Share

Jerat Pemikat
Jerat Pemikat
Author: Maey Angel

Bekal

Author: Maey Angel
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Ramen lagi?” tanyaku saat melihat bekal yang dibawa Hamzah–sahabat kerjaku.

“Ini makanan kesukaan gue tahu. Lo bakalan suka kalau udah tahu rasanya,” ucapnya lagi.

Aku hanya begidig membayangkannya. Aku pernah melihat Hamzah menunjukan bekalnya padaku. Begitu dibuka, aroma busuk bercampur belatung seakan membuatku langsung mual dan ingin memuntahkan isi sarapan pagiku yang sudah ada di dalam perutku. Sejak saat itu, aku menolak jika Hamzah menawariku bekal makanan yang dia bawakan. Dia bilang, itu bekal khusus yang diberikan Munaroh padanya.

“Lo gak nyadar apa itu semua isinya belatung?” tanyaku saat melihat Hamzah sangat menikmati bekalnya itu.

“Ini tuh telor bray, mulut lo emang ya?” Dia menendang kakiku, sudah biasa memang jika dinasehati begitu.

“Telor matamu! Itu belatung, masa nggak liat?” gerutuku.

Hamzah terlihat kesal dan dia berbalik memunggungiku. Menikmati bekal yang diberikan Munaroh padanya. Aku memilih beranjak, lalu duduk di meja kerja Sarifah–rekan kantor juga, hanya divisi lain.

“Lo liat ada yang aneh nggak sama bekal si Hamzah itu? Masa belatung dimakan gitu. Nggak jijik apa?” bisikku.

“Ih, jijay deh. Mana mungkin dia makan belatung. Kamu ada ada saja,” omel Sarifah yang ternyata memang tak suka jika aku sudah mengatakan keahlianku ini. Hanya dia yang tahu kelebihan indra ke -6 ku karena dia adalah teman masa kecil hingga masa dewasaku ini. Asiknya, diterima kerja di kantor yang sama jadinya bisa ada teman curhat yang nyambung. Dia memang punya kelebihan yang sama denganku. Hanya saja, indra penglihatannya sudah ditutup tapi masih bisa merasakan jika ada yang aneh aneh.

“Serius, Fah. Tuh, di sendoknya isi belatung semua,” tunjukku pada sendok berisi belatung yang jelas hanya aku yang bisa melihatnya.

“Randu … berisik ah! Lo bikin gue nggak nafsu makan nih!” sungut Sarifah. Dia memukulku dengan buku yang ada di tangannya. Meski begitu, jelas Sarifah penasaran setelah ini. Dia bisanya gitu, habis mukul aku dan marahin aku pasti langsung samperin yang aku lihat.

“Ham, makan apa?” teriak Sarifah membuat lelaki yang sibuk makan itu menengok.

“Ramen dong. Enak banget, Fah. Mau?” tawarnya.

“Boleh liat?”

Benar saja. Sarifah mendekat ke arah makanan itu, lalu melihatnya sendiri. Aku memilih beranjak menuju kamar mandi karena setelah ini, pasti Sarifah akan menyusul.

“Ueek! Anying emang! Bisa bisanya si Hamzah makan makanan setan gini!” raung Sarifah yang sudah membuang isi perutnya itu.

“Hahaha, dibilangin nggak percaya. Liat belatungnya?” tanyaku.

“Nggak lah, tapi gue cium aromanya. Astaga, taik lo aja nggak kayak gitu baunya,” ucapnya.

“Sembarangan!”

Aku bersandar di dinding sambil memperhatikan Sarifah yang membersihkan wajahnya. Dia pun ikut bersandar di sisiku dan menepuk pundakku.

“Lo harus bantu dia buat sadar. Jangan sampe kasusnya kayak si Memet. Gawat kan?”

Memet adalah sahabat kami. Dia meninggal dunia setelah mengalami keanehan yang tak dicegah sejak dini. Sama halnya dengan Hamzah, keanehan seperti ini memang harus dikasih tahu alasan dan penyebabnya agar tak berujung pada kematian.

