"Aku tidak melakukan apapun!" balas Barbara sambil mengusap-usap tangannya yang kini memerah.Revan seketika mendengus, "Aku sudah tahu semuanya Barbara. Kau yang membuat Valeria hampir tenggelam hari ini, bukan?"Gerakan Barbara seketika terhenti saat mendengar ucapan Revan. Matanya seketika melebar, merasa cukup terkejut karena Revan mengetahui tentang rencananya itu."Melihat gelagatmu itu, sepertinya tebakanku benar."Raut wajah Barbara seketika berubah, karena Revan sudah mengetahuinya, untuk apa lagi ia bersandiwara?"Jika memang aku yang melakukannya, memangnya kenapa? Dia pantas mendapatkan hal itu. Sudah ku bilang kehidupannya di sini tidak akan tenang dan baik-baik saja."Mendengar ucapan Barbara, Revan kembali geram. Ia menekan tubuh Barbara ke arah tembok."Berani sekali kau melukainya di depan mataku ini, Barbara!""Tentu saja dia sudah merebutmu, kenapa aku tidak berani?" tukas Barbara tidak mau kalah.Revan segera mencengkram leher Barbara. Ia sungguh merasa sangat emos
Tangan Valeria yang sedari tadi memberontak akhirnya melemah saat mendengar ucapan Revan. Percuma saja, meski ia mencoba melarikan diri dan memberontak, Revan tidak akan membiarkannya pergi.Nafas Valeria seketika tertahan saat merasakan pelukan Revan yang hangat melingkupi tubuhnya. Ia memang membutuhkannya, setelah mendapatkan pengalaman buruk hari ini, tubuhnya terasa lemas dan lemah. Saat ia rasa bahwa ia tidak memiliki siapapun dan hampir mati di kolam sendirian sana, Valeria merasa sangat takut dan gemetar."Kau pasti ketakutan tadi,"Valeria tersentak mendengar ucapan lembut dari Revan. Revan mengusap punggungnya dengan lembut seakan-akan mengetahui apa yang ia butuhkan. Hati Valeria seketika berdesir, kenapa disaat ia ingin menghindari pria ini, kenapa Revan juga yang paling bisa menenangkan dirinya?Valeria hanya terdiam merasakan pelukan Revan dan usapan tangannya yang begitu menenangkan. Ia membalikkan tubuhnya, mereka akhirnya saling berhadapan."Apa kita boleh berpelukan?
"Anda yakin kita mau keluar dari rumah ini?" tanya Valeria saat melihat Revan yang mengambil koper lalu memasukkan beberapa pakaian ke sana. Ia memang merasa terkejut karena ternyata Bianca sudah melakukan hal yang sangat berbahaya diluar perkiraannya, namun keluar dari rumah yang bagai istana bagi Revan, Valeria tidak menyangka. Seumur hidup, Revan berada di tempat ini, bagaimana mungkin ia meninggalkan tempat ini begitu saja hanya untuk membela dirinya?"Kenapa? Kau ingin kita tinggal di sini?""Tentu saja tidak," balas Valeria cepat, melihat bagaimana sikap Bianca dan juga Agung, Valeria yakin mereka tidak akan diam saja ketika rencananya gagal. Di sini memang berbahaya untuknya, sangat."Kalau begitu segera kemasi barang-barangmu,"Valeria mengangguk lalu mulai ikut membereskan barang-barangnya. Sejenak ia memandangi Revan yang kembali sibuk memasukkan barang-barang mereka. Hatinya berdesir merasakan getaran yang aneh saat melihat wajah Revan. Ia tidak menyangka Revan Mahendra aka
Mendengar teriakan dari Valeria, Revan yang tadinya terlelap seketika bangkit dengan wajah terkejut."Astaga, ada apa? Apa yang terjadi?""Apa yang sudah Anda lakukan?"Revan terlihat mengerjapkan matanya mendengar ucapan Valeria, "Apa? Aku tidak melakukan apapun."Valeria memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangan, seolah menjaga pandangan Revan dari tubuhnya, "Bapak memeluk saya tadi! Apa Bapak lagi-lagi mengambil kesempatan saat saya tidur?"Sekali lagi Revan mengerjap, memeluk? Benarkah tadi ia memeluk Valeria? Revan mengedarkan pandangan ke seluruh sisi apartemen, kemana sebenarnya guling yang menjadi batas kemarin?"Anda pasti sengaja, iya kan? Saya sedang hamil Pak, tolong jangan mengambil kesempatan saat saya sedang mabuk. Bapak mesumm!"Mendengar kata-kata cibiran Valeria, Revan menunjukkan raut wajah tidak terima, "Apa? Hei, kurasa kau sudah keterlaluan, bisa saja kau sendiri yang mendekati aku dan mulai menyentuhku.""Apa? Untuk apa saya melakukan itu? Saya sama sekali ti
