Valeria segera menjauhkan dirinya saat merasakan kecupan itu. Revan terlihat tertegun sementara Valeria merasa sangat gugup. Ia sungguh tidak menyangka jika Revan akan menciumnya kembali. Jantungnya berdegup dengan cepat. Kenapa Revan tiba-tiba menciumnya dalam keadaan seperti ini?Tak ingin situasi menjadi canggung, Valeria segera menggeleng dengan cepat. Tidak, tidak apa-apa, tidak terjadi apapun. Jangan terpengaruh lagi dengan tindakan Revan yang berusaha menggodanya."Jangan memintaku meminta maaf, aku tidak akan minta maaf soal tadi."Valeria mendengus mendengar ucapan Revan, berusaha mengatur perasaannya agar tidak menjadi gelisah."Kenapa pula harus minta maaf? Ciuman itu sama sekali bukan apa-apa.""Kau bilang apa? Bukan apa-apa?" tukas Revan sedikit tersinggung mendengar ucapan Valeria.Valeria hanya mengangkat bahu, "Anda memang selalu bertindak sembarangan bahkan saat situasi kita sedang tidak baik, kenapa pula saya harus memikirkannya?""Apa?"Tanpa menanggapi Revan yang s
Valeria terhenyak saat melihat siapa yang berada di hadapannya saat ini, Rionandra. Alisnya berkerut melihat Rionandra yang datang ke flatnya pagi-pagi sekali. Sebenarnya apa yang sedang ia lakukan?"Kau? Sedang apa kau di sini?""Bisa kita bicara?"Valeria mengerutkan dahinya dengan heran, untuk apa pria itu datang kemari pagi-pagi sekali hanya untuk bicara?"Aku tidak ada waktu, aku harus pergi bekerja.""Kenapa kau masih bekerja padahal kau akan menikah dengannya, kau hendak mempermalukan dirimu di kantor Revan?" tukas Rio dengan nada tidak senang."Bukankah itu bukan urusanmu?"Rio terlihat menghela nafasnya panjang mendapati sikap sinis Valeria terhadapnya. Ia harus bisa bersabar dan tidak memancing emosi Valeria saat ini."Kau dan Revan... Kalian benar-benar akan menikah?""Bukankah kau sudah dengar kemarin di pertemuan keluarga, kenapa harus repot-repot menemuiku jika hanya ingin membahas itu?""Aku hanya tidak percaya... Seharusnya kita yang melakukan pernikahan, rasanya baru
Mendengar ucapan Revan, Rionandra hanya bisa mengepalkan sebelah tangannya. Ia tahu sekarang Valeria bukan lagi miliknya, ia tahu jika Revanlah yang kini berhak terhadap mantan kekasihnya itu, namun entah kenapa mendengar perkataan Revan yang begitu angkuh itu terasa menyebalkan di telinganya."Ayo kita pergi, Lucia."Dengan cepat Rio menarik tangan Lucia beranjak dari sana. Amarahnya sangat terlihat di sana, ia mendorong tubuh Lucia hingga menabrak ke arah dasbor mobil."Sakit, Kak!"Rio tidak bergeming, ia menatap tajam ke arah Lucia dengan sinis, "Ini semua terjadi akibat dirimu yang mengikutiku lalu membuat keributan, Lucia. Kau benar-benar mempermalukan aku di depan Revan dan juga Valeria.""Malu? Hanya itu yang Kakak pikirkan? Bagaimana dengan perasaanku yang melihat Kakak berkunjung ke rumah Valeria hari ini? Apa Kakak sama sekali tidak merasa bersalah?"Braak!Lucia seketika menjerit saat melihat Rio yang memukul kemudi dengan sekuat tenaga. Mata Lucia melebar sempurna, tidak
