Membuka pintu rumahnya, lalu masuk tanpa rasa bersalah sedikitpun, Cala berniat ingin pergi ke kamarnya langsung, sampai sebuah suara dari arah sampingnya membuatnya menghentikan langkah.
"Ingat pulang Raga?"
Cala memalingkan muka ke sumber suara berasal dan mendapati orang yang menyandang status sebagai nyonya rumah ini sedang duduk dengan postur anggun sambil menyesap teh, dan ditemani dengan sifon cake yang diletakkan di atas meja.
Ketika Ressi menyapa pria yang tak lain adalah suaminya, ekspresi wajahnya tampak datar seakan yang kini menatapnya balik bukan suaminya melainkan orang asing.
Cala terdiam mendengar sapaan sarkas itu dan memandang wanita tersebut dengan raut datarnya.
"Aromamu persis seperti wanita murahan itu ... menjijikkan!" ujar Ressi lagi menyindir Cala dengan senyuman manis yang dibuat-buat.
Suara yang Ressi ucapkan terdengar lembut dan tidak ada kesan menunjukkan emosi lain dari wanita itu sama sekali. Namun, bagi Cala yang mendengarnya, kemarahan segera bergumul di rongga dada pria tersebut.
"Tarik kata-katamu, Ressi!" ujarnya keras sambil mengetatkan rahangnya menahan kemarahan.
"Yang mana Raga? Kata-kataku yang mana yang harus aku tarik?" dengan sikap menantang, Ressi balik bertanya, "Kamu tahu sendiri aku tidak banyak mengeluarkan kata-kata bukan?"
Kelembutan dan kepolosan Ressi yang tampak munafik itu justru terasa amat memuakkan bagi Cala kini. Sehingga tanpa berkata-kata, pria itu segera meninggalkan ruangan tersebut.
Setelah Cala meninggalkan tempat itu dan meninggalkan Ressi seorang diri, pegangan wanita itu pada cangkir tehnya jadi goyah. Jantungnya terasa seperti akan meledak karena kebencian, kebencian yang menggunung pada wanita yang menjadi tempat Cala menghabiskan akhir pekannya. Meski di waktu normal sang suami menghabiskan waktu dengannya dan Valeri, itu hanya kepalsuan belaka yang pria itu tunjukkan demi menjaga citranya.
Dengan gemetaran Ressi meminum tehnya demi menenangkan suasana hatinya yang berkecamuk. Tak masalah, lagipula kenyataannya yang semua orang tahu, dia-lah yang menyandang nama Ragananta di belakang namanya. Sedangkan wanita murahan itu hanya berstatus wanita simpanan saja. Setidaknya, dia selangkah lebih maju daripada model menjijikkan itu.
Usai membersihkan diri, Cala kembali keluar menuju ruang makan. Matanya terpejam dengan tarikan nafas yang kasar ketika mendapati Ressi telah duduk di sana dengan Valeri.
Setelah berhasil memenangkan diri, Cala mengatur senyum semanis mungkin. Dia memeluk sang istri lalu mencium pelipis wanita itu singkat. Setelahnya, dia berganti memeluk Valeri dan menghujani gadis kecil itu dengan ciuman di seluruh wajahnya. Sampai gadis itu terkekeh geli, dan meminta agar daddynya berhenti melakukan itu.
"Daddy enough! Please, stop it ... hahaha ini geli, Dad."
"Owh, my baby girl. This is not enough, Daddy sangat merindukanmu," Cala memasang wajah sedih saat menatap putrinya.
"Really, Daddy? You miss me? Kalau rindu pada Valeri kenapa Daddy tidak di rumah kemarin?" tanya gadis itu dengan wajah polosnya yang tampak tak berdosa.
Inginnya Ressi mengatakan 'skakmat' sambil menyeringai lebar. Namun sebagai gantinya, yang dia lakukan hanya menatap keduanya dengan senyuman lembut.
"Sudah, jangan ganggu daddy, Sayang. Ayo kita makan, nanti kamu bisa terlambat ke sekolah."
Dengan semangat Valeri segera menghadap piringnya, melanjutkan sarapan seperti ucapan sang ibu. "Okay, Mom."
Ressi selalu berusaha menjadi istri dan ibu yang baik bagi Cala dan Valeri. Dengan telaten dia mengambilkan makanan untuk keduanya. Baru setelah suami dan anaknya terlayani dengan baik, dia akan mulai mengisi piringnya sendiri dengan makanan.
