Selama beberapa hari di pondok pesantren, aku tak melihat Syarifah pasca aku sadar seutuhnya. Mereka entah ke mana membawa Syarifah, bahkan Hamzah saja tak memberitahukan aku di mana dia pergi. Aku diminta Emak juga nggak boleh keluar dari rumah singgah ini dan tentunya, dilarang menunju ke asrama putri atau ke rumah ABah Yai. Padahal jaraknya hanya beberapa langkah saja dari asrama putra dan juga putri.Pagi ini, selepas mandi, aku putuksan menemui Abah Yai. Aku ingin menanyakan perihal keseriusan Syarifah yang mau aku nikahi. Aku tak tahu ini mimpi atau bukan, yang jelas aku ingin memulai semuanya dengan normal.“Bah, lagi santai?” tanyaku pada Abah Yai yang sedang duduk sambil memegang kitab entah apa.“Oh, sudah sehat, Fir?” tanya Abah.“Sudah, Bah. Ini alhamdulillah udah bisa jalan jalan keluar kamar. Namun, mohon izin … apa boleh saya berbincang serius berdua?” tanyaku.“Silahkan. Mau bicara apa?” Abah Yai meletakkan bukunya, lalu tersenyum ramah padaku. Aku diminta duduk di dep
.“Terus mau nya kapan?” tanya Hamzah.“Terserah Fir aja, gue kan manut.” Syarifah menjawabnya tanpa menatapku. “Ya kali lo mau usul, Peh. Mau dan siapnya kapan,” ucap Hamzah.“Besok, mau nggak?” tanyaku.“Be-sok?” Syarifah terlihat kaget sedangkan Hamzah hanya menggelengkan kepala.“Iya kan? Daripada lama lama bikin dosa karena nggak boleh berdua, kalau dan nikah kan enak. Bisa ngapa ngapain berdua, bikin anak misalnya.” Aku menjelaskan sedangkan Syarifah mencubit pahaku. Duh, belum apa apa udah KDRT duluan ini bocah, untung calon bini. “Yakin mau besok? Memangnya mahar udah disiapkan? Seserahan? Terus, yang buat makan makan di walimahan? Terus yang buat ngurus ngurus ke KUA? Butuh waktu, Fir. Nggak secepat kayak orang bikin anak, gila aja lo!” umpat Hamzah dan aku terkekeh mendengarnya.“Kan hanya usul.”“Nanti ini bisa didiskusikan sama Abah aja, Mas Hamzah. Soalnya Ifah nggak tahu baiknya kapan, maunya sih memang nggak usah lama lama. Biar bisa jewer telinga suami yang suka ba
Hari pernikahan akan digelar. Suasana langit sangat mendung, tapi tak hujan. Hawa dingin sudah terasa sejak pagi, bahkan ingin rasanya aku tak mandi jika pantas. Sayangnya, Emak dan Mbakku mengomel karena di jam 7 pagi, aku masih mengenakan sarung dan bau iler katanya. Selepas subuh, aku memang tidur lagi karena malamnya tadi di rumah ini mengadakan syukuran dan mengundang banyak orang untuk ikut mendoakan acara ijab kabul besok. Selain itu, malam tadi aku juga tak bisa tidur. Entah kenapa. “Mau nikah jam 8, bisa bisanya kamu baru bangun, Fir Fir,” omel Mbak SIti.“Kan udah ada Mbak Siti dan yang lain, pengantin kan raja,” kekehku.“Raja mana yang mau pergi tapi nggak mandi? Ini kan juga kamu yang nikah, bisa bisanya belum apa apa,” omel Mbak Siti lagi. “Ini mau mandi, Mbak. Jangan marah marah terus, Mbak. Nanti malah tuaan Mbak daripada Emak,” ucapku membuat semua orang yang ada di rumah Emak tersenyum dan menggelengkan kepala melihatku yang sedang adu suara dengan Mbak Siti.Mb
Akad digelar di masjid pondok pesantren. Saat aku sampai, iring iringan anak anak santri menambah gemerubuk jantung yang sama cepatnya dengan tabuhan rebana yang dimainkan. Aku memaksakan diri tersenyum, meski sebenarnya sungguh luar biasa rasanya. Padahal yang akan aku nikahi adalah wanita yang biasa bermain dengan ku sejak kecil. Namun, rasanya … deg degan guys. Siap nggak siap, menikah harus terjadi hari ini.Aku disambut keluarga Abah Yai, Ustad Husni dan juga para pengajar pondok yang lain. Mereka tersenyum dan memelukku saat baru sampai di depan masjid. Aku membalasnya dengan senyuman termanis, lalu menengok pada gerombolan ibu ibu yang heboh memfotoku. Ada juga teman teman Emak di sawah yang sangat heboh bersalaman dengan Emak dan Bapak. Mungkin, menikahnya aku adalah prestasi yang benar benar luar biasa bagi Emak dan Bapak. Umur sudah kepala 3, jelas tak lagi muda untuk sebagian orang di desaku untuk menikah.Aku sedikit celingukan, tak melihat ada Syarifah di sana. Sudah beb