“Coba lo ajak pergi bareng, biar nanti gue bantu pantau," ucapnya.

"Oke."

Suasana kantor yang lengang membuatku bekerja santai. Hari ini, bos sedang tidak berada di tempat. Aku dan karyawan yang lain pun tidak harus was was dan santai sejenak ketika bekerja. Anggaplah istirahat karena jika ada bos, semua aktivitas kami tak luput dari omelannya.

“Sore nanti, nge-gym yuk!” ajakku.

“Sorry, bray. Aku ada janji sama Munaroh,” tolaknya.

“Munaroh lagi? Ah, kapan sih bang Ocit datang,” ledekku yang sampai heran dengan sahabatku itu.

"Ayolah, lama nggak gym bareng kan kita?"

"Ntar gue kabari, gue tanya Munaroh dulu," ucapnya.

Munaroh adalah janda kaya yang tinggal di kontrakan kami. Lebih tepatnya, dia adalah pemilik kosan yang aku dan Hamzah tempati. Orangnya udah setengah tua alias paruh baya, bahkan kulit sudah hampir kisut separuhnya. Namun, entah kenapa sahabatku ini sangat senang jika diajak pergi olehnya. Padahal stok wanita cantik itu banyak, tapi kenapa milih janda kisut yang sudah habis sari sarinya. Heran, juga aneh sendiri.

"Gimana?" Tanyaku setelah pekerjaan selesai.

"Bisa, cuma setengah jam saja katanya."

"Siplah!"

Sore itu aku menjalankan rencana, aku sengaja pergi ke tempat gym selepas pulang kerja. Aku yang memang betah jadi jomblo ini mendadak seperti playboy gadungan karena mengajak Sarifah.

"Udah di mana katanya si Hamzah?" Tanya Sarifah yang sudah sampai bersama ku tak selang lama.

"Gak diangkat!" jawabku.

"Nah kan? Ini pasti udah jelas, sirep! Kita ke TKP," ajaknya bersemangat.

Baru saja kaki hendak menapaki langkah selanjutnya, suara cukup aneh membisik di telingaku.

Next??

Related chapters

  • Jerat Pemikat   lagi

    “Randu! Cepat,” teriak Syarifah.Belum sempat aku melihat sosok yang berbisik itu, Syarifah sudah menarikku dengan kuat. Dia mengapit lenganku layaknya suami yang baru turun dari tangga pengantin.“Ekhm!” dehemku. "So sweetnya."“Dih!” Sarifah lalu mengibaskan tanganku, aku pun merangkulnya dengan santai dan bahagia.“Sering sering aja gini,” kekehku.“Maunya lo itu mah! Gue merasa nggak enak nih di parkiran sini, kayak ada yang ngikutin.”Aku melirik kanan dan kiri. Ada banyak sosok yang aku lihat memang, tapi hanya satu yang membuatku memicingkan mata. Sosok hitam kerdil yang sedang berada di atas jok motorku. Wajahnya seperti monyet, tapi giginya panjang dan sedang mencoba menjilati kendaraan ku.“Pergi lo!” ucapku mempercepat langkah dan menendang ban motorku. Sosok itu tertawa, lalu meloncat ke atas mobil yang juga terparkir di sana.“Apa sih? Belum juga berangkat, lo minta gue pergi,” gerutu Syarifah.“Bukan elo, tapi monyet kerdil itu.”"Mana?" tanya Syarifah."Nih, monyetnya

