di depannya. Pahatan wajahnya memang benar-benar sempurna, bahkan dia sampai menjatuhkan beberapa resep dokter yang ada di tangannya.“Jadi ini yang Mama tunjukkan fotonya. Sumpah ganteng banget,” batin Putri.Zio langsung melepaskan tangannya, membenarkan jasnya, dan pura-pura tidak mengenal gadis yang ada di
Selama bekerja, Zio tidak begitu fokus dengan pekerjaannya. Entah kenapa, dia merasa ada yang aneh pada dirinya. Kenapa sekarang dia sering memikirkan Jasmine? Semua ucapan gadis itu, yang seharusnya tidak penting, justru terus terngiang di pikirannya. Zio menyandarkan kepalanya pada kursi kerja sambil meraup wajah dengan kasar. "Aku ini kenapa sih? Mau Jasmine bukan anak dari Melda, mau dia bertaruh dengan segala hal di masa lalu, seharusnya aku gak begini. Yang harusnya kupikirkan itu cuma cara buat mereka sengsara, bukan seperti ini," gumamnya pelan. Zio berusaha menenangkan pikirannya dengan menyeruput kopi yang ada di mejanya, sampai dia dikagetkan oleh ketukan dari luar. Tok… tok… tok… "Permisi, Pak Aldenzio," ucap sekretarisnya sambil menjulurkan kepala ke dalam ruangan. "Masuk." Sekretaris itu masuk sambil membawa beberapa dokumen dan sebuah kertas kecil. "Maaf, Pak. Ini dokumen yang harus ditandatangani, dan nanti sore ada rapat jam tiga. Selain itu, ini…" Ia m
Jasmine berjalan menjauh dari ruangan itu dengan raut wajah kesal. "Kalau aku nggak bisa masuk dengan cara baik-baik, mungkin ada cara lain," gumamnya. Dia lalu duduk di bangku yang agak jauh dari ruangan itu, memperhatikan setiap gerak-gerik pengawal yang menjaga pintu.Sesekali, mereka berbincang dengan pelan. Salah satu dari mereka bahkan tampak sering melihat jam tangan, seolah menunggu sesuatu. Jasmine menunggu dengan sabar, walaupun sambil menahan nyeri di kakinya.Setelah beberapa menit, seorang perawat mendekati dua pengawal itu sambil membawa nampan kecil berisi gelas dan makanan ringan. Kedua pengawal itu tampak berterima kasih, lalu salah satu dari mereka berjalan ke sudut lorong, mungkin untuk menikmati makanannya."Ini kesempatanku!" pikir Jasmine sambil beranjak berdiri.Dengan hati-hati, dia berjalan mendekati pintu ruangan itu, memastikan pengawal yang tersisa sedang sibuk berbicara dengan perawat. Jasmine menahan napas, tubuhnya merapat ke dinding. Ketika suasana ter
“Hari ini Mama sudah bisa keluar dari rumah sakit, Ma,” ucap Zio sambil merapikan barang-barang mamanya. “Tapi maaf, Zio harus keluar kota malam ini juga karena kerjaan, Ma, dan Zio gak tahu akan pulang kapan.”“Kerjaan atau kamu mencari Jasmine yang kabur dari kamu?”Tangan Zio langsung berhenti saat mamanya menyebut nama istrinya. Bukankah sang suster sudah melarang mamanya menonton TV?“Gak usah kamu tutupi, Zi. Mama tahu semuanya. Mama tahu kalau kamu menikah dengan anak dari Melda, wanita yang sudah menghancurkan hidup Mama, kan? Kenapa harus kamu tutupi?”“Mama tahu dari mana?” tanya Zio dengan menatap ke arah Luna.“Mama tahu karena Mama lihat siaran kamu di TV. Kalau Mama gak diam-diam menonton, Mama gak akan tahu sosok istri kamu. Mama tidak akan melarang semua kebahagiaan kamu. Jasmine gadis baik-baik. Mama masih ingat jelas bagaimana Jasmine minta maaf sama Mama dan nangis-nangis karena Papanya juga jadi korban dari perselingkuhan Mamanya.”Zio makin tidak bisa berkata-kata