Di hadapan sang putri atau orang lain, citra seorang Ressi sebagai istri dan seorang ibu memang tanpa cela. Cala pun mengakuinya. Jika itu pria lain, pasti memiliki Ressi sebagai istri merupakan keberkahan di dalam hidup.
Pria lain bisa dengan mudah jatuh cinta pada Ressi, namun tidak bagi Cala yang bodoh karena cinta. Seperti sebuah drama, kisah rumah tangga mereka rumit dan penuh intrik untuk saling menjegal dan menjatuhkan.
Bisa dikatakan mungkin Cala cukup egois, sebab dia selalu mengawasi tindak dan perilaku Ressi. Entah Ressi yang bermain bersih, atau memang wanita itu bisa dengan mudah hidup selibat.
Tidak pernah sekalipun Cala memergoki Ressi berselingkuh, meski banyak kesempatan Ressi miliki untuk melakukan itu. Membuat Cala seperti bajingan yang sebenarnya, yang dengan tidak tahu malu menyeleweng dari keluarga yang terlihat begitu harmonis dan bahagia.
'Cih, bahagia katanya?' batin Cala mengumpati kehidupan yang dia jalani.
"Mom, aku mau tambah sayurnya." Valeri menyodorkan piringnya pada Ressi, membuat Ressi yang hendak menyuap nasi ke dalam mulutnya meletakkan kembali sendok tersebut.
Entah bagaimana, tiba-tiba Cala menyela. "Sama daddy saja ya, biar Mommy makan dulu."
Mendapati perhatian tiba-tiba itu menyebabkan netra Ressi berkaca-kaca. Dia pun menunduk demi menyembunyikan sepasang mata sedihnya. Ia berusaha fokus pada makanan di hadapannya sambil merutuki sang suami yang suka berubah-ubah sikap.
'Dasar bodoh! Jika kamu tidak mau berbaik hati menempatkan aku di hatimu, maka konsistenlah dengan sikapmu Raga! Jangan menjadi plin-plan seolah kamu memberi akses untukku masuk ke dalam hatimu yang telah dibekukan wanita itu.'
Valeri tertawa riang saat daddynya mengambilkan sayur untuk dirinya. Membuat Cala berfikir, mungkin Valeri memang tidak mewarisi sifat ibunya sedikitpun, namun untuk urusan makan putrinya itu benar-benar mirip dengan ibunya.
Mengelus puncak kepala putrinya, Cala berkata dengan bangga. "Kamu suka sayur ya, mirip ibumu."
Valeri tersenyum riang hingga menampilkan satu lesung pipit yang dalam di pipi sebelah kirinya.
Di sisi lain, Ressi menatap nanar sayur di dalam piring, senyum sedih tersungging di bibirnya. Dengan gemetar dia kembali menyuap makanan sesendok demi sesendok, lalu menelan makanan itu yang entah mengapa terasa sulit ditelan, seolah dia baru saja menelan bongkahan batu sampai dia harus mendorong makanan itu dengan air.
Air mata menggenang di pelupuk mata Ressi. Dia berpikir, setiap kali berada di satu tempat yang sama, kenapa harus seperti ini? Cala seolah melambungkan dirinya tinggi ke langit. Di lain waktu, Cala jua lah yang menghempaskan dirinya sampai ke dasar kerak bumi tanpa belas kasihan.
Tidak sanggup lagi menelan makanannya, Ressi mendorong piringnya menjauh. Lalu, ia meminum air banyak-banyak demi meredakan kelat yang terasa di tenggorokan.
"Mommy sudah selesai makannya? Kok, tidak habis?" Valeri memandang sang ibu dengan raut heran, kemarin saat daddynya tidak ada di rumah, mommy-nya itu terlihat makan begitu lahap dan banyak.
"Iya sayang, mommy sudah selesai. Tidak apa-apa, mommy hanya kurang enak badan saja, Valeri. Ayo segera habiskan makananmu, nanti berangkat sekolah diantar mommy dan om Revan ya."
"Kamu istirahat saja, biar Valeri aku yang antar ke sekolah."
Ressi terpaku mendengar penuturan Cala, dia membeku seolah sedang berada di dunia lain. Seakan yang dia dengar barusan bukanlah Cala yang mengatakannya, namun malaikat yang iba pada dirinya.
"A-apa ... ?"