Valeria menghela nafasnya panjang melihat kepergian mobil Revan dari tempatnya. Ia menyentuh bibirnya yang masih terasa basah akibat tindakan Revan. Sentuhan itu hampir saja membuat hatinya kembali luluh terhadap Revan, bahkan jari jemarinya mengepal dengan kuat menahan segala desakan perasaan untuk membalas sentuhan itu. Jantungnya masih saja berdetak dengan cepat meski Revan sudah tidak ada lagi di hadapannya, Valeria berdecak kuat, meski mendapat kekecewaan berulang kali dari pria itu, kenapa reaksi tubuhnya sama sekali berkebalikan dengan apa yang seharusnya terjadi? Kenapa ia merasa tidak nyaman setelah memberikan tamparan keras kepada pria itu? Valeria segera menggeleng dengan cepat, tidak seharusnya ia berpikir seperti ini. Tidak ada waktu lagi, ia harus berbicara pada ayahnya saat ini juga.Valeria segera bergerak menuju kediaman keluarga Anderson. Namun, baru saja ia sampai di depan pintu, Kalina sudah berhadapan dengannya sambil menopang tangan di depan dada."Kenapa kamu ke
"Ya, Mahen Corporation, perusahaan Revan Mahendra. Aku sudah berusaha menghubungi manager operasionalnya, tapi dia bilang bahwa ayah sendiri yang harus menghubungi Revan Mahendra."Raut wajah Herman semakin menegang mendengar ucapan Rio, sepertinya Revan sengaja melakukan ini untuk membuat mereka bicara empat mata, "Baiklah, Ayah akan segera kesana,"Setelah berkata seperti itu, Herman segera mematikan panggilan mereka lalu menyimpan ponselnya ke arah saku kembali. Ia menatap ke arah Valeria yang tertegun tidak paham, "Kita bicara lagi nanti, ayah harus pergi.""Tunggu, sebenarnya ada apa?" tanya Valeria, menahan langkah ayahnya yang tengah bergegas.Herman terlihat menghela nafasnya, ia sendiri belum tahu kenapa Revan sampai melakukan hal ini untuk bertemu dengannya. Entah apa tujuan Revan, Herman sendiri tidak mengerti."Kita bahas nanti, sekarang Ayah memiliki urusan di kantor."Melihat ayahnya yang sangat terburu-buru, Valeria akhirnya melepaskan tangan ayahnya. Ia membiarkan Herm
Raut wajah Herman seketika berubah mendengar ucapan Revan. Sejak tadi Revan Mahendra terlihat menyinggung sikapnya yang selama ini tidak terlalu baik pada Valeria."Tentu saja aku akan memilih puteriku, apa kau harus mempertanyakannya?" balas Herman dengan nada sinis. Meski selama ini ia tidak memperhatikan Valeria, namun kali ini Herman pastikan bahwa segalanya harus berubah. Ia akan lebih mementingkan kebahagiaan puterinya dibandingkan dengan perusahaannya sendiri. Sebesar itulah Herman menyayangi Valeria, sebesar rasa bersalahnya karena sudah menyia-nyiakan puterinya selama ini."Ah begitu? Saya sungguh tidak menduganya.""Perlu kau ketahui, cinta seorang ayah tidak akan terkalahkan oleh cinta pria manapun kepada puterinya. Apa kau paham?"Revan mengulas senyumannya mendengar ucapan Herman. Meski saat ini perasaannya terasa tidak nyaman, namun ia harus memberikan kesan pada pria paruh baya itu bahwa ia sama sekali tidak goyah. Tekadnya untuk mempertahankan Valeria sama sekali tidak
Rio membawa Valeria menjauh dari ruangan ayahnya. Mereka berdiam diri di depan sebuah taman rumah sakit. Sebuah minuman kaleng Rio ulurkan kepada Valeria yang masih mematung di tempat."Kau baik-baik saja? Ini minumlah."Valeria mengambil minuman dari Rio lalu meneguknya perlahan."Apa yang ku dengar dari Mama Kalina benar? Apa kejadian yang menimpa ayah ada hubungannya dengan Revan?""Tenanglah dulu Val, jangan terburu-buru. Kau pasti masih terkejut dengan kabar ayahmu yang sakit hari ini."Meski Rio sudah mengatakan hal itu, Valeria menarik kerah baju Rio dengan emosional, "Katakan saja padaku dengan jujur, apa benar semua ini adalah ulah dari Revan?"Rio mengangkat sebelah tangannya melihat Valeria yang sama sekali tidak bisa diajak bicara, "Baiklah, aku akan bicara. Tapi sebaiknya turunkan dulu tanganmu ini."Dengan lemah Valeria menurunkan tangannya, namun tatapannya masih tetap terarah pada Rionandra."Ya, Revan yang melakukan semua ini. Sepertinya dia memang sedang menantang ay
