Tempat itu sudah ramai dengan khalayak dari berbagai tempat. Aku menghentikan langkah saat kami tertutupi pilar dari pandangan banyak orang. Kulihat Arsen yang menatapku dengan ekspresi seakan bertanya, 'Ada apa?'
Dan kali itu, air mata yang tadi sempat berhenti kini keluar lagi. Aku hanya menggeleng, tak kuasa mengatakan betapa sedihnya hatiku.
Dulu saat pernikahanku dan Ferdy, setidaknya masih ada orang panti yang menghadiri acara itu. Aku bisa mengabaikan perasaan sedih dan melupakan fakta bahwa aku hanya anak yatim piatu. Tapi di kondisi sekarang yang mendatangi keluarga seperti Sudrajat, bagiku terlalu menyedihkan saat tak seorang pun yang menemaniku.
"Ada apa, Nara? Kenapa kau menangis lagi? Aku sudah menghiburmu di dalam sana dan kau masih menangis?"
Jadi ciuman dan semua godaannya itu adalah bentuk hiburan dari Arsen? Ya, aku sedikit terhibur oleh pengakuannya ini. Setidaknya Arsen masih memikirkan kesedihanku, meski dia belum membuka hati.<
Arsen masih berdiri tanpa bergerak sama sekali. Matanya masih tertuju pada wanita yang juga tengah menatapnya. Wanita yang tampak mirip denganku itu sempat kulihat dia memamerkan senyum pada Arsen. Aku mengawasi dua wajah itu secara bersamaan, dan hatiku terasa sakit saat kulihat bibir Arsen hampir saja tersenyum.Tapi sebelum dia membalas senyuman wanita itu, dia mengalihkan matanya padaku dan kami mematung beberapa saat. Kemudian dia tersenyum padaku. Entah memang itu untukku atau hanya untuk menyembunyikan perasaan aslinya."Ayo. Semua orang tengah menatap kita."Aku takut senyuman itu palsu sebab kulihat Arsen tampak gusar di wajahnya ketika kami melangkah masuk ke rumah besar keluarganya. mungkin dia hanya ingin menyembunyikan dariku?Di dalam sana sudah ramai oleh para tamu yang datang. Rumah besar itu disulap menjadi sangat indah dengan berbagai hiasan dan interior mahal, aku sampai terkagum melihatnya jauh lebih indah daripada yang kul
Mata Arsen yang sejak tadi terarah padaku, kini teralihkan pada wanita itu. Dia menatapnya dengan sorot yang tak bisa kuartikan."Aku merindukanmu," kata wanita itu lagi."Kau mengenalku?" Arsen menaikkan sebelah bibirnya. "Tapi maaf, aku tak mengenalmu."Sampai mataku terbelalak mendengar kata yang terucap dari bibir Arsen.Tadinya kupikir Arsen akan berkata dia juga merindukan wanita itu, sungguh ini di luar dugaan. Dia hanya acuh dan kembali menatap wajahku. Aku tak berani memutar wajah untuk melihat wanita itu, dan terus membalas tatapan Arsen. Meski jelas aku terlihat menegang. Aku hanya bisa melihat wanita itu dari ekor mataku, dia menunjukkan wajah kesal sebelum menghentak kaki pergi meninggalkan kami.Acara dansa pun kembali berjalan seperti tadi. Tak ada wanita bernama Nara itu kini di sebelah kami. Tapi ekspresi wajah Arsen yang datar, cukup untuk menyadarkanku bahwa hatinya tak baik-baik saja sekarang. Dia terpengaruh, aku tahu itu
"Kita baru saja membuat janji pernikahan dan seharusnya ini masih hari bahagia kita. Nara, kita tak harus bertengkar seperti ini ,kan? Ayo turun, jangan keras kepala."Nada suara Arsen terdengar lembut, tidak menyentak seperti tadi lagi. Tapi bagiku, tetap saja tak mudah menuruti perkataannya begitu saja. Ini tentang hati. Ulu hatiku yang terluka oleh semua yang terjadi. Kubungkam bibir untuk tidak mendengarkan perkataan Arsen, yang kini menatapku."Kau mau turun, kan?" kata Arsen lagi, setelah sekian menit aku hanya diam.Kenapa jika aku tak mau turun? Dia ingin memukulku? Pukul saja jika itu membuatnya puas! Sesekali tak ada salahnya kutunjukkan sikap keras kepala ini, agar Arsen tidak memandangku perempuan lemah. Sudah cukup rasanya aku menuruti segala perkataannya."Sebenarnya, apa yang membuatmu sangat ingin pergi tidur ke hotel? Kamar kita tak cukup luas untukmu?" tanya Arsen, dan aku sungguh tersinggung karena itu."Aku akan menyewa ka
