Tadinya kupikir Arsen hanya ingin membawaku berbulan madu di tempat yang dekat-dekat saja. Aku hanya bersiap seadanya dengan travel bag kecil yang menampung dua pasang pakaian kami. Tapi di sini lah kami sekarang, di sebuah kapal pribadi milik keluarganya, duduk berhadapan. Dan jangan lupakan sudah pasti aku kebingunan akan ke mana kami sebenarnya.
"Kau mengantuk?" tanya Arsen lembut. Perhatian yang begitu baiknya membuat aku gugup sejenak.
"Ti- tidak juga," jawabku tergagu.
Arsen berpindah ke sebelahku dan menekan tombol setting kursi yang kududuki. "Kau harus nyaman, pasti sangat lelah jika sandaranmu tidak sempurna." Dia membuat kursi itu lebih rebah agar punggungku nyaman.
"Arsen, kita akan ke mana?" Kubuka mulut untuk bertanya, dan dia meminkan sebelah alisnya. Apakah ada yang salah atas pertanyaanku?
"Berbulan madu. Bukannya kita sudah mengatakan itu tadi?"
Oh ya, benar. Bahkan anak kecil pun tak akan lupa dengan perkataann
Matahari sudah semakin rendah di ufuk Barat. Aku melihat sinar keemasan di depan sana untuk mengalihkan perasaan sedih yang mencekik leherku. Saat ini pula lah aku tahu jika kapal kami sedang berjalan ke arah Barat. Aku tersenyum melihat cahaya keemasan itu untuk menghibur hati yang belum mampu kutata."Nara?" panggil Arsen, yang refleks membuat kepalaku berputar menghadapnya lagi."I- iya?" jawabku, menahan rasa panas yang memaksa keluar dari mata."Kau marah padaku?"Marah? Apa aku berhak marah padanya? Meski ini sangat sakit, aku masih tahu diri bahwa perasaan adalah sesuatu yang tak mungkin dipaksakan. Kulihat dia dengan mata yang mulai mengembun, dan menutup kelopak mata ini rapat-rapat."Aku tak bisa marah meski itu memang iya. Arsen, perasaan adalah sesuatu yang tak bisa kita paksakan. Jika kau saja ak menginginkan lagi perasaan itu, tapi kau kesulitan membuangnya, bagaimana bisa aku marah padamu?" kataku. "Ya aku terluka mendeng
"Arsen, tangkap!"Aku melemparkan topi pada Arsen yang sedang duduk dengan joran pancingnya di tepi kapal. Dia menyambut topi itu sangat cepat, dan kedua matanya berkedip bersamaan menggodaku, lalu mengenakannya di kepala. Aku berlarian kecil ke arahnya dan mengambil tempat duduk di sebelahnya."Ikannya sangat banyak tapi tak satu pun yang kudapat," keluh Arsen dengan mata menatap ikan-ikan di bawah sana. "Apa kailnya tidak bagus? Perlu kah kita menepi lagi untuk membeli kail baru?" Dia berbicara dengan nadanya yang mulai kesal.Bahkan dia belum duduk sepuluh menit di sini, sudah tak sabaran."Itu lah yang namanya memancing ikan, Arsen, kita harus memakai kesabaran," kataku yang sibuk memasangkan umpan pada mata kail.Sebenarnya, dia sangat menolak ketika aku mengajaknya memancing. Katanya ini adalah pekerjaan yang membosankan dan pemalas juga tak menghasilkan uang. Aku heran dengan isi kepalanya yang hanya memikirkan mendapat uang. Tapi sete
Sudah tiga hari kami menghabiskan waktu bulan madu ini di dalam kapal. Sesekali kami bersandar ke pulau untuk menikmati keindahan pulau-pulau kecil itu, dan terkadang berlayar jauh ke tengah laut. Arsen sangat menjagaku, dia pun terus berlaku lembut tak pernah mengacuhkanku. Bahkan dia tak membiarkan aku melamun sedikit pun, dan selalu membuat lelucon agar aku terus tertawa di dekatnya. Ini seperti aku mendapatkan dunia yang tak pernah kutemui sebelumnya. Aku terlalu bahagia sampai aku menjadi sangat takut kehilangannya."Sini, biar aku yang memasangkan sun block di punggungmu," kata Arsen menawarkan diri, ketika aku metakkan benda itu di atas kursi malas. Tak menunggu persetujuanku, dia mengambilnya dan duduk di tepian kursi. "Belangai aku."Kejutan baru lagi, aku sangat terharu mendapat perlakuan seperti ini darinya. Dengan ragu kuputar tubuhku setelah lebih dulu menatap wajah lelaki yang baru menjadi suamiku itu.Arsen menyibak rambutku yang tergerai di pungg