  • Jerat Pemikat   3. Dorong

    Aku akhirnya mendorong sekuat tenaga motorku yang mendadak mogok. Sosok putih melambai lambai itu membuatku merasa apes sore ini. Aku bukan tak mau melawan, tapi mahluk speeri itu diajak debat pun tak akan bisa kita menang apalagi bikin naik jabatan. Belum tahu sih kalau diajak kencan, apa bisa jadi cantik betulan.Tak mau diikuti sosok miskunkun yang centiknya kelewatan, aku terus membaca doa penolak gangguan bangsa lelembut. Sedikit dikit hafal lah, meski hanya bismilah dan hamdalah. Akhirnya aku tiba di sebuah warung pinggir jalan. Warungnya sepi, hanya ada suara radio yang berbunyi lagu jawa khas jaman keraton.“Misi, Bu. Bu,” panggilku.Tak ada tanda tanda manusia hidup ya? Padahal kosan aku ke kosan Sarifah ini nggak jauh loh. Lima menit juga sampai. Tapi kenapa …Aku menengok pada jalan yang aku lalui. Kabut tebal sekaan menutupi pohon pohon yang aku lalui tadi. Ini di mana? Perasaan tadi nggak di sini deh. Tunggu tunggu … ini bukan jalan menuju ke kosanku.“Bu … Bu.”Aku meng

  • Jerat Pemikat   4. Asap

    Pagi ini aku bangun kesiangan. Bagaimana tidak, suara suara gaib terus saja berbisik. Ada yang bernada mengancam, ada juga yang mengejek dan menertawakan ku. Sudah aku coba menghilangkan atau bahkan menutup kelebihan yang sudah ada sejak lahir ini. Sayangnya, justru malah aku sakit dan yang ada keluargaku yang akhirnya di teror. Kuputuskan untuk membiasakan tidak terpikirkan, meski kadang wajah wajah seram mereka bikin aku tak bisa memejam mata dengan baik setiap malam.“Gak bareng Hamzah?” tanya Syarifah yang pagi ini sudah aku jemput di depan kosan.“Dia udah pergi, gue ketuk ketuk nggak di dalam. Ya udah, gue mending jemput lo. Daripada boncengin mis kunkun, mendingan boncengin gadis loakan kaleng kong Guan,” kekehku.“Asem!”Gegas dia naik ke atas jok motorku. Waktu yang menunjukan pukul setengah tujuh membuatku harus gegas sampai di kantor tempat bekerja. Aku dan Syarifah bekerja di perusahaan pengiriman barang. Berangkat jam setengah tujuh dan pulang jam setengah lima. Begitu

  • Jerat Pemikat   bab 5

    “Kalau mau mati, nggak usah ngajak ngajak napa! Setan emang lo!” sungut Syarifah.“Ya kan gue setia, apapun keadaannya lo selalu gue ajak.” Aku merenges saja. Syarifah nampak kesal, tapi rautnya mendadak bingung saat baru melihat area tempat kami turun.“Eh, rumahnya yang mana?” tanya Sarifah. Baru kusadari ternyata kita sudah sampai di depan rumah Munaroh. Sepertinya sampai sekarang Bang Ocit belum datang. Soalnya rumahnya masih sepi kayak kuburan.“Tuh,” tunjukku dengan dagu tanpa berani menunjuk dengan jari. Ada dua makhluk bermata besar yang mengawasi kedatangan kami. Jika sampai aku menunjukan jari, mereka akan menganggapnya ini ancaman dan mungkin akan membuat kami diburu sebelum mendekat ke rumah itu.Rumah berlantai dua itu terlihat sangat mencekam dari auranya. Meskipun terkesan mewah karena berlantai dua, bagiku rumah ini cenderung angker jika dilihat dari indra ke-6 ku. Ada pohon asem di depan rumah itu dan banyak pohon pohon rindang yang menutupi sisi gerbang rumah Munar

  • Jerat Pemikat   benar benar

    Benar-benar Miss kunkun nggak punya akhlak. Sudah diusir berulang kali masih saja ngeyel jadi bodyguard gratisanku. Napasku sampai ngos-ngosan karena berusaha berlari mendorong motorku yang dasarnya susah menyala. Aku sampai di kosan jam 20.30 malam. Kamar Hamzah yang ada di sebelahku juga masih gelap dan sepertinya Hamzah belum pulang.Aku buka pintu kamarku perlahan dan masuk ke dalam kontrakan kecilku. Membayangkan kejadian demi kejadian yang aneh pada Hamzah membuatku benar-benar ingin mencari solusi untuk membebaskannya. Dibiarkan akan membuat dia semakin kasihan dan mungkin saja nasibnya tidak jauh dari Memet yang menjadi tumbal pesugihan. Meski ada perbedaan dengan kasus Memet dengan Hamzah, tapi aku rasa ini sama saja tindakkan perdukunan yang sangat riskan untuk dicari tahu.Aku merebahkan diri di atas kasur. Ditemani suara berisik dari para lembut yang biasanya wara wiri melewati kontrakanku. Bagi mereka keluar masuk ke tempat-tempat seperti ini sudah biasa dan bahkan kadan