Melda tidak menyangka jika ternyata Aldenzio adalah putra dari wanita yang sudah dia rusak rumah tangganya. Dan yang paling tidak dia sangka, ternyata dia menjual Jasmine ke Aldenzio, bukan kepada laki-laki tua seperti yang ada di angan-angannya.Sekarang, Melda hanya bisa menerima semuanya. Mau menangis darah pun, Aldenzio tidak akan pernah melepaskannya, apalagi semua bukti sudah Aldenzio kantongi dan diserahkan ke pihak yang berwajib.Hanya tinggal Putri saja yang bisa menyelesaikan semuanya. Entah Putri bisa menolong Melda atau tidak, tapi setidaknya Putri bisa mencari pengacara untuk meringankan hukumannya.Berita penangkapan Melda ternyata diketahui oleh Luna. Wanita paruh baya itu menonton berita penangkapan tersebut sambil menghela napas panjang dengan kasar.“Jadi selama ini dia masih berkeliaran di luar? Dan apa sebenarnya yang terjadi? Zio, kenapa dia menyebut nama Jasmine, istrinya? Apa mereka ada hubungan di balik semua ini?”Saat hendak melihat berita lain, sang suster m
Melda menggigit kukunya, panik merayapi pikirannya. Bagaimana Zio bisa tahu rahasia besarnya? Jangan-jangan, memang benar jika Zio tahu segalanya tentang hidupnya. Wanita paruh baya itu mondar-mandir di ruangannya dengan tatapan penuh kecemasan. Rahasia yang sudah ia kubur dalam-dalam dan percaya tak akan pernah ada yang mengetahuinya ternyata kini terancam terungkap. Jasmine sudah membongkar semuanya sebelum ia pergi meninggalkan segala huru-hara ini.“Tidak, aku harus cari Jasmine. Dia pusat masalahnya. Kalau dia tidak cerita pada Zio, mana mungkin Zio tahu semua ini,” desis Melda, mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja.Baru saja ia hendak menghubungi orang kepercayaannya, tiba-tiba pintu ruangannya diketuk dari luar oleh asistennya.“Apa ada info soal yang saya minta tadi?” tanyanya cepat.Pria itu mengangguk, lalu menyerahkan beberapa berkas ke hadapan Melda.“Sepertinya, Bu Melda melewatkan sesuatu. Baru-baru ini ada kabar yang menyangkut soal Aldenzio dan Jasmine.”Me
“Maaf, Pak. Ada tamu yang bersikeras ingin bertemu dengan Bapak. Saya tidak bisa melarangnya, dia sedang berada di ruang tamu kantor,” ucap sang sekretaris sambil menundukkan kepala.“Dan berita tentang Bapak semakin menyebar luas ke mana-mana, jadi asumsi publik terus berkembang. Saya juga sudah melihat ini sangat berpengaruh pada perusahaan. Apa Bapak mau saya bantu untuk take down berita ini? Biar nanti saya dan asisten Bapak yang mengatasinya.”Aldenzio menggelengkan kepalanya dengan tatapan datar. “Saya sudah punya cara sendiri. Take down atau tidak, beritanya akan tetap mengalir begitu saja karena pasti ada oknum yang berpihak pada penyebar berita.”“Tapi itu nggak benar, kan, Pak?” tanya Rika memastikan. “Eh, maaf kalau saya lancang.”Aldenzio tidak menjawab, hanya melirik sekilas sang sekretaris. “Nggak perlu saya klarifikasi, nanti kamu tahu sendiri,” jawabnya sambil berjalan ke arah ruang tamu kantornya.Dia sudah cukup hafal siapa yang datang. Pasti Melda dan Putri yang aka
Pagi ini, kabar pengunduran diri Jasmine sekaligus video Jasmine kencan malam itu dengan Zio sudah ramai jadi perbincangan di seluruh penjuru kantor. Banyak sekali yang menduga-duga jika Jasmine mengundurkan diri karena memang Jasmine ketahuan selingkuh dengan CEO dari perusahaannya sendiri. Apalagi kabarnya Jasmine memang sudah melakukan pernikahan secara diam-diam. Sosok suami Jasmine saja tidak ada yang tahu bagaimana, dan jelas ini menyimpan banyak pertanyaan dari rekan kerjanya. Apalagi Zio hari ini juga tidak masuk kerja.“Gila, nggak nyangka jika Jasmine ternyata seperti itu.” “Parahnya lagi Pak Zio, harusnya dia tahu kan status kontrak kerjaan Jasmine seperti apa. Dan kenapa kalau sudah bersuami dia malah deketin Jasmine, sampai buat dinner romantis segala?”“Ck, nggak lupa kan kalau Jasmine itu pindahan dari kantor cabang? Jadi aku yakin Jasmine status saat ngelamar kerja belum menikah. Apalagi katanya nikahnya diam-diam, kan?” “Jangan-jangan ini yang membuat Jasmine hidup