Nara mengambil posisi duduk di sebelah Arsen. Bibirnya masih tersenyum menatapku, seakan dia mengatakan bahwaa dirinya pemenang di sini. Gadis itu menyentuh pergelangan tangan Arsen, merabanya sejenak."Singkirkan tanganmu!" kata Arsen, dan batinku tertawa di dalam sana ketika kulihat Arsen menepis tangan Nara. "Jaga sikapmu."Perlu kah aku menari melihat respons Arsen saat ini? Tadinya kupikir aku harus menahan hati melihat Arsen tergoda oleh mantan pacarnya itu, tapi sekarang terbukti bahwa dia sangat marah."Baik lah, Sayang, aku akan menjaga sikapku. Tapi ini bukan karena istrimu ada di depan kita," kata Nara manja, dia memutar kepalanya ke belakang dan kulihat dia melambaikan tangannya pada lelaki di ujung sana.Bukankah itu suaminya? Ya, aku masih ingat betul wajah suaminya yang sudah tua itu. Saat lampu menyorot wajahnya, pria tua itu tersenyum ke arah Nara dan datang ke tempat kami. Buru-buru Nara berdiri dan menyambut suaminya."Nara
"Jacky, apa harus seperti itu?" Nara memasang wajah tak senang. Tampak jelas dia sedang marah tapi berusaha menguasai dirinya. "Ini tidak lucu, Jack. Jangan membuat pernikahan orang lain menjadi tak bahagia karena ucapanmu yang tak masuk akal. Lihat, istri Arsen sedang mengandung tak seharusnya kau memprovokasinya," lanjut Nara.Bisa kutebak kalau Nara hanya tak ingin masa lalunya dan Arsen terungkap di depan pria tua itu, maka dia berusaha terlihat bijak di depanku. Padahal jika tak ada Jacky di sini, aku yakin dia lah yang akan sangat memaksa untuk ikut dengan kami. Aku muak, kesal, juga rasanya ingin kuremas mulutnya yang seakan peduli dengan perasaanku."Ini hanya sekedar minum, Sayang, apa yang salah? Apa menurutmu aku sedang melucu? Aku hanya ingin membuktikan ucapannya tempo hari. Lagian istrinya juga berhak tahu apa tujuan Arsen menikahinya, bukan? Sebagai wanita pastinya dia ingin mendapatkan cinta yang tulus dari Arsen. Bukan begitu, Nara?" Jacky bertanya pad
Jacky menatap Arsen dengan mata yang tak senang. Tampak benar seperti dia ingin membunuh suamiku. Aku takut jika tiba-tiba dia mengamuk dan memukul Arsen dengan botol minuman yang terletak di dekan kakinya. Nara mengambil inisiatif untuk memeluk suaminya itu, lalu dia berlagak manja."Sayang, jangan mendengarkan Arsen. Dia hanya bercanda untuk mencoba sejauh apa kau akan kesal melihatnya. Bukan begitu, Arsen? Kau hanya bercanda, betul?" kata Nara berusaha tersenyum, tapi aku bisa melihatnya sedang sangat takut di wajah itu.Arsen sama sekali tak terpengaruh oleh bujukan Nara, dia masih menatap Jacky dengan mata serius seakan menantang pria tua itu. Dan selanjutnya, Jacky sendiri lah yang mengubah ekspresinya."Ha ha ha." Jacky tertawa lebar. "Tentu saja aku tahu itu bercanda, kau hanya ingin melihat sejauh apa aku mencintai Nara-ku. Arsen, tak perlu kau coba mencobaiku seperti itu." Dia mengangkat gelas dan mengajak Arsen untuk bersulang.