  • Jerat Pemikat   jin sialan

    Kuseret tubuh Hamzah perlahan karena tentu berat jika harus membopongnya sendirian. Aku bawa dia ke atas kasur dan menutupi tubuhnya dengan selimut yang ada di sana. Aku hendak menutup pintu niatnya, tapi sosok besar dan hitam hendak menerobos kamar Hamzah. Sepertinya makhluk itu tak menyerah ingin mengganggu Hamzah dan aku.Aku pun membaca doa kembali, berharap makhluk menyeramkan itu sudah menghilang setelah aku beri ajian yang satu ini. Byuh!Aku menyiram dengan air yang tadinya aku gunakan untuk membuat Hamzah terbangun. Seketika hilang dan aku pun merasa lega. Aku langsung berlari menutup pintu, lalu mengambilkan baju untuk Hamzah. Malam ini aku menjaganya tanpa tidur, hingga subuh menjelang mata ini barulah datang ngantuknya.Bunyi gedoran pintu terdengar sangat keras sampai membangunkanku. Aku mengucek mataku dan melirik ke sisiku, kaget bukan kepalang. Di mana Hamzah? Sontak aku bangkit dan membuka pintu.“Lama banget sih?” sungut Syarifah ternyata si pembuat bunyi berisik pi

  • Jerat Pemikat   bab 8

    “Astagfirullah,” gumamku mundur. Ada mahluk comel mengintip kedatangan kami ternyata. Bocah kecil imut menggemaskan tetapi mata dan kakinya tak memiliki ukuran yang sama. Sebaik baiknya bentuk, manusialah yang sangat sempurna penciptaannya. Maka sebagai manusia, kita wajib bersyukur dengan kesempurnaan yang didapatkan.Aku pun duduk kembali dengan tenang, lalu kembali menyimak obrolan. Suara salam dari arah belakang membuat kami semua menengok dan ternyata Ustad Husni sudah kembali“Nah, ini Mas Husninya udah balik. Umi tinggal dulu ya ke belakang, kalian ngobrol lah dulu.”“Wah, Ifah pulang kampung. Sama Randu ternyata. Kalian sehat?” Ustad Husni menjawab tanganku dan mengatupkan tangan dengan Ifa.“Alhamdulillah, masih bisa napas sampe sini artinya sehat, Tad. Sibuk nyawah?” tanyaku.“Ya biasa lah, di desa memang ada pekerjaan kantoran? Yang ada di balai desa, Ustad malas karena banyak korupsinya kalau di desa.”Aku dan Syarifah hanya menanggapi dengan senyuman saja karena sudah jel

  • Jerat Pemikat   bab 9

    Kami pulang dari rumah Ustad Husni setelah mendapatkan banyak pencerahan. Ternyata belatung yang aku lihat memang kiriman dan guna guna yang digunakan seseorang untuk membuat temanku itu nyaman bersama si pemberi makanan. Dia akan ketagihan masakannya, akan merasa terpuaskan setelah makan bekal itu dan akhirnya bisa jadi tumbal yang entah apa tujuannya. Ilmu ilmu gaib yang mengerikan itu tentu adalah tipu daya setan di mana manusia melakukan perjanjian untuk bisa memperkaya hidupnya sendiri. Mendapatkan manfaat dan kemudahan instan tanpa mau berusaha.“Anter pulang atau anter ke KUA nih?” tanyaku pada Syarifah.“Anter lo ke kuburan!” sembur Syarifah. Aku terkekeh mendengarnya lalu kami pun akhirnya memutuskan untuk pulang. Aku mengantar Syarifah terlebih dahulu sebelum kembali ke kontrakanku sendiri.“Jam 4 ke sini lagi, biar nggak kesorean ke rumahnya Tante Munaroh,” ucap Syarifah.“Nenek Munaroh, sebutan tante itu cocoknya kamu. Bukan dia yang nini nini,” kekehku."Aku belum setua

