Matahari sudah semakin rendah di ufuk Barat. Aku melihat sinar keemasan di depan sana untuk mengalihkan perasaan sedih yang mencekik leherku. Saat ini pula lah aku tahu jika kapal kami sedang berjalan ke arah Barat. Aku tersenyum melihat cahaya keemasan itu untuk menghibur hati yang belum mampu kutata.
"Nara?" panggil Arsen, yang refleks membuat kepalaku berputar menghadapnya lagi.
"I- iya?" jawabku, menahan rasa panas yang memaksa keluar dari mata.
"Kau marah padaku?"
Marah? Apa aku berhak marah padanya? Meski ini sangat sakit, aku masih tahu diri bahwa perasaan adalah sesuatu yang tak mungkin dipaksakan. Kulihat dia dengan mata yang mulai mengembun, dan menutup kelopak mata ini rapat-rapat.
"Aku tak bisa marah meski itu memang iya. Arsen, perasaan adalah sesuatu yang tak bisa kita paksakan. Jika kau saja ak menginginkan lagi perasaan itu, tapi kau kesulitan membuangnya, bagaimana bisa aku marah padamu?" kataku. "Ya aku terluka mendeng
"Arsen, tangkap!"Aku melemparkan topi pada Arsen yang sedang duduk dengan joran pancingnya di tepi kapal. Dia menyambut topi itu sangat cepat, dan kedua matanya berkedip bersamaan menggodaku, lalu mengenakannya di kepala. Aku berlarian kecil ke arahnya dan mengambil tempat duduk di sebelahnya."Ikannya sangat banyak tapi tak satu pun yang kudapat," keluh Arsen dengan mata menatap ikan-ikan di bawah sana. "Apa kailnya tidak bagus? Perlu kah kita menepi lagi untuk membeli kail baru?" Dia berbicara dengan nadanya yang mulai kesal.Bahkan dia belum duduk sepuluh menit di sini, sudah tak sabaran."Itu lah yang namanya memancing ikan, Arsen, kita harus memakai kesabaran," kataku yang sibuk memasangkan umpan pada mata kail.Sebenarnya, dia sangat menolak ketika aku mengajaknya memancing. Katanya ini adalah pekerjaan yang membosankan dan pemalas juga tak menghasilkan uang. Aku heran dengan isi kepalanya yang hanya memikirkan mendapat uang. Tapi sete
Sudah tiga hari kami menghabiskan waktu bulan madu ini di dalam kapal. Sesekali kami bersandar ke pulau untuk menikmati keindahan pulau-pulau kecil itu, dan terkadang berlayar jauh ke tengah laut. Arsen sangat menjagaku, dia pun terus berlaku lembut tak pernah mengacuhkanku. Bahkan dia tak membiarkan aku melamun sedikit pun, dan selalu membuat lelucon agar aku terus tertawa di dekatnya. Ini seperti aku mendapatkan dunia yang tak pernah kutemui sebelumnya. Aku terlalu bahagia sampai aku menjadi sangat takut kehilangannya."Sini, biar aku yang memasangkan sun block di punggungmu," kata Arsen menawarkan diri, ketika aku metakkan benda itu di atas kursi malas. Tak menunggu persetujuanku, dia mengambilnya dan duduk di tepian kursi. "Belangai aku."Kejutan baru lagi, aku sangat terharu mendapat perlakuan seperti ini darinya. Dengan ragu kuputar tubuhku setelah lebih dulu menatap wajah lelaki yang baru menjadi suamiku itu.Arsen menyibak rambutku yang tergerai di pungg
Nara mengambil posisi duduk di sebelah Arsen. Bibirnya masih tersenyum menatapku, seakan dia mengatakan bahwaa dirinya pemenang di sini. Gadis itu menyentuh pergelangan tangan Arsen, merabanya sejenak."Singkirkan tanganmu!" kata Arsen, dan batinku tertawa di dalam sana ketika kulihat Arsen menepis tangan Nara. "Jaga sikapmu."Perlu kah aku menari melihat respons Arsen saat ini? Tadinya kupikir aku harus menahan hati melihat Arsen tergoda oleh mantan pacarnya itu, tapi sekarang terbukti bahwa dia sangat marah."Baik lah, Sayang, aku akan menjaga sikapku. Tapi ini bukan karena istrimu ada di depan kita," kata Nara manja, dia memutar kepalanya ke belakang dan kulihat dia melambaikan tangannya pada lelaki di ujung sana.Bukankah itu suaminya? Ya, aku masih ingat betul wajah suaminya yang sudah tua itu. Saat lampu menyorot wajahnya, pria tua itu tersenyum ke arah Nara dan datang ke tempat kami. Buru-buru Nara berdiri dan menyambut suaminya."Nara