Dia tersenyum sangat lebar, bahkan perlahan Nara membuk mulutnya sehingga tawa tanpa suara itu terlihat sangat besar. Aku malah berpikir mungkin mulutnya akan robek jika dia terus melebarkannya lagi. Dan dengan sangat singat dia menutup lagi mulut itu sebelum mundur ke belakang."Baru aku bilang itu saja kau sudah sangat terkejut, bagaimana jika aku benar-benar tidur dengannya?" katanya, diselingi tawa kecil yang keluar dari balik bibirnya. Ayolah, Nara, tadi kau sangat percaya diri menyebut Arsen tulus padamu. Kenpa sekarang kau terlihat rapuh? Aku sangat kesal kenapa Arsen harus mendapatkan istri lemah seperti dirimu."Aku lemah? Ya, anggap lah aku lemah karena hanya bisa menyuarakan semua ini di dalam kepalaku. Tapi dia mungkin tak tahu betapa aku ingin menjatuhkannya ke dalam laut. Amarahku sangat sulit dikontrol, sehingga kurasakan tubuhku gemetar untuk menahan diri."Menyedihkan," kataku tanpa sadar. Awalnya aku sudah berpikir untuk tidak meladeni perkataa
"Nara ..." panggil Arsen, dengan mata sayu menatap perempuan gila yang masih berdiri di depannya. "Nara ..." Dia mengulangi panggilan itu yang membuat darahku terasa turun sampai ke telapak kaki.Aku tak mampu berdiri lebih lama lagi di tempat ini dan ingin sekali berlari ke dalam sana. Tatapan sayu yang diberikan Arsen pada perempuan itu membuat ulu hatiku sangat sakit rasanya."Benar, ini aku Nara. Kau merindukanku, bukan? Arsen, aku sangat merindukanmu," sahut Nara cepat dan dia menghambur ke pelukan Arsen.Ini sudah sangat keterlaluan. Akhirnya aku tahu bahwa Arsen memang berbohong padaku. Dia masih menginginkan perempuan itu meski ada aku istrinya di sini. Jika tak mengingat Arsen pernah berkata agar aku tetap memeluknya di saat rapuh seperti ini, sudah kulepaskan pelukanku dari pinggangnya dan meninggalkan mereka berdua melakukan apa pun yang mereka ingin."Nara ..."Sekali lagi Arsen menyebut nama itu, sebelum dia mendorong Nara menjauh. Kem
Setelah membersihkan diri lebih dulu, kududukkan diri di depan meja rias yang besar itu. Hari ini Arsen akan kembali dari luar kota, dan kupikir ingin menyambut suamiku dengan dandanan yang sedikit menarik. Dia pasti merindukanku, dan akan semakin senang dia melihatku nanti dengan riasan ini. Setelahnya, tak lupa kuganti pakaian dengan gaun yang baru kubeli siang tadi, memang sengaja aku membelinya demi menyambut Arsen kembali.Tepat setelah kupikir siap, pintu kamar diketuk dari luar sana. Hatiku melambung seketika itu juga, menduga suamiku akhirnya kembali. Dengan sedikit berjingkrak, kubuka handel pintu sembari menyambut suamiku dengan kedua tangan melintang.“Selamat datang suamiku ...!” seruku sangat girang.Tapi apa ini? Bukannya wajah Arsen, tapi Bi Ratna lah yang berdiri di depanku. Sedikit malu aku dengan tatapan lurusnya yang tertuju pada penampilanku.“Eh, Bi Ratna. Ada apa, Bi?” tanyaku menghilangkan rasa gugup.