Latest chapter

  • Jerat Pemikat   2-47

    Beberapa hari di rumah ini aku pun mulai merasa normal. Tak ada suara suara aneh yang aku dengar kala malam. Mamak dan Bapak pun terlihat sudah mulai beraktivitas seperti biasa.Asma dan aku sudah siap berangkat kuliah. Kuliah jam 9 pagi, Mamak juga sudah selesai dengan aktivitasnya dengan bapak di luar yang katanya berjualan. Aku diberi uang saku, lalu dibawakan bekal seperti anak TK.“Besok bukan mamak lagi yang siapin bekal, tapi istrimu. Takutnya mamak pulangnya gak selalu pagi,” ucap Mamak membuatku merenges. Aku yang belum terbiasa bermanja untuk urusan seperti ini tak banyak memprotes. “Iya, Mak.”Aku pun ke sekolah menaiki motor yang baru dibeli Bapak seminggu yang lalu. motor lamaku ada di rumah lama dan tak boleh dibawa pulang. Alasanya, tak ada gunanya dibawa karena akan membonceng Asma dan bawa dagangan.Kami tiba di kampus jam setengah sembilan.Aku menyapa beberapa mahasiswa lain yang melintas, tentu yang cantik cantik. Asma sampai mencubitku dan aku merenges saja.“Kat

  • Jerat Pemikat   2-46

    “Nggak apa apa. Mungkin wajah saya memang familiar,” ucap Kyai Hasanudin.“Mirip sama Ayahandanya Mak Nyai,” gumamku dan Pak Kyai Hasanudin hanya mengangguk dan tersenyum padaku. Sungguh, wajahnya sangat mirip. "Hus! Jangan sembarangan ngomong, Gil," bisik Emak dan aku hanya mengangguk saja. Tapi memang agak kenal. Serius sangat mirip Ayahanda.Kami berbincang banyak hal, termasuk kegiatan para santri di pondok pesantren ini. Bahkan, Pak Kyai menawarkan aku dan Asma untuk tinggal di sini tetapi aku menolak. Aku tak ingin jauh dari mamak. Tentu selain tak bebas ada di pesantren yang orangnya tak aku kenal, aku juga tak tahu apakah Pak Kyai ini manusia betulan atau jadi jadian. “Ya sudah kalau tak mau menginap. Tapi setiap hari bantu Yai urus asrama, bisa?” tanyanya.“Insyaallah, bisa,” ucap Asma langsung.Aku pun melirik padanya. Dia tak menatapku kembali dan fokus berbincang dengan salah satu Ustadzah yang terlihat masih muda. Tadi dikenalkan sebagai istri dari salah satu Ustad di p

  • Jerat Pemikat   2-45

    ..Akhirnya kami tiba di Bandung. Kota kembang yang katanya memiliki banyak warga gadis yang cantik cantik di sini. Aku pun dibawa Bapak dan Mamak ke sebuah hunian sederhana di dekat pondok pesantren. Bukan pondoknya, tapi kawasannya memang religius sekali.“Nanti diturunkan semua, Gil,” ucap Mamak saat mobil sudah turun.Kedatangan kami disambut seorang nenek paruh baya yang langsung menyapa Mamak. Mereka sepertinya sudah kenal lama dan aku pun langsung membuka bagasi untuk menurunkan koper.“Kamar sudah nini bersihkan,” ucap nenek itu. “Oh iya, kenalkan saya Sudarsih. Panggil saja nini Darsih. Nenek angkat Ibu kamu.”Entah sejak kapan mamak punya nenek. Dari garis wajah tak ada yang sama, hanya sama gendernya saja dan lainnya blas nggak ada yang sama.“Gilang,” ucapku memperkenalkan diri pada Nini Darsih yang langsung bergantian kenalan dengan Asma.“Geulis, Neng. Pantes dipilih jadi mantunya anak Nini,” ucap Nini.“Alhamdulillah, Nini sehat sekali nampaknya. Senang berkenalan denga