Bersambung…"A-apa ... ?" tidak yakin, Ressi bertanya dengan nada yang amat lirih namun masih bisa didengar oleh Cala. Berdecak pelan karena Cala malas mengulang perkataannya. Namun, dia tetap mengulanginya juga agar Ressi mendengar dengan jelas ucapannya. "Kamu mengatakan jika tidak enak badan kan? Maka istirahatlah. Biar Valeri berangkat bersamaku," ulangnya dengan lebih tegas. Mau se-tidak-suka apapun Cala pada Ressi, dia tetaplah wanita yang harus Cala perlakukan dengan baik. Tanpa pria itu sadari jika perlakuannya akan menjadi bumerang baginya di kemudian hari. "Istirahatlah, jangan melakukan aktivitas apapun. Apa gunanya aku mempekerjakan asisten rumah tangga, jika kamu tetap melakukan semuanya sendiri." gumamnya terdengar mengeluh, "Ayo Valeri, kamu sudah ambil tas kamu, baby?" "Sudah, Dad. Ada di sofa di ruang tamu." Saat berjalan keluar dari ruang makan, Valeri melompat-lompat dengan perasaan bahagia karena hari ini dia akan pergi ke sekolah bers
Setelah mati-matian berusaha mengeluarkan pertanyaan yang bercokol di kepalanya, akhirnya Valeri mampu bertanya pada sang ayah meski dengan lirih. Gadis kecil itu langsung menunduk tanpa berani menatap Cala yang masih memaku pandang padanya. Valeri merasa terintimidasi dengan aura Cala, yang terkadang tanpa sengaja pria itu keluarkan saat merasa defensif dengan hal-hal berbau Sissylia. Menarik nafas dalam, lalu mengeluarkannya dengan sedikit keras. Cala memejamkan matanya erat-erat, lalu membenturkan belakang kepalanya pada sandaran jok mobil. Dia tahu bahwa suatu saat, dia akan mendapat pertanyaan seperti ini dari putrinya. Akan tetapi dia tidak menyangka bahwa hal itu akan terjadi secepat ini. Baru saja dia merasakan bahagia bersama Sissy, tapi sekarang dia ditampar dengan kenyataan ada Valeri di sisinya, yang nantinya butuh penjelasan dari apa yang telah dia lakukan selama ini. Salahnya juga yang tidak meredam berita yang bergulir di media hingga putrinya pu
Perjalanan menuju kantor dari sekolah Valeri memakan waktu cukup lama, untung saja kantor itu milik Cala sendiri. Lagipula jam kerja di sana cukup fleksibel namun tetap menuntut tanggung jawab besar dari para karyawannya. Yah setidaknya mereka harus tahu diri meski sudah dimudahkan bekerja di perusahaan.Jahat?Ah tidak juga, hanya semua memang butuh timbal-balik kan.Sesampainya di kantor, asisten Cala sudah menunggu di pintu depan. Turun dari mobil Cala mulai mendengarkan Dera yang menuturkan apa saja jadwalnya hari ini. Cala tidak suka memiliki asisten perempuan bahkan kalau bisa dia ingin agar pegawai kantornya laki-laki semua. Bukan karena dia mendiskriminasi perempuan, hanya saja perempuan dan mulut pedasnya sudah tidak bisa ditolerir lagi.Tapi kantornya juga butuh pekerja wanita setidaknya untuk menarik klien. Ayolah ... Dia juga bukan orang yang munafik, dia hanya menjadikan pegawai wanita sebagai umpan untuk memancing klien. Si
Resepsionis tersebut menelepon seseorang yang Sissy yakini adalah Xadera, asisten Cala. Mengucapkan sederet kata mengenai kehadiran Sissy dengan wajah sedikit tidak rela, juga kentara sekali memandang Sissy dengan tatapan remeh. Namun, tidak ada sepatah kata penghinaan yang keluar dari bibir tipis resepsionis tersebut. Meletakkan gagang telepon kembali, resepsionis bernama Feby itu pun memasang senyum bisnis. Kemudian mempersilahkan Sissy agar langsung menuju ruangan Arcala menggunakan lift petinggi kantor tersebut. Sissy sudah sering kemari jadi dia sangat hafal di mana letak ruangan kekasihnya itu. Berbalik menuju lift, dia merasakan punggungnya begitu panas dan lehernya meremang. Sensasi itu akan selalu dia dapatkan ketika mengunjungi Arcala dan dia harus selalu tahan dengan penghakiman orang lain. Memasuki lift, begitu pintu lift menutup dia menekan nomor lantai tujuannya. Lalu dia mematut diri pada kaca yang terpasang di dinding lift, kemeja sifon lengan panjang, rok pensil lima