Sudah tiga hari ini Arsen harus pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan yang diminta oleh papanya. Jujur, aku sudah sangat merindukan suami yang sangat manja dan bawel itu, sampai-sampai ketika menyusukan Joseph pun hanya wajahnya lah yang terbayang di mataku. Mungkinkah ini yang disebut dengan jatuh cinta sangat dalam? Seperti aku tidak bisa mengendalikan diriku dari rasa rindu yang menggetarkan jiwa.Ketika baru saja kuletakkan Joseph di atas boks tidurnya, ponselku sudah berbunyi di atas nakas. Beruntung suara nyaring itu tidak mengganggu tidur putraku. Hanya menepuk bokongnya beberapa kali, Joseph sudah kembali terlelap. Ah ... itu ulah Arsen. Ketika dia akan berangkat tempo hari, Arsen membuat nada ponselku sangat besar. Katanya agar aku tidak beralasan tidak mendengar suara ponsel ketika dia menghubungiku.Dan lihat siapa yang menelepon sekarang? Siapa lagi jika bukan dia. Lantas kugeser layar ponselku pada posisi menerima, dan wajahnya segera terlih
"Ini, makan lah yang banyak."Arsen meletakkan sangat banyak potongan daging dan sayuran di atas piringku.
“Sayang, aku tidak melihat gelas kopinya!”Arsen berseru dari dapur, menghentikanku yang baru saja akan membuka baju.“Itu ada di laci atas kepalamu, Sayang. Mendongak lah dan buka lacinya!” balasku tak kalah kencang.“Laci yang mana? Aku tidak melihatnya!”Ini tidak akan berhasil. Jika aku terus berteriak, Joseph akan terbangun dari tidurnya yang belum lima belas menit. Lantas kubenarkan lagi letak pakaianku sembari mendatanginya ke dapur.Dia memang selalu begitu. Apa pun tak pernah terlihat oleh matanya. Entah karena malas mencari atau memang dia tak bisa menemukan sebuah barang dengan benar, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.“Di mana itu? Di mana gelas kopinya?”Kulihat Arsen tengah membuka-buka laci di atas kepalanya tapi tidak juga melihat gelas yang dia cari. Astaga ....Mengambil posisi berdiri di sebelahnya, kuraih salah satu gelas dari dalam laci dan menyera
Sejak pagi masih terbilang samar, semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri untuk menjemput Joseph ke rumah sakit. Ini terlalu membahagiakan sampai kami tidak sabar menunggu hari sedikit lebih siang.Lihat lah Papa Sudrajat yang sangat bersemangat menuruni anak tangga. Beliau lah yang lebih sibuk sejak tadi dan beliau pula yang lebih lama berbenah, seakan cucunya sudah bisa menilai penampilan seseorang.Aku tersenyum melihat papa mertua yang biasanya tak pernah absen berangkat ke kantor itu, kini seperti seorang anak kecil yang tidak menunggu diajak jalan-jalan.“Kalian belum siap? Sudah pukul sebelas, kita harus berangkat sekarang.”“Siapa yang sangat lama turun dari kamarnya? Kurasa kami sudah menunggu tiga puluh menit di sini,” sahut Mama Riana menimpali perkataan suaminya.“Kenapa tidak memanggilku jika begitu? Aku pikir kalian belum siap.”Aku dan Arsen hanya tertawa mendengar perbincangan dua orang