“Kenapa bisa kecolongan seperti ini? Kalian bisa kerja nggak sih!” teriak Zio memarahi beberapa pengawal yang sedang berdiri berjejer di depannya. “Saya nggak mau, sekarang juga cari Jasmine sampai ketemu. Kalau belum ketemu, tidak ada yang boleh kembali ke rumah ini, ngerti?” “Ba-baik, tuan.” Gugup mereka. “Tunggu apa lagi? Cari sekarang!” teriak Zio, sambil menunjuk ke arah luar. Beberapa pengawal itu langsung keluar dari ruangan tengah. Zio meraup wajahnya dengan frustrasi. Padahal, kabar bahagia sedang menyelimutinya, malah dia harus mendapatkan kabar buruk bahwa istrinya kabur lewat balkon. Zio menatap ke arah atas, dia beranjak berdiri dan menaiki anak tangga, tapi sebelum naik, suara Bi Mirna membuat Zio berhenti. “Maaf, tuan. Tadi saya menemukan ini di kamar Nona Jasmine.” Ucap Mirna, dengan menyodorkan selembar kertas yang dilipat kecil. “Maaf, kami sudah teledor menjaga Nona Jasmine.” Zio tidak menjawab, dia hanya mengibaskan tangannya dan beranjak menaiki anak tang
Melda menatap tak percaya dengan hasil video yang terekam di ponsel Putri. Dia melihat sendiri bagaimana Zio mengungkapkan perasaannya dan juga seberapa effort dia memberikan kejutan untuk Jasmine.“Mama kaget kan? Sepertinya Zio memang tertipu dengan muka polosnya. Dan asal Mama tahu, Kak Jasmine ternyata tidak dikeluarkan dari kantor cabang Zio. Dia malah ditarik ke perusahaan besar Zio, dan mungkin Kak Jasmine menggoda Zio hingga dia terjerat sama sifat manipulatif Zio,” ucap Putri sambil duduk tenang di sofa.“Jasmine gak boleh bahagia. Dia harus menderita, seperti dulu Mama menderita karena hadirnya gadis pembawa sial itu,” ucap Melda dengan tangan yang mengepal kuat.Putri yang tadinya asyik memainkan kuku-kukunya langsung mendongak dengan senyum miring. “Bukannya ini kesempatan yang bagus ya, Ma?”“Maksud kamu?”“Mama butuh perusahaan Zio untuk melancarkan usaha Mama, kan? Tinggal ancam Zio dengan video ini dan buat Zio harus meninggalkan Jasmine. Lalu, Zio jadi kekasih Putri.
“Lembur lagi, Jas?” tanya salah satu temannya yang sedang bersiap-siap untuk pulang.Jasmine mengangguk sambil menatap Tika yang hendak pulang. “Mau pulang?”“Iyalah, doi sudah jemput di depan. Baik-baik di sini ya, ingat jaga kesehatan. Baru sembuh malah lembur lagi kamu.”“Yang sakit kaki, bukan kepala, sayang,” jawab Jasmine sambil mengangkat beberapa berkasnya. “Apalagi kerjaan numpuk, jadi harus siap lembur. Tadi juga ada tambahan tugas dari kepala tim, dan itu harus diselesaikan hari ini. Besok harus sudah siap dikirim ke Pak CEO.”“Fighting! Aku pamit dulu ya.”“Hem, hati-hati,” ucap Jasmine sambil melambaikan tangannya.Tika langsung keluar kantor, meninggalkan Jasmine sendirian.Dari ruangannya, Zio menatap CCTV, melihat Jasmine sendirian di ruangannya. Laki-laki itu mengukir senyum. “Sepertinya Rika memang benar-benar bisa diandalkan,” gumamnya pelan.Baru juga diomongin, Rika sudah menjulurkan kepalanya. “Maaf, Pak, semuanya sudah selesai. Apa saya boleh pulang?”“Hem,” jaw
Sepertinya siang ini Rika dibuat pusing dengan kemauan CEO-nya. Entah kenapa tiba-tiba Zio memintanya untuk mencarikan cara agar bisa meminta maaf pada seorang wanita. Dan yang jadi pertanyaan Rika adalah, memangnya atasannya ini sedang dekat dengan seorang gadis? Kalaupun iya, siapa? Sepertinya hari ini akan menjadi perbincangan para karyawan, karena saat jam istirahat, Rika berkumpul dengan tim desain sambil membicarakan kalau desain Jasmine sudah di-ACC oleh sang CEO dan akan diluncurkan minggu depan. “Kenapa sih kelihatan pusing banget? Tugas dari pak bos numpuk ya?” tanya Rangga sambil menyerahkan kopi cup yang baru saja diambil dari lobi bawah, menemani mereka ngobrol. Rika mengangguk pelan. “Sebenarnya hari ini aku nggak ada kerjaan, tapi...” “Bagus dong, masa nggak ada kerjaan malah pusing? Mau tukaran sama aku?” sahut Jasmine sambil menunjuk laptopnya. “Kerjaan aku numpuk banget karena beberapa hari kemarin aku nggak datang ke kantor.” Masalahnya bukan itu. Masalahn