Revan terlihat mengerjapkan matanya mendengar ucapan Valeria. Apa ia tidak salah dengar? Akhirnya setelah sekian lama usaha yang ia lakukan kata-kata itu terucap juga dari mulut Valeria."Kamu yakin?""Asal itu bisa membuat perusahaan ayah kembali, baiklah mari kita menikah."Revan mengulas senyumnya mendengar ucapan Valeria. Ia mengusap kepala Valeria dengan lembut, "Bagus, bagus sekali. Saya senang mendengarnya."Namun rupanya meski Valeria sudah berkata akan menikah dengannya, wanita itu sama sekali tidak senang seperti dirinya. Valeria tetap memberikan wajah datarnya ke arah Revan."Tapi ingat Pak Revan, walau saya setuju menikah dengan Anda, bukan berarti saya akan menyerahkan diri saya begitu saja pada Anda. Ini hanya sebagai bakti saya kepada ayah saya saja, bukan semata-mata karena keinginan saya sendiri."Revan terlihat menghela nafas, sepertinya mengambil hati Valeria masih tidak semudah itu. Hatinya masih diselimuti amarah akibat kejadian tempo lalu. Bisa dimaklumi, kesalah
"Apa maksud?"Melihat Barbara yang menatapnya dengan raut wajah tidak mengerti membuat Revan seketika mendengus, "Rupanya kau benar-benar tidak tahu. Baiklah akan ku beritahu yang sebenarnya terjadi akhir-akhir ini karena kekacauan yang kita buat. Aku dipecat oleh ayahku."Barbara tersentak mendengar ucapan Revan, "Apa?""Ya aku baru saja dipecat secara tidak hormat oleh ayahku kemarin. Semua pemilik saham mengambil keputusan agar aku dikeluarkan dari perusahan. Jadi ya sekarang, aku tidak memiliki apa-apa. Aku bahkan berniat menjual apartemen ini nanti,"Mata Barbara seketika melebar, ia mundur beberapa langkah dari pegangan Revan. Kata-kata Revan sekarang seolah tidak bisa dipercaya, "Kau bercanda, bukan?""Astaga, untuk apa aku bercanda? Jadi kau benar-benar ingin bersamaku. Kalau begitu pertama kita jual tas mewahmu ini!"Revan seketika bergerak ke arah Barbara hendak merampas tasnya. Melihat tindakan Revan, Barbara semakin terkejut ia menepis tangan Revan dengan panik, "Apa yang
Melihat Revan yang masih saja terdiam saat ia mengulurkan berkas perceraian itu, Valeria seketika menghela nafas. Ia segera menyimpan berkas itu di atas meja lalu berkata, "Jika Anda masih tidak mau menerimanya terserah. Saya akan menyimpan berkas itu di sini. Anda harus menandatanganinya segera.""Lalu bagaimana dengan anak kita?" Tanya Revan lirih. Penyesalan yang ia rasakan semakin dalam. Ia sudah hancur lebur saat ini dan kehancurannya semakin terasa menyakitkan karena harus berpisah dengan Valeria."Saya yang akan merawatnya sendirian.""Tapi aku ayahnya, Valeria. Tidak bisakah kau memberiku kesempatan lagi? Setidaknya untuk anak kita?""Saya yang akan mengurusnya, Anda tidak perlu khawatir. Anda bisa melakukan apapun yang Anda mau tanpa harus terbebani dengan janin yang sedang saya kandung ini."Satu air mata seketika jatuh dari kelopak mata Revan. Merasa sangat terpukul karena ia sama sekali tidak berdaya. Kesalahannya terhadap wanita yang dicintainya ini memang sungguh tidak b