"Jacky, apa harus seperti itu?" Nara memasang wajah tak senang. Tampak jelas dia sedang marah tapi berusaha menguasai dirinya. "Ini tidak lucu, Jack. Jangan membuat pernikahan orang lain menjadi tak bahagia karena ucapanmu yang tak masuk akal. Lihat, istri Arsen sedang mengandung tak seharusnya kau memprovokasinya," lanjut Nara.Bisa kutebak kalau Nara hanya tak ingin masa lalunya dan Arsen terungkap di depan pria tua itu, maka dia berusaha terlihat bijak di depanku. Padahal jika tak ada Jacky di sini, aku yakin dia lah yang akan sangat memaksa untuk ikut dengan kami. Aku muak, kesal, juga rasanya ingin kuremas mulutnya yang seakan peduli dengan perasaanku."Ini hanya sekedar minum, Sayang, apa yang salah? Apa menurutmu aku sedang melucu? Aku hanya ingin membuktikan ucapannya tempo hari. Lagian istrinya juga berhak tahu apa tujuan Arsen menikahinya, bukan? Sebagai wanita pastinya dia ingin mendapatkan cinta yang tulus dari Arsen. Bukan begitu, Nara?" Jacky bertanya pad
Jacky menatap Arsen dengan mata yang tak senang. Tampak benar seperti dia ingin membunuh suamiku. Aku takut jika tiba-tiba dia mengamuk dan memukul Arsen dengan botol minuman yang terletak di dekan kakinya. Nara mengambil inisiatif untuk memeluk suaminya itu, lalu dia berlagak manja."Sayang, jangan mendengarkan Arsen. Dia hanya bercanda untuk mencoba sejauh apa kau akan kesal melihatnya. Bukan begitu, Arsen? Kau hanya bercanda, betul?" kata Nara berusaha tersenyum, tapi aku bisa melihatnya sedang sangat takut di wajah itu.Arsen sama sekali tak terpengaruh oleh bujukan Nara, dia masih menatap Jacky dengan mata serius seakan menantang pria tua itu. Dan selanjutnya, Jacky sendiri lah yang mengubah ekspresinya."Ha ha ha." Jacky tertawa lebar. "Tentu saja aku tahu itu bercanda, kau hanya ingin melihat sejauh apa aku mencintai Nara-ku. Arsen, tak perlu kau coba mencobaiku seperti itu." Dia mengangkat gelas dan mengajak Arsen untuk bersulang.
Dia tersenyum sangat lebar, bahkan perlahan Nara membuk mulutnya sehingga tawa tanpa suara itu terlihat sangat besar. Aku malah berpikir mungkin mulutnya akan robek jika dia terus melebarkannya lagi. Dan dengan sangat singat dia menutup lagi mulut itu sebelum mundur ke belakang."Baru aku bilang itu saja kau sudah sangat terkejut, bagaimana jika aku benar-benar tidur dengannya?" katanya, diselingi tawa kecil yang keluar dari balik bibirnya. Ayolah, Nara, tadi kau sangat percaya diri menyebut Arsen tulus padamu. Kenpa sekarang kau terlihat rapuh? Aku sangat kesal kenapa Arsen harus mendapatkan istri lemah seperti dirimu."Aku lemah? Ya, anggap lah aku lemah karena hanya bisa menyuarakan semua ini di dalam kepalaku. Tapi dia mungkin tak tahu betapa aku ingin menjatuhkannya ke dalam laut. Amarahku sangat sulit dikontrol, sehingga kurasakan tubuhku gemetar untuk menahan diri."Menyedihkan," kataku tanpa sadar. Awalnya aku sudah berpikir untuk tidak meladeni perkataa
"Nara ..." panggil Arsen, dengan mata sayu menatap perempuan gila yang masih berdiri di depannya. "Nara ..." Dia mengulangi panggilan itu yang membuat darahku terasa turun sampai ke telapak kaki.Aku tak mampu berdiri lebih lama lagi di tempat ini dan ingin sekali berlari ke dalam sana. Tatapan sayu yang diberikan Arsen pada perempuan itu membuat ulu hatiku sangat sakit rasanya."Benar, ini aku Nara. Kau merindukanku, bukan? Arsen, aku sangat merindukanmu," sahut Nara cepat dan dia menghambur ke pelukan Arsen.Ini sudah sangat keterlaluan. Akhirnya aku tahu bahwa Arsen memang berbohong padaku. Dia masih menginginkan perempuan itu meski ada aku istrinya di sini. Jika tak mengingat Arsen pernah berkata agar aku tetap memeluknya di saat rapuh seperti ini, sudah kulepaskan pelukanku dari pinggangnya dan meninggalkan mereka berdua melakukan apa pun yang mereka ingin."Nara ..."Sekali lagi Arsen menyebut nama itu, sebelum dia mendorong Nara menjauh. Kem
Arsen melihatku lama. Alisnya menukik ke bawah dan garis bibirnya lurus di tempat. Kurasa sepertinya aku sudah salah bertanya seprti itu."Ma-maaf, aku tak bermaksud tidak percaya padamu. Aku ... anggap saja kau tak mendengarnya. Ya, anggap kau tak mendengar pertanyaanku," ucapku, segera kugigit bibir agar tidak lagi mengatakan apa pun."Hum?" gumamnya. "Tapi sudah mendengarnya, Nara." Lalu bibirnya berkedut tak bisa menahan rasa ingin tertawa yang langsung lepas begitu saja. Arsen tertawa, ya ... dia tertawa membuat rasa gugupku memudar."Buat apa aku keluar? Istriku tidur di sisiku, dan aku harus pergi ke luar sana dalam keadaan mabuk berat?" katanya, lantas mencubit kecil daguku. "Banyak hiu di dalam laut, bisa saja aku terjatuh ke sana dan jadi santapannya."Huft ... syukurlah dia tidak marah justru mengecup pelan puncak kepalaku. Rasanya bulan madu kami begitu indah, layaknya pasangan yang menikah saling mencintai."Kau