Aku mematung melihat perempuan itu menjalarkan tangannya di dada Arsen. Sakit, tentu saja aku merasakan dadaku membara oleh kobaran api di dalam sana. Rasa cemburu sudah membakarku, ketika kulihat Arsen hanya mematung diperlakukan seperti itu. Maka aku menghampiri mereka dan menatap Nara dengan mata menyalang."Apa yang kau lakukan di sini? Keluar sekarang juga!" sentakku, dengan suara berapi-api.Tapi Nara hanya melihat aku sekilas, lalu kembali saling menatap dengan Arsen."Kenapa dengan istrimu? Kau belum mengatakan tentangku padanya?""Dan kau pikir tentangmu sangat penting sehingga Arsen harus membeberkannya pada semua orang? Keluar dari sini!" sentakku sekali lagi.Tak kusangka, kini mata Arsen menatapku dengan mata yang tak senang. Bibirnya saling mengatup dan dia sama sekali tak menepis tangan Nara dari dadanya."Keluar sekarang!" ucapnya dengan nada berat dan menakutkan.Tunggu ... pada siapa dia berkata seperti itu? Ak
"Sepertinya kalian memang ribut, ya?" tanya Mama Riana penuh selidik. Matanya menatapku dengan seksama, menunggu aku memberi penjelasan.Jika kujawab 'ya', bukankah itu sangat memalukan? Ini masih hari pertama setelah kami menikah. Pernikahan macam apa yang langsung ribut di hari pertamanya? Kesannya pasti lah lebih buruk dan menyedihkan bagiku. Lantas, aku memaksa bibirku tersenyum meski terasa sulit sekali."Ah? Bu-bukan begitu. Pagi tadi Arsen keluar, jadi kupikir dia ke kantor. Mungkin karena aku belum terbiasa jadi istrinya, aku tak bertanya dia akan ke mana," elakku berbohong. Memalukan memang, karena kulihat Mama Riana memasang muka seakan berkata, 'Kau serius, Nara? Bagaimana bisa kau tak bertanya ke mana suamimu?'"Oh ... jadi begitu rupanya. " Mama Riana menepuk pundakku pelan. "Dia tidak bekerja, mungkin Arsen pergi menemui Arlan. Kau tau, mereka sangat dekat dan selalu membuat waktu bertemu setiap hari. Apalagi Arlan tak lama di aca
"Duduk lah," kata Arsen begitu kami tiba di rumah. Aku mengikuti perkataannya, duduk di tepian ranjang sembari menunggu intruksi selanjutnya. Dia bersandar pada meja nakas dengan kedua tangan dilipat di depan dada, melihat aku yang hanya lurus menatap dadanya. Sungguh, aku terlalu takut memikirkan apa yang akan Arsen bicarakan padaku. Entah kah dia akan menyuruh aku untuk tidak mengusik hubungannya dengan Nara yang lain? Dan kurasakan hatiku berdarah membayangkan andai dia memang ingin seperti itu. "Kau mencariku ke kantor?" tanya Arsen, yang aku jawab dengan anggukan. Dia mengangguk pula dua kali pertanda memahami jawabanku. "Kau pasti berpikir aku menemuinya, kan? Itu sebabnya kau datang memastikan." Ya. Dia tak salah dengan pemikirannya, dan aku sendiri juga tak ingin berbohong. Sekali lagi aku anggukkan kepala pertanda dugaannya benar. "Aku memang baru saja menemuinya, tapi ini tidak seperti yang kau pikirkan. Kami hanya ingin benar-benar me
Tadinya kupikir Arsen hanya ingin membawaku berbulan madu di tempat yang dekat-dekat saja. Aku hanya bersiap seadanya dengan travel bag kecil yang menampung dua pasang pakaian kami. Tapi di sini lah kami sekarang, di sebuah kapal pribadi milik keluarganya, duduk berhadapan. Dan jangan lupakan sudah pasti aku kebingunan akan ke mana kami sebenarnya."Kau mengantuk?" tanya Arsen lembut. Perhatian yang begitu baiknya membuat aku gugup sejenak."Ti- tidak juga," jawabku tergagu.Arsen berpindah ke sebelahku dan menekan tombol setting kursi yang kududuki. "Kau harus nyaman, pasti sangat lelah jika sandaranmu tidak sempurna." Dia membuat kursi itu lebih rebah agar punggungku nyaman."Arsen, kita akan ke mana?" Kubuka mulut untuk bertanya, dan dia meminkan sebelah alisnya. Apakah ada yang salah atas pertanyaanku?"Berbulan madu. Bukannya kita sudah mengatakan itu tadi?"Oh ya, benar. Bahkan anak kecil pun tak akan lupa dengan perkataann
Matahari sudah semakin rendah di ufuk Barat. Aku melihat sinar keemasan di depan sana untuk mengalihkan perasaan sedih yang mencekik leherku. Saat ini pula lah aku tahu jika kapal kami sedang berjalan ke arah Barat. Aku tersenyum melihat cahaya keemasan itu untuk menghibur hati yang belum mampu kutata."Nara?" panggil Arsen, yang refleks membuat kepalaku berputar menghadapnya lagi."I- iya?" jawabku, menahan rasa panas yang memaksa keluar dari mata."Kau marah padaku?"Marah? Apa aku berhak marah padanya? Meski ini sangat sakit, aku masih tahu diri bahwa perasaan adalah sesuatu yang tak mungkin dipaksakan. Kulihat dia dengan mata yang mulai mengembun, dan menutup kelopak mata ini rapat-rapat."Aku tak bisa marah meski itu memang iya. Arsen, perasaan adalah sesuatu yang tak bisa kita paksakan. Jika kau saja ak menginginkan lagi perasaan itu, tapi kau kesulitan membuangnya, bagaimana bisa aku marah padamu?" kataku. "Ya aku terluka mendeng