"Ada pengumuman mendadak yang diselenggarakan oleh Pak Agung dan seluruh pemilik anggota saham hari ini, Pak. Anda harus datang,"Revan menghela nafasnya panjang setelah mendapat pesan dari Erik beberapa menit yang lalu. Sudah ia duga ayahnya tidak akan menunggu lama untuk menyelesaikan masalah mereka. Tepat setelah hubungan masa lalu dirinya dan juga Barbara terbongkar, ayahnya segera bertindak.Revan segera masuk ke dalam ruang meeting yang sudah diisi oleh anggota pemilik saham dan juga ayahnya sendiri. Masalahnya dengan Barbara pasti akan ayahnya gunakan untuk menyingkirkannya dari perusahaan ini."Rupanya kamu masih punya muka untuk datang ke perusahaan,"Revan hanya terdiam mendengar sindiran sang ayah sebelum rapat berlangsung. Kali ini ia memilih untuk tidak mendebat pria paruh baya yang sedarah dengannya itu. Ia yakin setelah mengetahui sifat Barbara, ayahnya sama terlukanya dengan dirinya."Rasakan sendiri akibat dari perbuatanmu, Revan. Aku akan mendepakmu dari perusahaan k
Melihat Barbara yang hanya terdiam, penjaga keamanan itu kembali mengulurkan tangannya, "Bu? Tolong kuncinya...""Yang benar saja, kamu lupa siapa saya?""Berikan kunci itu Barbara, mobil itu merupakan pemberianku!"Barbara berdecak saat Agung rupanya sudah menyusulnya keluar, dengan kesal ia mengembalikan kunci kepada penjaga keamanan itu, "Aku sama sekali tidak butuh mobil ini!" ujarnya dengan nada angkuh sambil melirik ke arah Agung.Setelah berkata seperti itu, Barbara segera menyetop taksi lalu masuk ke dalamnya. Ia sangat kesal dengan tindakan Agung yang seenaknya, seharusnya sejak dulu ia meninggalkan Agung agar ia tidak perlu bersusah payah seperti ini. Barbara segera meminta supir taksi untuk bergerak menuju ke alamat Revan. Ia harus segera kembali bersama Revan agar tua bangka itu tau rasa.Setelah sampai Barbara mengetuk pintu Revan dengan kuat."Revan buka! Tolong buka pintunya Revan!"Revan segera membuka pintu lalu terhenyak melihat Barbara di sana, "Barbara? Kenapa kau
"Revan!"Revan memutar matanya dengan jengah saat melihat Barbara ada di depan apartemennya. Setelah membuat dirinya dan Valeria bertengkar, bagaimana bisa Barbara masih memiliki muka untuk menemuinya?Revan memilih mengabaikan wanita itu lalu berjalan maju meninggalkannya."Revan, aku sedang bicara! Aku bahkan sudah jauh-jauh datang kemari, kenapa kamu malah mengabaikan ku?"Revan berdecak saat Barbara menarik lengannya dengan kuat. Ia menatap Barbara dengan raut wajah kesal, "Tidak ada yang menyuruhmu untuk datang kemari, Barbara. Ada apa? Apa yang kau inginkan lagi sekarang?""Kenapa kau selalu bersikap dingin padaku Revan? Aku kemari tentu saja untuk menemuimu."Revan menghela nafasnya panjang mendengar ucapan Barbara, "Sebenarnya apa lagi yang kau inginkan dariku? Kau sudah berhasil membuat Valeria keluar dari rumah ini sekarang. Keinginanmu sudah terpenuhi, jadi tolong berhenti menggangguku."Sepertinya Barbara sama sekali tidak mendengarkan nada bahasa Revan yang sama sekali ti
Agung Mahendra tidak menyangka jika Valeria akan mengajaknya bertemu hari ini. Meski entah apa yang sebenarnya ingin wanita muda itu katakan hingga menyebutkan nama Barbara dan Revan hanya agar ia tidak menolak pertemuan mereka.Agung mengepalkan sebelah tangannya, lihat saja jika wanita rendahan itu berkata hal yang konyol, ia sungguh tidak akan diam saja kali ini.Agung merapihkan jasnya sebelum ia menghampiri Valeria. Tatapannya angkuh menatap tajam ke arah Valeria yang sudah datang terlebih dulu di tempat pertemuan mereka."Akhirnya Anda datang," ujar Valeria dengan senyuman tipis.Agung sama sekali tidak menunjukkan keramahtamahannya, "Sebenarnya apa yang ingin kau katakan? Hubungan kita bukanlah sebagai mertua dan menantu yang baik hingga bisa berbincang seperti ini.""Bukankah Anda datang kemari karena penasaran dengan apa yang hendak saya katakan? Silahkan duduk terlebih dulu," ujar Valeria sambil mengulurkan tangannya meminta Revan untuk duduk di hadapannya.Agung berdeham se