Tak dapat kuhindarkan pacuan jantung yang memicu sangat cepat kala mendengar perkataan dari papa mertua. Telapak tangan segera berkeringat dan dudukku tak bisa tenang sekarang. Bayangan buruk segera menghampiri kepala ini, membuat dugaan-dugaan buruk di dalam sana. Apakah Joseph mengalami penurunan? Tak sabar aku ingin mendengar penjelasan dari Papa Sudrajat. Dengan sedikit memajukan tubuh, aku lantas bertanya pada beliau. “Jo-Joseph? Apa yang terjadi pada Joseph?” Arsen segera memeluk dan memberikan kata-kata penenang untukku. Tapi suaranya seakan menghilang oleh pikiran buruk yang sudah lebih dulu merasuki pikiran ini. Tak sabar kutunggu papa mertua melanjutkan perkataannya yang tertunda. “Papa Mertua, katakan ada apa dengan Joseph-ku?” “Sayang, tenangkan dirimu. Kau tidak boleh seperti ini,” peringat Arsen, meremas pundakku tempat tangannya bertengger. Kemudian dia berbicara pada papanya. “Biar aku antar Nara ke atas, nanti papa bisa berbic
“Nara ....” Dia memanggil namaku pelan. Tangannya semakin dekat ke wajah, sehingga bisa aku rasakan udara yang dibawanya. Berusaha untuk tidak terpengaruh, aku kembali mengingatkannya meski suaraku terdengar bergetar. “Aku adik iparmu, Arlan. Kau tidak boleh melakukannya,” kataku, tapi Arlan tidak mengindahkan kalimat itu. Punggung jarinya menyentuh permukaan kulitku sehingga kaki di bawah sana semakin gemetar. Tidak. Jika seseorang berpikir aku menikmati perlakuannya, jelas itu salah. Aku hanya ingin menunjukkan pada lelaki ini bahwa aku tidak setakut yang dia bayangkan. Aku tidak ingin Arlan merasa diriku melihat dirinya seperti monster yang menakutkan dan harus dijauhi. Aku tidak ingin dia merasa dirinya tidak diinginkan oleh kami. Maksudku ... keluarga. Ya, karena sekarang aku adalah menantu di keluarganya, jadi aku juga menempatkan diri sebagai keluarga baginya. Harus kulihat, sejauh apa dia sebenarnya ingin dimengerti. Beberapa detik dia s
Arsen tahu Arlan memiliki perasaan padaku, sebab itu dia tak pernah merasa rela membiarkan aku pergi untuk menemui saudaranya. Dia tentunya takut jika masalah ini akan merembet lebih jauh lagi, sehingga membuat kegaduhan ke depannya. Tapi setelah kuyakinkan Arsen bahwa aku pasti bisa menjaga diri, dia hanya mengangguk ketika melepaskan aku pergi menemui saudaranya.“Hati-hati, Sayang. Ingat, kau harus segera menghubungiku jika sesuatu terjadi. Dan berusaha lah membuat Arlan tidak marah,” pesannya. Dia mengecup puncak kepalaku berkali-kali dan mengatakan dia sangat mencintai diriku.Ah ... aku sendiri juga merasa gemetar ketika memasuki apartemen milik Arlan, membayangkan mungkin dia akan semakin marah melihat kedatanganku.Ketika kutekan bell di sebelah pintu, seseorang lantas membukanya dan mengatakan Arlan berpesan tidak ingin diganggu.“Tapi ini sangat penting, Bi. Tolong biarkan aku masuk,” ucapku pada asisten rumah yang sudah
“Aku akan gila dengan semua ini.” Mama Riana tertunduk lemas. Sedangkan aku hanya bisa diam mengusap pundak mama mertua yang pastinya sedang sangat tertekan. Beliau memegangi wajah di atas kedua telapak tangannya dengan mulut yang terus saja mengoceh tentang kelakuan dua putranya yang ... memang sangat keterlaluan. “Bagaimana jika Naomi benar melakukan aborsi? Aku akan membunuh Arsen yang dengan bodohnya menyarankan hal gila itu padanya!” Beliau mengangkat wajah dan menatapku. “Lihat lah, Nara, aku adalah ibu yang gagal mendidik putra-putranya, sampai kalian harus menderita karena itu. Aku sangat menyesal yang selalu menuruti keinginan dua anak itu,” ucapnya lagi. Setiap kata yang beliau ucapkan adalah penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. Rasanya sangat tak adil, padahal bukan beliau yang bersalah. Semua ini adalah kesalahan Arlan dan juga Arsen yang sangat tidak tahu diri. “Jangan membeb