Aku mematung melihat perempuan itu menjalarkan tangannya di dada Arsen. Sakit, tentu saja aku merasakan dadaku membara oleh kobaran api di dalam sana. Rasa cemburu sudah membakarku, ketika kulihat Arsen hanya mematung diperlakukan seperti itu. Maka aku menghampiri mereka dan menatap Nara dengan mata menyalang.
"Apa yang kau lakukan di sini? Keluar sekarang juga!" sentakku, dengan suara berapi-api.
Tapi Nara hanya melihat aku sekilas, lalu kembali saling menatap dengan Arsen.
"Kenapa dengan istrimu? Kau belum mengatakan tentangku padanya?"
"Dan kau pikir tentangmu sangat penting sehingga Arsen harus membeberkannya pada semua orang? Keluar dari sini!" sentakku sekali lagi.
Tak kusangka, kini mata Arsen menatapku dengan mata yang tak senang. Bibirnya saling mengatup dan dia sama sekali tak menepis tangan Nara dari dadanya.
"Keluar sekarang!" ucapnya dengan nada berat dan menakutkan.
Tunggu ... pada siapa dia berkata seperti itu? Ak
"Sepertinya kalian memang ribut, ya?" tanya Mama Riana penuh selidik. Matanya menatapku dengan seksama, menunggu aku memberi penjelasan.Jika kujawab 'ya', bukankah itu sangat memalukan? Ini masih hari pertama setelah kami menikah. Pernikahan macam apa yang langsung ribut di hari pertamanya? Kesannya pasti lah lebih buruk dan menyedihkan bagiku. Lantas, aku memaksa bibirku tersenyum meski terasa sulit sekali."Ah? Bu-bukan begitu. Pagi tadi Arsen keluar, jadi kupikir dia ke kantor. Mungkin karena aku belum terbiasa jadi istrinya, aku tak bertanya dia akan ke mana," elakku berbohong. Memalukan memang, karena kulihat Mama Riana memasang muka seakan berkata, 'Kau serius, Nara? Bagaimana bisa kau tak bertanya ke mana suamimu?'"Oh ... jadi begitu rupanya. " Mama Riana menepuk pundakku pelan. "Dia tidak bekerja, mungkin Arsen pergi menemui Arlan. Kau tau, mereka sangat dekat dan selalu membuat waktu bertemu setiap hari. Apalagi Arlan tak lama di aca
"Duduk lah," kata Arsen begitu kami tiba di rumah. Aku mengikuti perkataannya, duduk di tepian ranjang sembari menunggu intruksi selanjutnya. Dia bersandar pada meja nakas dengan kedua tangan dilipat di depan dada, melihat aku yang hanya lurus menatap dadanya. Sungguh, aku terlalu takut memikirkan apa yang akan Arsen bicarakan padaku. Entah kah dia akan menyuruh aku untuk tidak mengusik hubungannya dengan Nara yang lain? Dan kurasakan hatiku berdarah membayangkan andai dia memang ingin seperti itu. "Kau mencariku ke kantor?" tanya Arsen, yang aku jawab dengan anggukan. Dia mengangguk pula dua kali pertanda memahami jawabanku. "Kau pasti berpikir aku menemuinya, kan? Itu sebabnya kau datang memastikan." Ya. Dia tak salah dengan pemikirannya, dan aku sendiri juga tak ingin berbohong. Sekali lagi aku anggukkan kepala pertanda dugaannya benar. "Aku memang baru saja menemuinya, tapi ini tidak seperti yang kau pikirkan. Kami hanya ingin benar-benar me
Tadinya kupikir Arsen hanya ingin membawaku berbulan madu di tempat yang dekat-dekat saja. Aku hanya bersiap seadanya dengan travel bag kecil yang menampung dua pasang pakaian kami. Tapi di sini lah kami sekarang, di sebuah kapal pribadi milik keluarganya, duduk berhadapan. Dan jangan lupakan sudah pasti aku kebingunan akan ke mana kami sebenarnya."Kau mengantuk?" tanya Arsen lembut. Perhatian yang begitu baiknya membuat aku gugup sejenak."Ti- tidak juga," jawabku tergagu.Arsen berpindah ke sebelahku dan menekan tombol setting kursi yang kududuki. "Kau harus nyaman, pasti sangat lelah jika sandaranmu tidak sempurna." Dia membuat kursi itu lebih rebah agar punggungku nyaman."Arsen, kita akan ke mana?" Kubuka mulut untuk bertanya, dan dia meminkan sebelah alisnya. Apakah ada yang salah atas pertanyaanku?"Berbulan madu. Bukannya kita sudah mengatakan itu tadi?"Oh ya, benar. Bahkan anak kecil pun tak akan lupa dengan perkataann
Matahari sudah semakin rendah di ufuk Barat. Aku melihat sinar keemasan di depan sana untuk mengalihkan perasaan sedih yang mencekik leherku. Saat ini pula lah aku tahu jika kapal kami sedang berjalan ke arah Barat. Aku tersenyum melihat cahaya keemasan itu untuk menghibur hati yang belum mampu kutata."Nara?" panggil Arsen, yang refleks membuat kepalaku berputar menghadapnya lagi."I- iya?" jawabku, menahan rasa panas yang memaksa keluar dari mata."Kau marah padaku?"Marah? Apa aku berhak marah padanya? Meski ini sangat sakit, aku masih tahu diri bahwa perasaan adalah sesuatu yang tak mungkin dipaksakan. Kulihat dia dengan mata yang mulai mengembun, dan menutup kelopak mata ini rapat-rapat."Aku tak bisa marah meski itu memang iya. Arsen, perasaan adalah sesuatu yang tak bisa kita paksakan. Jika kau saja ak menginginkan lagi perasaan itu, tapi kau kesulitan membuangnya, bagaimana bisa aku marah padamu?" kataku. "Ya aku terluka mendeng