Tadinya Revan hanya ingin mengikuti Valeria diam-diam tanpa diketahui oleh wanita itu. Setelah meninggalkan kediaman mereka semalam, Valeria sama sekali tidak mau mengangkat panggilannya. Wanita itu terus saja menghindar seolah ingin menjauh darinya setelah semua yang terjadi. Baru semalam Valeria meninggalkan rumah, tapi sungguh Revan sudah teramat kehilangannya. Jadi di sinilah ia sekarang menguntit wanita itu diam-diam demi untuk mengetahui kabarnya. Namun, siapa yang menyangka, Rionandra tiba-tiba muncul di sana memaksa Valeria entah untuk apa. Apa pria itu sengaja melakukan itu demi mendekati Valeria lagi?Revan segera mengambil langkah, tatapannya tajam mengarah ke arah tangan Valeria yang dicekal oleh Rionandra."Lepaskan dia, Pak Rionandra Mahendra."Mau tak mau Rio melepaskan pegangan tangannya, keduanya saling menatap tajam seolah sama-sama saling menantang."Sedang ada urusan apa Anda dengan istri saya?" tanya Revan dengan nada dominan.Rio terlihat mendengus, "Astaga, apa
Hari ini Rio sengaja mengajukan cuti demi bertemu Valeria. Ia berdiri di depan rumah mertuanya dengan bingung. Ia datang kemari tanpa pemberitahuan terlebih dulu, alasan apa yang bisa ia berikan kepada mertuanya agar tidak menimbulkan rasa curiga. Ah sudahlah, ia bisa berpura-pura menanyakan masalah pekerjaan sambil menemui Valeria.Rio segera menekan bel pintu, asisten rumah tangga Yanuar yang sudah mengenalnya segera mempersilahkan dirinya untuk masuk.Setelah meminta menunggu sebentar, Kalina datang menyambutnya."Rio, kenapa datang kemari mendadak begini? Kamu sendirian?"Rio mengangguk kecil, "Ya, Rio sendiri, Ma. Kata Lucia, kalian juga akan bertemu nanti sore.""Ah ya Mama mau pergi dengan Lucia, sudah lama sekali Mama tidak jalan-jalan dengan anak Mama."Rio hanya tersenyum, ia melemparkan pandangannya ke seluruh rumah, mencari keberadaan Valeria. Melihat gerak gerik Rio, Kalina menjadi curiga, "Kamu kenapa datang kemari?"Mendapat teguran dari Kalina, Rio menyentuh tengkuknya
"Aku akan berpisah dari Revan Mahendra,"Perkataan Valeria sontak membuat Herman tertegun di tempat, ia menatap ke arah puterinya mencoba mencari keraguan dalam nada bicara yang penuh dengan keyakinan itu, namun Valeria tetap menatapnya dengan tatapan tajam seolah sudah yakin dan memutuskan semuanya dengan tepat."Berpisah? Tapi bukankah pernikahan kalian baru berusia seumur jagung?""Pernikahan kami hanyalah sebuah kesepakatan untuk saling membantu, cepat atau lambat pernikahan ini akan berakhir, jadi aku hanya mempercepatnya.""Kau yakin?"Ada jeda sejenak untuk kemudian Valeria mengangguk, "Ya, jadi ayah tidak perlu bertanya bagaimana sikap dirinya padaku. Ku rasa tidak ada kewajiban dia harus berbuat baik padaku di pernikahan ini, benar bukan?"Meski merasa kesal dengan fakta yang diberikan oleh Valeria, Herman terlihat menghela nafas. Ya, pernikahan puterinya memang bukanlah pernikahan yang bisa dikatakan normal, jadi bagaimana bisa mereka menuntut keluarga Mahendra untuk bersika