  • Jerat Pemikat   2-44

    “Selamat ya, Gilang. Paman nitip Asma sama kamu. Kuliah yang bener di sana, kalau nggak mau repot jangan ada anak dulu. Kalian kan nikah untuk saling melindungi saja,” ucap Paman saat aku diminta membawa Asma ke Bandung.“Insya Allah, Paman,” jawabku singkat.“Nikah untuk ibadah tentunya, Zah. Masa buat melindungi saja. Ntar, kalau keduanya ngebet, berabe juga.” Bapak ikut menimpali.“Ya kan belum resmi, Fir. Mereka masih nikah siri, nggak ada kekuatan hukumnya. Gak apa apa tunda dulu, asal kalian berdua udah sah dan ke mana mana berdua nggak undang dosa. Apalagi jauh di sana.” paman Hamzah pun menjawabnya dengan serius.“Ya nggak bisa gitu, Ham. Anak gue laki sejati, mana bisa nahan lama lama. Udah, lo aman aja udah diam di sini kerja yang bener urus kebun, sawah dan peternakan. Awas aja kalau kerjanya di sini asal asalan,” omel mamak.“Peh, meski kita sahabatan juga kalau anak lo nggak becus jagain anak gue, gue murka lah. Pokoknya, Gilang harus jadi suami yang baik buat Asma. Jaga

  • Jerat Pemikat   2-43

    Kode mahar? Apakah hadiah dari Mamak kemarin adalah mahar yang akan aku berikan pada Asma?Aku merogoh saku dan melihat kotak hadiah dari mamak. Warnanya bukan merah melainkan putih. Aku pun menunjukkannya pada Bapak dan Bapak mengangguk.“Coba dibuka,” ucap Paman Hamzah yang juga ada di sisiku.Aku membuka surat emas yang ada di tanganku, lalu melihat tulisan 5 gram emas yang ada di surat pembelian cincin itu. Tak banyak, tapi sepertinya ini mahar yang akan diberikan pada Asma.“Nanti bacakan saja nominalnya, biar langsung sah,” bisik Paman. Aku baru sadar, posisi paman dan Bapak ada di sebelahku dan cukup mengagetkan karena aku malah dipaksa nikah sama Asma pagi ini juga.“Gilang, meski umur kamu masih muda, tapi tubuh dan jiwa kamu yang seperti ayahmu ini, maka Yai menyarankan untuk kamu menikah saja. Pagi ini setelah kamu melakukan i’tikaf, Yai sarankan untuk menikah. Apa sekiranya kamu berkenan?” tanya Pak Yai pelan dan ramah sambil menepuk bahuku.“Tapi, Yai, Gilang belum ad

  • Jerat Pemikat   2-42

    Setelah diberikan izin keluar pesantren, tujuanku saat ini adalah pulang ke rumah. Bapak sudah menjemputku, tak jauh di sana Namira adik bungsuku yang langsung minta turun dari gendongan Bapak dan berlari ke arahku.“Abang…”“Hai, bocil Abang yang comel. Kangennya,” ucapku.“Namila juga, Abang lama benel pulangnya. Namila jadi lama dititip di lumah Kak Ilma.”“Gak apa apa, dia seneng direpotin ngasuh kamu.”“Makasih ya, Irma, Hamzah, sudah mau dititipi Gilang. Kami pulang dulu, semoga setelah ini semuanya baik baik saja.”“Iya, Fir. Santai saja, anakmu sudah jinak di sini,” jawab Paman Hamzah.Aku tersenyum mendengarnya. Jinak katanya, padahal kalau bareng sama Asma kami bertengkar dan selalu bikin gaduh.Kami pulang berboncengan dan Namira begitu senang dengan kepulanganku seperti nya. Dia tak henti bercerita banyak hal tentang apa yang sudah dia lewati selama aku di rumah sakit. Aku juga senang karena Bapak ternyata baik baik saja, seperti tak ada kejadian apapun sebelum ini.“Aban