"Arsen, tangkap!"Aku melemparkan topi pada Arsen yang sedang duduk dengan joran pancingnya di tepi kapal. Dia menyambut topi itu sangat cepat, dan kedua matanya berkedip bersamaan menggodaku, lalu mengenakannya di kepala. Aku berlarian kecil ke arahnya dan mengambil tempat duduk di sebelahnya."Ikannya sangat banyak tapi tak satu pun yang kudapat," keluh Arsen dengan mata menatap ikan-ikan di bawah sana. "Apa kailnya tidak bagus? Perlu kah kita menepi lagi untuk membeli kail baru?" Dia berbicara dengan nadanya yang mulai kesal.Bahkan dia belum duduk sepuluh menit di sini, sudah tak sabaran."Itu lah yang namanya memancing ikan, Arsen, kita harus memakai kesabaran," kataku yang sibuk memasangkan umpan pada mata kail.Sebenarnya, dia sangat menolak ketika aku mengajaknya memancing. Katanya ini adalah pekerjaan yang membosankan dan pemalas juga tak menghasilkan uang. Aku heran dengan isi kepalanya yang hanya memikirkan mendapat uang. Tapi sete
Sudah tiga hari kami menghabiskan waktu bulan madu ini di dalam kapal. Sesekali kami bersandar ke pulau untuk menikmati keindahan pulau-pulau kecil itu, dan terkadang berlayar jauh ke tengah laut. Arsen sangat menjagaku, dia pun terus berlaku lembut tak pernah mengacuhkanku. Bahkan dia tak membiarkan aku melamun sedikit pun, dan selalu membuat lelucon agar aku terus tertawa di dekatnya. Ini seperti aku mendapatkan dunia yang tak pernah kutemui sebelumnya. Aku terlalu bahagia sampai aku menjadi sangat takut kehilangannya."Sini, biar aku yang memasangkan sun block di punggungmu," kata Arsen menawarkan diri, ketika aku metakkan benda itu di atas kursi malas. Tak menunggu persetujuanku, dia mengambilnya dan duduk di tepian kursi. "Belangai aku."Kejutan baru lagi, aku sangat terharu mendapat perlakuan seperti ini darinya. Dengan ragu kuputar tubuhku setelah lebih dulu menatap wajah lelaki yang baru menjadi suamiku itu.Arsen menyibak rambutku yang tergerai di pungg
Nara mengambil posisi duduk di sebelah Arsen. Bibirnya masih tersenyum menatapku, seakan dia mengatakan bahwaa dirinya pemenang di sini. Gadis itu menyentuh pergelangan tangan Arsen, merabanya sejenak."Singkirkan tanganmu!" kata Arsen, dan batinku tertawa di dalam sana ketika kulihat Arsen menepis tangan Nara. "Jaga sikapmu."Perlu kah aku menari melihat respons Arsen saat ini? Tadinya kupikir aku harus menahan hati melihat Arsen tergoda oleh mantan pacarnya itu, tapi sekarang terbukti bahwa dia sangat marah."Baik lah, Sayang, aku akan menjaga sikapku. Tapi ini bukan karena istrimu ada di depan kita," kata Nara manja, dia memutar kepalanya ke belakang dan kulihat dia melambaikan tangannya pada lelaki di ujung sana.Bukankah itu suaminya? Ya, aku masih ingat betul wajah suaminya yang sudah tua itu. Saat lampu menyorot wajahnya, pria tua itu tersenyum ke arah Nara dan datang ke tempat kami. Buru-buru Nara berdiri dan menyambut suaminya."Nara
"Jacky, apa harus seperti itu?" Nara memasang wajah tak senang. Tampak jelas dia sedang marah tapi berusaha menguasai dirinya. "Ini tidak lucu, Jack. Jangan membuat pernikahan orang lain menjadi tak bahagia karena ucapanmu yang tak masuk akal. Lihat, istri Arsen sedang mengandung tak seharusnya kau memprovokasinya," lanjut Nara.Bisa kutebak kalau Nara hanya tak ingin masa lalunya dan Arsen terungkap di depan pria tua itu, maka dia berusaha terlihat bijak di depanku. Padahal jika tak ada Jacky di sini, aku yakin dia lah yang akan sangat memaksa untuk ikut dengan kami. Aku muak, kesal, juga rasanya ingin kuremas mulutnya yang seakan peduli dengan perasaanku."Ini hanya sekedar minum, Sayang, apa yang salah? Apa menurutmu aku sedang melucu? Aku hanya ingin membuktikan ucapannya tempo hari. Lagian istrinya juga berhak tahu apa tujuan Arsen menikahinya, bukan? Sebagai wanita pastinya dia ingin mendapatkan cinta yang tulus dari Arsen. Bukan begitu, Nara?" Jacky bertanya pad