Valeria menelan ludahnya merasakan keintiman yang ada di antara mereka. Entah karena pesona Revan tidak terbantahkan atau karena ia sudah tidak bisa menghindari pria itu lagi, Valeria tidak dapat berbuat apapun saat jemari Revan menyentuh kulitnya.Tepat saat ia memejamkan mata, ponsel Revan berdering dengan nyaring. Valeria menghela nafasnya lega saat Revan akhirnya melepaskan dirinya. Syukurlah, ia bisa terbebas dari jeratan Revan.Revan berdecak saat melihat layar ponselnya. Merasa sangat kesal karena selalu saja ada yang mengganggu waktunya bersama Valeria. Saat melihat nama Erik terpampang di sana, mau tak mau Revan segera mengangkat panggilan itu lalu menyingkir dari hadapan Valeria."Ada apa? Kenapa kau mengganggu bulan maduku, Erik?""Ah maafkan saya, Pak, tapi ini darurat."Kening Revan berkerut dalam, "Darurat?""Jadi apa yang darurat dan penting itu hingga kau berani mengganggu waktuku?""Pak Nino klien New Enterpreneur Desain mengeluhkan tentang kerja sama kita. Produk yan
Valeria mengetuk jari jemarinya dengan gusar di atas meja. Matanya melirik ke arah jam dinding di apartemen Revan. Ia duduk dengan gelisah, sudah pukul sepuluh malam, namun belum ada kabar apapun yang ia terima dari Revan saat ini. Valeria menatap ke arah ponselnya yang sedari tadi hanya diam tak berkutik, sebenarnya kenapa benda itu sama sekali tidak bergerak? Kenapa Revan Mahendra tidak menghubunginya sama sekali setelah meninggalkan dirinya selarut ini? Apa pria itu sama sekali tidak merasa khawatir?Gemas, Valeria mengambil ponselnya dengan cepat. Apa ia harus menghubunginya lebih dulu? Apa ia akan dianggap murahan jika menanyakan dimanakah posisi Revan saat ini? Apa meetingnya sudah selesai? Valeria menghela nafasnya panjang merasakan banyaknya pertanyaan yang begitu berkecamuk saat ini. Kenapa ia merasa sangat cemas karena Revan Mahendra tidak ada di sampingnya?Mungkin tidak apa-apa, ya ia hanya ingin memastikan kepulangan Revan hari ini. Ia hanya ingin tahu. Valeria sudah men
Valeria mengerjapkan matanya setelah sadarkan diri. Ia langsung tersentak saat melihat sekeliling dirinya. Di suatu ruangan yang gelap ia ditempatkan dengan tangan yang diikat dan mulut yang dibekap sempurna. Tubuh Valeria gemetar ketakutan, ia dimana sebenarnya?"Bos, sepertinya dia bangun."Valeria memicing waspada saat melihat seorang pria bertubuh gempal dengan kepala botak menghampirinya. Di sekelilingnya terlihat beberapa pria dengan dandanan preman, Valeria beringsut mundur. Apa yang mereka inginkan sebenarnya?"Kenapa kau bangun? Seharusnya kau tidur saja, Manis...""Hmmm...uhmm...uhmmm.."Valeria mencoba berbicara dengan suara yang tenggelam akibat dibekap. Bagaimanapun ia harus berbicara dengan para preman ini agar ia bisa bebas."Kenapa? Kau ingin bicara?"Valeria mengangguk mendengar pertanyaan pria gempal itu."Baik-baik, kau boleh bicara. Lagipula sebentar lagi kau akan mati."Saat lakban yang membekap mulutnya terlepas, Valeria sontak berteriak, "Siapa kalian sebenarnya
Braak!Saat Valeria merasa bahwa hidupnya akan berakhir, suara yang keras dari arah belakang membuat perhatian pria gempal teralihkan. Ia bangkit dari tubuh Valeria."Sial, ada apa ini?"Namun, belum sempat ia mengatakan sesuatu, pria gempal itu dikagetkan dengan tubuh anak buahnya yang dilempar ke arahnya. Pria gempal itu terbelalak dengan lebar melihat Revan berdiri di sana dengan mata yang menyala-nyala. Melihat Valeria tergolek dengan pakaian yang acak-acakan, emosi Revan seketika meninggi."Si-siapa kau?"Tanpa menjawab pertanyaan pria gempal itu, Revan segera menerjang ke arahnya lalu memukulnya dengan membabi buta."Beraninya, beraninya kau menyentuh istrimu!""Hentikan, tolong hentikan! Tolong maafkan aku, maafkan aku! Argh sakit sekali, tolong maafkan aku!"Revan sama sekali tidak menghiraukan permohonan pria itu, ia terus saja menghujani wajah pria gempal itu dengan pukulan yang bertubi-tubi. Darah segar mulai keluar dari sela-sela hidung pria gempal itu, tanpa bisa membalas