Senyum Arcala mengembang saat Sissylia duduk di atas pangkuannya, meski dia lelah memikirkan rumah. Semua rasa lelahnya seakan luntur ketika dia bersama dengan kekasihnya.Masa bodoh dengan pekerjaan, dia menggaji semua karyawannya bukan untuk berleha-leha saja. Lebih bagus lagi skill Xadera sudah cukup mumpuni untuk meng-handle seluruh pekerjaannya.Hatinya bergejolak mengingat hubungan yang dia miliki, sekaligus status yang mengikatnya selama ini.Belum lagi pemberitaan mengenai dirinya dan juga Sissylia yang selama ini bergulir di media. Seakan ada orang di balik semua skandal yang di-blow up. Sebab semakin dirinya berusaha menutup pemberitaan tersebut, semakin beritanya meledak seperti bola panas.Yang menyulitkan, tiap kali dua berusaha melacak si pembuat berita. Dia pasti kehilangan jejak, seakan itu bukanlah perbuatan manusia tetapi iblis yang tak terlihat."Kamu sudah makan?" tanya Arcala pada wanita yang bergelayut manja pada dirinya."Belum, selesai photoshoot aku langsung ke
Cala suka ketika Sissy lepas seperti ini. Begitu cantik, indah di hadapannya dan itu hanya miliknya seorang.Desahan keduanya saling bersambut, bahkan tidak cukup dengan duduk di kursi. Meja kerja pun tak luput dari keduanya yang tengah meluap memadu cinta tanpa kenal lelah menghujam Sissy. Berkali-kali wanita itu mengais orgasmenya sedangkan Cala sekalipun belum menunjukkan tanda-tanda akan sampai.Kali ini imajinasi Sissy tercapai karena Sissy terlalu lemas. Namun, Cala masih belum juga selesai. Memilih karpet lembut sebagai tempat baru, Cala merebahkan Sissy di karpet tersebut. Mengangkat kedua tungkai kaki Sissy ke pundaknya, Cala menghujam lebih dalam, lebih keras berusaha mengejar orgasmenya sendiri. Terlihat dari intensitas hujaman Cala yang semakin pelan, namun dia tekan cukup lama dan dalam pada Sissy.Sissy meraih orgasme keempatnya bersamaan dengan Cala yang juga mencapai puncak. Pria itu ambruk di samping Sissy, keduanya tersengal-s
Keluar dari ruangan bosnya, Dera bersiap menuju butik yang diminta oleh Cala, setelah dia mendapat pesan dari Cala. Membuat dia sangat bernafsu menenggelamkan bosnya itu ke dalam segitiga bermuda tanpa syarat, atau menumbalkan Cala pada harimau jadi-jadian yang siapa tahu bisa membuatnya kaya raya.Yang pasti itu hanya ada dalam angan-angan Dera saja. Siapa pula yang akan menggaji dirinya jika Cala dia tumbalkan.Mengendarai mobil sendiri, Dera hanya berharap semoga saja jalanan tidak macet kali ini. Karena sejujurnya dia malas sekali untuk keluar, salahkan bosnya yang terlalu memiliki energi lebih yang diyakini baru saja terkuras habis."Ah yang benar saja, apanya yang terkuras. Yang ada juga bertambah dan bertambah."Dera menggerutu seorang diri, butik yang dimaksud Cala untungnya tidak terlalu jauh dari kantor, sehingga kini Dera sudah berada di halaman parkir butik tersebut.Saat turun dari mobil dan berjalan hendak masuk, dia bertemu den
Rasanya Xadera ingin berteriak jika Arcala dan Ressi itu cocok, sama-sama datar, pendiam dan dingin. Bedanya, diamnya Ressi meneduhkan sedangkan diamnya Cala mengandung berbagai hal yang mampu membuat orang overthinking setengah mati."Saya sedang menuju sekolah nona muda, Pak.""Kenapa kamu yang menjemput? Aku rasa aku tidak memberi perintah padamu untuk menjemput Valeri!"Berdehem sejenak, Dera bersiap untuk bercerita. "Tadi sewaktu saya berada di butik, saya bertemu dengan Ressi ... ma-maksud saya Nyonya Ressi."Cala terkejut namun dia berusaha menyamarkan keterkejutannya itu. "Lalu?""Nyonya mengatakan jika akan pergi ke dokter untuk memeriksakan kesehatannya dan meminta saya untuk menjemput Nona Valeri."Cala mengangguk-angguk mengerti. Setelah sadar dengan kebodohannya dia segera menjawab Dera, "Baiklah lakukan apa pun yang diminta olehnya."Tanpa tambahan kata-kata lagi, Cala mematikan sambungan teleponnya. Dera menghela nafas