“Ramen lagi?” tanyaku saat melihat bekal yang dibawa Hamzah–sahabat kerjaku.“Ini makanan kesukaan gue tahu. Lo bakalan suka kalau udah tahu rasanya,” ucapnya lagi. Aku hanya begidig membayangkannya. Aku pernah melihat Hamzah menunjukan bekalnya padaku. Begitu dibuka, aroma busuk bercampur belatung seakan membuatku langsung mual dan ingin memuntahkan isi sarapan pagiku yang sudah ada di dalam perutku. Sejak saat itu, aku menolak jika Hamzah menawariku bekal makanan yang dia bawakan. Dia bilang, itu bekal khusus yang diberikan Munaroh padanya.“Lo gak nyadar apa itu semua isinya belatung?” tanyaku saat melihat Hamzah sangat menikmati bekalnya itu.“Ini tuh telor bray, mulut lo emang ya?” Dia menendang kakiku, sudah biasa memang jika dinasehati begitu.“Telor matamu! Itu belatung, masa nggak liat?” gerutuku.Hamzah terlihat kesal dan dia berbalik memunggungiku. Menikmati bekal yang diberikan Munaroh padanya. Aku memilih beranjak, lalu duduk di meja kerja Sarifah–rekan kantor juga, han
“Randu! Cepat,” teriak Syarifah.Belum sempat aku melihat sosok yang berbisik itu, Syarifah sudah menarikku dengan kuat. Dia mengapit lenganku layaknya suami yang baru turun dari tangga pengantin.“Ekhm!” dehemku. "So sweetnya."“Dih!” Sarifah lalu mengibaskan tanganku, aku pun merangkulnya dengan santai dan bahagia.“Sering sering aja gini,” kekehku.“Maunya lo itu mah! Gue merasa nggak enak nih di parkiran sini, kayak ada yang ngikutin.”Aku melirik kanan dan kiri. Ada banyak sosok yang aku lihat memang, tapi hanya satu yang membuatku memicingkan mata. Sosok hitam kerdil yang sedang berada di atas jok motorku. Wajahnya seperti monyet, tapi giginya panjang dan sedang mencoba menjilati kendaraan ku.“Pergi lo!” ucapku mempercepat langkah dan menendang ban motorku. Sosok itu tertawa, lalu meloncat ke atas mobil yang juga terparkir di sana.“Apa sih? Belum juga berangkat, lo minta gue pergi,” gerutu Syarifah.“Bukan elo, tapi monyet kerdil itu.”"Mana?" tanya Syarifah."Nih, monyetnya
Aku akhirnya mendorong sekuat tenaga motorku yang mendadak mogok. Sosok putih melambai lambai itu membuatku merasa apes sore ini. Aku bukan tak mau melawan, tapi mahluk speeri itu diajak debat pun tak akan bisa kita menang apalagi bikin naik jabatan. Belum tahu sih kalau diajak kencan, apa bisa jadi cantik betulan.Tak mau diikuti sosok miskunkun yang centiknya kelewatan, aku terus membaca doa penolak gangguan bangsa lelembut. Sedikit dikit hafal lah, meski hanya bismilah dan hamdalah. Akhirnya aku tiba di sebuah warung pinggir jalan. Warungnya sepi, hanya ada suara radio yang berbunyi lagu jawa khas jaman keraton.“Misi, Bu. Bu,” panggilku.Tak ada tanda tanda manusia hidup ya? Padahal kosan aku ke kosan Sarifah ini nggak jauh loh. Lima menit juga sampai. Tapi kenapa …Aku menengok pada jalan yang aku lalui. Kabut tebal sekaan menutupi pohon pohon yang aku lalui tadi. Ini di mana? Perasaan tadi nggak di sini deh. Tunggu tunggu … ini bukan jalan menuju ke kosanku.“Bu … Bu.”Aku meng
Pagi ini aku bangun kesiangan. Bagaimana tidak, suara suara gaib terus saja berbisik. Ada yang bernada mengancam, ada juga yang mengejek dan menertawakan ku. Sudah aku coba menghilangkan atau bahkan menutup kelebihan yang sudah ada sejak lahir ini. Sayangnya, justru malah aku sakit dan yang ada keluargaku yang akhirnya di teror. Kuputuskan untuk membiasakan tidak terpikirkan, meski kadang wajah wajah seram mereka bikin aku tak bisa memejam mata dengan baik setiap malam.“Gak bareng Hamzah?” tanya Syarifah yang pagi ini sudah aku jemput di depan kosan.“Dia udah pergi, gue ketuk ketuk nggak di dalam. Ya udah, gue mending jemput lo. Daripada boncengin mis kunkun, mendingan boncengin gadis loakan kaleng kong Guan,” kekehku.“Asem!”Gegas dia naik ke atas jok motorku. Waktu yang menunjukan pukul setengah tujuh membuatku harus gegas sampai di kantor tempat bekerja. Aku dan Syarifah bekerja di perusahaan pengiriman barang. Berangkat jam setengah tujuh dan pulang jam setengah lima. Begitu