  • Jerat Pemikat   2-41

    Aku membuka mata perlahan, melihat kembali cahaya yang tadinya membawa kami menuju jalan pulang. Aku melihat lampu putih di atas kepalaku, lalu mengerjapkan mata karena terlalu silau setelah tadi merasakan gelap yang sangat menyeramkan.Suara suara orang yang sangat aku kenal akhirnya sangat jelas terdengar. Aku mulai jelas melihat ke wajah mereka, lalu melihat mamak dengan wajah sembabnya.“Anak Mamak sudah bangun, alhamdulillah ya Allah.”Aku mencoba mengingat kembali terakhir aku berada di mana, tempat yang aneh dan berbeda dengan saat aku kini ada di mana. Aku menengok dan ternyata ada Bapak di sisiku.“Pak.”Aku melihat Bapak terpejam juga. Banyak selang infus daripada aku yang hanya di bagian tangan saja. Tapi kepala dan kaki Sepertinya tidak terluka.“Mak, Bapak kenapa?” tanyaku.“Sedang istirahat, Nak. Kamu bikin mamak panik, ditambah bapak mu juga,” ucap Mamak yang langsung memelukku. Aku melihat Asma dan Paman Hamzah juga Ustad Kyai di ruangan ini. Ada alquran di tangan mer

  • Jerat Pemikat   2-40

    “Asma?”Aku menyentuh pundaknya. Dia sejak tadi hanya menangis dan diam saja. Tapi lelehan air mata itu membuatku cukup khawatir dan takut dengan apa yang akan terjadi dengan Bapakku.“Gilang, Bapakmu mencarimu. Beliau bilang akan mengusahakan. Hanya saja … kemarin Ustad Yai bilang, Bapak kamu mau ke sebuah hutan di belakang desa kita tanpa ditemani. Jadi, Mamak kamu khawatir dan mungkin juga beliau juga sudah kembali. Kita berdoa saja. Soalnya hutan di kawasan desa kita itu terkenal angker, Bapak kamu kan pernah hilang di sana.”Aku mengingatnya. Bapak pernah beberapa kali hilang di tempat tempat angker. Pernah di hutan bambu, pernah di kawasan hutan dan pernah juga hilang saat sedang tidur. Semua diceritakan agar aku waspada dan tentu tak sembarangan masuk kawasan kawasan itu.“Semoga Bapak bisa kembali.”Aku pun menunggu sembari berdoa. Asma juga menemaniku dan menghubungi Paman Hamzah. Beliau datang sendirian dan aku pun penasaran kenapa Paman tak datang dengan mamak dan bapakku.

  • Jerat Pemikat   2-39

    ..“Kita akan pulang nanti.”Bapak memastikan pastinya aku baik baik saja. Hal yang perlu dibahas dan diingat bahwa semua ini tak mungkin akan mudah. Namun, aku juga tak ingin menyia nyiakan kesempatan ini untuk bersama Bapak mencari jalan pulang. Bapak pergi bersama dengan sang raja dan beberapa pengawal, lalu tak lama kemudian kembali padaku. “Kalian makanlah,” ajak raja yang seperti Bapak panggil tadi. Raja. Aku yang dibaringkan di kamar khusus, hanya kamar ini terbuka sehingga aku bisa melihat Bapak duduk di meja khusus ditemani Mak Nyai.“Kalau tak begini, kamu tak mau datang ke sini lagi.” Mak Nyai terlihat menangis.“Untuk apa? Jangan membuat masalah dengan keluarga kami, bahkan setelah ini aku ingin kita hanya berdampingan beda dunia. Tak juga mencampuri urusan di alam masing masing.”“Mana bisa begitu? Gilang adalah anakmu, di mana kamu pernah mengatakan akan bisa menjaganya demi aku. Lupa?”“Menjaganya bukan berarti memilikinya. Ini tidak akan pernah terjadi lagi, jadi ber

DMCA.com Protection Status